Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"
.
.
.
Please Enjoy to Read!
.
.
.
CHAPTER 11 – THE GRACE OF HER
Author's POV
"Bajak laut?"
Sang anggota dewan pelabuhan mampu mendengar jelas kata-kata tersebut, kata yang terlontar dari satu mulut ke mulut lain sepanjang tempatnya bekerja. Bukan hanya para nelayan yang mengatakannya, bahkan beberapa petinggi dewan pelabuhan juga sering melontarkan kalimat itu. Wajar 'kan jika pria tua itu menjadi cukup ingin tahu perihal perkara yang disebutkan?
"Ada apa ini?" Tidak tahan, pria tua itu mendatangi sumber suara dan duduk bersama beberapa buruh pelabuhan itu, menenggak bir dari gelas kayu berbahan sama. Menyebabkan para buruh rendahan yang kini duduk melingkar itu harus menelan ludahnya dan menahan nafas melihat salah satu petinggi pelabuhan duduk bersama mereka di tempat kumuh seperti ini.
"A-A-A…G-Grace-sama?!"
Sekali lagi, pria itu menenggak bir dalam genggaman dan berujar, "Bajak laut. Ada apa dengan mereka?"
Kawanan buruh itu masih terdiam beberapa saat hingga salah seorang di antaranya berani bersua dan menjawab keingintahuan sang petinggi, "Mereka…yang beberapa bulan terakhir ini mengacaukan perairan selatan Clarines. Mereka menyebut dirinya The Flying Dutchman, sang legenda kapal hantu."
.
.
Realm for The Hearts
Story & OC's Nakashima Aya
Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata
[There's no profit we gain from this fanfiction]
Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.
Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC
.
.
SYUUTT–
JLEBB–
Helaian merah muda pucatnya yang diikat dengan pita merah (pemberian Shirayuki) kini harus terlihat lepek akibat keringat yang membanjiri seluruh sisi tubuhnya tanpa pandang bulu. Baru satu minggu sejak ia diperbolehkan keluar dari klinik istana dan kembali ke kamar lamanya yang berada di gedung pangeran Zen, dan kini gadis itu sudah begitu saja membanting dirinya dalam sebuah pelatihan ketat yang dibantu oleh kakak terbaiknya sedunia, Zen Wisteria.
"Kau kurang fokus, Leva." Ocehan Zen dengan wajah menyebalkannya itu sungguh membuat Leva kesal, namun ia tahu bahwa kekesalan itu harus dipendamnya dalam-dalam demi pelatihan ini.
Leva harus berterima kasih pula pada Shirayuki yang mau berbaik hati menemaninya berlatih, karena setidaknya dengan adanya Shirayuki di antara mereka berdua, tidak akan ada argumen menyebalkan yang keluar dari bibir licik Zen. Tapi sialnya, sang bocah mata kucing itu juga ada di sini, memangnya apa sih kerjaan Obi? Kapan Leva melihatnya tidak berjalan-jalan santai di sekitar kastil?
"Whoa, aku tidak tahu anda cukup mahir dalam seni memanah." Obi menyesap chamomile tea buatan Shirayuki seraya bibir melontarkan komentar. Leva mendengus, sebelum akhirnya beranjak dan menyeka keringat yang memenuhi sebagian besar sisi wajahnya dengan handuk yang dibawakan Shirayuki. Oh sungguh, dari mana Zen bisa mendapatkan makhluk sempurna ini sebagai kekasihnya? Dalam hati Leva tidak sudi jika Shirayuki harus menghabiskan sisa hidupnya dengan pangeran manja bertajuk Zen Wisteria itu.
"Latihanmu hari ini sudah cukup. Kau ada tugas kan setelah ini?" Zen mengambil kembali jubahnya dari Shirayuki–yang dilihat Leva sebagai pasutri siap nikah–dan segera bersiap melanjutkan aktivitasnya hari ini. Leva hanya memutar bola matanya dengan ekspresi bosan sebelum mengembalikan fokus pikirannya pada busur panah dalam genggaman. Ia merasakan tekanan ringan dari berat busur yang ia bawa, tidak seperti yang biasa ia pakai di rumahnya dulu. Gadis itu tersenyum sejenak, lalu menggantungkan busurnya di pohon terdekat. Kedua kakinya segera memacu cepat keluar dari lahan pelatihan tanpa memedulikan eksistensi lainnya di tempat yang sama.
Leva berjalan cepat kembali menuju ruang tidurnya, memutuskan untuk berbasuh diri dan membersihkan keringat serta minyak tubuhnya sebelum menjalankan tugasnya yang sebenarnya, alasannya dikirim ke kastil yang sungguh tidak menyenangkan ini. Gadis itu melepas setelan yang ia kenakan dan segera memasuki ruang mandi yang sudah disediakan para pelayan. Dengan cepat gadis itu menyelesaikan acara mandinya dan segera mengganti bajunya, sebuah gaun one-piece tanpa lengan selutut dengan stocking hitam yang menutupi bagian bawah tubuhnya, dan sebuah cardigan musim panas berwarna biru muda.
Leva, tidak mengenakan gaun resmi istana.
.
.
.
"Keluar saja kau dari sini daripada mengganggu!"
Obi baru saja menemukan hiburannya, sebelum akhirnya Zen dan Mitsuhide mengusirnya kuat-kuat dari ruang kerja mereka. Obi mendengus di sela-sela tawanya, pemuda itu segera beranjak pergi dan melompati tembok pagar istana yang begitu tinggi. Jika di dalam kastil tidak ada yang bisa mengusir rasa bosannya, maka yang bisa Obi lakukan adalah pergi ke luar bukan?
Obi bisa merasakan jalanan kota agak lebih ramai, mungkin karena efek pergantian musim dari musim dingin sehingga banyak orang yang memilih keluar dari rumahnya. Sebenarnya pemuda itu sendiri tidak punya ide ia harus kemana sekarang, namun lebih baik ia berjalan tanpa arah di kota daripada duduk di kastil tanpa mengusir kebosanan yang kini melandanya. Lagipula Shirayuki juga sama tidak bisa diganggu, seperti Zen dan Mitsuhide. Obi juga belum menemukan Kiki sejak tadi pagi. Dan Leva umm… mungkin sebaiknya Obi tidak terlalu sering mengganggunya atau gadis itu akan menggorok lehernya.
Suasana riuh kota membuat Obi harus bertatap fisik dengan berbagai personil kota, jalanannya yang cukup sempit terlihat semakin ramai dengan banyaknya manusia yang kini berada pada sepanjang jalan tersebut. Padahal ini bukan pasar, Obi bertanya-tanya kenapa tempat ini sangat ramai?
"Kau sudah dengar? Rumor itu."
"Rumor?"
"Tentang mereka–mereka yang disebut The Flying Dutchman."
Ohohoho. Obi mendengarnya nona-nona. Obi mendengarnya dengan sangat jelas.
"–mengerikan sekali! Apa sih yang sudah dilakukan pasukan kastil? Seharusnya mereka bergerak pada saat-saat seperti ini."
"Hmph. Rumornya sih mereka sibuk dengan masalah dalam kastil sendiri."
"Hidoi yo."
Obi hampir saja naik darah, apa-apaan sih dengan para wanita penggosip ini? Seenaknya mengatakan hal seperti itu tanpa mengetahui fakta aslinya.
"Aku tidak tahu bahwa kau hobi menguping seperti itu." Obi hampir saja terjerembab ke belakang dan menabrak seorang wanita tua yang membawa satu keranjang besar berisi apel berwarna merah. Kedua netranya membelalak mendapati seseorang dengan wajah familiar berada tepat di hadapannya.
"Yo, anak muda."
"P-Paman–"
.
.
.
Sekali lagi dua orang lelaki itu duduk berhadapan, namun kali ini tidak di sebuah barak makan kotor, melainkan sebuah restaurant outdoor yang cukup terkenal. Toh dengan pakaian seperti ini pria tua itu tidak akan bisa lolos masuk-keluar barak makan dunia bawah tanpa mendapat kesusahan. Obi duduk seraya menopang dagunya dengan tangan kanan, di hadapannya sebuah minuman berwarna merah apel tengah tersaji; Obi tidak tahu minuman apa itu, yang pasti itu adalah salah satu hidangan mahal.
"Jadi apa yang kau lakukan di sini, anak muda?" Sebuah seringai terlihat jelas seraya kalimat menekan keluar dari bibirnya, melihat gelagatnya sekarang Obi paham jika pria tua itu tidak ingin Obi bertanya lebih jauh mengenai dirinya. Obi memutuskan mencicipi minuman aneh yang tersaji di hadapannya –yang tidak diduga ternyata lumayan enak –sebelum menjawab pertanyaan pria tua itu. "Aku hanya…sedikit berjalan-jalan di sini ahahaha."
"Berjalan sambil menguping gossip wanita bukan hobi yang baik, anak muda." Oh, kenapa semua orang tua seumuran pria ini dan mantan tuannya itu begitu mudah memberi rasa intimidasi pada dirinya? Sekali lagi tawa terdengar dari lawan bicaranya dan Obi hanya bisa diam. "Akan kuajari caranya mencari informasi dengan layak dan tanpa…menguping."
Obi menaikkan sebelah alisnya, apa-apaan sih bapak ini? Obi tidak paham kenapa orang tua ini hobi sekali muncul tiba-tiba di hadapannya dan membuatnya merasa terancam. Ini tidak seperti Obi berniat menguping, mereka saja yang bicara terlalu keras. Obi memutuskan untuk kembali menenggak minumannya, sebelum membalas perkataan pria tua di hadapannya. Tapi walaupun separuh isi gelas sudah ia minum, Obi masih tidak juga menemukan kata-kata yang tepat untuk beralasan.
Tidak, tidak, Obi tidak beralasan. Ia hanya membela diri. Ya, benar sekali membela diri.
"Ahahaha, aku tidak serendah itu, paman. Menguping adalah tindakan yang buruk." Well, setidaknya Obi berusaha tidak memperkeruh suasana di sini. Obi tidak suka keadaan dimana ia merasa disudutkan oleh pihak lain. Walaupun Obi sendiri sadar diri jika ia tidak memiliki keahlian dalam hal olah bicara, keahliannya ada pada olah fisik, bukan memutar kata-kata.
Pria tua itu hanya diam menatap tajam pada Obi, membuat sang empunya netra kucing bergidik ngeri dan berharap ia bisa segera kembali ke kastil. Keheningan itu membuat Obi menghibur diri dengan mendengarkan desiran angin yang begitu kerasnya mengarah membelakangi arah laut, seakan menolak kehendak laut dan meminta Obi untuk menyadarinya. Aroma udara bercampur garam mampu tercium dengan jelas walaupun kota ini bukanlah kota pesisir maupun kota pelabuhan, tidak biasanya tercium aroma laut yang begitu kuat apalagi di sisi kota bagian keramaian seperti ini.
Obi terlalu terfokus dengan suara angin dan keadaan sekitarnya hingga ia tidak menyadari seorang lelaki–sepertinya lebih muda dari Obi–berlari menuju pria tua yang kini menjadi partner minum Obi itu, dan membisikkan sesuatu padanya.
"…sudah datang? Aku akan segera ke sana." Pemuda itu berlari lagi entah kemana sehingga akhirnya Obi sadar dan kembali menatap pria di hadapannya; dengan kekehan yang tidak lupa ia lukiskan di bibir.
"Sudah mau pergi, paman?"
"HAHAHA, sepertinya kita harus menunda lagi pembicaraan kita, anak muda. Sampai waktunya nanti!"
Pria tua itu berjalan menuju kasir dan membayar dua minuman yang ia pesan, lalu segera berlari menuju arah bawahannya tadi berlari. Obi memutuskan untuk buru-buru menghabiskan minumannya sebelum beranjak dari tempat terbuka itu, Obi tidak terlalu suka dengan tempat seperti itu, terlalu vulgar dan jujur. Tidak lama setelah partner minumnya pergi, Obi berhasil menyelesaikan minumannya dan pergi dari outdoor-café tersebut. Kedua kakinya melangkah lincah menyusuri kota, harap-harap-cemas semoga ia tidak bertemu eksistensi yang tidak diharapkan lagi.
Sayangnya, kala itu Obi tidak menyadari, sosok gadis bersurai merah muda pucat yang berada di tempat yang tidak seharusnya. Kantor Komisaris Dewan Pelabuhan.
.
.
.
Leva menghela nafasnya lelah, apa gunanya ia pergi keluar tadi jika nantinya ia harus kembali pada tengah malam? Memangnya mereka ini mafia yang harus bertemu secara rahasia? Tidak 'kan?!
Sekarang sudah pukul sembilan tepat dan Leva bahkan tidak berani untuk sekedar berbaring di kasurnya, atau bahkan di sofa. Leva terlalu takut rasa kantuk akan datang menyerangnya dan dia tidak bisa menghadiri janji tengah malamnya. Gadis itu juga tidak berani membunyikan gitarnya, takut-takut mengganggu orang-orang di ruangan terdekat, belum lagi kalau Zen mendengarnya, bisa habis Leva malam itu juga.
"Apakah aku harus keluar sekarang saja ya?"
Sekian helaan nafas, dan akhirnya Leva memutuskan untuk pergi keluar kastil, tepat pada pukul 21.30–dan membawa jubah musim dingin serta gitarnya yang berharga.
Jalanan sudah tidak tertimbun salju, namun tetap saja Leva masih merasakan udara dingin yang begitu kiat menerpa pori-pori tubuhnya tanpa ampun. Nafasnya bahkan berubah menjadi uap, walaupun di siang hari tadi Leva bahkan merasa begitu ingin melepas cardigannya yang membuat gerah. Sialnya malam ini, sepertinya suhu udara kembali jatuh ke titik 0, dan Leva harus berbetah diri menahan hawa dingin yang luar biasa ini.
Leva mengeratkan tas gitar miliknya dan berlari ke luar istana–untungnya penjaga gerbang sedang tertidur sehingga ia bisa keluar dengan mudah–menuju suatu tempat yang tidak selayaknya didatangi seorang lady terhormat toh Leva tidak peduli, ia sedang tidak mengenakan atribut istana apapun sehingga tidak akan ada yang mempertanyakan keberadaannya di sana.
KLANG–
"Ini dia pesananmu, Ojou-chan." Leva menarik tudung jubahnya semakin merapat, bagaimanapun juga walaupun Leva mengatakan ia tidak peduli, tentu saja rasa tidak nyaman itu masih ada. Ia melihat mangkuk kecil dan gelas yang disajikan di hadapannya, sebuah cream soup dan herbal tea; yang sungguh tidak ada apa-apanya jika dibandingkan buatan Shirayuki. Leva jadi agak menyesal pergi ke tempat ini, setidaknya ia merasa agak hangat berada di kumpulan banyak manusia seperti ini.
Leva memandang setengah jijik pada sup di hadapannya, dan memutuskan untuk hanya meminum teh yang disajikan. Bukan berarti ia pilih-pilih makanan, hanya saja err ini terlalu luar biasa untuk selera Leva.
"Ada apa, Ojou-chan? Sendirian di sini? Mau ditemani abang?" Leva melirik tajam pada sosok di sampingnya, hanya orang biasa, mungkin penjahat abal-abal dunia bawah. Bahkan tidak sampai sekelas bandit.
"Ooh, dingin sekali. Apa yang kau lakukan di sini, gadis kecil?" pria lainnya menarik keras pergelangan tangan Leva yang memegang cangkir, menyebabkan benda tersebut jatuh dan pecah; dan tentu saja menimbulkan keheningan singkat di seisi barak makan. Sekali lagi Leva melirik tajam dari sisi terbuka tudung jubahnya, menampilkan kedua iris kaca yang dingin dan berkilat.
PLAKK–
"Jangan sentuh aku dengan tanganmu yang kotor itu."
"A-A-APAA?! BERANINYA KAU!" pria itu menaikkan nada bicaranya dan bersiap menampar Leva, ia angkat tangannya kuat-kuat dan menamparkannya pada sebuah objek; sayangnya bukan objek yang dia inginkan, bukan pipi gadis itu yang menjadi tempat mendaratnya pukulan keras tersebut. Namun sebuah lengan kokoh seorang pemuda.
"Hai hai, maafkan temanku dan mulutnya yang menyebalkan ini ya, paman. Dia sedikit terkena gangguan jiwa."
"HAH? Apa katamu?"
"APA YANG KALIAN LAKUKAN DI BARAK MAKANKU HAH? KELUAR SAJA JIKA KALIAN INGIN BERKELAHI!"
.
.
.
"Hime-sama,"
…
"Hime-samaa~"
…
"Oh, ayolah, Hime-sama. Aku tidak bermaksud mengatakan kau gila atau bagaimana. Itu hanya…err…strategi. Ya, strategi agar kita bisa kabur."
Apa gunanya memanggilku Hime-sama lalu dia tetap berbicara padaku dengan bahasa informal? Dasar lelaki aneh. Sinting. Gila.
"Ayolah, Hime-sama, berhenti merajuk. Setidaknya aku sudah menyelamatkanmu."
Leva berbalik, dan berjalan perlahan mendekati pemuda aneh yang sedari tadi mengikutinya itu. Tatapannya menohok tajam, tidak suka sekaligus kesal–entah karena kejadian tadi atau memang karena rasa ketidaksukaannya pada bocah itu.
"Dengar ya, aku bahkan tidak butuh bantuanmu. Aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri, dan sebaiknya kau tidak usah ikut campur urusanku, Obi."
Obi terkekeh, yang seperti biasanya Leva hanya balas memutar bola matanya dan menunjukkan ekspresi paling kesal yang bisa ia buat. Leva kembali berbalik dan membelakangi Obi, ia berjalan secepat yang ia bisa walaupun dalam hati ia sadar Obi tidak akan mungkin kehilangan dirinya. Obi adalah bawahan kepercayaan Zen, sejenak Leva berpikir bahwa mungkin saja Zen yang mengirimkan Obi untuk memata-matainya, namun segera saja pemikiran itu ia buang jauh-jauh. Zen tidak akan mau ikut campur urusan Leva.
Sekarang mungkin sudah mendekati tengah malam, namun Leva mendadak kehilangan minat untuk pergi menemui janjiannya. Apalagi dengan kehadiran Obi di sini, Leva tidak bisa dan tidak mau ambil pusing menjelaskan ke Obi mengenai apa yang ia lakukan di sini. Sehingga akhirnya kedua kaki gadis itu menuntunnya pergi menjauhi tempat seharusnya ia menemui janjinya, dan membiarkan dirinya berjalan tanpa arah.
Obi berjalan santai seraya menyilangkan kedua tangan di belakang kepala. Sebenarnya Obi sendiri tidak ada keinginan menguntit tuan puterinya ini, hanya saja Zen sudah memintanya sehingga ia bisa apa? Lagipula Obi tidak sejahat itu meninggalkan seorang gadis yang begitu rapuh sendirian di tengah kota–ah tidak, Leva jauh dari kata rapuh.
'Obi, kau ada di sini 'kan?'
'Anda perlu sesuatu, aruji?'
Zen terdiam sejenak, kedua netranya menatap sosok beberapa kaki di bawahnya dari balik jendela. Sosok seorang gadis yang berjalan begitu hati-hati agar tidak ada orang yang tahu.
'Gadis bodoh itu, sebaiknya ia tidak terlibat hal yang menyebalkan lagi.' Obi mengikuti arah tatapan Zen dan menyadari apa yang membuat tuannya itu merasa tidak tenang.
'Perlukah saya mengikutinya?'
'Ya, jauhkan dia dari hal-hal yang tidak menyenangkan.'
Obi berusaha menahan tawanya seraya diri menatap punggung sang gadis yang tertutupi gitar. Bahkan Zen yang seperti itu sebenarnya adalah sosok kakak yang baik, like brother like brother, Zen tidak ada bedanya dengan Izana dalam urusan menjaga adik kecil manisnya. Oh, ingin sekali Obi tertawa sekarang mengingat bagaimana tidak tenangnya Zen saat melihat Leva seperti itu. Apalagi saat ini Leva tidak memiliki satupun bodyguard yang bisa menjaganya.
Senyum Obi pudar, tergantikan dengan sebuah ekspresi sendu. Satu-satunya penjaga Leva malah pergi mengkhianatinya, Obi tidak akan bisa tahu bagaimana rasanya. Mungkin sama saja jika suatu ketika Mitsuhide atau Kiki pergi memimpin satu kelompok pengkhianat kerajaan, dan Zen adalah orang yang harus menghukumnya. Hal itu pasti sangat menyakitkan–bagi pihak yang berkhianat maupun dikhianati. Well, tapi Obi tidak tahu seperti apa si Sam ini sehingga ia tidak bisa menilai apakah Sam merasa tersakiti harus mengkhianati Tuan Puteri Leva seperti itu.
"Hime-sama, Anda tidak lelah? Kita sudah berjalan beberapa waktu."
Leva menghentikan langkahnya, menimbang-nimbang apakah ia harus mengabaikan egonya dan mengatakan ia lelah atau tetap kukuh pada pendirian. Namun, pada akhirnya kedua kaki yang terlalu lelah itu menyebabkan Leva menyerah dan secara sepihak duduk begitu saja, membuat Obi terkejut karenanya. Obi bersyukur, untung saja tempat ini tidak ramai–bahkan tidak ada seorangpun selain mereka berdua di sini. Obi tersenyum, walaupun gadis itu tetap saja merengut seperti biasanya, setidaknya ia tidak berbohong dan memaksakan dirinya lebih jauh.
"Ne, Obi," Mendengar namanya dipanggil, Obi memutuskan berjalan mendekati Leva dan duduk di sampingnya, kedua telinga siap mendengarkan keluhan atau apapun yang ingin dikatakan gadis itu. "Apa aku sebegitu bodohnya?"
"Eh?" Bahkan Obi yang baru mengenal Leva satu bulan ini tahu bahwa bodoh adalah kata yang jauh dari Leva.
"Apa aku sebegitu bodohnya hingga tidak tahu bahwa orang yang paling dekat denganku adalah orang yang akan mengkhianatiku terlebih dahulu?"
Ah, masalah ini.
"…dan bahkan setelah semua yang ia lakukan aku masih tetap tidak bisa membencinya." Suaranya lirih, begitu lirih hingga Obi harus ekstra memperhatikan agar ia mampu menangkap kata-kata yang terujar dari bibir tipis gadis di sandingnya ini. Leva membawa kedua tangannya dan mendorong kepalanya ke bawah agar Obi tidak mampu melihat ekspresinya saat ini, sekali lagi ia tidak boleh memperlihatkan kelemahannya pada Obi.
'P-Pengkhianat,'
'Hime-sama?' Obi menapaki jalannya kedua kaki menuju sang gadis yang entah kenapa terlihat menahan emosi di balik kerapuhan dirinya. Obi bisa melihat wajahnya yang membiru sekaligus memerah dalam waktu yang bersamaan, seakan menahan rasa marah dan takut dalam satu waktu.
'S-Sam–Kau…pengkhianat! Pembohong!'
'Ohime-sama.' Sam berjalan mendekati Leva, sembari menutupi luka bakar yang meradang di wajahnya. Segera Obi langsung memposisikan dirinya di depan Leva dan menghalanginya dari Sam; yang kini sudah kehilangan senjatanya dan tidak akan mampu bertarung lagi.
'Saya tidak akan pernah mengkhianati anda.' Sam kembali berjalan beberapa langkah ke belakang, mengambil jarak dari Leva yang kini hanya mampu terduduk sendu dan mencengkeram rok lipit yang ia kenakan. 'Karena saya selalu dan akan selalu menjadi pelayan nomor satu anda, Milady.'
Sayangnya, malam itu, karena tensi yang terlalu berat di udara sekitar, tidak ada satupun yang menghalangi Sam untuk kabur. Tidak ada satupun yang bisa membiarkan gadis itu gemetar dalam ketakutan terbesarnya, apalagi seketika ia secara mendadak jatuh ke tanah dan tidak sadar diri.
"Kau tahu, Hime-sama, seseorang tidak akan membenci orang lain semudah itu. Menyayangi seseorang adalah hal yang begitu susah, namun membenci orang yang kau sayangi adalah hal yang jauh lebih menyusahkan." Obi beranjak dari tempatnya duduk dan memposisikan dirinya tepat di hadapan Leva, lalu berjongkok di hadapannya. Kedua iris berkilat miliknya menatap lekat pada sosok ringkih yang kini hanya mampu menekuk lutut di hadapannya. Sebuah senyum ia lukiskan di bibir seraya tangan kanannya meraih jari-jemari sang gadis yang kini membeku karena rasa dingin.
Merasakan kehangatan mengalir dari ujung jarinya, Leva memberanikan diri untuk menaikkan kepalanya, untuk menemukan sepasang netra yang kini menatapnya begitu lembut. Leva harus menggigit bagian bawah bibirnya agar ia mampu menahan tangisnya sekarang, oh sungguh harus berapa kali Leva memperlihatkan sisi memalukannya pada pemuda itu?
"Leva," Leva benar-benar harus menahan nafasnya saat ini, entah kenapa detak jantungnya bergemuruh luar biasa dan tak mampu ia kontrol, dan ia merasakan kehangatan yang mengalir hingga setiap inci tubunya–bukan hanya pada jari-jari yang kini bersentuhan dengan lawan bicaranya. "Bukankah aku sudah pernah mengatakannya? Jika kau tidak mampu berdiri, tidak mampu mencari pijakanmu, maka bergantunglah padaku, bersandarlah padaku. Aku di sini bukan hanya sebagai pajangan kau tahu, jika kau membutuhkanku aku akan selalu ada di sini–di sampingmu."
…
Bolehkah? Bolehkah Leva bergantung pada orang lain? Bolehkan gadis egois sepertinya mendapat bantuan dari orang lain? Dan yang paling penting…bisakah Leva mempercayai orang lain setelah semua yang ia alami?
DUARR–BLUARR–
Mendengar suara yang begitu keras dari arah lain, menyebabkan Leva dan Obi secara serentak berdiri dari tempatnya duduk dan melihat ke arah selatan. Merah. Api. Asap.
"A-Apa itu?"
"Kapal–kapalnya terbakar–"
.
.
.
To be continued
.
.
.
VOILAA EHEHEHE~
Sesuai perkataan Aya di AN chapter kemarin, akhirnya kita memasuki arc yang baru reader sekalian uhuhu :'3 Arc ini kayaknya gak bakal panjang sih, soalnya ceritanya gak akan seribet arc yang sebelumnya, mungkin cuma makan 2 atau 3 chapter ke depan. Well, pokoknya nantikan segera kelanjutannya!
Any regards?
Salam Hangat,
Nakashima Aya
