Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"

.

.

.

Please Enjoy to Read!

.

.

.

CHAPTER 9 – AFTERALL

Author's POV

"O-Oy, L-L-Leva–"

"Apa yang kau lakukan, Zen?" Leva, 9 tahun, mendongak ke atas dan melihat Zen tengah gemetaran di atas sebuah dahan pohon. Gadis itu mengedipkan irisnya beberapa kali seraya memroses apa yang tengah terjadi.

"Kau tidak bisa turun?" Leva bertanya, secara acak, tanpa tahu bahwa pernyataannya adalah fakta yang ada. Zen, 10 tahun, dengan sangat sangat menahan malu menganggukkan kepalanya, raut wajahnya sudah sangat pucat saat ini. Ia tidak menyangka bahwa keisengannya memanjat pohon akan berbuah pada sebuah petaka memalukan.

"Oh…ganbatte!" dengan masih memeluk erat buku di dada, Leva kecil berjalan menjauhi Zen dan atraksi anehnya, ia tidak peduli. Oh, rasanya Zen ingin mengumpat dengan keras saat ini juga.

"T–Tunggu! LEVA! L-LEVAA!"

"Apa yang kau lakukan di sana, Zen?" Zen menoleh dan mendapati Izana berada beberapa meter di belakangnya.

"A-Aniue, bantu aku."

.

.

Realm for The Hearts

Story & OC'sNakashima Aya

Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata

[There's no profit we gain from this fanfiction]

Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.

Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC

.

.

Drapp–Drapp–Drapp–

"S-S-SERANGAANN! SERANGAN DARI SISI BELAKANG!" seorang prajurit terlihat berlari dengan kudanya, menginformasikan bahwa sisi belakang pasukan tengah dalam posisi diserang. Melihat hal itu, sebuah seringai hinggap di bibir Leva, seraya sebuah gumaman lolos, "Sangat tepat waktu, Zen Wisteria."

Leva berlari turun dari tempatnya sekarang, kedua kaki kecilnya memacu cepat agar segera sampai di sisi Pangeran Izana. Tanpa sadar ia lupa meletakkan busur dan anak panah yang tadinya ia pakai untuk menakut-nakuti musuh, sehingga bunyi 'klak-klak' yang agak aneh terus terdengar sembari diri berlari menuruni benteng. Nafasnya terengah-engah seketika ia mencapai depan gerbang, Izana meliriknya–walaupun masih saja dengan muka datar–tanpa mengatakan apapun. Namun, melihat Leva yang sepertinya sudah begitu kesusahan menarik nafas (apalagi untuk mengeluarkan kata-kata), akhirnya Izana menyerah dan menyuarakan isi pikirannya.

"Apakah itu Zen?" ekor mata melirik tipis pada individu bersurai pucat di sisi sebelah kiri kudanya, gesture berupa anggukan tertangkap indera penglihatan dan Izana tersenyum–entah senyum lega atau senyum kemenangan, Leva tidak tahu. "Jadi apa yang ingin kau lakukan sekarang, Tuan Putri?"

Leva mendengus sejenak sebelum menjawab pertanyaan Izana, "Memangnya apa lagi yang perlu kita lakukan? Mereka sudah terkepung dan tidak akan bisa melakukan apapun."

Tidak butuh waktu lama hingga pasukan Zen mampu menembus pertahanan musuh dan bergabung dengan pasukan Clarines yang berada di sisi dalam benteng kastil, terutama setelah Obi mendengar bahwa tuannya sudah datang sehingga ia bisa menggila dengan bebas. Pasukan militer musuh yang sudah kehilangan koordinasi dan arah hanya mampu panik tanpa melakukan apapun–bahkan sekedar untuk melindungi diri saja mereka kesusahan. Rasa saling tidak percaya antar personil menyebabkan mereka jatuh pada kehancurannya sendiri, itulah kesalahan membentuk pasukan dari budak-budak dan mercenary yang tidak memiliki rasa percaya. Tidak sampai satu jam dan pasukan musuh sudah mulai berhamburan, berlari dan memutuskan untuk tidak ikut campur dengan permasalahan internal kerajaan ini; mungkin jika bisa mereka akan kabur ke negeri tetangga.

"Aniue, saya kembali." Izana melirik adiknya yang kini berada di hadapannya, wajah datarnya tidak menyiratkan emosi apapun walaupun dalam hati ia merasakan kelegaan luar biasa melihat Zen tidak terluka sama sekali.

"Hmm… Bergabunglah dengan Leva."

"Baik, Aniue."

Zen memacu kudanya disusul dengan Mitsuhide yang menurunkan Shirayuki; lalu segera kembali menuju frontline untuk membantu Kiki menyelesaikan prajurit yang masih tersisa. Shirayuki berjalan mendekati Zen, berusaha sebisa mungkin menahan dirinya untuk tidak menerjang sang pangeran dalam sebuah pelukan–setidaknya tidak sekarang–sembari diri memaksakan sebuah senyuman. Shirayuki sadar, ini tidak lebih menakutkan daripada kejadian di Tanbarun, setidaknya ia diselamatkan sebelum terjadi sesuatu yang buruk.

"Shirayuki-san," Shirayuki menoleh, mendapati helaian merah muda pucat penuh tanah kotor kini menatapnya dengan senyuman simpul, "Kau baik-baik saja. Syukurlah."

"Hime-sama, anda baik-baik saja?" Leva terkejut, kenapa gadis ini menanyakan keadaannya? Leva hanya mengangguk sebagai jawaban. "Yokatta."

"Apa yang kalian lakukan?"

"Zen!" Shirayuki berlari mendekati Zen yang kini tengah turun dari kudanya, mereka membicarakan entah sesuatu yang tidak Leva dengar (dan Leva memang memilih untuk tidak mendengarkan privasi mereka), hingga Zen menepuk perlahan pundak Shirayuki sebelum berjalan ke arah Leva.

"Aku terkejut kau masih hidup, Wisteria." Zen mendengus, kapan gadis ini memiliki sisi imut sebagai seorang adik?

"Haha lucu sekali, kau juga seorang Wisteria." Setidaknya kini, mereka berdua sama-sama menahan diri untuk tidak mendebat satu sama lain karena paham situasi yang sedang mereka hadapi. Toh keduanya sendiri sebenarnya dalam hati saling memendam rasa syukur ketika melihat satu sama lain ternyata dalam keadaan baik-baik saja, bagaimanapun mereka tetap saudara serumah sedarah. Zen kembali membelakangi Leva dan berbicara dengan Shirayuki, sehingga Leva merasa berada di sini hanya akan mengganggu privasi mereka.

Gadis itu menyeret kedua kakinya untuk mendekati frontline pertarungan yang sepertinya sudah terlihat sepi–sebagian besar prajurit memilih melarikan diri–dan menyisakan bangsawan Winscott dan pria berjubah hitam yang menarik minat Obi itu. Leva mendekati Izana dan menarik bagian bawah jubahnya layaknya seorang anak kecil yang kehilangan ibunya. Izana melirik sedikit sebelum memutuskan untuk turun dari kudanya.

"Mereka tidak lari?" Leva masih mencekal jubah sang pangeran walaupun pemuda itu sudah turun dari kudanya.

"Kau pikir aku akan membiarkan mereka kabur begitu saja setelah menimbulkan semua kekacauan ini?" Leva tidak menjawab, tidak juga mengeluarkan gesture apapun sebagai jawaban resmi. Dirinya hanya membuntut di belakang Izana kemanapun sang tuan tahta Clarines berjalan. Izana menarik pedangnya dan berjalan lurus menuju dua orang pengkhianat kerajaan di dekat benteng, kini mereka tengah dibekuk oleh Mitsuhide dan Obi yang tengah bersiul bahagia sudah memenangkan pertarungan dengan si jubah hitam, tinggal menunggu waktu sampai dia bisa melepas jubah konyol itu dari wajahnya.

Izana mengarahkan pedang panjangnya pada wajah tampan sang bangsawan muda Winscott, menaikkan dagunya dengan ujung pedang yang tajam. "Apa yang kau inginkan, Winscott?"

Winscott menaikkan alisnya sebelah sembari berujar, "Memangnya kau ingin aku melakukan apa?"

Oh sungguh Leva ingin menampar pemuda kurang ajar ini sekarang juga, masih anak bawang saja sudah berani seperti itu. Bayangkan jika ia dibiarkan bebas dan menjadi pria dewasa kurang ajar, mungkin tahta Clarines bisa berpindah tangan dari keluarga Wisteria ke keluarga Winscott. Oh tidak tidak, bahkan Leva tidak berani membayangkannya. Walaupun Leva tidak menyukai kehidupan formalitas kastil, bukan berarti gadis itu membenci statusnya sebagai seorang Tuan Puteri.

Iris beningnya kembali berpendar pada sosok Izana yang entah kenapa tidak bergeming sedikitpun, tidak menyiratkan emosi apapun, baik kesal maupun marah. Gadis itu menelan ludahnya, merasakan rasa tercekat pada tenggorokan karena efek nervous yang cukup berlebihan. Leva tidak pernah suka melihat Izana dalam keadaan seperti ini, Izana yang tidak terlihat marah adalah Izana yang paling mengerikan.

"Kau ingin aku melakukan apa agar kau mau bicara hah?" Izana mengeratkan pegangannya pada pedang dalam genggaman, menyadari dengan penuh bahwa ujung tajamnya mulai menggores kulit bagian luar leher Winscott.

"I-Izana-sama…kau menyakitinya…" Leva mencicit, tidak berani menyuarakan secara penuh isi hatinya; walaupun begitu Izana tetap mampu mendengar perkataan Leva.

Izana menarik pedangnya dan berjalan pada pria berjubah yang kini berada dalam kuncian Obi (yang tentunya masih tertawa bahagia akan kemenangannya). Netranya menohok tajam pada partner in crime sang pemuda Winscott, siapa juga pria bodoh yang mau bersekutu dengan bangsawan–yang sama–bodoh itu?

Leva tidak tahu kenapa, tapi Leva justru merasa lebih kesal pada pria hitam ini daripada pada si Winscott itu. Pria ini…seakan orang yang menyulut perpecahan, dan Winscott hanyalah pion penting dalam permainannya, dan Leva tidak pernah salah dalam menebak peran seseorang dalam suatu permainan peran kastil (drama yang biasa diadakan di Wistant). Sehingga Leva merasa pria ini berbahaya, lebih daripada satu pasukan besar musuh.

"Pengecut," tanpa sadar bibirnya bersua, mengeluarkan isi hati dalam sebuah perkataan lugas dan jelas. Menyebabkan Izana dan Obi terdiam menatap iris bening yang kini tertutupi helaian pucat itu–tanpa mampu membaca ekspresi yang terlukis pada wajah ayunya.

Izana kembali memutar kepalanya menghadap pria tinggi berjubah hitam itu, walaupun sudah berkelahi sedemikian rupa dengan Obi, tidak terdapat luka yang begitu kentara. Sepertinya ia menyerah hanya karena pasukannya sudah hilang. "Buka topengnya."

Merasa mendapat perintah, Obi mulai menarik salah satu tangannya yang tidak terlalu berperan mengunci pergerakan sang pria hitam. Namun seketika jari-jemari menyentuh permukaan dingin topeng logam tersebut, sang pria berjubah langsung memutar tubuhnya dan melepaskan diri dari kuncian Obi. Obi terkejut sejenak sebelum mengeluarkan bunyi siulan, well wajar saja, Obi tidak berpikir pria itu semudah ini untuk ditaklukkan. Tanpa menunggu apapun Obi kembali mulai menyerang pria itu–yang kelihatannya sudah kesal meladeni sang pengantar pesan Clarines–Izana kembali menyarungkan pedangnya dan mundur beberapa langkah, tidak mau ikut terbawa arus pertarungan Obi yang bar-bar dan tidak keruan.

Tidak butuh waktu lama hingga Izana berhasil mengumpulkan beberapa prajurit yang mulai mengerubung pertarungan Obi dan si pria jubah hitam, menyempitkan ruang gerak musuh dan memberi support pada Obi. Sedikit demi sedikit musuh semakin kehilangan ruang gerak dan mulai kesusahan menangani Obi yang begitu cepat dan lincah. Obi mulai menyeleksi tiap gerak dan serangannya, memfokuskan power pada bagian wajah sang pria hitam, karena sesuai perintah Yang Mulia Izana; tidak penting melukainya yang penting buka topengnya. Toh Obi sendiri sudah gatal untuk mengetahui struktur wajah di balik topeng karatan itu.

Kratakk–

Trangg–

Dalam satu tendangan keras, Obi berhasil mendepak keras wajah pria itu–menyebabkan retakan besar yang berujung pada lepasnya topeng dari wajah sang pria berjubah–seringai kemenangan terlukis di bibir seraya kedua tangan mendekap di depan dada. Sang pria berjubah hitam bahkan tidak repot-repot menutupi wajahnya yang setengah tertutupi luka bakar, terlihat masih baru dan menyakitkan, tetesan darah juga mengalir tipis dari sudut bibirnya. Kedua netra kecoklatan miliknya menohok tajam pada sosok pengantar pesan Clarines yang kini tengah melempar senyum ejekan pada sang pria.

BRUKK–

"T–Tidak mungkin–" Leva terjatuh, menggores kedua lututnya dengan tanah kasar hingga terbentuk luka ringan di sana, arah pandangnya menatap lurus pada tanah di bawah pijakan, tidak berani menatap langsung sosok beberapa meter jauh darinya. Bibirnya bergetar hebat sebelum meneruskan perkataannya yang terhenti, "P-Pengkhianat,"

"Hime-sama?" Obi menapaki jalannya kedua kaki menuju sang gadis yang entah kenapa terlihat menahan emosi di balik kerapuhan dirinya. Obi bisa melihat wajahnya yang membiru sekaligus memerah dalam waktu yang bersamaan, seakan menahan rasa marah dan takut dalam satu waktu.

"S-Sam–Kau…pengkhianat! Pembohong!"

Fajar telah terbit ketika Obi menangkap sosok Tuan Putri Clarines yang kini tergeletak lemah tak sadarkan diri.

.

.

.

Suasana kastil Wistal tidaklah tenang, tidak juga ramai. Mungkin sibuk dan riuh adalah kata yang tepat. Sudah tiga hari semenjak klimaks terror pembakaran hutan dan konflik Winscott itu. Winscott berhasil ditangkap, sementara sang pria jubah hitam–Sam sang pengawal–berhasil kabur setelah memberi luka yang cukup signifikan pada Obi. Memang benar perkiraan Obi, pria itu memiliki skill bertarung yang luar biasa, dan selama ini ia menyembunyikannya.

"Pastikan kau mengecek keadaannya jika kau pergi menemui Shirayuki."

"Baik, aniue."

Zen berjalan keluar dari singgasana Izana–yang kini begitu sibuk–dengan benak yang masih kacau tak karuan. Helaan nafas yang kesekian kalinya untuk hari ini keluar dari bibir diikuti erangan lembut tanda frustasi. Tangan kirinya bergerak mengacak helaian silver miliknya seraya kedua kaki memaksa diri untuk berjalan menjauhi singgasana Pangeran Izana. Keadaan istana yang kacau, laporan dan tugas tulis yang menumpuk, kesibukan klinik istana dengan banyaknya prajurit yang terluka, belum lagi Leva. Zen tidak tahu harus melakukan apa lagi pada Leva, keterkejutan yang dialaminya pasti begitu luar biasa, sebuah shock yang terlalu keras bagi diri gadis rapuh itu, menyebabkannya berada dalam kondisi seperti sekarang ini.

Sudah 3 hari dan masih belum ada perubahan dalam kondisi Leva.

Helaian Zen sudah tak karuan lagi ketika ia mencapai ruang kerjanya. Kedua netra melirik Mitsuhide yang sibuk berkeringat di mejanya, dan meja Kiki yang kosong. Mereka berdua bahkan tidak punya waktu untuk sekadar mengawalnya menuju ruangan Izana. Mitsuhide sudah dilimpahi dengan beberapa tugas Zen dalam hal tulis-menulis yang Zen tidak akan mampu kerjakan sendiri, sedangkan Kiki harus mengambil komando utama pasukan karena Zen yang harus absen sementara dari komando utama. Dan Obi, sebagai pengantar pesan pribadi Pangeran Zen juga harus bolak-balik-pulang-pergi-kesana-kemari untuk mengirimkan berbagai pesan dan warta. Shirayuki tentu saja tidak bisa diganggu sama sekali, bahkan Zen tidak berani menengok ke klinik istana kecuali ada panggilan tertentu.

Ahh, Zen rindu berbicara santai dengan Shirayuki.

"Zen? Apa yang kau lakukan berdiri di depan pintu seperti itu?" Zen secara reflek berdehem dan segera berjalan menuju meja kerjanya. Hari ini akan menjadi hari yang cukup panjang, dan membosankan, dan melelahkan, dan… dan… sudahlah Zen tidak mau mengeluh lagi.

.

.

.

Obi melompat turun dari pohon di sisi pinggir kastil, seperti biasa pemuda itu malas keluar-masuk melewati gerbang depan sehingga ia memilih melompati dinding untuk menjalankan tugasnya. Baru saja ia selesai mengirimkan pesan kepada Marquess Charnz di kota sebelah dan Obi merasa agak lelah. Beberapa hari ini ia sungguh bekerja ekstra lebih daripada biasanya (ia juga sadar bukan hanya dirinya yang bekerja keras), dan kesibukan ini sungguh membuatnya jenuh. Ia tidak bisa membayangkan perasaan tuannya sekarang, sudah berapa lama Obi tidak melihat Zen dan Shirayuki bersama?

Kedua tangan ia silangkan di belakang kepala, kedua kaki berjalan lambat–yang sebenarnya terlihat cepat–dan konstan menuju sebuah bangunan khusus di salah satu sudut kastil Wistal. Pikirannya melayang pada fajar tiga hari yang lalu, bukan, bahkan pada hari-hari sebelum itu. Beberapa memori berkelebat asing pada benak sang pengantar pesan kala kedua kaki menapaki jalannya menuju arah tujuan. Konsentrasinya mengenang memori terganggu seketika suara kepakan sayap dan sebuah obyek bergerak melewatinya dalam satu gerakan cepat.

'Oh, burung itu.' Burung yang sama yang memberitahukan keberadaan Shirayuki saat tragedi bajak laut Tanbarun.

Tak sadar, kedua kakinya telah mencapai sebuah jendela spesifik di sebuah bangunan spesifik pula, kedua tangannya terulur membuka jendela besar berbingkai putih tersebut dan melompat ke dalam ruangan; lalu memutuskan untuk duduk di sisi bingkai jendela daripada masuk lebih dalam. Seberkas senyum tipis dan samar merayap menarik bibirnya dalam sebuah kurva simpul ketika kedua netra tajam miliknya menangkap sosok seorang gadis dengan wajah yang kelewat luar biasa cantik tengah terlelap di ranjang salah satu bilik perawatan klinik istana.

Obi menahan dirinya untuk tidak mendekat dan mengguncang tubuh gadis itu keras-keras agar ia terbangun. Pemuda itu muak, kesal, lelah, dan juga merasa bersalah. Rasa bersalah yang begitu besar yang menyebabkannya tidak berani mengambil langkah lebih dekat pada sang gadis.

"Hime-sama, bangunlah." Lirih. Lirih dan sendu. Seakan hal itu adalah permohonan sekali seumur hidup yang benar-benar ia inginkan. Seakan ia meminta keajaiban memberikan sentuhannya pada permohonan kecil miliknya.

Kedua irisnya tidak beralih barang sedetikpun dari obyek amatan, lambat laun senyumnya mulai meredam menjadi sebuah rasa bersalah yang meradang jauh dalam batinnya. Apakah tiga hari tidak cukup untuk tidur dan terlelap? Apakah beban dalam benaknya sebesar itu sehingga ia memutuskan untuk tidak terjaga? Bahkan kini, Obi mulai berpikir bahwa bagaimana jika gadis itu tidak akan terbangun lebih lama lagi atau bahkan…selamanya?

"L-Leva…Kumohon...A-Aku mer–"

Cklak–

Segera Obi berdiri dari posisi duduknya dan bersiap untuk melompat keluar ketika ia melihat helaian merah familiar yang kini memasuki ruangan.

"Ah! Obi!" Shirayuki menutup kembali pintu berbahan kayu di belakang tubuhnya secara perlahan–seakan takut mengganggu individu yang ada di dalamnya–tangan kanan membawa sebuah kotak berukuran sedang. Gadis itu berjalan perlahan menuju pasiennya, menyeka keringat pada leher dan dahi Leva lalu segera mengeluarkan beberapa obyek yang tidak Obi mengerti.

"Haruskah aku pergi dulu, Ojou-san?" satu kaki Obi sudah menggantung di luar jendela walaupun tubuhnya masih berada dalam ruangan. Cengiran khasnya tampak di wajah, demi menyembunyikan keresahan hati yang membuat Obi ingin rehat saja dari pekerjaan ini.

"Kau rajin sekali mengunjunginya ya, Obi." Sudah berapa kali gadis itu mendapati Obi berada di sini? Shirayuki masih sibuk meracik sesuatu dari dalam kotaknya, tidak melirik Obi barang sedikitpun, Obi hanya tersenyum tanpa memberikan jawaban yang berarti. "Bahkan Zen belum kemari sejak 3 hari yang lalu."

Aah…Obi paham. Tentu saja Shirayuki merindukan Zen, dan sangat wajar bagi masternya itu jika ia tidak punya waktu hanya untuk melakukan kunjungan suka-suka menuju klinik istana. Sekali lagi, Obi merasa dadanya berdegup menyakitkan, menambah rasa tidak menyenangkan dalam dirinya.

"Bahkan Ryuu dan Kepala farmasi tidak tahu kenapa Hime-sama tidak terbangun dari komanya. Yang bisa kita lakukan hanyalah memberinya kenyamanan dari luar." Obi yang tidak tahu-menahu mengenai obat dan penyakit, bahkan tahu jika tidak ada yang salah dalam diri Leva. Wajahnya masih berseri, bibirnya merah, dan kedua pipi tirusnya merona. Tidak ada yang salah dengan tubuhnya, sama sekali tidak ada.

Sedikit demi sedikit senyumnya meredup, keheningan dalam ruangan tidak mampu memperbaiki rasa tidak tenang di hatinya sehingga Obi memutuskan untuk pergi saja dari ruangan itu, bahkan tanpa mengatakan apapun pada Shirayuki. Pemuda itu melompat keluar melalui jendela berbingkai kayu mahoni dalam satu lompatan kuat, segera setelah kedua kakinya kembali menapak tanah ia tidak menunggu begitu lama untuk segera beranjak dari tempat itu dan pergi menghibur diri. Ia sedang tidak ingin kembali ke ruangannya ataupun pergi ke ruangan Zen–karena Obi yakin tidak tahan melihat tuannya itu begitu sibuk dan frustasi–sehingga ia memutuskan untuk pergi keluar dinding kastil.

Suasana malam di sisi pinggiran kota tua kastil terlihat ramai, tidak seperti bagian lain istana yang memilih untuk kehilangan keramaiannya di jam-jam selarut ini. Seperti biasa, Obi memutuskan untuk mampir di salah satu barak makan dunia bawah, tempat yang sama seperti yang ia datangi beberapa pekan lalu. Masih ramai dan riuh, seperti biasanya, seakan tidak terpengaruh dengan kericuhan kastil kala itu. Sebuah gelas kayu besar berisi anggur murahan tersaji di hadapannya, bibirnya mengulum dengan sendirinya seraya kedua netra berpendar dari sana ke sini. Mendadak Obi mengingat sesuatu. Seorang gadis–yang hanya ia ketahui suaranya.

"–oh ya? Lalu kaupikir aku akan meninggalkan mereka di sana, tanpa memberi bantuan apa-apa? Mereka terjebak masalah, Sam."

"Ssstt, tolong pelankan suara anda–"

Oh.

Oh. Oh. Oh

Obi tertawa, dengan sedikit tertahan mengingat dimana ia berada sekarang. Jadi sebenarnya sebelum di kastil kala itu, Obi sudah menemui Leva. Di sini, di tempat kotor ini. Sungguh kurang gila apa lagi gadis itu? Seorang putri, berjalan-jalan di barak makan dunia bawah? Baru kali ini Obi mendengarnya. Dan sekali lagi, tawa berhasil lolos dari bibir sang pengantar pesan pangeran kedua kerajaan Clarines.

"Apa yang kau tertawakan anak muda?"

Sekali lagi, Obi menoleh. Dan mendapati seorang pria tua, berseragam dewan pelabuhan yang tertutupi jubah abu-abu kumuh.

"Yo, lama tidak berjumpa, paman!"

.

.

.

Shirayuki mengeluarkan sebuah helaan nafas panjang seraya menyeka keringat di dahi dan lehernya. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaan terakhirnya malam ini, dan membayangkan dirinya bisa segera tidur sebentar lagi menumbuhkan rasa bahagia dalam dirinya. Sekali lagi, gadis bersurai kemerahan itu menyorotkan pandangan pada rak buku di hadapannya dan mengangguk.

"Yosh, sudah beres semua."

Shirayuki menyambar buku tebal di sisi sebelahnya dan segera beranjak keluar dari ruang arsip. Gadis itu berusaha menutup pintu secara perlahan agar tidak menimbulkan derit yang tidak berguna dan juga menguncinya, dengan sama perlahannya. Setelah memastikan semua telah selesai, Shirayuki mulai memutar tubuhnya dan berjalan menuju ruang tidurnya, sebelum sebuah pemikiran terbesit dalam otaknya.

"Sebaiknya aku mengecek Hime-sama lebih dulu."

Shirayuki memutar haluannya dan berjalan berlawanan arah dari tujuan awal, melewati lorong-lorong sepi klinik istana yang sudah habis jam kerjanya. Kedua kakinya melangkah cepat dan konstan menuju bilik penyembuhan yang ditempati Leva, masih sambil mendekap buku herbologi di depan dada.

Cklak–

"Hime-sama, aku masuk."

Pintu terbuka begitu perlahan, ruangan yang begitu gelap tidak membantu Shirayuki untuk memperjelas pandangan, sehingga ia memutuskan untuk berjalan agak jauh dari pintu menuju saklar lampu. Segera setelah cahaya lampu merebak memenuhi ruangan, gadis itu memutar pintunya menghadap lebarnya ruangan itu. Tanpa disadari, pupil mata Shirayuki membesar karenanya,

"H-Hime-sama?"

–yang ia temukan hanyalah sebuah jendela kayu yang terbuka dengan tirai putih tertiup angin, dan sebuah ranjang kusut yang kosong. Tanpa ada tanda-tanda kehadiran manusia di sana.

.

.

.

To be continued

.

.

.

HOLAA!

Ini chapter agak lumayan panjang yah dibanding chapter sebelumnya wkw, yah sebelumnya emang agak un-mood sih ngetik. Tapi hamdalah sekarang mood Aya kembali cihuyy /tebar confetti/

Yahh, seperti yang kalian tahu, Obi kan suka yah sama si Shirayuki, dan Aya gak bisa ngubah itu gitu aja. Karena secara gak langsung mereka canon (walopun Aya shipper Zen/Shirayuki), maka akan ada beberapa momen Obi/Shirayuki yang harus dituliskan di fanfiksi ini huhu-

Well, afterall, pair di fanfiksi ini tidak akan berubah kok, dan Aya juga sebisa mungkin akan tetap pada jalur agar tidak menyelewengkan pair luar biasa yang sudah diciptakan Akizuki Sorata-sensei /bungkuk badan/

Intinya, Aya berterima kasih pada semuaaaa yang sudah membaca fanfiksi ini!

Review dan follow akan selalu dinanti kok :''3

Salam Hangat,

Nakashima Aya