Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"
.
.
.
Please Enjoy to Read!
.
.
.
CHAPTER 5 – MISTAKE WE TURNABOUT
Author's POV
Tangan kanannya dengan ragu mengetuk pintu besar singgasana pangeran Izana dari Clarines. Jujur saja, Zen agak takut untuk menemui kakaknya di malam-malam dingin seperti ini, namun rasa resah di hatinya sungguh tidak bisa menunggu hari esok. Tanda-tandanya terlalu jelas, seakan memang diniatkan agar pihak yang diinginkan menyadarinya. Setelah memantabkan hati, Zen mengetuk pintu pemisah antara dirinya dan penguasa Clarines sekali lagi, sebelum akhirnya membuka pintu tersebut dengan begitu perlahan.
Krieett–
Sosok tinggi Izana Wisteria duduk di sanding jendela besar kamar tidurnya, memandangi bentangan langit malam seperti yang selalu ia lakukan seraya benak berkelana jauh menelusuk masa lalu. Zen berjalan perlahan, walaupun begitu derap samar masih bisa terdengar–menyebabkan sang kakak mengalihkan fokus dari apa yang sedari tadi ia pikirkan. Izana tersenyum–seakan tahu apa yang ingin dikatakan adiknya–walaupun sebenarnya ia tidak tahu alasan Zen datang kemari di malam-malam berharga seperti ini. Izana tahu jika di malam purnama seperti ini, Zen akan menghabiskan waktunya bersama Shirayuki.
"Ada apa, Zen?"
"Aniue, ada yang perlu anda ketahui."
.
.
Realm for The Hearts
Story & OC'sNakashima Aya
Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata
[There's no profit we gain from this fanfiction]
Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.
Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC
.
.
"Pimpin kami, Hime-sama."
Leva terdiam. Sungguh tidak pernah terpikirkan dalam benaknya, bahwa seseorang akan berlutut di hadapannya–selain Sam. Kedua irisnya membelalak akibat rasa terkejut yang luar biasa membuncah dalam diri, Leva tidak tahu harus berkata apa, ataupun harus berbuat apa. Di sisi lain, Obi telah memantabkan hati untuk mempercayai gadis ini–gadis yang sampai beberapa menit yang lalu masih ia labeli sebagai bocah naïf. Kontak mata terbentuk di antara keduanya, saling mencoba memahami ekspresi dan maksud perbuatan masing-masing.
Leva menghela nafas, sekali lagi setelah satu kedipan singkat ia kembali menatap netra Obi yang sungguh entah kenapa kini terlihat begitu…dewasa? Leva menelusuk jauh ke dalam aura yang kini terpancar melalui tatapan Obi. Apakah dia serius? Meminta Leva melakukan hal seperti itu? Leva bukanlah Zen, hal ini adalah satu-satunya yang Leva akui sebagai kelemahannya dibanding Zen. Leva bukanlah sosok seorang pemimpin, Leva tidak akan mampu menggerakkan suatu batalyon layaknya Zen mampu.
"Hime-sama?" Perempatan imajiner muncul di pelipis Leva seraya emosinya kini tengah memuncak. Kali ini, ini sudah yang ke sekian kalinya.
"Aku tidak suka panggilan itu, aku punya nama kau tahu." Obi tertawa. Lagi, tawa itu. Sudah berapa lama Leva tidak melihatnya? Tawa yang sama yang dikeluarkan Obi ketika mereka berada di Wistant. Entah kenapa, Leva merasa kejadian itu telah berlalu begitu lama, dan tanpa disadari Leva menyunggingkan sebuah senyum tipis.
Bolehkah Obi terkejut sekarang? Ini pertama kali, sejak pertemuan mereka yang sungguh aneh, Obi melihat gadis di hadapannya menarik sendi-sendi bibirnya. Membentuk sebuah senyuman. Dan jika boleh jujur, Obi merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari yang seharusnya.
"Kau tersenyum, Leva."
Kini, bisakah keduanya sadar jika Shirayuki masih berada di dalam ruangan itu dengan wajah memerah dan merasa malu pada dirinya sendiri?
.
.
.
Sebenarnya, tidak perlu Obi menyuruh Leva memimpin mereka. Leva secara tidak sadar telah mengambil alih kemudi untuk menuntun semua hal yang harus diputuskan malam ini juga. Tidak boleh ada waktu yang terbuang. Membuang waktu berharga sama dengan membiarkan lawan melangkah lebih jauh daripada mereka.
"Shirayuki-san! Siapkan sebanyak-banyaknya anti-racun dan sangat banyak obat penghilang rasa sakit. Oh! Jangan lupa perban!" Shirayuki segera berlari segera ia mengangguk pada Leva, netranya sejenak melirik ke arah Zen yang kini tengah sibuk memberi komando pada pasukan cavalier. Sedikit kekecewaan merayap pada diri Shirayuki ketika ia sadar Zen tidak punya waktu untuk sekedar menoleh padanya, namun Shirayuki tahu bahwa sekarang adalah waktu yang genting. Dan dia harus melakukan tugasnya dengan baik, ia tidak boleh menyusahkan yang lainnya. Jika Zen berusaha dengan keras, maka ia harus berusaha dua kali lebih keras daripada Zen.
Setelah meminta Shirayuki menyiapkan obat-obatan yang akan diperlukan, Leva berlari menuju Zen seraya membawa peta hutan yang sudah ditandai oleh Zen beberapa waktu yang lalu. "Zen, kita butuh menyusun strategi."
Leva membuka perkamen lebar tersebut dan menaruhnya begitu perlahan di atas sebuah tumpukan kayu–seakan benda itu begitu rapuh dan bisa rusak jika Leva memperlakukannya dengan kasar. Zen memberi tanda agar para pimpinan pasukan berkumpul di sekitar Leva dan dirinya. Mereka terdiri dari 7 orang termasuk Kiki dan Mitsuhide yang ditempatkan di dua tempat yang berbeda untuk memimpin sekelompok batalyon. Zen yang akan mengambil komando utama pasukan, bersama Obi dan Leva yang akan berada di dekat tempat paramedis. Sebenarnya, Leva curiga susunan ini dibuat sedemikian rupa karena Zen tidak ingin jauh-jauh dari Shirayuki. Namun, toh itu bukan urusannya, yang harus ia urus sekarang adalah sekelompok manusia yang kini menuntut akan penjelasan keadaan saat ini dan apa yang harus mereka lakukan.
"Ehem, ehem." Leva berdehem sejenak sebelum meneruskan kalimatnya, oh sungguh Leva merasa nervous saat ini, "Namaku Levanthine Wisteria, dan aku akan menjelaskan situasi kita, dan situasi musuh saat ini."
Leva mengambil sebuah pena bulu–yang entah bagaimana bulunya sudah hampir tidak ada–dan mulai menjelaskan satu persatu titik penting di hutan utara yang akan menjadi tempat mereka mengepung musuh. "Pertama, rute dengan tanda X besar ini adalah tempat-tempat yang sudah dibakar oleh musuh. Mereka membakar tanah-tanah ini bukan secara sembarangan, tempat-tempat ini memiliki kadar tanah berkapur yang lebih daripada yang lainnya. Sehingga membakar tempat-tempat ini akan membantu mempermudah medan mereka untuk menembus gerbang istana. Sehingga kita akan menduduki titik-titik ini untuk memperlambat gerakan mereka, dan jika bisa, menghabisi mereka."
Zen bisa mendengar perubahan nada bermakna menekan pada akhir kalimat Leva. Baru kali ini Zen melihat Leva kehilangan ketenangannya, boleh juga gadis ini, pikir Zen. Sementara Leva meneruskan pembagian tim pada tiap titik di hutan, Zen menangkap sosok Shirayuki bersama Obi membawa kotak. Di belakangnya Ryuu dan ketua farmasi membawa beberapa gulungan yang bisa Zen identifikasikan sebagai perban. Senyum setengah seringai terlukis di bibir, dengan begini ia yakin semuanya akan baik-baik saja. Lagipula kakaknya akan bertindak sebagai back-up jika ada sesuatu yang tidak terduga terjadi. Shirayuki menangkap gerak-gerik Zen dan arah sorot matanya yang meliriknya disela-sela kesibukannya saat ini. Gadis itu juga melihat senyum lebar yang dikeluarkan Zen sebelum akhirnya sang pangeran kerajaan kembali berfokus pada pekerjaannya saat ini. Zen peduli, tentu saja. Hanya dengan hal itu, Zen telah memberi kekuatan pada Shirayuki.
Obi menaruh kotak-kotak besar tersebut di atas sebuah kereta berkuda yang nantinya akan dinaiki Shirayuki dan Ryuu. Tadi Obi sempat mendengar bahwa Izana-sama meminta agar ketua farmasi tidak diikutkan ke lapangan untuk menjaga sisa-sisa pasien flu pergantian musim, sehingga kini Ryuu sebagai asistennya yang harus pergi–dan tentunya ditemani Shirayuki. Jika Obi boleh memilih, ia akan meminta Shirayuki berada di kastil yang aman dan jauh dari bahaya. Melirik dari kejadian dengan Mihaya dan juga bajak laut Tanbarun beberapa musim yang lalu menyebabkan Obi jadi agak parno sendiri. Dan ia yakin, Masternya pasti memikirkan hal yang sama, menjauhkan Shirayuki dari bahaya adalah prioritas. Namun, toh sudah pasti Shirayuki akan marah-marah jika dikeluarkan dari misi ini, gadis itu bukanlah gadis lemah yang mau duduk manis ketika ada hal yang bisa ia lakukan untuk membantu orang lain. Jika Clarines membutuhkan kemampuannya sebagai seorang pharmacist, maka ia tidak akan segan untuk mengulurkan tangannya sedikitpun. Baik Zen maupun Obi tahu betul akan hal itu, dan mereka telah memutuskan bahwa melindungi Shirayuki dari balik layar adalah pilihan terbaik.
Obi melirik sejenak ke sisi lain halaman besar kastil Wistal, gadis bersurai merah muda pucat itu ada di sana. Tubuhnya yang kecil dan ramping dikelilingi begitu banyak prajurit berbadan besar yang membuatnya terlihat tenggelam di antara mereka. Obi tersenyum tipis, gadis itu sungguh meninggalkan kesan luar biasa pada diri Obi, mengingatkannya akan salah satu rekan gadis yang ia kenal ketika Obi masih bekerja di lingkungan dunia bawah. Obi terlalu fokus pada isi pikirannya, hingga menyebabkan ia tidak menyadari jika kini Leva telah berjalan menuju kereta kuda farmasi. Dan sungguh ia hampir saja mengumpat ketika ia sadar gadis itu berjalan sambil menginjak kakinya–secara sengaja.
'Oh, sungguh gadis itu tidak ada sisi manisnya sama sekali.' Obi tersenyum miris seraya menahan rasa nyeri yang terbentuk di kaki kanannya. Oh sial, sepatu boot sialan itu sungguh mampu menciptakan rasa sakit yang tidak akan Obi lupakan.
"Shirayuki-san dan err…" Siapa itu? Leva tidak mengenalnya, apakah ia salah satu bocah yang belajar ilmu farmasi? Bukankah tidak seharusnya kerajaan mengirimkan seorang pelajar pada misi penting seperti ini?
"Ryuu, namaku Ryuu. Aku asisten kepala farmasi, salam kenal." EH? Leva benar-benar merasa harus menelan teriakan yang hampir saja lolos dari mulutnya. Pemuda kecil nan menggemaskan ini seorang asisten kepala farmasi? Bukankah itu artinya dia pharmacist resmi kerajaan? Leva menelan ludahnya dan meneruskan kalimatnya, ia harus menyelesaikan pekerjaannya di sini dan segera mengurus hal lainnya. Leva membuka perkamen lain yang terlihat sama tuanya dengan peta hutan utara. Di atas perkamen itu terlukiskan garis-garis peta keseluruhan kastil Wistal. Walaupun tidak sedetil peta hutan utara, namun peta ini cukup berguna untuk memberi arahan posisi yang harus ditempati tim farmasi nanti.
"Ja, Shirayuki-san dan Ryuu-san, kalian nanti akan ditemani 5 prajurit, termasuk Kiki-san. Zen sudah memberitahuku bahwa kau biasa ditemani Obi kan? Namun sayangnya, kita membutuhkan lelaki…itu untuk mengintai daerah musuh. Kau tidak keberatan ditemani Kiki-san 'kan?" Shirayuki tersentak. Tidak biasanya ia pergi jauh dari Zen tanpa ada Obi di dekatnya, biasanya sejauh apapun ia pergi Obi akan selalu ada di dekatnya dan memikirkan hal itu kali ini harus berubah membuat Shirayuki sedikit takut. Mungkin ia terlampau percaya pada Obi. Namun, jika ini memang hal yang harus dilakukan maka Shirayuki tidak akan menganggapnya sebagai masalah, toh Kiki juga salah satu bawahan kepercayaan Zen dan kemampuannya dalam seni berpedang tidak boleh dianggap remeh.
"Um, daijoubu." Melihat reaksi Shirayuki sebenarnya Leva sadar jika ia merasa gelisah, dan Zen sendiri juga meminta agar Obi ditempatkan di sisi Shirayuki. Ini tidak seperti Leva menurunkan penjagaannya akan tim farmasi atau berniat buruk dengan memisahkan mereka, hanya saja kini satu-satunya pengintai yang berada di kastil hanyalah Obi. Sam, salah satu pengintai terbaik kerajaan Clarines kini menghilang dan Leva tidak ingin mengingat hal itu lagi. Kali ini, ia harus fokus pada apa yang ada di hadapannya, ia harus menyelesaikan misi ini dan kembali mencari keberadaan Sam.
Leva mengambil kembali penanya dan membuat sebuah garis lingkaran pada perkamen rapuh itu, "Tim farmasi akan membuat camp di sini, kalian pasti membutuhkan air 'kan? Karena itulah aku dan Zen menempatkan kalian di sini, tempat ini strategis dan mudah digapai masing-masing tim sehingga tidak akan ada kesalahan formasi jika ada sesuatu yang…err…tidak disangka terjadi. Dan akan kupastikan kalian aman di sana." Leva mengeluarkan senyum terbaiknya untuk meyakinkan Shirayuki dan bocah farmasi itu. Walaupun ia tidak mengerti apakah ini bisa dihitung sebuah senyuman, Leva tidak pernah berbakat dalam bidang tersenyum.
"Oy Leva! Kita harus segera berangkat!"
"Ya."
Semua persiapan sudah selesai. 5 jam lagi sebelum matahari musim semi pertama terbit dari arah timur.
.
.
.
…
… …
Sunyi. Bahkan suara desiran angin hampir tidak mampu terdengar. Semua prajurit bergelut dengan rasa dingin di balik baju zirah mereka. Zen tidak memperbolehkan siapapun mengenakan jubah musim dingin termasuk ia sendiri karena hanya akan memperlambat gerak dan menimbulkan banyak kerugian. Bahkan Leva yang sudah bisa dipastikan tidak akan ikut dalam pertarungan tidak mengenakan jubah dan hanya menutupi diri dengan gaun panjang miliknya. Oh sungguh, ia benci dengan segala gaun renda ini, kenapa juga ia tidak boleh mengenakan pakaian yang lebih mudah digunakan untuk bergerak dalam keadaan segenting ini?
Zen berada agak jauh darinya, sedangkan Mitsuhide berada di tim lain yang lebih dekat dengan kastil dan Kiki berada di camp Tim farmasi. Leva bisa merasakan rasa tidak nyaman pada diri Zen yang mengkhawatirkan Shirayuki. Tentu saja, jika Leva berada di posisi Zen, mungkin Leva akan merasakan hal yang sama. Sayangnya, Leva tidak pernah dan mungkin tidak akan pernah berada di posisi yang sama dengan Zen. Leva tidak pernah merasakan keinginan yang begitu besar untuk melindungi orang lain. Hidupnya adalah hidup miliknya sendiri. Ia bisa mengkhawatirkan orang lain, namun untuk mengorbankan nyawanya demi orang lain adalah hal yang berbeda. Silahkan sebut Leva egois, namun itulah yang selalu ada di benaknya selama 18 tahun hidupnya.
"Leva," Zen berjalan sangat perlahan menuju gadis itu, yang kini berada di bawah sebuah pohon yang sudah berwarna hitam dan berbau usang, "Ada yang aneh. Tidak ada satupun jejak musuh. Mereka seakan bergerak di balik bayangan, tidak ada satupun tim yang melihat keberadaan mereka."
Leva mengambil nafas, benar juga. Ia baru menyadari bahwa tidak ada satupun tanda-tanda pergerakan musuh. Ia terlalu fokus pada ketidaknyamanan dalam hatinya sehingga ia melupakan keadaan misinya saat ini. "Kita harus menunggu pemuda mata-mata itu kembali, sebelum kita merencanakan apa yang harus dilakukan ke depannya."
Zen mengangguk. Untuk saat-saat seperti ini, ia tidak akan berusaha mendebat Leva, karena bagaimanapun juga Zen tahu gadis itu lebih tahu mengenai hal ini daripada dirinya. Selalu seperti itu, bahkan sejak mereka masih berusia dini.
Srekk–
Leva menoleh. Ia mendengar suara halus jauh di belakang punggungnya. Namun, tidak ada satupun gerakan yang tertangkap indera penglihatan. Leva mengernyit sejenak sambil masih memelototi batangan pohon yang berwarna kehitaman itu beberapa saat, sebelum akhirnya kembali menghadap Zen yang memasang wajah penuh tanda tanya. Zen hampir saja mengeluarkan sebuah pertanyaan ketika Leva menggeleng agak kasar dengan ekspresi yang tidak mampu Zen tebak.
Srekk–
Kini Zen sekalipun mampu mendengar suara gemerisik dari balik semak-semak beberapa meter di belakang punggung Leva. Secara reflek sang pangeran segera menarik lengan Leva ke belakang tubuhnya dan tangan yang lainnya meraih gagang pedang di sisi tubuhnya. Tatapannya menohok tajam pada semak-semak tanpa dosa itu seraya detak jantung berpacu keras. Mungkinkah suara yang ia dengar merupakan alhasil dari keributan musuhnya?
Tangan menggenggam erat pedang dan sudah siap menariknya jika ada sesuatu yang mungkin mengancam dia dan Leva.
Srekk–Srekk–
"Aruji," suara seseorang dari atas tubuhnya memaksa Zen untuk merilekskan diri, dengan umpatan tertahan dalam hati. Oh sungguh, jika saja ini bukan medan perang, maka Zen akan menjitak kepala Obi keras-keras.
"Laporannya, cepat!" Leva mendadak meninggikan nada suaranya. Ia tahu ada yang tidak beres dan gadis itu berdoa semoga apapun yang diberikan Obi melalui laporannya akan memberi kejelasan pada keadaan saat ini. Ini aneh, semuanya aneh, tidak ada yang normal dan sesuai perkiraannya. Semuanya terlalu bias hingga Leva tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi ke depannya.
"Wow… Wow… Tenanglah, Hime-sama." Obi tertawa sejenak, Leva tidak paham bagaimana mungkin pemuda itu bisa tertawa di saat-saat seperti ini. "Ada yang aneh, Aruji, Leva-hime."
Zen menelan ludahnya, tidak siap dengan apapun yang akan dikatakan Obi. Sedangkan Leva menggenggam sisi kanan dan kiri gaun berenda miliknya begitu erat.
"Kamp musuh kosong, tidak ada tanda-tanda bahwa mereka pernah ada di sana. Tidak ada senjata, tidak ada peta, tidak ada pemantik api, tidak ada apapun. Hanya tenda-tenda besar yang kosong." Leva mendadak membelakangi keduanya. Kening berkerut dan bibir membentuk satu garis lurus tipis, beberapa kemungkinan sedang berputar dalam otak Leva, dari yang buruk hingga sangat buruk. Dengan ragu ia berjalan menuju kuda milik Zen dan meraih tas di sisi pelana dan merogoh isinya, jari-jemarinya yang lentik meraih sebuah perkamen kasar dan menariknya tanpa rasa ampun. Benaknya sedang kacau sehingga ia tidak mampu untuk sekedar memperlakukan sebuah perkamen tua dengan lembut. Leva duduk terhempas pada tanah kering hutan–tidak peduli gaunnya akan menjadi sangat kotor–dan membuka perkamen itu lebar-lebar. Obi melirik singkat pada Leva, bukan peta hutan utara yang ia buka, melainkan peta kasar yang ditunjukkan Leva pada Shirayuki dini hari tadi.
Kedua iris menatap dalam-dalam pada peta, menyerap segala data yang tercetak pada seberkas kertas di hadapannya dan mengolah isi otak dengan semua informasi yang ada. Tangannya menggenggam tanah kering dengan intensitas yang tidak biasa–tidak sadar bahwa ia telah mengotori seluruh permukaan telapak tangannya–dan gigi bergemeletuk untuk menahan emosi yang terbentuk dalam dada. Setelah semua informasi terekam jelas, kini Leva mampu melihat dengan jelas apa yang akan terjadi selanjutnya. Kali ini ia tidak akan salah, lebih tepatnya ia tidak boleh salah.
"Tidak…Tidak mungkin…Tidak mungkin…"
"L-Leva? Apa yang kini ada di pikiranmu?" Zen berjalan mendekati sang gadis, menyentuh bahunya dengan begitu lembut, karena dia tahu Leva selalu dan akan selalu membebani dirinya dengan berbagai macam hal yang tidak bisa Zen mengerti.
"S-Shirayuki-san…" Leva berbicara begitu lirih, sehingga tidak ada satupun dari mereka yang mendengar dengan jelas apa yang Leva utarakan. "Kupikir mereka akan membagi dua pasukannya, kupikir mereka akan tetap menggunakan rute ini. J-Jika seperti ini, Shirayuki-san dan tim farmasi, mereka dalam bahaya!"
Tinggal 4 jam sebelum fajar terbit, dan ketiganya tahu bahwa mereka telah dibodohi pasukan musuh.
'Shirayuki!'
.
.
.
To be continued
Yuhuuu~ Pembacaku yang budiman, akhirnya chapter lima selesai juga /applause/
Yhaha, ini kali pertama Aya menuliskan cerita yang bergenre fantasy sehingga Aya minta maaf yang sebegitu besar jika ini agak mengecewakan para pembaca. Aya terlalu terbiasa menulis OC-centric dengan genre romcom haha, maka genre serius seperti ini mungkin begitu baru dan err apa ya namanya pokoknya Aya masih belum familiar dengan genre ini.
...dan updatenya ngaret again so soo ngaret like ulala~ okedeh ini janji minggu depan bakal langsung update yang chapter 6 oke oke oke?! kayak bakal ada yang merhatiin aja xD as always lah saya sukak pada kalian yang sudah meluangkan waktu membaca di fandom minor ini :'')
Namun, tidak lupa Aya mengucapkan banyak-banyak terima kasih pada semua yang telah memberikan apresiasi kalian pada kisah ini, Aya sungguh mencintai kalian :*
Sore ja, sampai jumpa di chapter selanjutnya~
Salam Hangat,
Nakashima Aya
