Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"

.

.

.

Please Enjoy to Read!

.

.

.

CHAPTER 8 – UNCONDITIONALLY

Author's POV

"Jadi, siapa kau, dan apa yang kau inginkan dari kami, heh?" Obi menarik pisau kecilnya lebih mendekati leher pria berjubah itu. Orang yang sama dengan yang mencegat ia dan Leva beberapa saat yang lalu. Dan memberinya pertanyaan aneh mengenai Chou atau apapun itu. "Kau pikir aku akan mengatakannya padamu? Hahahahaha."

Oh sungguh, Obi ingin membungkam pemuda itu sekarang juga, jika saja ia tidak ingat Tuannya tidak akan senang jika ia membunuh orang sembarangan tanpa tuduhan apapun.

"Oh ya? Kau pikir aku hanya mengancam?" Obi menggoreskan logam dingin itu pada permukaan kulit pria yang kini dalam genggamannya. Ia tidak mampu melihatnya dalam gelapnya sinar rembulan malam ini, namun ia yakin darah segar mengucur dari luka itu.

"Sudah terlambat, Tuan. Kau dan nona kecilmu itu tidak akan selamat. Mereka sudah datang, Tuan. Mereka yang berada dalam naungan Chou." Di saat yang sama, Obi mampu menangkap kobaran api yang kini menjalar cepat dan semakin cepat mendekatinya.

'Leva!'

.

.

Realm for The Hearts

Story & OC's Nakashima Aya

Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata

[There's no profit we gain from this fanfiction]

Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.

Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC

.

.

"Siapkan kudaku sekarang juga!"

"Siap, Yang Mulia!"

Leva masih diam membeku, kedua netranya menatap lenguh pada kobaran api nan jauh di sana–yang semakin detik berjalan semakin dekat pula api menjalar–dan pada barisan panjang cavalier serta prajurit tanpa kuda yang kini berjalan serentak mendekati kastil. Perlahan namun pasti, pasukan tersebut akan segera mencapai kastil. Leva tidak tahu bahwa menyaksikan pasukan musuh sebanyak ini akan membuat kedua kakinya kehilangan fungsi untuk menopang tubuh.

Izana sudah beranjak pergi bersama dengan beberapa prajurit yang sedari tadi berada di sisinya, meninggalkan Leva yang tidak bisa melakukan apapun. Izana tidak akan mengatakan apapun lagi pada Leva, karena perintahnya pada gadis itu tetap sama, pergi menuju menara dan lihat dengan baik para pria jantan ini bertarung. Menurut Izana, seorang gadis–terutama seseorang yang menyandang gelar Tuan Putri–tidak boleh menyentuh senjata dan pergi berperang sedikitpun, walaupun Kiki adalah sebuah pengecualian khusus. Dia dan pedang adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, dan akan sangat disayangkan untuk seseorang dengan skill sehebat itu jika harus disibukkan dengan pesta dansa dan upacara minum teh khas bangsawan.

Suasana di bawah menara begitu kacau ketika Izana sampai, semua prajurit terlihat berlarian ke sana kemari, tidak terpikirkan oleh mereka bahwa satu batalyon besar musuh akan mengarah kemari. Toh sebagian besar prajurit istana dibawa menuju hutan utara atas komando Pangeran Zen. Dan di sinilah mereka, harus melawan pasukan sebesar itu dengan anggota seminim ini. Setidaknya ini adalah pertarungan di rumah sendiri, dan mereka bisa sedikit merasa tenang karenanya.

Izana menaiki kudanya segera setelah ia siap, batinnya tidak tenang, toh keluarga kerajaan Wisteria sangat jarang melakukan perang besar dengan pihak lain. Walaupun semua pangeran Clarines dididik untuk mampu memegang senjata dengan cukup baik, dan Izana yakin tidak ada satupun prajurit di sini yang mampu mengalahkannya dalam duel satu lawan satu. Namun, melihat banyaknya pasukan pemberontak yang kini berjarak beberapa meter di hadapannya mampu membuatnya berpikiran pesimis.

'Apakah mereka sudah mengalahkan Zen sehingga mereka berhasil sampai kemari?'

"PANGERAN PERTAMA CLARINES, IZANA WISTERIA, KAMI KATAKAN PADAMU UNTUK MENYERAHKAN DIRI SEKARANG JUGA DAN MEMBUKA PINTU KASTIL. ATAU KAMI AKAN MEMILIH MELAKUKAN KEKERASAN."

Izana tidak mengatakan apapun, atau merespon barang sebuah deheman. Yang ia lakukan hanyalah menutup matanya dan menghela nafas. Bahkan mereka mengancamnya tanpa menggunakan kalimat formal, sepertinya pasukan besar di hadapannya ini benar-benar siap berperang dengan kerajaan Clarines. Lagipula darimana juga mereka mendapat pasukan sebesar itu?

"Izana-oniisama!" Izana menoleh dan mendapati Leva berteriak padanya dari sisi atas benteng, tepat di tempat para pemanah. Izana terkejut gadis itu masih mampu berteriak sekeras itu dan menjaga dirinya agar tidak semakin rapuh, "B-Biarkan aku memandu pasukan pemanah! O-Onegaishimasu!"

Senyum setengah seringai lolos pada bibir sang pangeran dan mengendurkan sedikit kekakuan dalam dirinya, jika gadis selemah Leva masih bisa berpikir jernih dan berjalan ke depan. Maka Izana akan bisa jauh lebih baik dari itu. "Lakukan sesukamu." Izana berujar seraya menarik kudanya agar berjalan mendekati pintu kastil.

Jika para pemberontak itu ingin dibukakan pintu kastil, maka mereka harus mau menerima resikonya.

Leva berlari menjauhi sisi samping dinding benteng dan memposisikan dirinya di posisi tertinggi benteng–dekat dengan para pemanah–mulai mengobservasi pasukan musuh dan mengira-ngira strategi apa yang akan mereka pakai.

"H-Hime-sama! Turunlah! Tempat itu terlalu terlihat musuh!"

"Jangan pedulikan aku, aku tidak menuruti perintah dari seseorang dengan strata lebih rendah daripada diriku." Oh, sungguh bukan maksud Leva untuk mengatakan hal sekejam itu. Hanya saja jika ia mengatakan dengan bahasa yang lebih lembut, ia yakin para prajurit itu akan menyeretnya turun sekarang juga. Bahkan sebelum ia selesai memperkirakan segala hal. Terkadang hal inilah yang membuat orang lain tidak suka dengan gadis itu, sikapnya yang angkuh, terlalu percaya diri dan bermulut kasar. Sebuah kombinasi yang pas dengan stratanya yang berada pada tingkat tertinggi kebangsawanan–anggota keluarga kerajaan.

Kedua netra kacanya menatap intens pada jajaran hutan lebat beberapa kaki di bawahnya, ia bisa melihat dengan jelas frontliner dari pasukan musuh walaupun tanpa bantuan sinar rembulan maupun obor dari pasukan musuh. Pada barisan depan sendiri, beberapa prajurit rendahan yang membawa perisai (Leva tidak akan terkejut jika mereka hanyalah budak yang dipaksa untuk ikut dalam perang konyol ini) dengan disupport pasukan cavalier tepat di belakangnya. Leva juga menyadari beberapa unit pemanah yang sedikit demi sedikit mulai berpisah dari batalyon dan menyebar di beberapa titik yang cukup strategis untuk menembak ke sisi benteng pemanah Clarines. Heh, boleh juga strategi mereka.

Gadis itu terlalu sibuk memainkan isi otaknya dengan segala informasi yang kini mampu ia serap dengan pemikiran yang jernih, hingga ia bahkan tidak menyadari satu eksistensi kecil di sudut hutan, membawa sebuah panah besar. Sepertinya ia bukan sekedar pemanah biasa, ia adalah seorang sniper. Pikirannya tersita untuk hal lain hingga seketika ia sadar, sebuah objek tajam telah berada beberapa meter dekatnya dengan ulu hati sang gadis.

Sebuah anak panah. Sama seperti yang beberapa waktu lalu mendarat di bawah kaki Izana. Anak panah hitam yang tipis dan tajam menakutkan.

SYUUTT–

TRANGG!

"Hampir saja," Leva hampir saja siap dengan kemungkinan terburuk jika ia mampu menghindari panah itu–kehilangan keseimbangan dan jatuh di dekat kaki para pemanah Clarines–jika saja tidak ada oknum lain yang ikut campur dan menangkis cepat anak panah itu.

"AH, Obi! Darimana saja kau?"

"Sungguh…baru beberapa menit saya meninggalkan Anda, dan lihat apa yang bisa saja terjadi, Hime-sama."

"Well, maaf sudah merepotkanmu."

Sekali lagi, Leva melirik singkat pada kegelapan hutan, sebelum bibirnya membentuk kurva ke atas.

"Setidaknya, kini aku yakin kita tidak akan kalah dari pasukan konyol itu." Dan gadis itu melompat turun, bersiap memberikan komando pada para pemanah. Meninggalkan Obi yang menelengkan kepalanya, otaknya tidak akan pernah mampu mencapai kejeniusan Leva dan segala hal yang ada dalam benak gadis itu.

.

.

.

"Izana-sama, apa yang harus kita lakukan?"

"Hmph, mereka ingin dibukakan pintu? Maka mereka siap menerima sambutan dari kita." Izana memacu kudanya agar berjalan ke frontline pasukan Clarines yang kini telah berbaris di sisi dalam kastil. Ia memberi kode pada para penjaga gerbang untuk menarik pintu berat tersebut agar terbuka. Izana perlu melihat wajah-wajah manusia yang berusaha menggulingkan kekuasaannya.

Suara mengerik akibat gesekan logam berat terdengar menyesakkan di telinga kedua belah pihak, baik pihak Clarines maupun pihak pengkhianat. Izana duduk dengan perasaan gelisah dalam hatinya, ia tidak tahu seberapa besar koloni pasukan musuh; dan ia tahu seberapa kecil pasukannya sekarang. Bukan tidak mungkin pasukan musuh berhasil menembus pertahanan kastil–dan mungkin saja mendudukinya–hingga bala bantuan dari Wistant tiba. Setidaknya Izana masih memiliki kepercayaan diri pada kemampuannya, dan pada pasukan besar yang saat ini dibawa adiknya entah kemana. Namun, melihat kondisi pasukan musuh yang masih segar dan hanya kelelahan mewujudkan pemikiran positif bahwa mereka belum bertemu pasukan hutan utara. Yah, mereka tidak bisa begitu saja meremehkan adiknya, terutama jika sudah menyangkut masalah Shirayuki.

"IZANA WISTERIA! SERAHKAN DIRIMU SEKARANG JUGA ATAU KAMI AKAN MENGGUNAKAN KEKERASAN!"

Izana mendengus–setengah kesal setengah meremehkan–mau berapa kali lagi mereka mengatakan hal ini? Mereka pikir Izana takut dengan ancaman model tempe seperti itu? Salah satu cavalier terlihat berjalan maju, membelah kerumunan massa di sisi lain gerbang, sepertinya ia adalah komandan dari pasukan menggelikan ini. Masih begitu muda dan segar, sang komandan mengenakan baju zirah perak mahal dan membawa sebilah pedang. Izana menatap wajah musuhnya dan membentuk kurva; sekali lagi ke atas.

Sekarang Izana tahu siapa biang di balik semua ini. Winscott.

"Jadi…apa maumu, Pangeran Winscott?" Izana bersua, sengaja mengeluarkan nada mengejek sehingga pemuda anak-bawang di hadapannya ini dapat dengan mudah tersulut amarahnya.

"Lama tidak berjumpa, Tuan Izana–" bahkan ia tidak repot-repot memanggil Izana dengan sebutan pangeran, dan tentunya Izana tidak mau repot-repot pula mengingat nama depan anak kecil itu.

"Apa yang kau lakukan di sini, heh? Ingin mempermalukan nama keluargamu yang sudah buruk itu?"

Winscott mengepalkan tangannya erat-erat, ia tidak tahu bahwa serangan verbal Izana mampu membuatnya sebegini emosi, "S-SIALAN KAU WISTERIA!"

Secara sepihak Winscott menarik pedangnya dan memacu kuda langsung menyerang Izana yang telah siap, amarahnya begitu memuncak, tidak pernah ia pikir bahwa Pangeran Izana yang elegan itu adalah sosok iblis berbalut sayap malaikat. Baju zirahnya yang tebal menyebabkan ayunan pedangnya yang memang buruk menjadi semakin buruk, hingga Izana tidak perlu repot-repot menarik pedangnya untuk menangkis serangan Winscott. Elakan sederhana bahkan mampu membuat pemuda Winscott itu oleng dari kedudukannya.

"AKU AKAN MEMBUNUHMU, WISTERIA! AKU AKAN MEMBUNUHMU DAN MENGEMBALIKAN MARTABAT KELUARGAKU!" Pedang diangkat tinggi-tinggi dan kudanya dipacu semakin cepat, Izana sudah bersiap mengeluarkan pedangnya–dengan pasukan dari kedua belah pihak yang hanya terdiam membiarkan kedua komandannya saling bertarung–ketika sebuah anak panah melesat menembus kulit kuda kecoklatan milik Winscott; menyebabkan sang empunya terjungkal ke belakang dan jatuh dari kudanya.

"Jangan berani-berani menyentuh Yang Mulia Izana dengan tanganmu yang kotor itu."

Di sana. Di atas benteng, di sisi paling pinggir dan paling atas. Levanthine Wisteria tengah menggenggam erat sebuah busur, dengan tangan kiri menyiagakan anak panah kedua. Helaian merah muda pucatnya yang lepek karena keringat terlihat tertiup angin–hingga hampir menutupi wajah ayunya yang kotor dan kumal. Di sampingnya, seorang pemuda bermata kucing tengah bersiul dengan bahagia tanpa dosa.

Dengan segera, archer dari pihak pemberontak menyiagakan diri dan mulai membidik sasaran; seorang gadis bodoh yang berani melukai Tuan mereka dengan anak panah dan busur tua yang sudah usang. Izana menatap Leva, berpikir betapa gilanya gadis itu menunjukkan diri dan menyulut amarah pasukan bar-bar ini. Sedangkan Leva, meskipun gesture wajah terlihat tenang dalam hati ia sungguh ingin melompat turun saat ini saja. Untungnya Obi ada di dekatnya, kehadirannya mampu menurunkan tensi ruang jantung Leva yang begitu tinggi saat ini. Tapi Leva tidaklah bodoh, dan seharusnya mereka semua tahu itu. Bukan tanpa alasan Leva membuat peruntungan untuk memanah pimpinan pemberontak itu dengan skill memanahnya yang abal-abal, bukan tanpa alasan Leva memancing amarah pasukan pemberontak untuk memandangnya. Leva tahu apa yang ia lakukan, dan gadis itu akan terus melakukannya.

Karena Leva tahu, dia ditakdirkan menjadi seorang antagonis; bukan villain–hanya antagonis.

"Kenapa kalian ragu-ragu? Tembak saja. Tidak ada gunanya kalian menembakku."

"Leva, hentikan." Izana tahu Leva tidak bodoh. Bodoh adalah kata yang sangat jauh dari seorang Levanthine Wisteria, gadis itu boleh saja ceroboh dan mudah gegabah, tapi tidak bodoh. Karena itulah, Izana tidak paham dengan apa yang dilakukan Leva sekarang. Menyulut amarah musuh bukanlah hal yang harus dilakukan dalam sebuah perang.

"Ada apa? Kenapa kalian tidak menembakku sekarang? Takut?"

"Levanthine Wisteria. Hentikan Ocehanmu."

"Pengecut." Leva menaikkan alisnya dan mengeluarkan seringai meremehkan. Bahkan kini, Obi yang tadinya cekikikan bahagia mulai kehilangan kepercayaan dirinya dan mempertanyakan kewarasan tuan putri di sandingnya ini. Bukan berarti Obi tidak percaya diri bisa menangkis panah itu, namun tidak lucu 'kan jika nanti satu atau dua panah menembus penglihatannya dan berhasil mengenai sang nona muda?

"LEVA, HENTIKAN SEKA–" Suara Izana terpotong akibat lesatan cepat sebuah anak panah panjang dan tajam yang melesat ke sisi tertinggi benteng, meleset memang, namun bukan berarti yang selanjutnya akan sama dan serupa. Bukan tidak mungkin panah selanjutnya mampu mengenai sang gadis.

Tangan-tangan bergetar para pemanah sisi Winscott kini mulai mendawai pada busur panah, melayangkan satu persatu anak panah yang tentunya dapat ditangkis oleh Obi. Obi merasa musuhnya ini bodoh, kenapa mereka menyerang satu persatu? Bukanlah kemungkinan Leva terkena panah lebih besar jika mereka menyerang secara bersamaan?

"Berhenti." Sebuah suara menginterupsi para pemanah itu melecutkan busurnya. Seorang pria, hitam dari ujung kepala hingga ujung kaki, terbalut pakaian serba hitam bahkan memakai topeng aneh yang berwarna hitam. Topengnya terlihat retak di sisi bawah sebelah kiri. Pria itu berjalan membelah kerumunan dan berdiri bersanding dengan sang bangsawan Winscott. "Yang harus kalian bidik adalah sang pangeran istana, bukan gadis bodoh yang mencoba terlihat seperti pahlawan."

Leva tertohok. Dia? Bodoh? Dan…mencoba terlihat seperti pahlawan?

Dengan segera gadis itu menoleh cepat pada Obi dan melihat buku-buku jari pria itu terkepal keras, seakan menahan sebuah emosi yang sudah begitu lama ia pendam.

"Obi? Kenapa? Tung–OBI?!" Obi melompat turun jauh ke bawah tanpa memedulikan teriakan Leva, segera ia layangkan sebuah tendangan pada pria hitam itu. Dan sialnya, pria itu berhasil mengelak.

"Yo, lama tidak berjumpa."

Obi kembali melancarkan serangan fisik seperti yang ia lakukan ketika pertama kali bertemu pria aneh ini di tengah hutan, perbedaannya, saat ini tidak ada asap yang bisa membuyarkan fokusnya–alih-alih hingga membuatnya kehilangan kesadaran–sehingga Obi mampu fokus penuh menyerang pria itu dan membuka topeng bodoh yang meliputi wajahnya. Sungguh, Obi ingin menonjok pria itu tepat di wajahnya yang tanpa topeng itu.

"Aku tidak punya waktu untuk berurusan denganmu." Pria itu terus mengelak, tanpa sekalipun balas menyerang Obi. Sama seperti sebelumnya.

"Oh ya? Tapi aku punya cukup banyak waktu untuk meladenimu."

Kali ini Obi tidak akan menyerah, apalagi di hadapan begitu banyak orang seperti ini, Obi tidak akan mau kalah. Ia cukup percaya diri dengan kemampuan berkelahi-tangan-kosong miliknya, meski ia tidak tahu seberapa kuat musuh yang kini ia hadapi. Obi mulai menendang kaki pria itu, menyebabkannya sedikit tidak seimbang, segera Obi memutar tubuhnya dan menendang perut pria itu–disambut dengan sang pria yang terdorong beberapa meter ke belakang. Merasa bahwa Obi adalah ancaman, pria berjubah hitam itu mulai menyerang Obi, melancarkan satu persatu serangan fisik yang tentunya dengan mudah mampu Obi hindari. Reflektivitas Obi lebih baik daripada kekuatan serangannya, sehingga menghindar adalah hal yang mudah untuk Obi.

Drapp–Drapp–Drapp–

"S-S-SERANGAANN! SERANGAN DARI SISI BELAKANG!" seorang prajurit terlihat berlari dengan kudanya, menginformasikan bahwa sisi belakang pasukan tengah dalam posisi diserang. Melihat hal itu, sebuah seringai hinggap di bibir Leva, seraya sebuah gumaman lolos, "Sangat tepat waktu, Zen Wisteria."

Tepat dengan terbitnya matahari di ufuk timur, pasukan Clarines telah dipastikan memenangkan taruhan ini.

.

.

.

To be continued

.

.

.

YAHOO! (dot com) –oke saya receh.

Well, as always saya tidak akan banyak bacodh karena saya tidak tahu harus berkata apa~ Mungkin chapter ini agak lebih pendek daripada chapter lainnya yah wkw, maafkan huhuu, tapi kalo ini gak diputus disini nantinya ribetz untuk chapter depan :'''

Okeylaah semoga chapter ini mampu memuaskan hasrat reader sekalian :3

Thank you karena sudah meluangkan waktu berkontribusi untuk karya abal ini /ketjup

Salam Hangat,

Nakashima Aya