Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"
.
.
.
Please Enjoy to Read!
.
.
.
CHAPTER 6 – THE SUN AT THE EAST
Author's POV
"Kiki-san!" Shirayuki memanggil Kiki yang tengah berada agak jauh dari tenda. Tim farmasi yang terdiri atas Shirayuki, Ryuu, Kiki, dan 4 prajurit lainnya kini mendirikan kamp mereka sesuai arahan Leva. Ryuu dan Shirayuki baru saja memanaskan air dan membuat teh herbal, sehingga ia ingin mengundang Kiki untuk mengikuti acara minum teh tengah malam ini. Udaranya begitu dingin sekarang, dan mereka dilarang menggunakan jubah agar tidak terlihat mencolok.
Melihat lambaian tangan Shirayuki, Kiki segera beranjak dari dari tempatnya berdiri dan bergabung dengan yang lainnya. Ia merasa ada sesuatu yang salah, jika semuanya berjalan sesuai rencana, seharusnya kini sudah bisa terdengar suara-suara adu pedang dari sisi lain hutan. Namun, yang bisa Kiki dengar hanyalah keheningan di antara suara hewan malam. Kiki masih sempat menengok sebentar dan menerawang jauh ke sisi hutan di balik punggungnya, sehingga menyebabkan Shirayuki kembali memanggil namanya.
"Kiki-san?"
"Ssst! Aku mendengar sesuatu…suara derap kuda yang berlari."
.
.
Realm for The Hearts
Story & OC's Nakashima Aya
Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata
[There's no profit we gain from this fanfiction]
Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.
Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC
.
.
"Shirayuki-san dan tim farmasi…mereka berada dalam bahaya!" Nada suara Leva bergetar, ia merasakan rasa takut yang luar biasa. Kenapa ia bisa melewatkan detil penting ini, kenapa? Apa yang harus ia lakukan sekarang? Sungguh, Leva tidak mampu berpikir, ia tidak mampu memutuskan mana yang benar dan mana yang salah.
Di sisi lain, Zen merasakannya lagi, rasa sesak dalam dadanya seperti yang ia rasakan ketika Shirayuki diculik oleh para bajak laut Tanbarun. Inilah kenapa Zen tidak mau jauh-jauh dari Shirayuki, kapanpun Shirayuki dijauhkan dari dia dan Obi, selalu ada sesuatu yang buruk terjadi. Ia tidak ingin mendebat Leva, karena yang Leva katakan bisa dipastikan adalah sebuah fakta, namun hanya kali ini saja, Zen berdoa semoga prediksi Leva adalah kesalahan mutlak.
"B-Bagaimana ini? Apa y-yang harus kita lakukan?" Leva menggingit ujung bibirnya untuk mengurangi gejolak emosi yang kini menumpuk dalam dirinya, sementara ia kembali mengeluarkan isi pikirannya. "K-Kita harus memberitahu Izana-sama yang ada di gerbang timur. A-Ah tidak tidak, keselamatan tim f-farmasi adalah prioritas. T-Tapi jika kita tidak segera menuju ke gerbang timur, mereka tidak akan siap. Dan t-tim f-f-farmasi–"
"TENANGLAH, LEVA!" Obi berjalan mendekati sang gadis yang kini bergetar dari atas ke bawah, Obi meraih bahu Leva yang kini menolak melakukan kontak mata dengan Obi. Leva terlalu terkejut dengan apa yang Obi lakukan, ia tidak tahu harus bereaksi apa, apalagi dengan segala yang sekarang sedang terjadi. Bahkan Zen sendiri terkejut dengan bagaimana Obi menyebut nama Leva tanpa honorific Hime sedikitpun.
"Hime-sama, tatap aku." Obi meremas perlahan kedua bahu Leva yang kini berada dalam genggamannya, sedikit demi sedikit Leva mengalihkan pandangannya dari tanah kering menuju kedua netra kucing di hadapannya, "Kita tidak akan mengerti jika anda tidak menjelaskan semuanya dengan baik. Jelaskan satu persatu dan akan kupastikan semua berjalan sesuai rencana anda. Tim farmasi akan baik-baik saja, dan anda akan tiba di sisi Yang Mulia Izana sebelum para bajingan itu sampai di gerbang timur."
Sejenak Leva memandang Obi yang kini mengeluarkan seberkas senyum tipis, bukan senyum jenaka diselingin tawa yang biasa ia tunjukkan di hadapan Leva. Senyum tulus yang bahkan mampu membuat Leva merasa…tenang. Leva mengangguk, ia mengedipkan matanya beberapa kali agar ia tidak mengeluarkan air mata yang tidak perlu dan segera membuka kembali peta kasar kastil Wistal. Sekali lagi, Leva memaksa dirinya untuk menatap lurus pada garis demi garis yang tercetak pada peta tersebut seraya diri mengambil nafas panjang dan mulai berbicara.
"K-Kita salah memperkirakan keadaan mereka, kupikir mereka pasti akan melalui rute ini sama seperti kejadian tempo lalu. Atau setidaknya mereka akan membuat beberapa pasukan yang bertugas sebagai pengecoh, dan menyerang dari sisi timur. N-namun…mereka… bahkan berniatan menyerang sisi timur tanpa menghiraukan kita yang ada di sisi ini sama sekali. Dan dengan tidak beruntung, satu-satunya rute termudah dari kamp mereka menuju ke sisi timur kastil adalah dengan menyisir sungai. Dan di tengah-tengah hutan utara dan gerbang sisi timur, di dekat sungai, terdapat kamp tim farmasi kita."
Zen menahan nafas, penjelasan Leva terbilang singkat, cukup singkat untuk seorang Leva yang biasa mengatakan sesuatu secara berbelit. Zen tidak mengerti, ia tidak paham kenapa Leva begitu panik, mengapa tubuh Leva kini bergetar hebat, mengapa setiap inci wajahnya begitu putih pucat. Zen mengkhawatirkan Shirayuki, itu sudah pasti, ia sangat mengkhawatirkannya. Begitu juga dengan Obi, dan Zen tahu itu. Namun, untuk Leva, dia bahkan baru bertemu Shirayuki dua malam yang lalu, dan Leva selalu adalah tipe orang yang tidak mudah mengkhawatirkan orang lain. Namun kini yang dilihat Zen adalah sebuah sisi Leva yang tidak pernah ia lihat. Kenapa Leva begitu…menaruh hati pada masalah ini? Apakah karena ia kehilangan Sam? Ataukah karena ini adalah salah satu perintah Yang Mulia Ratu kepada Leva?
Yang pasti, kini Zen harus memikirkan sesuatu. Sesuatu untuk menyelamatkan keduanya, baik Shirayuki dan juga kastil Wistal.
"Leva, aku…ada ide."
.
.
.
Malam ini malam yang berat bagi Pangeran Izana. Ia tidak tahu bahwa masalah–yang ia anggap sepele–kebakaran hutan itu berubah menjadi suatu bencana yang mampu menghancurkan kastil Wistal. Meskipun tugasnya hanyalah menjaga gerbang sisi timur sesuai permintaan Leva, rasa getir dalam hatinya masih saja berbekas. Ia tidak tahu kenapa ia membiarkan Leva dan Zen mengambil alih pembantaian di hutan utara, padahal seharusnya mereka yang berjaga di sini dan dia yang pergi ke sana bersama prajuritnya. Ini tidak seperti Izana meragukan kompetensi mereka, hanya saja ia merasa khawatir, tentu saja. Kedua adiknya tengah mempertaruhkan segalanya di sisi lain kastil dan dia hanya mampu berdiam diri di sini tanpa bisa melakukan apapun.
Izana akan berbohong jika ia berkata ia tidak bosan dan mengantuk. Hanya saja rasa khawatir yang meradang dalam hati mampu mengalahkan segala bentuk emosi batin yang tercetak, menyebabkan sang tuan tahta Clarines itu kini berjalan mondar-mandir di atas menara penjagaan layaknya sebuah setrika yang tengah digunakan. Ia mengingat perkataan Leva beberapa waktu yang lalu, Leva memberikan prediksi bahwa kemungkinan musuh tidak akan mengulangi kesalahan yang sama seperti yang terjadi tempo lalu. Mungkin mereka akan membagi pasukannya menjadi dua bagian dan melancarkan serangan melalui sisi timur dan sisi utara. Sehingga Izana telah memberikan perintah siaga pada prajurit dan cavalier miliknya. Sebagian besar cavalier ikut dengan Zen menuju hutan, sehingga Izana memilih untuk menyiapkan sebanyak mungkin pemanah dan penyerang jarak jauh. Toh peranan mereka adalah mempertahankan kastil, bukan melakukan pembantaian seperti yang akan terjadi di hutan utara.
Bulan tengah berpindar begitu cerah, menampakkan cerminan sinar matahari dalam bentuk kesempurnaan. Namun, walaupun begitu, tetap saja Pangeran Izana tidak mampu mendapatkan ketenangan dalam hatinya.
'Zen, Leva.'
"Izana-sama! Izana-sama! Hutannya terbakar lagi!"
"Sudah dimulai ya…"
"Kali ini bukan di hutan utara! Hutan yang terbakar ada di sisi pesisir sungai!"
.
.
.
Levanthine terdiam, ia berusaha begitu keras untuk mengendalikan emosi dalam tubuhnya. Baru kali ini, setelah sekian lama, ia merasakan rasa takut yang begitu besar. Ia takut jika prediksinya benar-benar salah, ia takut jika semuanya akan terlambat, ia takut jika musuhnya berhasil menerobos kastil, ia takut…jika orang yang berharga bagi orang yang ia sayangi tidak mampu diselamatkan.
"Kau sadar 'kan? Kita tidak akan berhasil jika kita terus-menerus diam dan ragu di sini. Kita harus berpencar." Zen menyentuh pedang di sisi tubuhnya, merasakan keinginan yang begitu besar untuk menebas sesuatu.
"B-berpencar?"
Kali ini Zen benar-benar telah menarik pedang miliknya, memutar-mutar benda tajam tersebut seakan itu hanya lah sebuah mainan. Obi menelan ludahnya, ia selalu takut seketika tuannya berubah dalam mode yang seperti ini. Leva mundur beberapa langkah, angin dingin yang disebabkan lambaian pedang tersebut membuatnya semakin merasa tidak enak. Ia menyesal telah menempatkan tim farmasi di tempat yang begitu membahayakan, ia tidak pernah berpikir bahwa tempat strategis itu akan mengundang begitu banyak bahaya datang.
"Kau akan pergi menuju Aniue, beritahu dia situasi saat ini karena kau yang paling tahu. Aku…akan pikirkan sesuatu untuk Shira–ehem–tim farmasi." Oh sungguh, jika situasinya sedang tidak seintens ini maka Obi akan tertawa terbahak-bahak dengan perkataan Zen, namun kini ia harus menelan kembali seluruh rasa tawa dalam mulutnya dan memasang ekspresi paling serius yang bisa ia pasang.
Leva tidak menjawab apapun, ia tidak tahu harus mengiyakan ide itu atau memikirkan ide lain. Yang pasti kini Leva tidak bisa memikirkan apa-apa, sekakan ia kehilangan fungsi otaknya untuk sesaat dan yang bisa ia lakukan hanyalah terdiam.
"Zen-sama! Zen-sama!" suara salah seorang prajurit yang begitu tergopoh-gopoh berlari menaiki tanah kering memecah kesunyian rapat kecil di antara ketiga petinggi itu. Zen memasukkan pedang pada genggaman ke dalam sarung pedang di sisi tubuhnya, dan menaikkan alisnya pada sang prajurit yang terlihat begitu panik. Belum sempat Zen mengatakan kalimat 'ada apa' sang prajurit telah menunjuk sesuatu di kejauhan dan berteriak dengan nafas terengah-engah.
"Ter-lihat…api…a-api muncul di sisi hutan dekat aliran sungai. M-Mereka sudah bergerak, Zen-sama!" Zen tidak perlu menunggu komando lagi untuk bergerak, keadaannya kini adalah sekarang atau tidak sama sekali. Jika mereka ingin menyelamatkan Shirayuki, maka sekaranglah saatnya. Zen tidak mau membuang waktu lebih lama lagi, dan Leva, sepertinya ia butuh angin segar untuk menyadarkannya dari shock berlebih yang kini membuat gadis itu bungkam ribuan bahasa.
"Obi!"
"Sesuai perintah anda, Master." Obi menyadari perintah tuannya, bahkan tanpa perlu satu ucapanpun keluar dari bibir sang Master. Pemuda itu yang sudah sedari awal berada di sanding Leva kini mendadak berjongkok di hadapannya dengan kedua tangan di belakang tubuh, irisnya melirik singkat pada sosok gadis di belakangnya yang kini menaikkan alis, kebingungan.
"Yosh, Hime-sama, naiklah."
"H-hah? Kau meminta seorang lady untuk mengangkat roknya dan naik ke punggungmu?" Leva tahu ini bukan saat yang tepat untuk mendebat Obi, namun entah kenapa ia merasakan tubuhnya begitu memanas dan rasa malu yang berlebihan menumpuk dalam dirinya.
"Anda ingin cepat sampai ke sisi Pangeran Izana atau berdiam diri di sini sampai keadaannya semakin memburuk?" Obi menampilkan sebuah seringai, bukan senyuman, melainkan seringai. Dan Leva lebih dari tahu bahwa pemuda ini benar. Leva tidak bisa mendebat Obi, lagi.
Leva menarik gaunnya yang sudah begitu kotor hingga ke atas lutut, dengan ragu gadis itu menaikkan satu kakinya menaiki sang pemuda dan meneruskan dengan kaki satunya. Oh sungguh, Leva merasa ia bisa jatuh kapan saja sehingga tanpa sadar ia telah mengalungkan kedua tangannya pada leher Obi yang kini berdiri secara tiba-tiba.
"A-Aa–" Leva berteriak tertahan, ia merasakan kedua tangan Obi telah memegangi bagian belakang lututnya dengan begitu erat. Walaupun begitu Leva masih merasa ia bisa jatuh kapan saja. Ini pertama kali dalam sejarah hidupnya, ia berada dalam posisi seperti ini. Sensasi kulit bertemu kulit yang Leva rasakan di bagian belakang lututnya sungguh membuat rona merah semakin merambat hingga telinga gadis ayu itu.
'Hangat, punggungnya hangat.'
"Ja, Aruji. Akan kupastikan Hime-sama mendarat dengan selamat." Zen tertawa dan melambaikan tangannya kasar, pemuda itu berjalan menuju kudanya bersamaan dengan Obi yang mulai berlari menjauh dari tanah kering hutan. Hampir saja Obi melompat pada satu pohon besar ketika Leva meneriakkan nama Zen dan menolehkan kepalanya beberapa derajat seraya menarik kedua tangannya–hampir mencekik Obi.
"ZEN!" Obi menghentikan langkahnya, seketika setelah ia merasakan tarikan luar biasa pada lehernya, "Kau...Pastikan kau kembali ke kastil dengan selamat, bersama gadis itu."
Zen berkedip beberapa saat–akibat perkataan Leva yang terbilang di luar karakternya–sebelum tersenyum dan membalas kata-kata sang gadis. "Pasti."
Tiga jam lamanya dari matahari terbit. Dan semuanya telah menapak di jalan mereka masing-masing.
.
.
.
"Ssst! Aku mendengar sesuatu…suara derap kuda yang berlari." Shirayuki menghentikan langkahnya, entah kenapa ia tidak berani menimbulkan suara dalam bentuk apapun–sedangkan Kiki mulai berjalan perlahan mendekati Shirayuki. Kiki meraih pergelangan tangan sang gadis bersurai kemerahan dan menariknya agar semakin menjauh dari suara-suara aneh itu. Kiki hanya mampu berdoa semoga yang ia dengar tadi bukanlah apa yang kini ada di pikirannya.
Langkah-langkah ragu tercetak semakin dekat mereka pada kamp tim farmasi. Ryuu dan prajurit lainnya sedang duduk mengelilingi api unggun kecil yang mereka buat seraya menikmati ramuan herbal buatan Ryuu–yang sebenarnya sangat masam–demi menghangatkan tubuh. Tidak ada yang paham kenapa Pangeran Zen melarang mereka mengenakan jubah, namun toh tidak hanya mereka yang tidak diperbolehkan mengenakan jubah, semua prajurit mengalami hal yang sama sehingga mereka tidak perlu mengeluh lebih jauh lagi. Ketika Kiki kembali bersama Shirayuki, keadaan kamp cukup sepi, hanya terdengar beberapa kalimat yang akan muncul jika terdapat suatu topik. Namun, sebagian besar memilih untuk duduk diam dan menghabiskan minuman hangat mereka.
Ryuu mengambil dua gelas kayu besar dari dalam tasnya dan menuangkan minuman herbal dari panci kecil di atas api unggun, bocah farmasi itu segera memberikannya pada Shirayuki dan Kiki yang kini telah ikut duduk dalam lingkaran api unggun tersebut.
"Apa yang terjadi pada tim lain, ya?" salah seorang prajurit mengeluarkan isi pikirannya yang disambut oleh prajurit lainnya.
"Yah, mereka pasti baik-baik saja, tidak ada satupun prajurit yang kemari. Itu artinya tidak ada yang terluka 'kan?" Pembicaraan itu mendadak berhenti begitu saja, tidak ada yang memiliki cukup nyali untuk meneruskannya–karena pembicaraan abstrak ini tidak ada hubungannya dengan kenyataan yang terjadi di hutan utara, mereka tidak tahu dan tidak akan tahu apa yang terjadi di sana, sampai ada seseorang dari hutan utara yang datang kemari dan memberitahu mereka.
Shirayuki tidak kunjung menyesap minuman yang berada dalam genggamannya. Sedari tadi yang ia lakukan hanyalah menyerap rasa hangat dari minuman tersebut melalui kedua telapak tangannya dan memenuhi benaknya dengan berbagai hal, terutama tentang Zen. Shirayuki mengkhawatirkan semuanya, itu tentu, hanya saja Zen mendapatkan perhatian khusus dalam benaknya. Ah, mungkin tiga-per-lima isi otaknya kini adalah tentang Zen dan bagaimana keadaannya di sana, apakah dia terluka, apakah dia baik-baik saja, apakah dia memikirkannya? Shirayuki tidak tahu, dan ia tidak berniat untuk mencari tahu, setidaknya untuk saat ini.
Fokus otaknya terinterupsi ketika mendadak gadis bersurai apel itu membau sesuatu yang begitu mencekik tenggorokannya, sesuatu berupa gas yang seakan meracuninya. Gadis itu melihat ke sekeliling, sepertinya tidak ada yang menyadarinya, semuanya masih berkutat dengan kegiatannya masing-masing.
'Apakah hanya perasaanku saja?'
Tidak. Shirayuki yakin, sekilas ia merasakannya, sesuatu yang mengkontaminasi udara sekitar. Apakah itu, asap? Tapi…bukankah pertarungannya berada di hutan utara? Apakah angin bergerak begitu cepat sehingga dalam tempo waktu sesingkat ini asap sudah mengkontaminasi udara hingga kemari?
Lagi. Shirayuki merasakannya lagi. Ia merasakan rasa sakit yang aneh pada tenggorokannya seketika ia mencoba menghirup udara di sekitarnya. Secara reflek gadis itu memegangi lehernya dan menggigit bibir untuk menghentikan rasa aneh yang kini meradang di salah satu alat pernapasannya.
Ryuu yang menyadari Shirayuki tidak kunjung meminum gelasnya, memandang asistennya itu dan memutuskan untuk bertanya, "Shirayuki-san? Ada apa?"
"A-Aah… T-Tida–"
KLONTANG–
"Itu… Kiki-dono! Itu… HUTANNYA TERBAKAR, HUTAN DI BELAKANG KITA TERBAKAR!" Salah seorang prajurit menunjuk sisi belakang punggung Kiki dan berteriak, menyebabkan semua yang ada dalam lingkaran itu menoleh dan merasakan keterkejutan. Hutannya…terbakar. Bukan hutan utara yang terbakar, melainkan hutan yang berada persis beberapa meter di belakang mereka.
Benar. Yang Shirayuki rasakan bukanlah sebuah fatamorgana, semua itu adalah kebenaran.
Bukan asapnya yang bergerak terlalu cepat, namun kebakarannya yang berada begitu dekat.
"B-Bagaimana ini? M-Musuhnya begitu dekat…"
"Kita tidak mungkin meninggalkan kamp ini kan? Bagaimana jika ada anggota tim lain yang terluka dan kemari?" Shirayuki bisa mendengar getaran dalam suara Ryuu, pasti bocah itu ketakutan.
"T-Tapi…apa yang harus kita lakukan?"
Tinggal tiga jam dari matahari terbit. Tim farmasi harus memutuskan pergerakan mereka selanjutnya, sekarang juga!
.
.
.
"Ne, kenapa kita…harus melompat dari satu pohon ke pohon lain? Bukankah lebih cepat jika kita menggunakan kuda?" Leva sungguh berusaha keras agar ia tidak berhenti menahan nafas. Tidakkah Obi terlalu ceroboh? Leva bisa jatuh kapan saja jika ia terus menerus melompat dari sana ke sini. Dan Leva tidak yakin ia bisa selamat tanpa luka sedikitpun jika ia terjatuh dari ketinggian yang sedemikian ini.
"Ahahaha, ini lebih cepat, Hime-sama. Lagipula jika kita bertemu dengan pihak musuh di tengah jalan, akan lebih mudah untuk bersembunyi di balik lebatnya daun pohon daripada di tanah tanpa penjagaan apapun. Dan kuda meninggalkan jejak yang sangat kentara, belum lagi suaranya yang bising, membuat kita dengan mudah diketahui musuh." Obi mengeratkan tautan kedua tangannya yang menopang tubuh Leva dari sisi belakang. Leva sungguh sangat malu sekarang, bagaimana mungkin seorang Lady mengangkat roknya setinggi ini dan duduk di atas punggung seorang lelaki? Apalagi dia anggota royal family, ini sungguh tidak seharusnya dilakukan.
Obi tidak mendengar jawaban apapun dari Leva, maka ia sendiri memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia bisa merasakan nafas lembut Leva di bagian belakang lehernya, untunglah dia mengenakan mufflernya, jika tidak entah ia akan bersikap seperti apa saat ini. Tidak pernah sekalipun Obi membayangkan akan mengangkat tubuh seorang tuan putri di punggungnya, sekalipun dalam mimpinya Obi tidak pernah membayangkan hal seperti ini akan terjadi dalam hidupnya yang begitu…suram dan gelap? Namun kini, ia bisa merasakannya, nyata dan dalam jangkauannya, rengkuhan gadis itu membuatnya sadar bahwa hidup Obi kini telah berubah berbanding terbalik dengan dia yang dulu, yang belum pernah mengenal Zen, belum pernah mengenal Shirayuki. Belum pernah mengenal semua emosi ini.
Obi tersenyum lagi, senyum yang menerus pada suatu tawa indah yang sungguh membuat Leva merasa aman. Leva tidak tahu kenapa pemuda itu tertawa, tidak ada hal yang lucu pada keadaan mereka saat ini. Namun, kali ini, hanya kali ini saja, Leva merasa tidak terganggu dengan tawa janggal itu. Hal itu mampu membuat Leva merasa lebih baik, entah kenapa gadis itu merasa ia tidak sendirian, dan jika ia bersama Obi, maka semuanya akan baik-baik saja.
"Kenapa kau tertawa, baka? Cepat antarkan aku menuju gerbang timur!"
"Ahahaha, hai hai, Leva Hime-sama. Pegang erat-erat!"
"E-AAH!"
Tidak lama lagi sampai mereka akan saling bersilangan jalan dengan semua pemeran yang ada dalam kisah ini, namun yang pasti, tinggal beberapa waktu sebelum keadaan ini akan mencapai akhirnya. Baik maupun buruk.
.
.
.
To be continued
.
.
.
Hello guys! Bertemu lagi dengan Nakashima Aya yang berhasil menyelesaikan chapter keenam dari fanfiksi imoetz dari Obi kesatria jantan kita semua :'3
Aya tidak tahu yah mau menulis apa lagi, karena Aya selalu tidak bisa menulis AN. Soooo, saia hanya akan mengatakan terima kasih sekali lagi pada semua yang memberikan kontribusi pada fanfiksi abal ini.
Review, fave, and follow would 'ya?
Salam Hangat,
Nakashima Aya
