Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"

.

.

.

Please Enjoy to Read!

.

.

.

CHAPTER 12 – WE FOUGHT ONTO THE SEA

Author's POV

DUARR–BLUARR–

Mendengar suara yang begitu keras dari arah lain, menyebabkan Leva dan Obi secara serentak berdiri dari tempatnya duduk dan melihat ke arah selatan. Merah. Api. Asap.

"A-Apa itu?"

"Kapal–kapalnya terbakar–"

Leva membawa kedua telapak tangannya menutupi mulutnya yang menganga akibat keterkejutan yang ia alami. Ia merasa membeku di tempat dan tidak bisa melakukan apapun. Sebuah kapal di pelabuhan–atau mungkin malah di laut– tengah terbakar, apakah itu kapal nelayan? Kapal pedagang? Atau kapal bajak laut?

"K-Kita harus s-segera melapor ke kastil."

"Tidak akan sempat, Hime-sama. Kita membutuhkan waktu satu jam untuk kembali ke kastil, satu jam lagi kemari, dan satu jam menuju pelabuhan." Leva semakin merasakan kedua kakinya gemetar hebat, apa yang sudah terjadi? Apa yang terjadi di laut sana?

"L-Lalu apa yang harus kita lakukan?"

"Bukankah sudah jelas, Hime-sama? Anda yang memimpin."

.

.

Realm for The Hearts

Story & OC's Nakashima Aya

Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata

[There's no profit we gain from this fanfiction]

Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.

Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC

.

.

BRAKK–

Kedua tangannya yang terkepal erat menggrebak meja di hadapannya dengan begitu keras, wajahnya terlihat begitu memerah walaupun udara sekitar terasa begitu dingin menusuk.

"APA KAU BILANG?" Sekali lagi, pria di balik meja tersebut berkata, "Kami tidak bisa bertindak tanpa izin dari kastil."

"Argh, aku tidak punya waktu untuk ini." Leva mengacak rambutnya yang sudah sangat tidak karuan seraya berbalik membelakangi penjaga tersebut, "Oh ya silahkan saja kalian berdiam diri seperti itu. Asal kalian tahu, jika aku memberikan perintah, maka secara tidak langsung itu adalah perintah dari kastil."

Gadis itu mengibaskan rambutnya seraya buru-buru berjalan keluar; dengan menyembunyikan rasa kesalnya yang sudah meledak-ledak. Tidak ada gunanya, prajurit kota tidak mengenali wajah Leva, dan mereka terlalu santai untuk memikirkan hal seperti itu. Jadi, bagaimana ini? Apa yang harus Leva lakukan selanjutnya? Ia tidak mungkin kembali ke kastil dalam rentang waktu yang seperti ini. Haruskah ia bergerak sendiri? Tapi hanya dia dan Obi tidak akan mampu melakukan apapun di sana.

Leva menggigit bagian bawah bibirnya dan berjalan bolak-balik, menyebabkan Obi ikut merasakan keresahan yang kini mendominasi benak sang gadis. "Hime-sama, tenanglah, jika anda bersikap tenang pasti akan ada solu–"

"AH! Itu dia!" Oh, Obi terkejut. "Obi! Aku tahu kita harus kemana sekarang. Kau pergi cari kuda, aku akan mencoba melakukan…err…sesuatu."

Tanpa menjawab apapun, Obi sudah berlari jauh, melakukan tugasnya.

Melihat punggung Obi yang sudah menghilang dari balik kegelapan, memberi dorongan tersendiri bagi Leva untuk segera mengerjakan apa yang harus ia lakukan. Gadis itu mengeratkan tali tas gitarnya dan berlari menjauh dari titik paling terang di bawah sinar rembulan; seraya dalam hati merutuki kenapa ia harus nekat membawa gitarnya. Kedua kaki berlari cepat menelusuri jalanan setapak demi setapak, ini mungkin sudah melewati tengah malam, dan orang yang seharusnya bertemu dengannya mungkin sudah pulang. Namun, Leva tetap mengambil resiko dan mencoba pergi ke tempat janjian bertemunya.

Ia bisa merasakan keringat di sekujur tubuhnya dan selepek apa helaiannya merah muda pucatnya saat ini, seketika ia sampai di tempat yang ia inginkan. Namun, sepertinya tidak sia-sia ia kemari, ia bisa melihatnya; sebuah bayangan di bawah lampu jalan yang terlihat redup dan mengerikan, kini menghadap lurus pada sisi laut–pada api kapal yang terbakar.

"Aku sudah menunggu begitu lama kau tahu," pria itu berujar, menyebabkan rasa takut sedikit menggerogoti diri Leva, "nona-pengirim-pesan-istana."

Leva berusaha mengatur nafasnya yang begitu tidak teratur, sembari kedua kaki sedikit demi sedikit memperkecil jarak di antara keduanya. Leva mungkin sudah terbiasa menyusup dan keluar dari kastil–terutama saat di Wistant–namun beda lagi ceritanya jika suasananya malam hari seperti ini. Mendadak Leva menyesal sudah meminta berpisah jalan dengan Obi tadi, apalagi ia juga tidak memberi tahu Obi ia akan pergi kemana. Ini akan jadi cukup menyusahkan karena mereka harus saling mencari satu sama lain dulu.

"Well, sepertinya pembicaraan kita harus ditunda dulu, bukan?" Leva meletakkan tangan kanannya di pinggang dan berusaha sedapat mungkin tidak memperlihatkan suaranya yang bergetar hebat; karena rasa dingin dan kekhawatiran dalam dirinya. Leva tidak sepenuhnya mempercayai pria di hadapannya ini, ia bukan orang jahat itu pasti, hanya saja mungkin ia juga bukan orang baik. Dan Leva tahu diri jika ia tidak terlalu baik dalam hal pertarungan fisik.

Pria itu tertawa, dan berjalan beberapa langkah mendekati Leva–yang menyebabkan sang gadis mundur selangkah demi selangkah untuk menghindarinya, "Aku sudah tidak perlu mengatakan apa-apa lagi, buktinya sudah jelas di depan mata."

"…apa maksudmu?" Pria itu menunjuknya, kapal yang terbakar itu, dan berkata, "Kapal itu, Ojou-chan, adalah kapal pedagang khusus dewan pelabuhan."

Kedua netra kaca gadis itu membelalak. Kenapa kapal sepenting itu dibiarkan berlayar begitu saja tanpa penjagaan?

"–dan jika aku benar, sebentar lagi mereka akan merapat."

"M-Mereka?"

"Ya. Mereka yang menyebut dirinya The Flying Dutchman."

.

.

.

Menerima tugasnya memang mudah, tapi di tengah malam seperti ini bagaimana caranya Obi bisa menemukan kuda? Benar-benar ia tidak paham dengan isi pikiran tuan puteri itu. Walaupun Obi sendiri mengerti jika mereka bisa mempersingkat waktu satu jam yang seharusnya ditempuh menuju pelabuhan jika mereka menaiki kuda. Namun, bukankah bisa jadi malah waktu yang mereka gunakan di sini untuk mencari kuda akan menjadi lebih terkuras? Belum lagi ia harus terpisah dengan gadis itu; yang tidak akan bisa duduk diam dan menunggu Obi tanpa melakukan apapun. Tentu saja Obi tahu pasti gadis itu pergi melakukan sesuatu, dan sialnya Obi tidak tahu kemana gadis itu pergi.

'Ah, ini sungguh membuang-buang waktu.'

Obi berjalan seraya meletakkan kedua tangannya menyilang di belakang kepala, setidaknya ia akan berusaha mencari kuda agar tuan puterinya itu tidak marah-marah nantinya. Lagipula jika dipikir-pikir lagi, kenapa tuan puteri tidak menggunakan tanda pengenal kastilnya untuk meminta bantuan pada prajurit kota tadi? Karena dia bodoh? Ah tidak…tidak…pasti bukan karena itu.

OH!

Benar juga, Obi bisa meminta kuda prajurit dengan tanda pengenalnya bukan?

.

.

.

"Jadi, bagaimana Ojou-chan? Apa yang akan kau lakukan sekarang?"

"Bukankah sudah jelas?" Leva mengepalkan kedua tangannya, oh sungguh hawa dingin ini sangat mengganggunya. Kedua netranya menatap lurus pada objek yang tengah mendominasi benaknya. "Grace, siapkan sebanyak-banyaknya pasukan dari dewan pelabuhan. Kalau bisa, jangan sampai mereka ke sana menggunakan seragam, pakai pakaian yang terlihat lebih…err…alami."

Pria itu, Grace, terdiam sejenak. Tidak mengira bahwa anak muda utusan kastil ini akan meminta hal seperti itu. "Kau yakin tidak melaporkan ini ke kastil lebih dulu?"

"Asal kau tahu saja, prajurit kota tidak akan membantu kita. Sudah terlambat jika mau melaporkan ini ke kastil." Gadis itu berbalik, dan menghadap lurus pada lawan bicaranya, "Atau…kau ingin membiarkan teman-temanmu yang di sana menjadi korban?"

Gulp–

Oh, Tuhan. Grace yakin umurnya sudah hampir menginjak setengah abad, namun kenapa di umur tuanya ini ia malah bergidik ngeri memandang senyum sinis dari gadis belia di sampingnya? Pria tua itu jadi tidak yakin jika anak muda ini adalah pengantar pesan istana, memangnya ada pengantar pesan yang semuda ini? Apalagi dia adalah wanita. Memang ada wanita yang memegang kedudukan sepenting itu di istana?!

"Jadi, kau pilih yang mana, Grace-sama?" Uh oh, Grace tidak punya pilihan lain 'kan?

"Akan saya laksanakan."

Leva tidak perlu melirik untuk mengetahui bahwa Grace sudah pergi dari tempat ini. Kedua irisnya tidak beralih barang sedetikpun dari sisi perairan lepas Clarines, bahkan tidak untuk sekadar mengecek apakah lampu temaram di dekatnya itu masih menyala atau telah kehilangan tenaganya.

'Haah… Jaa, sekarang saatnya mencari Obi.'

Helaan nafas sekali lagi lolos dari bibir gadis bermarga Wisteria itu, sembari diri berbalik untuk menemukan sepasang netra tembaga dan seekor kuda tengah menatapnya.

"Hime-sama? Dingin sekali ya di sini."

"O-Oh iya."

"Kau tahu, ternyata tidak terlalu sulit menemukan kuda ini, Hime-sama."

"O-Oh iya."

"Mereka bahkan tidak menolakku sama sekali. Ini salah Hime-sama sendiri tidak menunjukkan tanda pengenal kastilmu pada mereka."

"A-Aha ha ha iya." Leva masih berpikir, yang di hadapan ini benar-benar Obi? Memangnya dia esper? Entah kenapa dimanapun Leva berada kenapa Obi selalu bisa menemukannya? Ah sudahlah, yang penting mereka harus segera berangkat.

"Hime-sama? Tunggu apa lagi? Kita harus segera berangkat." Obi meraih gitar di balik punggung Leva dan mengambilnya, menyampirkannya perlahan pada bagian belakang tubuhnya tanpa menyadari Leva yang kini mendadak bungkam begitu saja.

"O-Oh iya, berangkat. Kita harus segera berangkat. Kita harus segera berangkat." Leva menepuk-nepuk kedua pipinya perlahan untuk menyadarkan diri dari lamunannya. Segera setelah ia sadar, Obi sudah siap duduk di pelana kuda seraya mengulurkan tangannya pada Leva. Gadis itu ragu-ragu melirik pada Obi yang dengan santainya masih tersenyum, Leva tidak berpikir bahwa Obi hanya akan membawa satu kuda. Apakah Obi meremehkannya? Ini tidak seperti Leva tidak bisa menaiki kuda, tidak ahli bukan berarti tidak bisa 'kan?

"Oh, ayolah, Hime-sama. Kau sendiri yang bilang untuk segera berangkat."

Ya, ya, ya, Leva tidak akan membantah lagi. Segera ia meraih uluran tangan Obi dan membiarkan dirinya diangkat secara perlahan untuk duduk di bagian depan pelana.

"Yosh, perjalanan ini akan sedikit lama. Sebaiknya Hime-sama tidur saja."

"Hah?" Ah sudahlah, Leva lelah berdebat, "Sesukamu sajalah."

.

.

.

Tapi toh pada akhirnya Leva terlelap. Merasakan kedua tangan Obi yang memegang kendali kuda di sisi kanan-kiri tubuhnya membuat gadis itu merasa aman dan nyaman–tidak, Leva tidak akan mengakuinya secara gamblang–dan secara tidak sadar rasa lelah yang memupuk dalam dirinya memaksa tubuh tuan puteri tersebut untuk beristirahat barang sejenak. Obi merasakan udara yang begitu dingin membuat sekujur tubuhnya menggigil, sejenak terlintas di benaknya jika dia yang memiliki badan besar dan tangguh saja menggigil seperti ini, bagaimana dengan Leva yang begitu ringkih dan rapuh itu?

Perjalanannya masih sangat jauh, dan malam tentunya masih sangat panjang. Jauh di sisi sebelah kiri Obi, ia masih mampu melihat laut lepas dan warna merah kapal yang terbakar. Ia jarang bergerak tanpa seizin Zen, namun sepertinya perintah Zen tadi malam sudah begitu jelas.

'Jauhkan dia dari hal-hal yang tidak menyenangkan.'

Obi tidak menyalahi perintah tuannya 'kan?

Mereka berdua sudah mulai jauh dari hiruk-pikuk perkotaan dan mulai memasuki jalanan berbatu yang akan semakin menurun. Kastil Wistal berada jauh di dekat lereng pegunungan, sehingga perjalanan dari sana tentunya memakan waktu yang cukup lama menuju tempat tujuan mereka. Obi tidak tahu apa yang akan ia lakukan nanti, toh mungkin kini mereka hanya akan mengecek apa yang terjadi di pelabuhan sehingga ada kapal yang terbakar. Bukan berarti akan ada bahaya yang berarti di sana. Obi tidak butuh pikiran-pikiran negatif untuk masuk dan mendominasi benaknya. Saat ini seluruh isi pikirannya sudah penuh dengan gadis dalam rengkuhannya dan bagaimana cara menjauhkan gadis itu dari bahaya, mengingat bahwa sang gadis adalah sosok yang hobi cari-cari bahaya untuk ditakhlukkan.

"Hmph," Obi tertawa, singkat dan perlahan, hanya dengan memikirkan Leva ia selalu merasakan kedua sudut bibirnya membentuk kurva ke atas. Dan Obi tidak membenci perasaan itu. Baginya, Levanthine adalah sebuah eksistensi jenaka yang mampu mengusir segala kekesalan dalam dirinya, dan mengubahnya dalam bentuk senyuman di bibir sang pemuda.

Tidak sampai satu jam, untung saja mereka menemukan kuda. Tidak sampai satu jam perjalanan, dan kini keduanya sudah mencapai kota pelabuhan. Obi jarang menuju kota ini, namun setidaknya ia masih hafal betul jalan menuju pelabuhan. Suasana kota sudah terlihat begitu was-was, tidak seperti saat Obi kemari beberapa saat yang lalu. Lebih banyak rumah yang tertutup rapat-rapat walaupun ada kejadian seperti itu di pelabuhan, dan tentu saja Obi tahu ada yang salah dengan kota ini.

"Hngg–Obi?"

"Hai, Hime-sama." Leva tidak menyahut ataupun membalas Obi, ia mampu merasakan gerakan-gerakan kecil yang mengindikasikan ia berada di atas kuda. Namun, Leva masih merasa otaknya terambang-ambang tidak jelas karena baru terbangun dari tidur lelapnya. Hawa dingin yang begitu menusuk juga tidak serta-merta mampu membuatnya merasa lebih baik, walaupun ia sudah mengenakan jubah tebal ia masih merasa begitu menggigil.

"Sudah terlihat loh, Hime-sama." Leva mengusap kedua matanya yang masih terasa berat, benaknya sedang tidak ingin memikirkan sesuatu yang memberatkan diri, oh namun sialnya yang pertama kali terlihat kedua netranya–yang kini mampu melihat dengan jelas–adalah nyala api yang berwarna merah dan besar. "Pelabuhannya, Hime-sama, bukan kapalnya."

Benar sekali. Bukan kapalnya yang terbakar, bukan hanya kapalnya. Seluruh tanjung kini dalam keadaan terlalap api.

"Obi, turunkan aku."

"Tidak bisa, Hime-sama. Kita tidak bisa mendekat lebih dari ini." Obi menegaskan, Leva tidak akan boleh pergi dari jangkauannya.

"T-Tapi kita tidak bisa membiarkannya seperti itu, kita harus kesana dan–"

"TENANGLAH, LEVA!" Leva menoleh secara perlahan, mendapati kedua netra tembaga milik Obi menatapnya serius; menegaskan bahwa yang ia katakan adalah keharusan. Sejenak, Leva diingatkan bahwa sebenarnya dalam hal usia pun Obi jauh lebih dewasa daripada dirinya. Ia tidak tahu jika Obi bisa mengeluarkan nada bicara seperti itu. Ia tidak tahu bahwa pemuda gila senyum yang hobi merusuhi hidupnya itu bisa membuat Leva terdiam dan hanya menatap lurus pada kedua netranya yang berkilat tajam.

"L-Lalu apa yang harus kulakukan…" Obi bisa mendengar suaranya begitu lirih, seakan hanya berupa seberkas bisikan yang tidak ingin ia perdengarkan pada orang lain. Ini tidak seperti Obi tidak mau membantu mereka yang berada di pelabuhan, namun mendekat justru hanya akan membuat Leva berada dalam bahaya yang artinya adalah menyalahi perintah Zen. Jika Obi bisa menjauhkannya dari bahaya, maka ia akan melakukan apapun itu untuk memenuhinya.

"Tidak ada. Yang harus kita lakukan adalah kembali ke kastil dan meminta bantuan." Obi mengeratkan pegangannya pada kendali kuda, seraya mempersempit jangkauan gerak Leva. Persetan dengan keinginan dan sifat Leva yang terlalu suka menolong warga tidak bersalah, Obi akan membawanya kembali ke kastil. Mau ataupun tidak.

'Tidak. Jika kita kembali ke kastil, setelah kita kembali, pelabuhan ini hanya akan tinggal nama saja. Bagaimana dengan para pekerja dan nelayan di sini?'

Leva tidak bisa mengambil resiko kembali ke kastil saat ini. Apa gunanya ia dikirim ke Wistal jika ia hanya akan menjadi sosok yang sama? Seorang tuan puteri yang hanya peduli dengan dunianya sendiri tanpa mau tahu tentang orang lain, tentang penduduknya. Apa gunanya Leva kemari jika ia hanya akan datang dan menonton lalu kembali pulang? Lagipula hatinya masih tidak bisa tenang, kata-kata Grace sang perwakilan dewan pelabuhan itu masih terus membayanginya.

'Kapal itu, Ojou-chan, adalah kapal pedagang khusus dewan pelabuhan.'

Kapal, yang dibicarakan Grace adalah kapalnya yang terbakar, bukan pelabuhannya. Lalu kenapa yang ia temui saat ini hanyalah tanah pelabuhan yang terporak-porandakan api? Kenapa sejauh matanya memandang laut lepas ia tidak menemukan satupun tanda-tanda kapal yang terbakar?

'Ya. Mereka yang menyebut dirinya The Flying Dutchman.'

Dan ini… The Flying Dutchman.

Leva sudah sering mendengarnya, di beberapa buku yang ia baca di perpustakaan kastil Wistant, dan juga dari rumor yang kadangkala ia dengar. Sebuah kapal hantu, di perairan selatan dunia yang seringkali terlihat dan menenggelamkan kapal-kapal kecil yang berlayar. Namun, Clarines tidak ada sangkut pautnya dengan perairan selatan dunia. Tidak mungkin 'kan kapal hantu itu berhijrah kemari? Lagipula, Leva tidak percaya dengan keberadaan hantu, mungkin saja mereka hanya sekelompok perompak laut yang ganas dan tak kenal takut.

"Hime-sama, kita kembali ke kastil."

"Tidak. Aku tidak akan melakukannya. Ini bukan sekedar kebakaran biasa, Obi. Aku tahu itu." Leva kembali menoleh, dan sekali lagi ia melihat tatapan tajam Obi dan rahangnya yang mengeras. Terlihat dengan jelas bahwa Obi sedang menahan emosinya.

"Semakin anda mengatakan hal seperti itu, maka saya akan semakin bersikeras membawa anda kembali ke kastil."

Kenapa? Leva tidak paham, ia tidak mengerti kenapa Obi begitu bersikukuh mereka tidak boleh ada di sini. Kejadian ini tidak akan membuat Leva terluka atau apapun, well, Leva tidak bisa menjamin itu, hanya saja ini aneh.

"Levanthine,"

DEGG–

Apa ini? Obi tidak pernah memanggilku seperti ini.

"Kumohon, kali ini saja, dengarkan aku." Obi bersua, ia tidak tahu kenapa, mungkin karena hanya ada mereka berdua di sini sehingga Obi mengkhawatirkan keselamatan gadis itu. Ini akan berbeda ceritanya jika Obi kemari bersama Zen, Kiki, dan Mitsuhide.

Tapi saat ini hanya ada dia dan Leva. Obi paham kenapa Leva mengatakan ini bukan hal yang biasa, ia tahu jika mereka kembali ke kastil sekarang pasti tidak akan sempat, ia tahu seberapa besar keinginan Leva untuk terjun ke sana dan melakukan apapun itu yang kini ada di dalam benaknya. Namun, lebih daripada itu, Obi tahu jika ia tidak memiliki kepercayaan diri untuk mampu melindunginya, melindungi gadis yang kini menatapnya begitu dalam penuh tanda tanya.

Obi tahu ia kuat, namun semua ini aneh dan Obi merasakan prasangka yang begitu buruk hanya dengan melihat warna merah jauh di sana. Obi tidak akan menyangkal keinginannya untuk pergi ke bawah sana, tapi ia lebih tahu keinginannya untuk menjauhkan Leva, menjauhkan gadis dalam rengkuhannya ini, dari seluruh bahaya yang ada di sana.

"T-Tapi–" baru saja Leva akan menyangkal perkataan Obi, kalimatnya terinterupsi sebuah teriakan histeris yang kini lambat laun terdengar semakin dekat, menandakan individu tersebut berlari mendekat kemari.

"MEREKA DATANG! M-M-MEREKA DATANG! THE FLYING DUTCHMAN!"

Saat itulah kedua iris kacanya mampu menangkap bayangan di laut lepas, sebuah kapal besar dengan tiang yang agak bengkok ke sisi kanan. Sebuah kapal gelap. Mereka, The Flying Dutchman.

.

.

.

To be continued

.

.

.

Haloo, it's been a long time since I last updated this fanfiction :)

Jadi jujur aja, dulu aku hampir menyerah dan berhenti nulis ini sekitar hampir 4-5 bulan, karena aku merasa agak sia-sia menulis ini tapi semacam(?) gaada yang baca gitu wkwk. Tapi sekarang aku mulai sadar, dan keinget kalo dulu alasanku nulis ini bukan untuk dibaca, melainkan buat aku sekedar nuangin apa yang ada di kepalaku. I hope there's other people who have fun read this story as much as I really happy while writing this.

Thank u so much ^^

Salam Hangat,

Nakashima Aya

nb : aku langusng update 2 chapter yaa, sebagai permintaan maaf karena telat bangettt bangettttt updatenya 3