Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"
.
.
.
Please Enjoy to Read!
.
.
.
CHAPTER 10 – LEVANTHINE
Author's POV
BRAKK–
Shirayuki menggebrak keras pintu ruang kerja Zen, menyebabkan ketiga petinggi komando militer istana dibuat terkejut olehnya. Tangan kanannya memegang dada sementara diri mencoba mengatur nafasnya yang begitu tersengal-sengal. Rasa lelah menyerang gadis beriris magenta itu dalam satu kegiatan cepat.
"Shirayuki? Ada apa?" Zen harus menyembunyikan rasa senangnya melihat wajah Shirayuki, sementara ia menampilkan ekspresi khawatir, pasti ada sesuatu yang terjadi hingga Shirayuki kemari dalam keadaan seperti itu. Sesuatu yang tidak main-main.
Zen berdiri dari meja kerjanya, dan berjalan menuju Shirayuki. Tangan kanannya menyentuh bahu sang gadis seraya memberi pegangan padanya.
"Z-Zen…Hhh….Hhh…H-Hime-Sama." Kedua netra Zen menyipit, menunggu kelanjutan kalimat Shirayuki yang terpotong akibat deru nafasnya yang tidak beraturan.
"H-Hime-sama…tidak ada di ruangannya."
.
.
Realm for The Hearts
Story & OC'sNakashima Aya
Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata
[There's no profit we gain from this fanfiction]
Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.
Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC
.
.
Belum selesai berbicara dengan pria tua yang sudah banyak memberi informasi padanya itu, Obi sudah harus kembali ke istana, Zen membutuhkannya. Dan Obi berani bersumpah ia hampir saja jantungan ketika mendengar bahwa Leva–yang baru beberapa jam lalu ia besuk dalam keadaan layaknya putri tidur–kini menghilang dari ruangannya. Tidak akan ada masalah jika Leva menghilang ketika ia dalam keadaan sadar, namun bagaimana jika ada seseorang yang menculiknya? Membawanya pergi dari ruang lingkup perlindungan istana? Bagaimana jika yang membawanya pergi adalah si Sam laknat itu? Obi bisa gila memikirkan kemungkinan buruk seperti itu.
Sekarang sudah memasuki waktu malam, dan bulan sedang dalam keadaan paling terang dalam siklusnya. Namun, seisi kastil justru berada dalam keadaan kacau, terutama setelah Izana mendengar Leva menghilang. Ingin sekali Izana mengumpat tentang segala hal yang tengah terjadi, jika saja ia tidak mengingat posisinya di tempat ini. Jubah tidurnya kini tertutupi jubah tebal musim dingin berbulu alpaca, dan alas kaki tidurnya juga harus berganti menjadi sepatu resmi. Mungkin Izana tidak harus keluar dari ruangannya, namun sudah berapa prajurit yang datang kemari beberapa waktu ke belakang ini? Belum lagi jika nanti Zen kemari. Ia perlu bicara dengan bocah itu. Bagaimana mungkin Zen membiarkan Leva tanpa penjagaan seperti itu?
Di sisi lain, Zen tengah memegangi pangkal hidungnya dengan cemas, benaknya benar-benar tidak menemukan titik ketenangan, belum lagi ia tidak tahu seberapa murka kakak laki-lakinya itu mendapati Leva tengah tidak ada di dalam bilik pengobatannya. Tanpa memedulikan tumpukan kertas dan berkas yang belum tersentuh di atas mejanya itu, Zen menyahut jubah musim dingin miliknya dan berjalan keluar dari ruang pribadi sang pangeran kedua tahta kerajaan Clarines. Mitsuhide dan Kiki sudah lebih dulu meninggalkan pekerjaannya seketika kabar hilangnya Leva terdengar dari bibir Shirayuki. Zen tidak ambil pusing menutup ruang kerjanya, ia hanya berjalan semakin cepat menjauh dari ruangan tersebut menuju ruangan Pangeran Izana–dengan degupan hati yang tak kalah mendebarkan.
"Aruji." Zen bisa bersumpah ia hampir jantungan ketika mendengar suara di belakangnya, wajah tampannya menyiratkan ketakutan yang ia tutupi dengan ekspresi marah pada eksistensi di belakang tubuhnya–kini di hadapannya.
"Kemana saja kau, Obi?" nada malas keluar dari bibir Zen seraya pemuda itu memutar tubuhnya agar menghadap tepat pada Obi yang baru saja melompat turun dari pohon terdekat.
"Jadi kemana perginya Hime-sama?" bukannya menjawab pertanyaan Zen, Obi memilih untuk segera menyelesaikan masalah ini dan pergi tidur, mendadak ia merasa agak lelah.
"Jika aku tahu dimana gadis bodoh itu berada aku tidak akan memerlukanmu." Zen kembali berbalik dan bersiap untuk meneruskan perjalanan menegangkannya menuju ruang pribadi Pangeran Izana sebelum sebuah kalimat singkat lolos dari bibirnya. "Obi, Temukan dia."
"As your wish, master."
.
.
.
Obi tidak paham. Sangat sangat tidak paham.
Tidak ada tanda-tanda penculikan apapun selain ranjang yang berantakan dan jendela kaca yang terbuka; jendela yang sama dengan jendela tempat Obi melompat masuk menuju ruangan sang tuan puteri. Semakin Obi berpikir semakin pemuda itu tidak mampu memahami siapapun yang sudah menculik gadis ini; mungkin pelakunya terlalu cerdik sehingga tidak meninggalkan jejak apapun, padahal Obi merasa dirinya cukup pandai melacak jejak.
Namun kali ini? Nihil. Tidak ada petunjuk apapun. Dan hal itu cukup membuat Obi frustasi, tatkala yang dipertaruhkan adalah seseorang yang cukup berpengaruh dalam hidupnya–dan dalam hidup beberapa orang lainnya.
Obi berjalan keluar dari ruangan itu, memilih untuk keluar melewati pintu daripada melompati jendela seperti ketika ia masuk. Lorong malam klinik istana begitu sepi, hanya ada beberapa cahaya yang menyeruak keluar dari bawah pintu tiap bilik, tanpa ada satupun penerangan yang pasti di sepanjang lorong. Sesekali Obi mendapati sinar rembulan yang memaksa masuk melalui jendela tertutup klinik istana, seraya dirinya berjalan semakin cepat–dan tentunya tanpa suara–menyusuri lorong. Ia harus segera menemukan Leva atau Zen akan memarahinya habis-habisan nanti. Pemuda itu masih saja hanyut dalam pemikirannya tanpa menyadari ia telah mencapai tikungan sempit menuju lobi utama.
"A-AAH–" Hampir saja. Hampir saja Obi mengeluarkan senjatanya jika ia tidak melihat siapa sosok yang baru saja menabraknya–bukan lebih tepatnya ditabraknya.
"Obi?/Ojou-san?" Obi menggaruk perlahan bagian belakang lehernya sembari menyembunyikan emosi yang tengah berkecimpung dalam dirinya dalam sebuah seringai jenaka. Shirayuki menghembuskan nafasnya sejenak, kotak yang sama dengan yang Obi lihat tadi siang masih ada dalam dekapannya. Obi bisa melihat rasa lelah yang terlukis dalam urat wajah sang pharmacist istana, sudah pasti Shirayuki ikut dalam huru-hara hilangnya tuan puteri ini, bisa terlihat jika Shirayuki tidak diam di tempat seperti yang seorang pharmacist seharusnya lakukan, pasti gadis itu ikut berkeliling mencari Leva.
Oh sungguh jika Obi menemukannya nanti, ia akan memakinya dalam diam. Ini tidak seperti Obi punya cukup nyali untuk merutuki seorang tuan puteri tepat di depan wajahnya. Obi masih butuh pekerjaan di istana ini.
"Apa yang kau lakukan di sini, Obi?" Shirayuki menelengkan kepalanya beberapa centi sembari melontarkan pertanyaan, deru nafasnya masih belum mencapai kata stabil, namun gadis itu tidak terlalu memerdulikan hal itu.
"Ahahaha, aku hanya mencoba mencari…umm…sedikit petunjuk. Sampai bertemu lagi, Ojou-san!" Obi tidak buang waktu dengan berbincang santai bersama Shirayuki, segera ia berlari kecil keluar dari klinik istana seraya tangan kanan melambai santai membelakangi Shirayuki.
Shirayuki mengedipkan matanya beberapa kali. Niatnya untuk mengecek ruangan Leva bubar sudah. Obi berlari dari arah yang sama dengan arah ruang perawatan Leva akhir-akhir ini, bisa dipastikan bahwa eksistensi yang diharapkan tidak ada di sana. Helaan nafas lolos dari bibir sang gadis belia, helaian merah apelnya terlihat lepek akibat dari keringat yang terus membanjiri bingkai wajah ayu miliknya. Kotak kayu masih ada dalam dekapan, diri tengah dirundung kebimbangan harus kemana saat ini.
"Kemana ya…Hime-sama pergi?" kedua kakinya berjalan lemas menjauhi klinik istana, kedua tangannya sibuk menahan kotak kayu agar tidak jatuh dari tempatnya. Shirayuki tidak terlalu mengenal Leva, padahal dia adalah sepupu Zen, dan jujur saja Shirayuki tidak bisa memotret dirinya untuk dekat dengan sang tuan puteri. Status sosial mereka terlampau jauh, belum lagi dengan sifat keduanya yang saling bertolak belakang. Tapi bisa Shirayuki rasakan dalam dirinya jika ia merasa khawatir, khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada gadis belia itu. Mungkin saja ia khawatir karena gadis yang dalam masalah ini adalah orang yang berharga bagi Zen, tapi Shirayuki sadar, jauh di dalam hatinya ia ingin mengenal Leva lebih jauh. Tidak mudah bagi Shirayuki untuk menemukan teman perempuan di kastil ini, Kiki bukanlah pilihan karena dia juga adalah seorang kesatria.
Gadis itu kini tak tahu lagi harus mencari kemana, sehingga ia mengizinkan kedua kakinya untuk berjalan tanpa arah yang pasti. Semilir angin malam sesekali melayangkan helaian merah yang membingkai sisi kanan-kiri wajah ayunya, kendati netra hijau miliknya menatap lurus bukannya pada jajaran rumput dalam jalur berjalannya; namun pada terangnya bulan pada malam-malam awal musim semi ini. Bulan dalam jangkauan pandang tengah berbentuk bulat sempurna tanpa cela, tidak seharusnya menemani malam-malam kastil yang ribut seperti ini. Tanpa Shirayuki sadari, gadis itu terlalu terbuai dengan keadaan sekitarnya tanpa menyadari kemana ia kini berjalan.
"–why people being so ugly to hide their heart behind their pride."
Nafas sendu angin musim semi membantu Shirayuki menangkap senandung lemah dari sisi sebelah kanan tubuhnya, jauh lebih dalam memasuki taman kastil yang dipenuhi ribuan kunang-kunang.
"–smile maybe isn't the way out, but people encore towards each another thorough the sound of their heart–"
Langkahnya semakin melambat seraya senandung yang menginterupsi fungsi gendang telinganya semakin keras terdengar, kotak kayu terdekap erat di depan dada, dan bibirnya mengatup kuat semakin dekatnya menuju asal suara.
"–now tell me who is the girl that standing right in front of the choir voice, stand there rightfully alone towards her own unachieved drea–"
KRAKK–
Senandung tersebut berhenti seketika terinterupsi suara retakan ranting, menyebabkan sang asal suara menoleh tajam–mengabaikan rasa sakit pada sekujur tubuhnya–dan mendapati sepasang iris hijau mempesona menatapnya erat, seakan gadis itu akan menghilang jika pemilik iris itu mengalihkan penglihatannya barang satu detik saja.
"Shirayuki-san."
"Hime-sama!" Shirayuki berlari kecil menuju sang tuan puteri yang kini terduduk memeluk lutut di salah satu sudut air mancur batu yang terlihat usang itu. Tidak ada setetes airpun yang terlihat di sana, entah karena efek musim dingin atau karena memang sudah tidak pernah digunakan.
"Semua orang mencarimu, Hime-sama." Shirayuki berhenti tepat di sisi samping gadis itu, sekali lagi ia harus mengatur nafasnya untuk menyesuaikan deru nafas dan detak jantungnya yang tidak stabil.
"Ah, gomenasai." Shirayuki terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia tidak tahu bahwa memulai sebuah percakapan dengan seseorang akan sesusah ini. Kedua netranya melirik gadis di sebelahnya, mengagumi keanggunan dan kecantikannya yang khas darah Wisteria. Dengan kulit putih susu, bibir tipis, dan helaian merah muda pucat yang hanya dibalut sebuah gaun tidur sederhana tanpa lengan. Shirayuki bisa melihat nafas gadis itu yang berubah menjadi embun udara, tanda bahwa rasa dingin menggerogoti gadis itu.
'Dia kedinginan.' Shirayuki merasa begitu bodoh karena baru menyadarinya. Dengan segera ia membuka kotak kayu di dekapannya dan mengambil selimut tipis yang ia lipat kecil di dalamnya. Dengan gerakan cepat, Shirayuki menyampirkan selimut tersebut di kedua bahu kecil Leva, menyebabkan sang empunya iris abu-abu terkejut dan menatapnya penuh tanda tanya.
"Anda kedinginan, Hime-sama. Haruskah kita kembali ke kamar? Aku akan membuatkan sup dan susu untuk anda." Shirayuki meraih kedua tangan Leva yang terasa dingin membeku sembari memberikan senyum terbaiknya.
Leva tersenyum sejenak, tipis dan lembut, lalu mengangguk.
.
.
.
Shirayuki meletakkan sebuah nampan berisi sup dan susu, serta satu sendok madu, di atas meja samping ranjang klinik. Ia menarik beberapa helai rambutnya hingga ke belakang telinga dan duduk di sebelah Leva yang kini mendekap gitarnya–tanpa memainkan alat musik tersebut. Kedua netranya memandang semu pada titik yang tidak diketahui dan mungkin tidak akan dipahami Shirayuki.
"Douzo," Shirayuki merapikan bagian belakang rok seragam kerjanya lalu duduk tepat di samping Leva. Leva berkedip sejenak–merasa terkejut karena terbangun dari lamunannya–sebelum mengambil mangkuk berisi sup dan berusaha menyerap kehangatan yang tersalurkan pada kedua telapak tangannya. Senyum terlukiskan di wajah ayu puteri pertama kerajaan Clarines itu. Shirayuki tidak tahan melihat gadis itu menampilkan senyum sendu hanya untuk menutupi segala hal yang berkecamuk dalam benaknya. Mungkin hal ini karena Zen menganggap Leva sebagai adiknya, sehingga secara tidak langsung Shirayuki sendiri menganggap gadis belia itu sebagai eksistensi seorang bocah yang ingin ia lindungi. Shirayuki sendiri tidak terlalu mengerti secara detil mengenai kejadian kemarin malam yang berhubungan dengan kaburnya salah satu pelaku utama pemberontakan kemarin, yang menurut gosip yang beredar ada hubungannya dengan keadaan koma sang tuan puteri selama tiga hari lamanya.
"Oishii." Shirayuki tersenyum. Merasa bersyukur karena hal kecil yang ia lakukan mampu menyebabkan kelegaan tersendiri pada diri Leva. Secara tidak sadar, ia menarik tangan kanannya dan menepuk puncak kepala Leva dengan gesture ramah seperti yang selalu ia lakukan pada anak-anak Tanbarun yang datang ke kliniknya–menyebabkan sang pemilik surai merah muda pucat menjadi terkejut dan menatapnya dengan kedua netra yang membelalak.
"Anak baik…Anak baik…"
Butuh waktu beberapa detik sebelum Shirayuki menyadari perbuatannya dan buru-buru ia tarik tangannya yang nakal itu dengan wajah memerah.
"A-A-Ahh… G-Gomenasai, Hime-sama! I-Ini kebiasanku saat di Tanbarun. A-Aku terbiasa m-melakukannya pada anak-anak yang datang ke klinik. A-Ah, hontouni gomenasai, Hime-sama!"
Leva berkedip beberapa kali. Bukan berarti ia membenci perilaku Shirayuki padanya, jika boleh jujur Leva terkejut, tapi ia menyukainya. Rasanya sama seperti ketika kakaknya dulu memujinya jika ia mendapat nilai yang lebih baik daripada Zen di royal school. Leva tidak menyadari jika guratan merah yang menandakan rasa nyaman kini terlukis dengan jelas di kedua pipinya yang kelewat tirus–entah yang asalnya dari sup yang ia makan atau dari perlakuan Shirayuki–walaupun ia tidak mengeluarkan satu katapun untuk menanggapi perbuatan Shirayuki.
Namun, akhirnya Leva mengeluarkan sebuah tawa.
"Padahal aku tidak semuda itu Shirayuki-san ahahaha. Aku hanya berjarak satu tahun dari Zen."
"E-Eh? Benarkah? Aku juga hanya berjarak satu tahun lebih muda dari Zen."
"USO! Berarti kita seumuran?!" Leva tidak sadar bahwa menemukan teman yang seusia akan menyebabkannya segirang ini.
Tawa lepas dari kedua belah pihak dengan satu keinginan yang sama, yaitu lebih akrab dengan gadis yang ada di hadapannya. Tanpa mereka sadari dua orang pemuda tengah berdiri di balik pintu kayu tanpa ada niat untuk mengganggu momen yang tercipta diantara kedua gadis itu.
.
.
.
Petikan gitar terdengar dari salah satu sudut kastil Clarines. Gadis itu tidak berani menjejakkan kakinya keluar dari ruangan ini lagi tatkala baru beberapa waktu yang lalu Yang Mulia Izana sendiri datang dan memarahinya habis-habisan, diikuti tawa ejekan dari Zen yang sungguh membuatnya ingin menampar sang pangeran bersurai putih itu. Ia tidak sadar bahwa tindakan egoisnya untuk keluar dari kamar dikarenakan rasa suntuk dan lelah berbaring selama 3 hari menyebabkan seisi kastil gempar dan ribut. Setidaknya ia tahu Zen diam-diam berterima kasih atas insiden tersebut yang mengakibatkan ia bisa beristirahat sejenak dari penat dan ribuan kertas menyebalkan di meja kerjanya. Plus bonus ia bisa curi-curi bertemu dengan Shirayuki.
Walau dawai gitar terus terdengar namun tak ada satupun nada suara yang lolos dari bibirnya–yang tak henti-hentinya ditarik ke atas beberapa centi itu–di antara suara malam yang mendominasi seluruh sisi kastil Clarines.
"Yo!"
–bahkan Leva tidak menyadari kehadiran seorang pemuda bernetra kucing di sisi lain jendela tersebut, jika saja pemuda itu tidak menyapanya lebih dulu.
Segera saja Leva menurunkan kurva yang terlukis di bibirnya dan memutar bola matanya, entah kenapa jika bertemu pemuda itu Leva bawaannya ingin marah saja.
"Apa? Kau kesini mau mengejekku?" Leva memeluk gitarnya over-protektif seraya mendengus kesal, tatapan matanya menohok tajam pada Obi yang kini melompat masuk melalui jendela yang sama yang selalu menjadi aksesnya keluar-masuk ruangan ini selama beberapa hari ke belakang.
"Uuuhh, aku tersakiti Hime-sama. Apa ini cara anda memperlakukan seseorang yang selalu datang membesuk selama tiga hari masa koma anda?" Obi memegangi dadanya secara dramatis seakan ia tertusuk karena kalimat Leva yang sebenarnya tidak terlalu tajam, menyebabkan lawan bicaranya memutar kembali kedua bola matanya dengan kesal.
"Jika kau kemari hanya untuk membuatku kesal, kau sudah berhasil haha." Obi tidak menjawab. Melainkan mengeluarkan sebuah senyuman simpul dan berjalan mendekat pada sang gadis yang kini memeluk gitarnya semakin erat. Kedua netranya menatap lembut pada lawan bicaranya, menyebabkan gadis itu menurunkan penjagaannya dan mengendurkan dekapannya pada sang gitar kayu yang sudah rapuh tersebut. Ekspresi kesal juga sudah hampir menghilang dari setiap inci wajahnya tatkala langkah sang pemuda semakin dekat setiap detiknya.
Gadis itu kini hanya duduk memegang gitarnya, mendongak dan menatap pada kedua iris berkilat milik sang pemuda yang berada tepat beberapa centi di hadapannya. Pemuda itu berhenti sejenak, hanya menampilkan senyum tulus yang mempesona itu pada Leva. Sembari jemari tangan kanannya bergerak menyentuh dan memainkan ujung helaian pucat milik sang gadis–memutarnya di jari-jarinya yang penuh bekas luka–sebelum pemuda itu menunduk dan membawa helaian tersebut dalam sebuah kecupan yang panjang dan manis, tepat di bibir, seraya sebuah kalimat lolos dari gumamannya, "Lega melihatmu mampu tersenyum di hadapanku, Leva."
Blush–
…
…
…
Butuh beberapa detik bagi Leva untuk sadar dari rasa tersipu yang melandanya, sebelum akhirnya ia mampu menggerakkan bibirnya untuk mengeluarkan beberapa kata acak.
"A-A-A-Ap-Apa yang s-sudah kau lakukan p-pada seorang lady?!" seluruh tubuhnya kaku walaupun kedua belah bibirnya mampu mengekspresikan diri dalam bentuk kata-kata, namun dirinya hanya mampu terdiam tanpa melakukan apa-apa.
Setelah mendengar ocehan Leva yang sungguh membuat Obi ingin tertawa, pemuda itu menarik dirinya dan mengeluarkan seringai nakal seperti yang biasa ia tampilkan. Ia mengunci tatapan sang gadis sejenak sebelum memutuskan bahwa sudah waktunya bagi gadis itu untuk mengistirahatkan baik tubuh maupun pikirannya, sehingga kedua kakinya berjalan lincah menjauhi ranjang tidur sang tuan puteri dan melompat keluar melalui jendela yang sama seraya melemparkan sebuah kalimat singkat pada Leva.
"Tidur yang nyenyak, milady."
Oh sungguh, Leva tidak akan bisa tidur dengan nyenyak jika dadanya tidak berhenti bergemuruh tanpa alasan yang jelas seperti ini.
.
.
.
To be continued
.
.
.
YHAYY, akhirnya Aya membuat ending yang tidak gantungisasi seperti biasanya huehehehe~
HAPPY 10th CHAPTER READER SEKALIAN! /tebar confetti/ Akhirnya arc pertama dari seri ini sudah resmi ditutup, dan mulai chapter depan kita akan memasuki arc baru dan konflik baru yehayy. Aya memutuskan untuk memberi sedikit interaksi intimate antara dua tokoh utama kita, yelah agar mereka ada progress dikit huahaha.
Oiya, Aya curhat dikit nih ya. Sebenernya ada dilema khusus ketika Aya mengetik bagian Shirayuki menemukan Leva. Sebenarnya ada tiga kandidat kuat untuk siapa yang menemukan Leva.
Obi ofc :3
Zen karena dia adalah brother for lifenya Leva
Shirayuki
Setelah beberapa dilema yang cukup lama dan menjemukan, akhirnya pilihan jatuh pada Shirayuki. Soalnya kan kalo si Zen itu mereka udah akrab sejak awal, sejak kecil bahkan ye, kalo ingin memperlihatkan interaksi mereka kan tinggal lewat flashback or whatever lah ya. Terus untuk si Obi itu gampang cari momen untuk mereka berdua, toh mereka main pair di fanfiksi ini kan ya. Nah kalo si Shirayuki ini, sebenernya awalnya juga kurang sregg, namun keinginan dalam diri Aya yang menginginkan agar ada interaksi di antara keduanya. Toh Leva sama Shirayuki seumuran, dan secara mereka itu totally stranger, sehingga Aya ingin memberikan friendship parameter bagi keduanya.
Well, kayaknya AN ini udah terlalu panjang yah, dan isinya mainly bacotan gak jelas. So sepertinya Aya harus undur diri dulu huhuhu~
Sore ja, dinanti fave dan reviewnya /tebar ketjup/
Salam Hangat,
Nakashima Aya
