Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"
.
.
.
Please Enjoy to Read!
.
.
.
CHAPTER 13 – THE GOLDEN HARBOUR
Author's POV
"Zen? Kau masih belum tidur?" Mitsuhide membuka pintu ruang pribadi pangeran Zen Wisteria hanya untuk menemukan pemuda itu berdiri dalam diam sembari menatap ke sisi luar jendela. Dirinya seakan tidak tenang walaupun kini hampir seluruh tugas dan berkas untuk beberapa hari ke depan sudah mereka selesaikan. Tidak mendapatkan jawaban apapun dari Zen, Mitsuhide memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan tersebut, dan mengintip akan apa yang kini menambat di dalam tatapan Zen.
Namun, yang ia temukan hanyalah kekosongan. Tidak ada apa-apa. Bahkan sang bulan tidak sedang dalam kondisi yang bisa diperhatikan saat ini.
"Mereka belum kembali."
Mitsuhide menoleh, tatapannya terkunci pada ekspresi Zen yang tidak mampu ia baca, "Mereka?"
"Obi dan Leva."
.
.
Realm for The Hearts
Story & OC's Nakashima Aya
Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata
[There's no profit we gain from this fanfiction]
Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.
Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC
.
.
Leva tidak peduli lagi. Sungguh ia tidak peduli lagi. Gadis itu mendorong keras-keras lengan sebelah kiri milik Obi agar ia mampu membuka jalannya, dan dengan segera ia melompat turun dari kuda prajurit berwarna coklat tua tersebut tanpa sedikitpun melirik Obi. Genggaman tangannya pada sisi kanan-kiri jubah yang ia kenakan semakin lama semakin mengerat, kali ini ia tidak akan membiarkan Obi menghentikannya. Katakan saja ia egois, katakan saja ia keras kepala, namun saat ini yang benar-benar terbisikkan dalam hatinya adalah berlari dan pergi mencari tahu mengenai apa yang ada di sana.
"LEVA–"
Leva sudah berlari begitu jauh ketika Obi menyadari apa yang tengah terjadi, gadis itu bahkan tidak menoleh sedikitpun kala Obi menyebut namanya dengan begitu keras. Namun segera Obi menutup mulutnya dan memutuskan untuk turun dari kuda, menalikan tali kendali kuda pada pohon terdekat dan berlari turun menuju daratan rendah pelabuhan. Jika ia tidak bisa membawa pulang Leva baik secara halus maupun paksa, maka yang harus ia lakukan hanyalah satu, memastikan tidak ada bahaya apapun yang akan berani mendekatinya.
Pemuda itu menggigit bagian bawah bibirnya untuk menahan emosi, ia tidak paham dengan isi pikiran wanita-wanita yang ada di sekitarnya, mulai dari Shirayuki, Trow, bahkan hingga seorang bangsawan seperti Levanthine. Kenapa mereka semua hobi mencari masalah tanpa memikirkan efek pada dirinya? Mereka semua hanyalah perempuan, lemah dan tidak mampu menjaga dirinya sendiri, lalu kenapa mereka begitu mati-matian membantu orang lain jika itu hanya akan menyebabkan mereka terluka? Tidak bisakah mereka bersikap seperti wanita pada umumnya dan duduk diam seraya menunggu bantuan?
Namun, Obi tidak sadar, justru hal itulah yang menarik Obi jatuh semakin dan semakin dalam pada pesona sang gadis.
Suasana pelabuhan jika dari dekat sungguh lebih buruk daripada yang terlihat. Obi tidak ingat bahwa di sini juga terdapat perkampungan, ia pikir yang ia lihat tadi hanyalah pelabuhan biasa seperti pada umumnya. Seingatnya dulu di sini hanyalah sebuah lahan besar yang banyak dipakai sebagai tempat kapal-kapal berlabuh, yang akhirnya direnovasi besar-besaran oleh dewan pelabuhan menjadi salah satu pelabuhan besar Clarines. Jika seperti ini, terlalu banyak penduduk sipil, wajar jika nonanya bersikeras tidak akan pulang ke kastil dan meminta bantuan. Namun, sungguh memangnya apa yang bisa dilakukan seorang gadis cilik sendirian di tengah situasi seperti ini?
"–anakku masih di dalam, aku harus kembali dan menolongnya." Sayup-sayup Obi bisa mendengar percakapan dari sisi lain jalanan, namun pemuda itu tidak bisa menebak dari mana arah suara tersebut, terlalu banyak rumah yang terbakar dan asap yang membumbung tinggi untuk membantunya mengenali daerah sekitar.
Ia juga bisa mendengar suara beberapa orang lain yang sepertinya berusaha menenangkan wanita paruh baya tersebut–yang kehilangan anaknya di tengah kebakaran–tapi tetap saja Obi tidak bisa mendapati dimana asal suara tersebut.
"Oba-san, biar aku yang pergi ke dalam." Oh sialan. Jika seperti ini, mau tidak mau Obi harus menemukan asal suara itu. Seharusnya ada di dekat sini, jika Obi bisa mendengar suaranya dengan jelas, seharusnya ia berada di sekitar sini.
"A-A-Aah, Ojou-chan–"
Entah kenapa Obi ingin sekali melaknat gadis itu, bisa-bisanya ia melakukan hal senekat itu tanpa sepengetahuan Obi? Pokonya Obi harus menemukan gadis itu, harus, dan secepatnya!
.
.
.
"Oba-san, biar aku yang pergi ke dalam." Leva menyentuh pundak wanita paruh baya itu, tanpa seberkas emosi pun terlukis di wajahnya. Kedua netra gelap miliknya menatap lurus pada kilatan api yang semakin melebar ke setiap sudut rumah. Tidak ada waktu lagi, dan Leva bisa tahu jika reflektivitas dirinya pasti jauh lebih baik dari pada wanita di sampingnya ini. Kemungkinan mereka berdua bisa keluar lebih besar jika Leva yang pergi menolong anaknya. Leva lebih muda, lebih lincah, dan lebih pintar. Setidaknya Leva tidak akan panik, ya, lebih tepatnya ia tidak boleh panik.
Tanpa menghiraukan bagaimana ekspresi wanita tua di hadapannya, Leva berdiri dan beranjak memasuki bangunan setengah terbakar beberapa meter jauh dari keberadaan Obi. Segera setelah ia masuk, yang ia rasakan adalah sesak, dan rasa sakit yang begitu hebat di bagian tenggorokan. Walaupun ia tidak melihat tanda-tanda api merambat hingga ruang tamu depan, namun asap yang ditimbulkan tidak bisa dianggap remeh. Dan rambatan api yang kini semakin dekat juga harus gadis itu perhitungkan. Ia harus segera keluar dari sini, maksimal dalam waktu 10 menit, dengan atau tanpa bersama bocah yang harus ia cari.
'SESAK–'
Kedua tangan sudah ia letakkan di depan hidung untuk menghambat udara yang masuk, namun bagaimanapun juga Leva butuh bernafas, dan sesedikit apapun oksigen yang ada di dalam ruangan ini, Leva harus menghirupnya dalam-dalam. Kaki-kakinya mulai berasa berat ketika ia melangkah menaiki tangga ke lantai atas. Dan ia mulai bisa merasakan hawa panas yang tidak biasa kini mendekat dan semakin mendekat kepadanya, waktu Leva tidak banyak lagi, dan dengan bodohnya ia tetap nekat untuk mengecek lantai dua sebelum kembali keluar. Leva sudah berada di ujung teratas anak tangga ketika ia mendengar sayup-sayup suara tangisan disertai bunyi kayu yang terbakar.
'SAKIT!'
Leva tidak paham. Ia merasa sakit, ia merasa sesak, ia merasa ingin jatuh, namun gadis itu malah berlari semakin mendekati asal kebakaran. Alam bawah sadarnya memaksa agar kedua kakinya bergerak semakin dan semakin cepat, bahkan walaupun ia harus setengah menyeret kakinya yang terasa begitu berat itu dengan kedua iris abu-abu gelap yang terasa mengabur semakin waktu berselang. Pada akhirnya, netranya mampu menangkap sosok ringkih seorang gadis kecil yang kini memeluk lututnya dengan penuh sesenggukan, berada di antara kobaran api yang sebentar lagi tentunya akan mencapai kaki-kaki Leva yang sudah tidak tahu seperti apa bentuknya.
"H-Hei–uhuk–uhuk–"
Krakk–
Gadis cilik itu menoleh, kedua matanya melebar ketika melihat seseorang berada di sana dan tanpa ia sadari ia menangis lagi. "O-O-Onee-chan,"
Leva bisa merasakan sekelilingnya kini penuh dengan api yang terasa begitu panas, dan ia tahu ia tidak bisa membuang waktu lebih lama lagi. "K-Kemarilah, ayo, kemarilah."
Tapi gadis itu menggeleng.
Krakk–Krakk–
"Menakutkan, tidak mau, menakutkan." Seluruh sisi tubuh gadis belia itu bergetar hebat, menandakan bahwa ketakutannya bukanlah kebohongan belaka. Dia benar-benar ketakutan.
Kratakk–
Krakk–Kraakk–
Leva melihatnya, tiang-tiang penyangga rumah yang penuh api menyala itu, kini dalam keadaan siap menimpa tubuh gadis kecil beberapa meter di hadapannya–dan Leva juga tahu bahwa ia tidak akan sempat, sempatpun ia hanya akan bernasib tertimpa kayu panas tersebut.
"B-Bahaya–"
BRUAKK–
Leva menutup matanya begitu tiang tersebut jatuh dan menyebabkan asap mengebul hebat serta api menjalar semakin cepat. Leva tidak menyadari ketika emosi menguasai dirinya dan ia kini menangis, mengeluarkan air mata seraya memegangi dadanya yang berdenyut sakit.
"Oy, Oy, lihatlah petaka apa yang hampir saja terjadi seketika saya melepaskan pandangan dari anda, Hime-sama."
Dua iris tembaga kembar, sebuah bekas luka kecil di sudut wajah, dan senyum sejuta watt yang sama. Dia di sini. Dia berdiri di sini, di sisinya, seperti janjinya.
"O-Obi…" suara begitu lirih dan terdengar seperti bisikan, seandainya Obi tidak membaca gerak bibirnya, ia tidak akan tahu apa yang Leva katakan. Namun mengetahui gadis itu menyebut namanya sudah memberikan rasa lega yang luar biasa dalam dirinya. Oh sungguh, seandainya Obi tidak dalam keadaan mengangkat gadis kecil yang berusaha Leva selamatkan itu, kini Obi pasti sudah merengkuh erat tubuh ringkih Leva yang terlihat begitu rapuh itu.
"Anda bisa berdiri?" Leva mengangguk dan mencoba beranjak dari posisinya saat ini. Terlalu banyak asap yang ada di sini, dan ruang kosong di sekitar sudah penuh dengan api. Obi sedang memegangi gadis kecil itu sehingga Leva sadar ia tidak bisa bersandar padanya, namun hanya mengetahui bahwa kini Obi ada di dekatnya gadis itu sudah mampu membawa perasaan tenang dalam dirinya.
Dengan usaha ekstra, Leva akhirnya mampu berdiri dan berjalan mengikuti Obi. Untungnya jalan keluar berada berlawanan dengan arah kobaran api, yang sebenarnya Leva yakini sebentar lagi mampu menyusul mereka. Namun, kini yang bisa Leva lakukan hanyalah berusaha sekeras yang ia bisa agar ia mampu keluar dari sini tanpa menjadi daging Leva panggang.
Obi bisa mendengar langkah terseok-seok Leva di belakangnya, menyebabkan pemuda itu tidak menoleh barang sedikitpun dan lebih fokus memerhatikan jalannya yang kini mulai terlalap api. Sejujurnya Obi ingin berlari, namun menimbang-nimbang gadis yang kini ia gendong dan keadaan Leva yang agak buruk menyebabkan ia menepis pemikiran tersebut jauh-jauh. Lantaran tidak pula ia hafal tata ruang rumah besar ini, yang bisa ia lakukan hanyalah mengira-ngira serta menjauhi ruangan yang penuh api.
Namun, entah keberuntungan atau kebetulan yang membawa Obi mencapai pintu depan rumah besar tersebut, namun yang pasti Obi merasa sangat bersyukur. Ia berjalan semakin cepat menuju pintu keluar–toh ia mulai merasakan beban sisih di pundak kirinya membuatnya lelah–dan berhasil melangkahkan kakinya tiga langkah dari pintu depan seketika ia mampu merasakan api sudah merambat hingga ruang tamu. Obi menurunkan gadis kecil yang berada dalam gendongannya–dan tentu saja gadis itu segera berlari menuju ibunya–sebelum akhirnya menoleh dan mengecek eksistensi lain yang berada di belakangnya.
"Hime-sama! Anda baik-baik sa–"
–Namun sialnya yang ia temukan hanyalah sebuah pemandangan rumah besar yang terlalap api, tanpa terlihat sedikitpun helaian merah muda pucat nonanya.
.
.
.
Leva bukannya tidak bisa berjalan lagi, Leva bukannya terlalu lelah dan berada di ambang kesadaran untuk mengikuti Obi, Leva sehat dan ia tahu itu. Karena itulah ketika ia melihat seorang pemuda kumuh melompat dari rumah tersebut melewati jendela menuju rumah lain (yang jaraknya memang terlampau berdekatan) ia tidak bisa diam begitu saja tanpa mencari tahu. Pemuda itu, membawa pemantik api dan air yang mudah terbakar, itu artinya pemuda itu pasti ada hubungannya dengan kebakaran beruntun ini.
Mungkin Leva bukanlah orang bodoh yang akan begitu saja mengikuti musuhnya tanpa penjagaan apapun, apalagi dalam kondisi yang sebegini tidak prima karena terkena asap kebakaran. Namun, melolong dan memanggil Obi saat ini juga bukanlah pilihan yang tepat. Prioritasnya adalah menyelamatkan gadis kecil yang terjebak itu, dan Obi kini dalam misi untuk melakukannya, maka Leva tidak punya pilihan lain selain bergerak sendiri. Ya sebut saja ia ceroboh dan naif, ia tidak peduli lagi. Jika Levanthine berkata akan melakukannya maka ia pasti melakukannya.
Leva tidak yakin ia akan melakukan apa nantinya, dan apa akan terjadi jika ia mengikuti sesuatu yang sebegitu mencurigakan sendirian saja. Namun, kala kedua kakinya berlari memutar haluan kembali ke lantai atas dan mengikuti bocah pelompat jendela jahanam itu, Leva tidak bisa menghentikan dirinya. Kini ia sudah berada di ambang daun jendela berbingkai kayu tersebut dengan api yang menjalar semakin cepat di belakangnya dan ia harus memutuskan semuanya sekarang. Pergi keluar dan meminta bantuan Obi namun kehilangan si pelaku, atau pergi mengejar pelaku sekarang tanpa resiko di depan.
Well, sekarang atau tidak sama sekali, Levanthine Wisteria!
.
.
.
Ketika Grace sampai tepat di pelabuhan sungguh ia tidak tahu harus berkata apa ketika yang ia lihat adalah bocah kumuh di barak makan favoritnya itu kini berusaha masuk ke dalam sebuah rumah yang telah terbakar seutuhnya. Apa juga yang dilakukan bocah naif itu di sini? Maka yang bisa ia lakukan adalah menarik pundak kekar bocah itu dan membantingnya ke tanah.
"CHO–P-Paman?!" Obi menelan kembali ludahnya dan menatap pria tua di hadapannya dengan dua buah netra keemasan miliknya. Sungguh kebetulan macam apa yang membuatnya bertemu pria itu di sini.
OH! OH! Ya, benar juga. Dasar pria tua menyebalkan, tentu saja dia ada di sini, ia adalah anggota dewan pelabuhan.
"Apa yang mau kau lakukan anak bodoh? Membunuh dirimu sendiri?" Kedua bola mata di balik kacamata itu sungguh membuat Obi bergidik ngeri, kenapa para pria tua selalu dan selalu membuatnya kehilangan nyali?
"T-Tapi, ada seseorang yang harus kukeluarkan dari sana."
"Oh ya? Bukankah aku baru saja melihat dirimu membawa keluar seorang bocah dari sana."
"Ini seseorang yang lebih penting lagi, jauh lebih penting dari siapapun. Perempuan itu yang pertama kali berusaha menyelamatkan gadis cilik itu tadi."
Kedua netra kelabu Grace menyipit sejenak, keningnya berkerut dan sekelebat masa lalu berlalu di benaknya.
'Asal kau tahu saja, prajurit kota tidak akan membantu kita. Sudah terlambat jika mau melaporkan ini ke kastil.' Gadis itu berbalik, dan menghadap lurus pada lawan bicaranya, 'Atau…kau ingin membiarkan teman-temanmu yang di sana menjadi korban?'
"Apa yang kau maksud–gadis pengantar pesan itu? Levanthir atau siapalah itu?" Pria tua itu tertawa, sebuah tawa yang luar biasa liar layaknya pria-pria lautan, sebelum ia meletakkan tangannya menyilang di depan dada dan meneruskan kalimatnya, "Dan kau yakin gadis itu berada di sana? Asal kau tahu saja, gadis itu terlalu licik dan tajam untuk berdiam diri di dalam tempat seperti itu. Aku yakin dia sudah pergi satu langkah lebih jauh dari kita semua, HAHAHAHAHA."
Sekali lagi, Obi melirik kilatan api di balik tubuhnya.
…dan juga terlalu naif untuk membiarkan sesuatu yang berbahaya melewati dirinya begitu saja.
.
.
.
Sungguh Obi saat ini tidak tahu kenapa ia malah mengikuti pasukan dewan pelabuhan dan bukannya malah mengikuti perintah tuannya untuk menjauhkan sang tuan puteri bodoh itu dari hal-hal yang tidak menyenangkan. Karena kini ia malah sedang berada di tengah pertarungan yang luar biasa antara pasukan dewan pelabuhan dan balada bandit laut yang menyebut dirinya The Flying Dutchmann itu. Obi tidak tahu bahwa terpisah dengan tuan puterinya akan menyebabkan ia sebegitunya resah, well mungkin karena keadaannya yang cukup genting, namun selama ini ia tidak pernah merasakan hal seperti ini. Obi bersumpah jika lain kali hal seperti ini terjadi, ia tidak akan membiarkan gadis itu lolos dari pengawasannya.
Kini setelah Obi semakin dekat pada tanjung pelabuhan, ia bisa melihat dengan jelas kapal dewan pelabuhan yang terbakar dan setengah tenggelam. Sudut matanya juga mampu melirik sebuah kapal besar yang terlihat bisa rubuh kapan saja, Obi tidak perlu berpikir untuk mengetahui kapal milik siapa itu. Namun, dalam hati Obi sungguh ingin bertanya bagaimana caranya kapal bobrok seperti itu masih bisa berlayar di laut? Setiap sudut pikiran Obi memaksanya untuk kembali memikirkan Leva walaupun sejauh apa ia berusaha fokus dan memikirkan apa yang kini ada di hadapannya. Leva bukanlah anak kaya lemah, dia juga jauh dari kata bodoh, namun kenapa Obi tidak bisa tenang?
"Hoy, anak muda. Berhenti melamun dan cepat kemari." Mendengar suara Grace yang terdengar pelan dan tajam membuat Obi sekalipun tidak bisa berlaku seenaknya. Grace terlalu mirip dengan Tuan Haruka, dan Obi selalu takut pada pria-pria paruh baya pemegang kekuasaan seperti mereka. Obi berjalan mendekati Grace sembari kedua netra mematri fokus pada manusia-manusia berbaju aneh yang turun dari kapal bobrok itu.
"Sebenarnya apa yang mereka lakukan di sini?" Obi bergumam, cukup keras hingga Pak tua Grace mampu mendengarnya. Dan tentunya menjawab pertanyaan abstrak tersebut, "Memangnya kau pikir untuk apa lagi selain mencari korban?"
"Korban?" Obi tidak paham, sungguh. Namun, kini Grace tidak menjawab dan malah lebih fokus menatap kotak-kotak kayu yang dipindahkan dari kapal bobrok tersebut menuju dermaga pelabuhan. Setelah itu mereka kembali tidak dengan kotak kayu, melainkan dengan wanita-wanita yang diikat tangannya dan ditutup matanya. Baru kini Obi paham korban apa yang dimaksud Grace. Perbudakan. Mendadak benak Obi melayang pada sosok Leva yang kini tidak ia ketahui keberadaannya, rasa resah dan gemas merayap menuju hatinya tatkala ia berada begitu jauh dari objek yang seharusnya ia jaga baik-baik.
'Jangan-jangan… gadis itu…' Obi menggelengkan kepalanya dan mencoba kembali fokus pada apa yang ada di hadapannya, benar apa kata Grace, Leva bukanlah gadis bodoh yang akan masuk ke jurang maut dengan sendirinya. Setidaknya gadis itu masih punya otak untuk bertahan hidup dan menjaga dirinya sendiri.
"Jadi, apa yang ingin kau lakukan, Paman? Kita hanya tim dua orang di sini, apa yang bisa dilakukan seorang pria tua dan bocah pengelana?" Grace melirik gemas pada Obi, sungguh ia tidak bisa paham dengan anak muda jaman sekarang yang hobinya menghardik orang tua.
"Kau pikir aku sebodoh itu, anak muda? Aku datang bukan tanpa persiapan, gadis muda itu pula datang kemari bukan tanpa persiapan." Leva? Obi sungguh tidak mengerti dari mana mereka berdua saling mengenal. Dan sepertinya Obi sendiri tidak mau tahu pula bagaimana prosesnya, ia tidak akan pernah mau tahu bagaimana caranya dua orang licik bisa bertemu dan saling mengenal.
Tapi tetap saja, bagaimanapun juga Obi tetap tidak bisa menghilangkan rasa resah dalam hatinya kala gadis itu tidak berada dalam jarak pandang.
Obi menggelengkan kepalanya agar tidak lagi memikirkan hal itu dan lebih fokus pada pemandangan yang tersaji di hadapannya, dari balik kotak kayu besar pelabuhan ini, Obi bisa melihat jajaran wanita-wanita dari yang sudah matang hingga yang masih seusia Leva berbaris tepat di samping kapal tua mengerikan itu. Kedua mata mereka ditutup dengan kain asal-asalan dan tangannya ditali di bagian depan tubuh mereka, mendadak Obi membayangkan jika Leva berada di situasi seperti itu, apa yang akan Obi lakukan sekarang? Apakah ia akan mengamuk dan menjadi gila?
'Sial, aku memikirkan gadis itu lagi.'
Fokus Obi, fokus. Jika kau bisa menyelesaikan masalah ini sekarang dan saat ini juga, maka kau sudah pasti bisa memastikan tuan puterimu selamat di tempat yang tepat.
.
.
.
To be continued
.
.
.
Ya ampun, ini lama banget prosesnya /menangis/
Terakhir aku megang draft ini sekitar dua bulan yang lalu, dan ini terbiarkan terlantar begitu saja tanpa sentuhan sama sekali. Dan akhirnya, di hari ini, Aya berhasil menyelesaikan chapter ini dengan sedikit pemaksaan di sana-sini /WOYY/
Aya akui, akhir-akhir ini WB sedang menyerang buas, ditambah rl yang lagi hectic gak karuan, Aya tidak mampu untuk menuangkan kata-kata pada lembaran putih ini. Tapi insya allah, untuk ke depannya, Aya akan berusaha agar bisa update secara lebih rutin.
Thank you for all your precious time to read this fanfiction!
Salam Hangat,
Nakashima Aya
