Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"

.

.

.

Please Enjoy to Read!

.

.

.

CHAPTER 7 – TOWARDS THE NEW FUTURE

Author's POV

"Oy, Mitsuhide!" Zen berteriak seraya menarik kudanya agar berhenti berlari, memanggil nama Mitsuhide memunculkan perasaan aman dalam dirinya, walupun benak dipenuhi Shirayuki dan bagaimana keadaannya saat ini, yang pasti bertemu salah satu orang kepercayaannya membawa ketenangan pada diri Zen. Pangeran muda itu tidak turun dari kudanya, tidak juga segera menjelaskan apapun pada Mitsuhide yang kini membuat ekspresi lucu mengenai bagaimana terkejutnya ia dengan kedatangan Zen.

"Z-Zen?! Apa yang kau lakukan di sini?"

"Tim farmasi, mereka dalam bahaya." Kali ini Zen turun dari kudanya, ia membuka peta kasar kastil Wistal dan memperlihatkannya pada Mitsuhide. Sebuah garis berkelok-kelok berwarna hitam aneh terlukis di sepanjang peta. Zen terkejut, tidak menyangka bahwa Leva masih sempat membuatkan prediksi rute musuh di keadaannya yang begitu panik.

'Well, sepertinya aku benar-benar harus berterima kasih padanya nanti. Setelah semua ini selesai.'

.

.

Realm for The Hearts

Story & OC's Nakashima Aya

Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata

[There's no profit we gain from this fanfiction]

Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.

Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC

.

.

"Hime-sama, bertahanlah sebentar lagi, kita akan segera sampai." Ujar Obi seketika ia merasakan rengkuhan tangan Leva pada lehernya semakin mengendur seiring berjalannya waktu. Gadis itu pasti lelah, lelah dan khawatir dan ketakutan dengan semua hal yang terjadi beberapa jam terakhir ini. Obi sempat berpikir dalam benaknya, Leva pasti datang kemari untuk kunjungan menyenangkan sebagai perwakilan dari kastil Wistant. Dan seketika kunjungannya berubah menjadi mimpi buruk kala di saat yang tidak terduga ia harus ikut turun tangan pada perselisihan seperti saat ini. Itu bukanlah pengalaman yang baik untuk seorang tuan putri, walaupun sampai saat ini Obi masih tidak mampu percaya bahwa gadis aneh yang ia temui di Wistant, yang membantunya sampai ke kastil, yang dengan llihainya mampu melayangkan sebuah tendangan tepat pada perut seorang bandit tua, adalah seorang bangsawan–bahkan tuan putri kerajaan.

Obi tidak mendengar jawaban apapun dari Leva–bahkan sebuah gerakan mengangguk tidak mampu ia rasakan–sehingga pemuda itu memilih untuk mempercepat pace perjalanannya sebelum Leva benar-benar kehilangan kesadaran dan terjatuh dari atas punggungnya. Obi tidak yakin gadis itu bisa selamat tanpa terluka sedikitpun jika ia terjatuh dari ketinggian luar biasa ini. Oh, bahkan Obi tidak berani membayangkannya–dalam mimpi sekalipun–jika hal yang ia pikirkan benar-benar terjadi.

'Kurang beberapa meter lagi–jika aku tidak salah ahahaha…'

Namun sepertinya dewi keberuntungan masih menaruh peruntungannya pada mereka berdua, dan kini keduanya telah mendarat di tanah, beberapa langkah kaki dari keramaian gerbang timur. Obi berjongkok dan secara otomatis Leva kembali mengangkat roknya beberapa centimeter dan turun dari punggung Obi. Sejenak Leva merasakan kedinginan, ia kehilangan rasa hangat dan nyaman yang terpancar dari punggung Obi. Spontan gadis itu memeluk tubuhnya dengan kedua tangan mungil yang bergetar hebat itu, hingga diri tidak menyadari seberapa hebat giginya bergemeletuk–saling bertubrukan satu sama lain.

Ia mantabkan hatinya untuk menarik diri dan berjalan menuju gerbang, ia harus sampai di sana secepat mungkin. Namun tetap saja, sepertinya tekad saja tidak cukup untuk membuatnya mampu meminimalisir jarak antara dia dan gerbang besar berwarna hitam itu. Irisnya yang berwarna abu-abu pudar menatap nanar ke depan, apa yang salah dengan dirinya? Ia merasa mual, kepalanya terasa berkunang-kunang, dan kedua kakinya seakan tidak mampu menopang beban tubuh. Apakah ini yang biasa orang katakan sebagai mabuk udara? Oh, sungguh bodoh bagi Leva untuk mempermasalahkan hal semacam itu di tengah situasi genting seperti ini.

"Hime-sama? Anda baik-baik saja?" Obi menahan diri untuk tidak menarik gadis itu dan mengangkat tubuhnya yang begitu ringkih, ia harus ekstra menekan hasrat dalam dirinya yang begitu bodoh dan kurang ajar.

"A-aku…baik-baik saja, oh tidak sebenarnya, aku berada dalam kondisi di antara baik dan tidak baik. Ini sungguh menggelikan." Leva mengeluarkan seringai kecut, seraya sekali lagi berdiri dengan jemari tangan kanan merayapi dinding bata di sisi sebelah kanan tubuh. Sekali lagi tubuhnya harus oleng–akibat efek terkejut dari perpindahan secara tiba-tiba ia yang berada di udara kembali ke tanah–untungnya, sang kesatria telah siap melingkarkan tangan kirinya pada pinggang sang gadis dan menariknya agar bisa berdiri dengan tegak.

"Sesekali, tidak ada salahnya untuk sekedar bergantung pada orang lain, Leva." Leva tidak menoleh, lebih tepatnya ia tidak berani, ia terlalu takut melihat perubahan ekspresi macam apa lagi yang akan tercetak pada wajah Obi, "Setidaknya biarkan aku menjadi sandaranmu, sehingga kapanpun kau akan jatuh, aku siap menopangmu kembali."

Leva terdiam. Kelopak matanya membuka dan menutup dalam interval waktu yang begitu cepat. Bibirnya bergetar seketika diri ingin mengeluarkan sebuah kalimat balasan namun benak tidak mengeluarkan perintah apapun pada bibir, sehingga hanya sebuah hal konyol yang mampu ia cetuskan.

"Memangnya kau bipolar? Memanggilku 'Hime-sama', lalu 'Leva', dan kembali lagi ke 'Hime-sama'." Obi meringis seraya mengeluarkan kekehan yang selaras dengan nafasnya. Namun, walaupun Leva mengatakan hal seperti itu, toh ia tetap membiarkan lingkar pinggangnya didominasi Obi–bahkan Leva memegang pergelangan tangan sang pemuda yang mencekal pinggangnya–dan bersandar pada Obi seraya berusaha sedikit demi sedikit berjalan. Oh sungguh betapa malunya Leva saat ini, hal paling memalukan dalam hidupnya adalah terlihat lemah dan menyedihkan di hadapan orang lain, apalagi yang statusnya lebih rendah daripada dirinya–walaupun semua ini tidak ada hubungannya dengan status sosial.

Suasananya begitu sepi, terlalu sepi sebenarnya untuk selera Leva. Apalagi dengan keadaan yang serba tidak menentu seperti ini, tidak wajar jika Leva tidak mendengar suara apapun dari sisi dalam tembok bata besar ini. Sejenak Leva berpikir bahwa ia yang menderita kesalahan indera pendengaran hingga ia sadar telinganya masih mampu mendengar suara langkah berat miliknya dan detak jantung seorang pemuda spesifik yang kini menjadi sandaran sementara bagi sang gadis. Oh, Leva yakin ia tidak tuli, Leva yakin sekali.

Obi menyadarinya. Tentu saja walaupun ia harus mengurusi bayi besar bodoh yang kini berada dalam jarak sentuhnya itu, Obi masih mampu memaksimalkan kelima fungsi inderanya. Mereka diawasi, dengan cukup intens jika boleh dikata. Namun sayangnya, Obi tidak yakin siapa yang mengawasi mereka, sisi kawan ataukah sisi lawan? Obi tidak akan terkejut menemukan beberapa mata-mata dari kedua sisi berada di sekitar gerbang kastil. Tuan Besar Yang Mulia Izana bukanlah pangeran bodoh yang bergerak tanpa strategi, tidak heran jika ia menempatkan satu atau dua mata-mata yang berbaur bersama gelapnya hutan malam.

"Siapa di sana?!" Leva berhenti bergerak, otomatis Obi menghentikan langkah kakinya dan mencari-cari asal suara.

"Kau berada di sisi Chou atau tidak?" Keduanya tidak menjawab, tidak juga menemukan siapapun yang memberikan pertanyaan tersebut pada mereka. Leva terdiam, Obi juga terdiam. Bukan terdiam speechless seperti yang kalian pikirkan, lebih tepatnya mereka tidak paham apa yang dikatakan suara misterius itu. Chou?

"Chou?" Leva mencicit, sejenak ia merutuki dirinya sendiri karena membiarkan dirinya keceplosan dan mengeluarkan isi pikirannya.

Tidak ada jawaban.

Hening, tidak ada suara apapun yang mampu ditangkap indera pendengaran Leva selain detak jantung Obi dan nafas berat miliknya.

SYUUTT–

Tentu saja pihak yang lain tidak akan membiarkan pertanyaan itu tergantung begitu saja, bukan? Dan mereka memberi jawaban yang setimpal.

Sebuah anak panah dengan ujung runcing berwarna kemerahan, yang beberapa waktu lalu melesat dengan cepat dari sisi kegelapan hutan, menorehkan sebuah goresan pada pipi sang gadis, dan hampir saja menancap pada bahu Obi–jika saja pemuda itu tidak memiliki reflek cepat dan berusaha mengelak–dan meninggalkan sebuah luka kecil berlumur darah.

"P-Panah? S-Siapa?"

.

.

.

"Hime-sama! Lari!"

"H-Hah?" Leva memaksa kedua kakinya untuk bergerak lebih cepat, seharusnya ini menjadi salah satu bakat terpendamnya untuk lari dari marabahaya. Dan keadaannya yang sungguh menyedihkan saat ini, mau tidak mau harus ia abaikan dengan memacu kedua kakinya lebih cepat dan lebih cepat lagi. Obi berlari tepat di sampingnya, tangan kanan masih setia merengkuh bagian belakang tubuh Leva dan memberikan perlindungan, khas seorang gentleman.

Obi sudah tidak melihat tanda-tanda datangnya anak panah lagi, namun sepertinya hal ini bisa memotivasi Leva untuk menggerakkan tubuhnya lebih cepat. Toh semakin cepat mereka mencapai gerbang, akan semakin baik. Dan Obi tidak mau buang-buang waktu di sini, ia juga ingin pergi ke sisi Tim Farmasi secepatnya. Bukan hanya Zen yang berhak khawatir, karena semenjak tadi Obi hanya mampu memendam emosi dalam hatinya itu agar tidak nampak sedikitpun. Tidak di hadapan tuannya, tidak di hadapan Leva.

"Gerbangnya!" Leva mendadak memekik kala ia mulai melihat gerbang tinggi kecoklatan dari kastil Wistal. Oh sungguh, Leva tidak pernah merasakan perasaan sesenang ini ketika melihat kastil bulukan itu. Ya, Leva jauh lebih menyukai kastil Wistant daripada kastil ini. Mendadak Leva merindukan Yang Mulia di sana, yang selalu memarahinya jika ia ketahuan kabur dari kastil dan main-main ke kota–seperti ketika ia bertemu Obi.

Sialnya, sampai di depan gerbang kastil, yang mereka temui malah dua orang penjaga menyilangkan tombaknya di depan gerbang. Oh, sungguh tidak tahukah mereka siapa yang berdiri di hadapan mereka sekarang?

Tentu saja mereka tidak tahu. Toh yang terlihat hanyalah seorang gadis kotor dengan gaun setengah sobek dan seorang pemuda aneh yang terlihat mencurigakan. Seperti Obi tidak pernah main-main ke sisi kastil sebelah sini ya, dia tidak terlalu dikenal di daerah sini.

"Permisi, aku harus masuk." Leva menahan diri untuk tidak berdehem dan langsung menyemprot kedua penjaga muda itu dengan kata-kata kasar.

"Dan atas dasar apa kami harus memperbolehkanmu masuk, gadis desa?"

"G-Gadis desa?! B-Beraninya ka–" Leva sudah pasti akan mencakar pemuda kasar itu jika Obi tidak menghentikannya.

"My apologize, tapi sangat tidak wajar jika kalian tidak memperbolehkan kami masuk." Obi mengambil tanda pengenalnya dengan agak susah payah, dan menunjukkannya pada kedua penjaga gerbang tersebut. Sejenak mereka menyipitkan mata untuk membaca tulisan yang tertera di sana, kegelapan sungguh mampu membutakan netra keduanya. Setelah membaca tulisan yang tertera pada logam mahal khas Wistal tersebut, rasa bersalah langsung menjalari mereka. Obi, pengantar pesan pribadi Pangeran Zen Wisteria.

"O-Obi-dono! Maafkan kami atas kekurang-ajarannya. Izana-sama meminta kami untuk tidak membukakan gerbangnya apapun yang terjadi." Salah seorang penjaga yang lebih tinggi berbicara, seraya penjaga gerbang yang satunya mulai mengangkat pintu besar tersebut.

Obi mengangguk seraya mengeluarkan tawa, di sisi lain Leva sudah memutar matanya kesal. Bagaimana mungkin mereka mengenali Obi–walaupun dari tanda pengenalnya–dan malah bersikap sekurang ajar itu pada Leva? Bagaimanapun juga, Leva merasa harga dirinya terinjak-injak.

Segera setelah gerbang tersebut terbuka secara penuh, Obi kembali melingkarkan tangannya di bahu Leva dan menuntunnya masuk, sebelum akhirnya ia berteriak, "Oh, asal kalian tahu, nona muda ini adalah Tuan Putri Levanthine Wisteria."

"Eh? E-EEEEHH? MATI KITA! HABIS SUDAH KARIR KITA DI KASTIL WISTAL!" Bolehkan Leva menertawakan mereka sekarang? Toh sebenarnya bukan salah mereka pula untuk tidak mengenali Leva yang kucel dan bau tanah.

Di sisi lain, di balik gelapnya hutan, seorang pria tengah bersembunyi dan mengintai, menanti waktu yang tepat untuk mulai memberikan sinyal pada kawan-kawannya.

"Meh, jadi mereka ada di sisi bangsawan busuk itu ya."

.

.

.

Izana masih saja tidak mampu duduk dengan tenang.

Batinnya amat sangat bergejolak, dan ia tidak bisa memungkirinya. Bukan berarti Izana bersikap pesimis atau apa, hanya saja ia merasakan sesuatu yang salah telah terjadi di sekitarnya. Entah apapun itu, namun batin Izana berkata bahwa adik-adiknya dalam bahaya. Prediksi Leva bisa dibilang memang seringkali akurat, namun tetap saja gadis itu bukanlah dewa, ia tetap manusia dan kesalahan apapun bisa saja terjadi. Dan kali ini, Izana yakin ada sesuatu yang salah.

Drapp–Drapp–

BRAKK–

Mendengar suara pintu menara yang dibuka dengan begitu keras menyebabkan Yang Mulia Kanjeng Ndoro Panembahan Izana Wisteria menelengkan kepalanya–agak terkejut melihat Leva berdiri di sana dengan nafas yang terlihat begitu berat.

"Izana-sama!" Leva masih memaksakan diri, dan berlari menuju Izana yang menghadap sisi luar benteng kastil.

"L-Leva? Apa yang kau lakukan di sini? Mana Zen?" Oh, dasar pangeran diam-diam brocon. Hal pertama yang ditanyakan langsung tentang sang dedek imoet.

"Z-Zen…Huft….Hah…Hah…" Obi berjalan mendekat, melihat sang tuan putri sepertinya kesusahan untuk bernafas apalagi untuk berkata-kata. Pemuda itu menyentuh sejenak pundak Leva yang naik turun tidak menentu sebelum memutuskan untuk berbicara.

"Zen-sama saat ini sedang memimpin sekelompok batalyon besar untuk bergabung dengan tim farmasi yang ada di sisi sungai. Kami tidak tahu apakah Zen-sama akan berhasil menyelamatkan tim farmasi sebelum terlambat atau akan terjadi baku hantam dengan musuh di sana. Yang pasti, Zen-sama meminta saya dan Hime-sama untuk mengatakan pada Anda jika musuh sudah dekat. Dan sebaiknya Anda siap dengan kemungkinan terburuknya."

Izana tahu ada yang salah. Dan tanpa perlu siapapun memberitahunya, Izana sudah paham situasinya. Yang pasti tim farmasi dalam bahaya, dan musuh akan menyerang dari sisi bagian ini. Ha. Boleh juga strateginya. Izana tidak menunggu apapun lagi, bahkan sekedar menanyakan apakah Leva baik-baik saja tidak ia lakukan. Pangeran Izana segera beranjak turun dari menara dan mulai mempersiapkan pasukannya, tidak boleh ada waktu yang terbuang.

Leva merasa sakit, bukan dalam hal fisik. Namun psikisnya terasa luar biasa sakit. Ia merasa bodoh, ia merasa tidak berguna, bahkan ia tidak bisa mengatakan apapun pada Izana di saat genting seperti ini. Padahal ia mengakui dirinya bukanlah gadis yang lemah, seharusnya ia tidak selemah ini, ia biasa latihan fisik dengan Zen, ia terbiasa berlari dan melarikan diri dari penjaga saat di kastil Wistant. Seharusnya, hal yang seperti ini saja mampu ia bendung. Lalu kenapa, kenapa ia malah duduk menatap lantai batu menara tanpa mampu melakukan apapun? Apa memang mentalnya selemah ini? Selama ini ia pikir ia adalah tipe gadis yang fearless, toh melewati beberapa bandit kota tanpa rasa takut adalah hal yang biasa baginya.

Namun, ini…Leva bahkan tidak bisa menuangkan apapun yang dirasakannya saat ini dalam curahan kata-kata.

"Hime-sama, bukan, Leva." Leva menoleh, mendapati dirinya kini menatap lurus pada iris tembaga seorang Obi. Leva ingin menghindari tatapannya, namun entah kenapa dirinya merasa terbius dengan bagaimana kedua netra Obi menambatkan diri dan mengunci tatapannya. Yang bisa Leva lakukan hanya menggigit bibirnya seraya menahan air mata yang entah bagaimana kini mulai menetes.

"Aku tidak ingin mengatakannya, tapi harus kukatakan padamu. Kau lemah. Jauh lebih lemah dari Shirayuki. Kau tidak mau mengakui bahwa kau mengkhawatirkan orang lain, kau tidak mau prediksimu salah, kau tidak ingin apa yang seharusnya ada dalam genggamanmu pergi dan tidak mampu kau gapai lagi." Leva terkesiap, kenapa…Obi membandingkannya dengan Shirayuki? Ini…ini bukan berarti Leva ingin menjadi sosok yang lemah. Ia seharusnya lebih baik daripada ini. Seharusnya Leva jauh lebih baik…

"Tapi itu bukan berarti kau tidak bisa bangkit. Rakyatmu membutuhkanmu. Dan jika kau tidak bangkit saat ini, lalu kapan lagi? Kau bisa melakukannya, Leva. Setidaknya jika kau tidak yakin, bergantunglah pada orang lain di sekitarmu. Bergantunglah padaku." Obi tersenyum, sekali lagi, senyum yang membuat Leva merasa nyaman dan tenang. Tidak pernah ada sekalipun yang mengatakan bahwa ia lemah. Dan tidak ada seorangpun yang pernah mengatakan padanya untuk bergantung pada orang lain. Karena selama ini–sejak ia masih kanak-kanak–Leva selalu dituntut untuk bisa berdiri dengan kedua kakinya sendiri.

Obi mengulurkan tangannya, senyum masih terlukis di bibir. Dan Leva tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Meraih tangan yang kini terulur di hadapannya adalah hal yang benar.

Oh, dan jangan lupa menyeka air mata menyedihkan itu dari wajahnya. Leva sangat-sangat benci terlihat lemah di hadapan orang lain. Dan pemuda di hadapannya ini sudah cukup melihat terlalu banyak sisi lemah Leva yang bahkan tidak pernah dilihat orang lain.

Walaupun Leva belum tahu, bahwa Obi sudah pernah melihatnya menangis, kala itu.

.

.

.

Derap kaki Leva yang berlari menuruni tangga terdengar hingga keberadaan Pangeran Izana saat ini. Pria muda itu menoleh dan mendapati salah satu kerabatnya kini berdiri di ambang pintu menara dengan senyum penuh percaya diri di bibirnya. Mau tidak mau Izana ikut tersenyum, entah apapun yang sudah terjadi di atas sana tadi, kini adik perempuannya mendapatkan kembali rasa percaya dirinya–yang terkadang terlampau besar itu. Walaupun Izana merasa aneh karena tidak mampu mendapati anjing kesayangan Zen (baca: Obi) dimanapun matanya mencari.

"Bisa menjelaskan padaku apa yang akan kita hadapi saat ini, Levanthine Wisteria?"

"Tentu, Yang Mulia." Leva beranjak mengambil sebuah perkamen kosong dan pena tanpa tinta di sudut menara sebelum kembali berlari keluar dan pergi menuju Izana yang kini berada di sisi bagian atas dinding tinggi benteng kastil. Leva mengangkat roknya yang sudah terkoyak di sana-sini sebelum duduk menekuk lutut dan menggambar beberapa hal yang tidak Izana mengerti.

Leva menggambar beberapa pepohonan, sebuah lajur panjang sungai, dan beberapa bentuk perkemahan. Di sisi paling pojok perkamen ia gambarkan bentuk benteng kastil. Sepertinya sekarang Izana paham apa yang digambarkan gadis itu. Peta kasar untuk keadaan mereka saat ini.

Leva mulai menjelaskan keadaan mereka dari awal berangkat, kembalinya Obi dari camp musuh yang berada jauh di sisi lain hutan (yang kosong dan tanpa nyawa), hingga kemungkinan terancamnya posisi tim farmasi.

"…dan kemungkinan besar, mereka tidak akan mencoba memedulikan pasukan kita yang ada di sisi hutan utara. Mereka akan memfokuskan diri untuk menyerang dari sisi timur, tempat kita berdiri sekarang." Kedua netra pangeran Izana menyipit dan genggaman tangannya mengerat. Dia sudah bisa mengira hal ini akan terjadi, namun jika situasinya seperti ini, sudah pasti Zen akan menceburkan diri ke medan perang hanya untuk menyelamatkan tim farmasi, dan Shirayuki.

Leva tidak mau repot-repot melirik reaksi Izana saat mendengarkan penjelasannya, lebih tepatnya ia takut melihat ekspresinya pangeran pertama Clarines itu saat ini. Leva masih ingat beberapa tahun yang lalu ketika terjadi sesuatu pada Zen dan Leva tidak melaporkannya segera–karena Leva pikir anak lelaki yang dekat dengan Zen itu bukanlah ancaman–ia sangat ingat bagaimana murkanya Izana pada siapapun yang terlibat, termasuk pada Zen dan Leva. Karena itulah, Leva tidak mau menoleh dan mendongakkan kepalanya barang sedikitpun.

"Leva," nada suara dingin yang berasal dari satu-satunya eksistensi lelaki di sana menyebabkan Leva menahan nafas, "masuklah ke dalam menara, dan tunggu di sana."

"E-Eh? T-Tapi…"

" ."

"T-Tunggu! Onii-sama! Aku tidak mungkin bersembunyi seperti itu."

"Ini perintah."

"T-Tapi–"

SYUUTT–JLEBB–

Sebuah anak panah. Hitam dan menakutkan. Mendarat tepat di bawah kaki Izana, di hadapan Leva yang masih terduduk lemas. Keduanya sontak menoleh pada arah anak panah berasal, dan di sana mereka melihatnya, jajaran cavalier dan prajurit berzirah lengkap dengan persenjataannya. Di belakang mereka, kobaran api menyala hebat bagaikan memberi jejak perjalanan para pengkhianat.

"Mereka…datang…"

.

.

.

To be continued

.

.

.

Halo /ditabok/

Jadi, Aya ingin meminta maaf karena memakan waktu begitu lama untuk mengupdate fanfiksi ini. Entah kenapa beberap abulan terakhir RL sedang hectic sekali dan Aya tidak bisa membagi waktu antara aktivitas sehari-hari dan aktivitas dunia maya sebagai author, jadi Aya benar-benar meminta maaf atas keterlambatan yang luar biasa ini /bungkuk badan/

Sebagai gantinya, Aya akan langsung post dua chapter hari ini, semoga kalian suka :)

Salam Hangat,

Nakashima Aya