Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"
.
.
.
Please Enjoy to Read!
.
.
.
CHAPTER 14 – THE FLYING DUTCHMANN
Author's POV
"Anda yakin, Zen?"
Zen merasakan jari-jemarinya semakin mendingin dan keringat bercucuran tak henti walaupun kini udara malam cukup dingin untuk seleranya. Sungguh, jika boleh, Zen ingin keluar dari kastil saat ini juga dan pergi mencari dua orang bodoh yang tak kunjung pulang itu. Tapi Zen lebih dari tahu, bahwa hal ini tidak boleh sampai ke Izana. Izana tidak boleh tahu bahwa malam ini, detik ini, Levanthine Wisteria tidak ada di ruangannya. Sudah cukup dengan kejadian Leva yang menghilang begitu saja dari ruangannya pasca kejadian kebakaran hutan dan Sam itu, tidak boleh lagi Izana mendengar hal-hal tidak mengenakkan seperti ini lagi.
"Kita tidak boleh membesar-besarkan hal ini, mungkin saja mereka sedang mabuk di luar sana dan tidak tahu arah jalan pulang."
Oh, alasan yang sungguh bodoh untuk otak brilian seorang Zen.
"Anda gelisah."
'Tentu saja.'
.
.
Realm for The Hearts
Story & OC's Nakashima Aya
Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata
[There's no profit we gain from this fanfiction]
Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.
Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC
.
.
Leva tidak bergeming sedikitpun. Kendati ia memang terkenal tidak punya takut, tetap saja, melihat barisan wanita dengan mata tertutup itu mampu membuatnya bergidik ngeri. Leva masih sayang nyawanya tentu saja. Ia tidak tahu bahwa sampai sekarang hal seperti itu masih ada, ia pikir budaya perdagangan manusia sudah punah sejak dulu. Namun, apa yang kini tampak tepat di depan matanya merupakan suatu hal yang tidak pernah ia bayangkan akan ia temukan di jaman modern seperti ini.
Padahal niatnya adalah mengikuti bocah yang ia lihat tadi, namun ia tidak menyangka bahwa yang ia temukan akan seperti ini. Dalam hati Leva menyesal tidak mengikuti perkataan Obi dan kembali ke kastil lebih dulu. Masalah ini bukanlah hal yang bisa Leva tangani sendirian, apalagi dengan tidak adanya Obi di sisinya, Leva sungguh yakin ia kini berada dalam masalah. Leva tidak tahu apakah ia begitu berani atau begitu bodoh hingga kini berada di sebuah situasi dimana jika 'kau-bergerak-maka-kau-mati' sehingga mau tidak mau Leva harus berdiam diri di balik kotak kayu rapuh ini seraya berdoa semoga mereka–para bajak laut itu–segera pergi.
Gadis bersurai pucat itu bisa merasakan debaran jantungnya yang tertutupi suara tangis para gadis yang kini berada hanya beberapa meter di depannya. Angin laut malam hari justru tidak membuatnya merasa lebih baik, ia merasa gerah dan tidak nyaman, belum lagi dengan seluruh skenario buruk yang kini berputar-putar di otaknya. Kemana sih Obi di saat- saat seperti ini? Justru ketika ia membutuhkannya, Obi malah menghilang. Dasar pria dan mulut manisnya.
Sekali lagi fokus netra gadis itu kembali memindai sekelilingnya, mencoba agar tidak terpaku pada kejadian di hadapannya–lebih tepatnya ia harus mencari cara untuk melarikan diri dan melakukan sesuatu.
'Baiklah, apa yang harus kulakukan sekarang?'
Leva bahkan tidak menyadarinya. Ia tidak menyadari jejak-jejak lembut yang kini mendekatinya. Semua inderanya tengah ia gunakan untuk melakukan pelarian dan usaha untuk pergi dari sini, sehingga ia bahkan tidak menyadari kehadiran seseorang di belakangnya sampai ia merasakan mulutnya dibekap oleh tangan kasar seseorang.
"Uwukkwu–kuuwukuw–"
"Sshh!"
'S-Siapa ini?' Tidak punya waktu untuk memikirkan apapun, Leva memutuskan untuk menggigit tangan siapapun–yang membekapnya–itu keras-keras lalu menggunakan siku bagian belakang tangan kanannya untuk menyikut perut sang pelaku. Leva bisa merasakan orang itu terhuyung sedikit ke belakang, dan sebelum ia sempat bereaksi Leva sudah memutar tubuhnya dan menggunakan kaki kirinya untuk melakukan tendangan samping tepat di bahu si pelaku.
BUAGH–
"Argh–Aduduh, ini menyakitkan, Hime-sama."
Eh?
"O-Obi?" Iris keabuannya membelalak ketika ia melihat sang pengirim pesan istana itu; kini tengah mencekal bahunya dengan terlihat kesakitan. Leva tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang, ia merasa marah sekaligus lega, dan senang?
"Aku senang melihat Hime-sama bisa menjaga dirinya sendiri, tapi aku tidak menyangka akan terkena tendanganmu. Ini menyakitkan." Obi berusaha berdiri dengan masih memegangi bahunya, oh tidak Leva merasa bersalah sekarang. Melihat ekspresi Leva, Obi mengeluarkan seringai nakalnya dan berkata, "Aaah, aku merasa sangat kesakitan sekarang. Kau harus bertanggung jawab Hime-sama."
'Ah, dia melakukannya lagi. Memanggilku Hime-sama namun berbicara padaku dengan bahasa yang tidak formal.'
Leva memutar bola matanya, kesal. Bisa-bisanya di saat seperti ini dan di tempat ini Obi masih mampu berusaha membuatnya kesal. Leva menarik perkataannya, ia tidak merasa bersalah sedikitpun telah menendang bocah menggelikan ini. "Aku tidak melihat ada yang salah pada dirimu. Kau menyebalkan, itu artinya kau baik-baik saja."
Obi tersenyum, kali ini senyum yang mengatakan bahwa ia lega melihat Leva baik-baik saja. Untunglah tadi ia menuruti kata-kata Grace untuk percaya pada Leva dan tidak berbuat sembarangan. Dan memang benar, ia percaya Leva mampu menjaga dirinya, well, ia bisa melakukan gerakan pertahanan diri seperti yang ia lakukan pada Obi tadi. Tapi itu bukan berarti Obi akan membiarkan gadis itu lepas dari genggamannya lagi, kali ini Obi benar-benar akan menjaga pandangannya dan mengunci gerakan gadis itu. Ia tidak akan membiarkan kesalahan yang sama terjadi untuk kedua kalinya.
"Lalu, apa yang kau lakukan di sini?" Leva masih mengintip melalui balik tumpukan kotak kayu sembari bibirnya berucap. Helaian pucatnya terlihat begitu lepek dan kotor, Obi jadi merasa tidak enak (biasanya kan wanita-wanita bangsawan tidak suka dilihat jika mereka sedang berpenampilan buruk). Obi berdehem sejenak untuk mengusir pemikiran tidak penting itu dan menjawab pertanyaan Levanthine. "Aku melihat Hime-sama di sini, dan aku harus memastikan bahwa kau baik-baik saja."
"Oh–" Leva bisa merasakan dadanya berdetak tidak jelas, apa-apaan ini? "–punya rencana untuk mengeluarkan kita dari situasi ini?"
"Tentu saja." Obi memberi jeda pada kalimatnya. Pemuda itu meraih tangan kanan Leva dan menggenggamnya erat, oh tidak, Leva bisa merasakan kehangatan memabukkan dari sentuhan Obi dan ia tidak suka itu. "Kita akan kembali ke istana. Saat ini. Sekarang juga."
"Hah?! Apa maksudmu? Kau ingin kita kembali ke istana sekarang bahkan setelah kau tahu bagaimana keadaannya?" Leva menarik genggaman tangan Obi dan membalik tubuhnya, tatapannya menohok tajam pada kedua iris tembaga Obi. Namun, yang ia temukan adalah dua buah netra menyeramkan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Sebuah ekspresi serius yang tidak pernah Leva ketahui ada dalam diri pemuda di hadapannya.
"Aku mengatakannya dan aku akan melakukannya. Bagi saya, keselamatan anda adalah yang terpenting. Saya tidak peduli dengan orang lain selain anda. Justru karena saya tahu keadaannya seperti ini, saya harus memulangkan anda ke kastil sekarang juga."
Leva marah. Bagaimana bisa pemuda itu menutup mata pada keadaan ini–pada semua perempuan yang berada di sana–hanya demi memastikan keselamatannya? Ini tidak masuk akal. Apa gunanya menyelamatkan nyawanya jika itu artinya menutup mata pada nyawa gadis-gadis ini? Mereka berdua masih saling mengunci tatapan masing-masing, mereka saling tahu bahwa mereka tidak akan bisa mengubah keputusan masing-masing. Karena itulah, Leva menghela nafas, menutup matanya sejenak dan memutus kontak mata dengan Obi.
"Kita bicarakan ini lagi nanti. Sekarang keluarkan aku dari tempat ini."
"Sesuai perintah anda, Hime-sama."
.
.
.
Zen tidak tahan lagi.
Ini sudah hampir dini hari dan mereka belum kembali. Apa yang harus ia lakukan jika Izana mencari Leva? Apa yang harus ia katakan nanti jika Izana mengetahui semuanya? Zen sungguh tidak habis pikir, sebenarnya apa yang sedang Obi dan Leva lakukan? Lebih tepatnya apa yang Leva lakukan, toh ia hanya mengutus Obi untuk mengikuti Leva dan menjauhkannya dari bahaya. Oh tidak. Entah kenapa Zen kini memikirkan kemungkinan terburuk bahwa mereka sedang terjaring masalah, yang cukup besar, dan menyebabkan Obi tidak mampu segera membawa Leva pulang.
"Mitsuhide, Kiki,"
"Anda memanggil kami, Yang Mulia?" Zen membalik tubuhnya, mengalihkan pandangan dari jendela besar ruang kerjanya yang berembun, kepada dua abdinya yang kini berdiri dengan senyum di hadapannya. Ia lukiskan lengkungan di bibir sejenak, sebelum kembali menampilkan wajah serius dan berkata, "Kita pergi."
"Sesuai perintah anda, Yang Muli–"
BRUAK–
Sang pangeran istana dan dua abdinya menoleh, mendapati salah satu kawannya yang terlihat cukup babak belur dengan sang putri di punggungnya; tidak sadarkan diri.
"Obi?"
"Aruji, bagaimana ini?"
"Baringkan dia di sana, Kiki panggil Shirayuki. Mitsuhide, pastikan kakakku belum tahu mengenai ini."
Tanpa mengatakan apapun, mereka bergerak menuju perintah tuannya. Sedangkan Obi dan Zen membaringkan Levanthine di sofa besar ruang kerja Zen. Tidak ada kasur di sini, sehingga mau tidak mau ini dulu yang harus mereka lakukan. Dengan sangat hati-hati Obi meletakkan gadis itu, dengan segera Zen mengambil selimut dari lemari dan menyelimuti adiknya itu. Ia melihat tidak ada luka yang begitu berarti pada Leva, hanya beberapa memar dan luka gores yang bisa disamarkan sebagai hasil latihan panahan mereka. Bukan berarti Zen tidak mengkhawatirkan Leva, namun amarah Izana jauh lebih menakutkan jika beliau tahu asal semua luka ini.
"Aruji,"
Zen menoleh, mendapati Obi yang terlihat agak frustasi. Obi mengacak rambutnya (bahkan setengah menarik) dan tidak berani menatap Zen secara langsung. Ini bukan pertama kalinya Obi seperti ini, Zen pernah melihatnya ketika kejadian Shirayuki di Tanbarun. Karena itulah Zen tahu apa yang harus ia lakukan.
"Aruji, saya gagal menuruti perintah anda."
"Ya, aku tahu."
"Saya tidak bisa menjauhkan Tuan Putri Levanthine dari hal-hal yang tidak menyenangkan."
"Ya."
"Hukum aku, Aruji." Zen yang berdiri di sisi lain sofa berjalan perlahan hingga berada di hadapan Obi. Oh, Obi sungguh merasakan rasa takut yang luar biasa sekarang. "Berdiri."
Masih tidak berani menatap mata Zen, pemuda itu berdiri sehingga memperlihatkan tingginya yang di atas Zen. Zen memperhatikan Obi dari atas sampai bawah, bahkan luka-lukanya lebih parah dari Leva dan dia tidak mengeluh sedikitpun. Zen kesal Obi tidak mau mengangkat kepalanya, Zen tidak suka Obi yang tidak percaya diri seperti ini.
"Berbalik, hadap sana." Sekali lagi, Zen kesal, Obi bahkan tidak mempertanyakan perintahnya seperti Obi yang biasanya. Setelah Obi benar-benar membelakangi Zen, sang pangeran tersebut berjalan mendekati Obi dan menendang keras bagian belakang lutut sang pengantar pesan sehingga ia terjungkak ke depan dan terantuk lantai–dahi lebih dulu.
"Untuk apa ini, Aruji?!" Obi memegangi dahinya dan membalik tubuhnya, lalu menatap kedua netra tuannya yang kini terlihat tersenyum.
"Lihat betapa parahnya lukamu dan kau masih mengatakan jika kau tidak mampu menjalankan tugasmu? Luka-lukamu bahkan jauh lebih parah daripada Leva dan kau malah menyalahkan dirimu. Dasar tidak berguna! Ah aku lelah berbicara dengan orang tidak berguna." Zen beranjak dan berjongkok di samping Leva, tidak mau lagi menatap Obi.
Obi tersenyum. Bagaimana ia tidak loyal jika tuannya seperti ini? Obi tidak punya alasan untuk tidak loyal pada Zen. Obi tidak punya alasan untuk mempertanyakan segala perintahnya. Obi tidak punya alasan untuk mengkhianati tuannya. Obi tidak punya alasan untuk pergi dari sisi tuannya. Karena tuannya adalah Zen Wisteria, dan Obi siap menjadi abdinya sampai kapanpun.
Tok–Tok–Tok–
"Zen, aku masuk ya."
Pintu terbuka perlahan, Kiki dan Shirayuki masuk dengan mengenakan jubah musim dinginnya. Disusul Mitsuhide yang memutuskan untuk tetap berjaga di dekat pintu jika saja ada seseorang yang ingin masuk. Shirayuki segera berlari ke sisi sebelah kanan sofa dan membuka selimut yang menutupi sebagian tubuh Leva, ia mengobservasi luka-luka Leva satu persatu dan menghela nafas lega. Tidak ada luka yang berarti. Lalu kenapa ia tidak sadarkan diri?
"Obi, kenapa Hime-sama tidak sadarkan diri?"
Obi menggaruk tengkuknya perlahan dan berkata, "Aku terpaksa melakukannya, gadis itu tidak mau pulang bahkan setelah keadaannya menjadi sangat parah."
Oh, jadi Obi yang menyebabkan Tuan Putri tidak sadarkan diri. Kalau begitu tidak ada luka yang berarti.
"Apa yang terjadi? Kemana saja kalian tadi?" Zen mengode Obi agar duduk dan menenangkan diri lalu menceritakan apa yang terjadi, Zen harus tahu apa yang mereka alami agar bisa menutupi kejadian ini dari Izana. Shirayuki menuang teh herbal dan meletakkannya di meja di hadapan Obi lalu kembali untuk mengobati luka-luka kecil Leva.
"Kami pergi ke pesisir, ke pelabuhan."
"HAH?! PELABUHAN?! Apa yang kau lakukan di sana?" Zen mengacak-acak rambutnya, tidak habis pikir, semua itu pasti ide Leva. Dasar gadis bodoh.
Mitsuhide yang awalnya berada di bibir pintu memutuskan untuk benar-benar masuk dan berdiri di samping Kiki. Membuat Kiki ingin menggodanya karena rasa ingin tahunya yang tinggi.
"Awalnya aku mengikuti Hime-sama secara diam-diam hingga pusat kota, setelah itu kami melihat api di dekat lautan dan Hime-sama meminta kita untuk menginspeksinya. Setelah mendapatkan kuda kami berangkat menuju pelabuhan, namun di sana yang kami temukan adalah pelabuhan yang terbakar hebat dan penduduk yang kebingungan. Aku meminta agar kita kembali saja ke istana, namun Hime-sama bersikeras bahwa tidak akan sempat jika harus kembali ke istana lebih dulu. Pada akhirnya aku tidak bisa menahan Hime-sama dan…
3 jam sebelum Obi bercerita–
"Hime-sama," Leva tidak mau menoleh, Leva tidak mau mendengar pemuda itu.
"Hime-sama," Leva masih tidak mau menggubrisnya.
"Levanthine,"
DEGG–
"A-Apa?" Leva berhenti berjalan, tubuhnya terasa kaku dan jantungnya berdetak tidak karuan. Lagi-lagi pemuda itu membuatnya merasakan perasaan aneh ini.
Obi meraih pergelangan tangan kiri Leva dan meremasnya perlahan, memberikan kehangatan yang aneh pada diri sang gadis. Dengan lembut, Obi berkata (tepat di telinga si gadis), "Ayo pulang, kembali ke kastil."
Dasar pria gila. Leva masih tidak habis pikir bagaimana dia tidak peduli pada keadaan ini. "Sudah kubilang aku tidak mau. Jika masalah di sini sudah selesai, kita pulang."
Obi bisa benar-benar menjadi gila jika tuan puteri di hadapannya ini masih saja bersikeras tidak mau kembali ke kastil. Jika saja ini hanya perbuatan bandit biasa, Obi tidak akan segan-segan untuk mengikuti keinginan Leva dan menumpas habis bajak laut tidak jelas itu. Tapi, perbudakan? Tidak ada bandit biasa yang bisa melakukan hal seperti ini tanpa terdengar pihak kastil sedikitpun. Dan itu artinya kasus ini bukan kasus biasa, pasti ada permainan orang dalam. Dan hal itu jauh lebih berbahaya dari bandit manapun (apalagi untuk Leva yang merupakan orang dalam kastil Wistal).
Leva masih tidak mau menoleh dan menatap dua netra Obi yang semakin melunak setiap detiknya, dan Obi masih tidak mau melepas genggaman tangan Leva yang memanas setiap detiknya. Dan keduanya sama-sama bersikukuh untuk menjaga gengsi masing-masing untuk saling menyembunyikan rasa yang tercipta di antara keduanya.
…
"O-Obi," Leva melirik sebentar ke arah Obi lalu kembali mengalihkan pandangannya, tidak mau menjalin kontak mata apapun dengan Obi.
"Ya?" Obi menjawab, namun tidak ada satu patah katapun yang keluar dari bibir Leva. Dan sungguh ya tuhan itu membuat Obi merasa sangat tidak nyaman. Apa-apaan dengan rasa berdenyut yang kini merangsang seluruh denyut nadinya itu?
Belum sempat Obi mengklarifikasi maksud Leva, ia sudah melihat gelagat-gelagat tidak enak dari sekitarnya. Obi bisa merasakan ada beberapa pasang mata yang mengintai–entah dalam artian baik ataupun buruk–dan hal itu membuat Obi was-was dan semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Leva (membuat gadis itu berjengit dan sedikit mengaduh).
"Tetap didekatku, Leva. Jangan pergi dariku." Mendengar perkataan Obi, mau tidak mau Leva mengeratkan genggaman tangan Obi. Jujur saja ia takut. Ia tahu semua ini berbahaya, ia tidak bodoh. Tapi setelah kejadian dengan Sam kemarin, ia lebih dari tahu bahwa dewan istana pasti mulai mempertanyakan kesanggupan dirinya menanggung beban seorang putri raja dan tentu saja memperhatikan gerak-geriknya. Jika Leva tidak segera bertindak untuk memperbaiki martabatnya, bukan tidak mungkin jika mereka akan mulai menyerang Leva secara terang-terangan.
Sudah bukan hal baru jika dewan istana mempertanyakan loyalitas Leva pada kerajaan Clarines. Sudah bukan hal baru lagi jika mereka mencoba menjegal Leva dari kursi pemerintahan. Sudah bukan hal baru lagi jika Leva harus terus berlindung di balik Yang Mulia Izana agar bisa terus bertahan hidup.
Karena itulah dulu Izana mengirimnya ke kastil Wistant dengan dalih membantu Yang Mulia Ratu. Izana hanya ingin Leva jauh dari ancaman dewan istana. Dan dengan kembalinya Leva ke kastil Wistal, hanya akan menjadi suatu ajang kudeta dewan istana agar Leva segera turun dari jabatannya yang sekarang.
"Hime-sama?"
"Y-Ya?" Leva terbangun dari lamunannya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Bagaimana ini? Berpikir, Leva berpikirlah! Pikirkan sesuatu yang bisa mengeluarkanmu dari situasi ini.
"Aku akan membuat jalan agar kita bisa keluar dari sini. Kita harus segera kembali ke kastil."
Leva tersentak, tidak, ia tidak boleh kembali sekarang, ia harus membuktikan bahwa ia memang pantas berada di sisi pangeran Izana dan pangeran Zen. "T-Tidak! Aku…aku tidak bisa."
"Hime-sama!" Obi terdengar lelah, nada bicaranya membuat Leva merasa bersalah. "G-Gomen." Leva bergumam, ia tidak tahu apakah Obi bisa mendengarnya. Namun dari sorot mata Obi yang tidak berubah, Leva tahu bahwa Obi tidak mendengarnya.
Leva tidak bodoh, ia bisa merasakan beberapa pasang mata yang menginspeksinya, bagaimana mereka melangkahkan kaki-kaki terlatihnya dari balik bayang dan mendekati Leva secara perlahan. Leva tahu, dan tanpa perlu melihatnya Leva bisa memastikan bahwa mereka adalah salah satu dari para bajak laut biadab itu. Namun, untuk pergi dari sini setelah ia sudah sejauh ini? Leva tidak bisa.
"Hime-sama, anda masih tidak mau kembali ke kastil?"
"Tidak. Dan jangan paksa aku."
Obi melepas genggaman tangannya, dan seketika Leva merasakan hatinya mencelos. Ada rasa hampa yang tidak biasa di sana.
"Kalau begitu maafkan perlakukan saya."
BUAGH–
Yang bisa Leva rasakan selanjutnya hanyalah gelap, hitam, dan ia jatuh dalam pelukan Obi.
.
.
"–dan kau membawanya kembali kemari."
Obi mengangguk. Rasa bersalah masih bersarang di dalam dada pemuda itu, seharusnya ia menghentikan Leva sejak awal agar gadis itu tidak pernah tahu apa yang terjadi di sana dan tidak akan berakhir terluka seperti ini. Memang hanya beberapa luka ringan dan keracunan asap, namun bukan tidak mungkin jika Obi mengulangi hal ini maka Leva akan cidera dalam taraf yang lebih serius.
"Maafkan saya, Aruji." Zen hanya diam, begitu juga Kiki dan Mitsuhide. Sejujurnya mendengar berita perbudakan di dalam ruang lingkup kerajaan adalah hal yang sungguh di luar perkiraan mereka. Apalagi daerah tersebut adalah salah satu daerah kekuasaan Zen, pelabuhan adalah daerah yang seharusnya di bawah pengawasan pangeran kedua Clarines, tapi tidak sekalipun Zen mendengar laporan mengenai tindak mencurigakan berupa bajak laut apalagi perbudakan.
"Aku tidak pernah mendengar apapun mengenai itu Zen, baik dari penjaga maupun dari dewan pelabuhan." Mitsuhide bersua. Zen tidak menjawab, namun dalam hati segala bentuk pikiran telah berkecamuk tidak jelas dan membuatnya merasa bingung. Ia membawa keningnya menuju kedua tangannya yang bertautan, iris kacanya menutup tidak tenang dan ia bisa merasakan nafasnya semakin berat setiap detiknya.
"Zen," Pemuda itu bisa mendengar Shirayuki, namun hatinya tidak sanggup untuk menjawabnya, sehingga ia tidak menggubris panggilan gadis itu.
Tok–Tok–Tok–
"Zen-sama."
Suara itu.
"Zen, bukankah itu, anggota dewan istana?" Sial. Zen tidak pernah berpikir mereka akan bergerak secepat ini. Ia memutuskan untuk tidak menjawab, dan meminta semua yang ada di dalam ruangan ini untuk diam.
"Zen-sama, kami meminta kehadiran anda untuk rapat darurat dewan istana perihal hilangnya Tuan Puteri Levanthine."
Sialan. Zen benar-benar tidak berkutik.
.
.
.
ALOHAA!
Finally, setelah sekian hiatus yang agak panjang akhirnya Aya mampu menyelesaikan chapter ini. Well, bagi yang bingung mengenai dewan-dewan di sini, dewan itu semacam perwakilan kerajaan. Jadi kalo dewan pelabuhan maka mereka adalah perwakilan kerajaan dalam mengelola pelabuhan, sama halnya dengan dewan istana mereka yang mengurusi tetek bengek di istana.
Oiya, buat yang terkepo kepo Grace kemana, tenang aja, dia bakal muncul lagi kok, dan nasibnya akan lebih jelas dari ini wkwkwk.
At last, semoga kalian terhibur!
Salam Hangat,
Nakashima Aya
