Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"

.

.

.

Please Enjoy to Read!

.

.

.

CHAPTER 15 – LATE NITE JUDGEMENT

Author's POV

Tok–Tok–Tok–

"Zen-sama."

Suara itu.

"Zen, bukankah itu, anggota dewan istana?" Sial. Zen tidak pernah berpikir mereka akan bergerak secepat ini. Ia memutuskan untuk tidak menjawab, dan meminta semua yang ada di dalam ruangan ini untuk diam.

"Zen-sama, kami meminta kehadiran anda untuk rapat darurat dewan istana perihal hilangnya Tuan Puteri Levanthine."

Sialan. Zen benar-benar tidak mampu berkutik.

.

.

Realm for The Hearts

Story & OC's Nakashima Aya

Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata

[There's no profit we gain from this fanfiction]

Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.

Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC

.

.

Izana tidak habis pikir. Demi Tuhan, ini pukul dua dini hari dan seorang utusan dewan istana menggedor pintunya hanya untuk mengatakan bahwa mereka mengadakan rapat darurat? Atas hilangnya Leva? Memangnya kemana lagi gadis itu kali ini?

Dengan wajah tertekuk, pria muda itu menanggalkan jubah tidurnya dan menggantinya dengan baju yang lebih formal. Meskipun ia benci melakukan ini, namun jika yang dipermasalahkan sekarang adalah Leva maka mau tidak mau ia harus bergegas sekarang juga. Sudah pasti dewan istana merencanakan sesuatu, dan Izana tidak akan diam begitu saja menuruti keinginan mereka.

Langkah-langkah angkuh Izana terdengar hingga ujung lorong utama istana, jika ini adalah rapat darurat maka seharusnya mereka juga mengundang Zen; dan Izana yakin Zen tahu dimana gadis itu sekarang. Karena itulah Izana akan datang ke pertemuan dewan istana dengan wajah diangkat ke atas dan menunjuk seberapa besar keangkuhannya di depan para pria tua sombong itu.

BRAKK–

"Y-Yang Mulia Izana." Mendengar nada bicara salah satu petinggi istana yang terdengar agak gagap itu Izana tahu bahwa mereka tidak mengira Izana akan datang secepat ini. Bahkan mungkin saja tadinya mereka masih membicarakan sesuatu yang tidak seharusnya Izana tahu.

"Segera mulai pertemuannya. Kalian mengganggu waktu istirahatku."

"T-Tentu, Y-Yang Mulia. Akan segera kami laksanakan."

.

.

.

Kedua tangan gadis itu terlihat sibuk, menumbuk lalu membakar tanaman herbal dan menyeduh obat. Dan semua harus ia lakukan secepat mungkin di ruangan ini, ia tidak boleh terlihat keluar dari kamar ini sedikitpun. Beruntunglah masih ada Obi di sini yang menemaninya dan mengurangi tensi ketegangan dalam dirinya.

Pertama, ia harus mengeluarkan racun asap kebakaran dari dalam pernafasan Tuan Putri. Lalu, ia harus menutupi luka-lukanya dengan bubuk agar tidak terlihat. Yang ketiga ia harus membuat Leva terlihat tidak begitu pucat, dan yang terakhir membuat gadis itu terbangun, entah bagaimanapun caranya.

"Ojou-san, kau baik-baik saja?" Shirayuki mengangguk. Tidak melepaskan fokusnya sedikitpun dan masih dengan teliti mengerjakan tugasnya. Obi mendengus sejenak sebelum berjalan menuju balkon depan ruang kerja Zen dan melihat ke sisi luar jendela, ia bisa melihat dengan jelas halaman kastil yang kini terlihat sibuk, beberapa pengawal berlari ke sana ke mari dan beberapa orang dengan seragam aneh yang terlihat mewah terlihat berjalan dengan berbaris (ditemani beberapa pengawal di sekeliling mereka).

'Jadi mereka yang disebut Aruji sebagai Dewan Istana? Terlihat menyebalkan dan menyedihkan.' Kedua iris kekuningan miliknya berkilat tajam, merasa tidak aman dengan kehadiran mereka. Dewan istana jarang terlihat, tapi sekalinya mereka terlihat biasanya pasti akan ada sesuatu yang terjadi, kata Zen. Dan kini mereka akan melibatkan Leva.

Obi memutar bola matanya sejenak sebelum mengedarkan netranya dan melirik dua individu lain di ruangan ini. Dadanya berdegup tidak karuan, namun bukan karena perempuan yang sama. Pemuda itu ketakutan. Ia takut terjadi hal yang mengerikan pada diri gadis bersurai pucat yang kini terbaring lemah di sana. Ia tidak mau gadis itu mengalami hal yang tidak menyenangkan lagi. Sudah cukup kegelapan hadir dalam hatinya setelah dikhianati salah satu abdinya, gadis itu tidak seharusnya menerima hal buruk lebih dari yang sudah terjadi pada dirinya.

Klontang–Klontang–

Kedua kakinya memilih untuk menjauhi jendela dan berjalan mendekati Leva, ia bisa melihat seberapa sibuknya Shirayuki tengah bekerja keras melakukan tugasnya. Obi bisa merasakan dadanya menghangat, melihat gadis itu bekerja keras, Obi tahu bahwa ia sendiri harus bekerja keras.

Tanpa ia sadari tangan kanannya mulai membelai lembut helaian merah muda pucat sang gadis, begitu perlahan seakan gadis itu adalah suatu eksistensi yang begitu rapuh.

"Leva, bangunlah."

Shirayuki tidak tahu bahwa Obi bisa mengeluarkan suara selembut itu. Bahkan pada Zen sekalipun, Obi tidak pernah bertutur kata selembut yang kini Shirayuki dengar. Tanpa sadar seberkas senyuman hinggap di bibir Shirayuki seraya ia kembali mencoba memfokuskan diri pada tugasnya (selagi Obi harus bisa membangunkan Leva). Bau serbuk yang bercampur dengan aroma seduhan obat herbal memenuhi ruangan ini, memberi suasana kerja optimal pada Shirayuki yang sudah terbiasa bekerja di ruang pharmacist.

Netra Obi mau tidak mau melirik sedikit gadis bersurai merah di sampingnya, melihat seberapa keras gadis itu bekerja dan bagaimana keringat membuat surainya yang indah terlihat lepek membuat Obi memasang senyum simpul di bibir. Namun, walaupun begitu hanya satu kata yang Obi sadari mampu menggambarkan gadis itu. Indah.

"Obi? Ada yang aneh di wajahku?" Obi tersentak, dan sesegera mungkin memalingkan pandangannya kembali pada Leva yang terbujur kaku di sofa. Tidak mendapat satupun balasan dari Obi, Shirayuki menaikkan bahunya dan kembali bekerja.

Kembali netra Obi berkeliling dan mendapati fajar mulai menyingsing dari sisi luar jendela, ini buruk, mereka tidak punya waktu lagi. Leva harus dan wajib bangun sekarang juga.

"Hime-sama–Levanthine, kumohon, bangunlah. Demi Zen. Demi…aku."

.

.

.

"Apa maksudmu, Zen? Katakan dengan jelas."

BRAKK–

Izana menggebrak meja di hadapannya, membuat Zen tersentak sejenak, namun dengan segera ia mengembalikan postur tubuhnya dan berdehem. "Seperti yang kukatakan."

Kedua irisnya berkeliling dan menatap satu persatu anggota dewan istana yang kini berada di dalam lingkaran pertemuan itu–tepat di mata masing-masing bajingan menyebalkan itu–lalu menatap kakak kandungnya sembari berkata. "Leva saat ini sedang berada di ruanganku, sepertinya aku memberi pelatihan terlalu keras padanya sehingga ia merasa lelah. Dan aku meminta Shirayuki untuk memberikan pelayanan kesembuhan privasi padanya."

Zen bisa merasakan tatapan tajam para dewan istana, mereka tahu bahwa Zen sedang berusaha membujuk mereka.

"Aku yakin sebentar lagi Tuan Puteri Levanthine akan datang kemari." Pemuda itu mencoba mengeluarkan seringai terbaik yang bisa ia keluarkan sekarang, toh sebenarnya Zen sendiri sedang bertaruh. Ia tidak yakin Leva akan datang, apalagi sekarang, karena itulah ia harus mengulur waktu selama mungkin sampai Leva kemari.

Izana menarik dirinya dari meja, dan duduk dengan tegap pada kursinya. Ia paham maksud adiknya, yang pasti adiknya berusaha mengulur waktu, dan mau tidak mau Izana harus mengikuti cara bermain Zen saat ini.

"T-Tapi Pangeran, salah seorang abdi kami telah berkata bahwa ia melihat Nona Muda Levanthine di barak nelayan petang ini."

Zen berjengit sedikit. Namun, sesegera mungkin ia mengembalikan emosi netral ke dalam dirinya (tidak boleh ada yang tahu jika ia tengah mengulur waktu).

"Oh ya? Kau tahu bahwa sebuah pernyataan harus disertai dengan bukti kan?" Pemuda bersurai kelabu itu menaikkan alisnya dengan congkak, tatapan matanya menohok dan ia menyilangkan kedua tangannya di depan dengan sikap arogan.

Salah seorang tetua dewan istana berdiri, irisnya menatap tajam Zen dalam tatapan menantang; ia tahu bahwa Zen hanya berusaha mengulur waktu. Karena memang bisa dipastikan Leva keluar dari lingkup istana pada jam malam, yang tidak ia ketahui adalah kenyataan bahwa sebenarnya Leva sudah kembali ke istana walau dalam keadaan kurang baik.

"Maafkan kelancangan saya, Yang Mulia. Tapi seorang saksi adalah sebuah bentuk bukti paling konkrit–"

"Dan juga paling hina." Izana memotong. Ia membuka matanya yang semula tertutup, netranya berkeliling jauh namun bibirnya berbicara, "Seorang saksi bisa saja berkata jujur, bisa juga berbohong."

Izana membalik tubuhnya dan menatap lurus pada Zen, sang adik kini hanya mencengkeram ujung lengan jubahnya dengan tangannya yang sungguh terasa membeku. Jujur saja Zen tidak tahu lagi harus bersiasat seperti apa, ia bukan Leva yang bisa dengan mudah memecahkan sebuah masalah dengan menciptakan masalah baru.

Semua terdiam. Hingga akhirnya sang tetua kembali berucap, "Kalau begitu mari kita buktikan saja. Keberadaan Nona Muda Levanthine."

Oh, sungguh betapa Zen ingin berkata kasar sekarang ini. Bagaimana bisa ia memanggil Leva yang notabene memiliki jabatan sebagai tuan putri dengan sebutan nona?

Princess and Miss are pretty much different.

Tapi toh sekarang yang harus ia pedulikan bukan mengenai hal itu, namun tentang keadaan Leva saat ini, jika mereka mengecek kediaman Zen dan melihat keadaan Leva yang penuh luka bakar, bukan tidak mungkin mereka akan curiga mengenai perihal keberadaan Leva pada malam hari ini. Dan bukan tidak mungkin pula Obi akan kena getahnya.

"Oh? Kau akan menggeledah kediaman seorang pangeran pada jam-jam seperti ini?" Belum sempat Zen berkata apapun, Izana sudah kembali melontarkan kalimat dengan mata tertutup. Mungkin lebih baik Zen menyerahkan masalah ini pada Izana saja, toh kakaknya itu lebih ditakuti daripada dirinya yang masih sebesar anak ayam (kecil dan tidak berdaya).

"Anda mengatakan bahwa saya harus menyediakan bukti? Dan kini saya akan menyajikan bukti itu tepat di hadapan anda. Jika saja Nona Muda Leva tidak ada di kamar Pangeran Zen, maka Pangeran Zen pula yang akan dipertanyakan."

Zen terdiam, ia tahu dengan pasti hal itu, karena itulah ia bersikeras untuk mengulur waktu hingga Leva terbangun dari pingsannya dan mampu membungkam orang-orang tua tidak beradab di hadapannya ini. Tapi sungguh Zen tidak bisa mengulur waktu lebih lama lagi, dan sepertinya kakaknya juga sudah kehabisan ide. Kedua kakinya mengetuk halus lantai ruangan tanpa menimbulkan suara, tanda ia merasakan kegugupan yang luar biasa.

"Ada apa, Yang Mulia? Apakah Anda ta–"

Tok–Tok–Tok–

Sang tetua dengan jubah putih tersebut menggeram kesal–karena kalimatnya baru saja terpotong oleh bunyi ketukan pintu yang terdengar lembut itu–namun dengan segera ia berdiri dari kursinya dan berujar, "Siapa yang berani menganggu rapat darurat kerajaan?"

BRAKK–

"Oh ya? Bukankah kau sendiri yang mencariku sedari tadi?"

Pintu terbuka dan seketika helaian merah muda pucat dikawal sang pemuda bermata kucing terlihat di bibir pintu, bersamaan dengan helaan nafas panjang yang luar biasa dari Yang Mulia Zen dan senyum singkat dari Izana. Gadis itu melangkah masuk sembari merapatkan jubahnya, merasa kedinginan sekaligus gugup karena ia menyembunyikan berbagai luka di balik jubah tersebut.

"Well, Well, lihat siapa yang akhirnya hadir di antara kita, Nona muda Levanthine."

"Jaga bicaramu, tuan Ekson. Aku sudah berusaha menahan diri sejak tadi." Izana berdiri dari tempat duduknyam berjalan begitu perlahan lalu menepuk pundak Leva ketika ia sudah berada di depannya dan kembali berkata, "Kalian selalu saja membesar-besarkan hal yang tidak penting. Aku kembali ke kediamanku."

Bersamaan dengan keluarnya Izana, dibarengi dengan beberapa anggota muda Dewan Istana yang merasa telah melakukan tindakan penuh dosa dengan bersikap tidak hormat pada Izana, meninggalkan Leva bersama Zen dan salah satu tetua Dewan Istana, Ekson, di dalam ruangan itu. Leva tidak suka ini, ia tidak suka tensi yang ditimbulkan kapanpun ia melihat wajah pria tua itu.

Ekson berdehem sejenak, "Senang melihat anda baik-baik saja, Nona Leva."

"Haha, senang melihatmu masih peduli padaku, Tuan Ekson." Dengan itu Ekson beranjak dari kursinya dan pergi dari hadapan Leva. Oh, Leva merasa seluruh energinya terkuras hanya dalam waktu satu malam, dan entah kenapa ia merasa kedua kakinya tidak bisa menahan beban tubuhnya lebih lama lagi. Sehingga yang bisa ia lakukan adalah menjatuhkan dirinya ke tanah dan memegangi kepalanya yang terasa begitu pening.

"LEVA/Hime-sama!" Ia bisa mendengar kedua pemuda di dalam ruangan ini memanggil namanya, namun ia hanya mampu melambaikan tangan tanpa membalasnya.

"Kau berhutang banyak penjelasan padaku, Levanthine Wisteria." Zen berujar, tangan menopang dagu di meja.

"Ya, setidaknya biarkan aku tidur untuk sisa malam ini."

.

.

.

Hal pertama yang ia rasakan ketika bangun adalah pening luar biasa, semerbak aroma segar teh herbal serta suara beberapa orang yang saling bercakap-cakap satu sama lain. Dan ketika ia memaksa diri untuk membuka kedua bola mata kacanya, yang ia lihat adalah Shirayuki dan Kiki saling berbincang satu sama lain, dan seorang bocah kecil yang ia ketahui bernama Ryuu tengah mendengarkan mereka berdua dalam diam; sesekali ikut tersenyum.

"Unggg–" erangan kecil lolos dari bibirnya ketika gadis bersurai pucat itu berusaha bangkit dari tidurnya–menyebabkan orang-orang di dalam ruangan itu terkejut dan mengalihkan fokus pembicaraan pada dirinya.

"Hime-sama, minum dulu." Leva mengambil gelas kaca kecil dari tangan Shirayuki dan menenggaknya dengan begitu perlahan. Ia masih bisa merasakan tenggorokannya tercekat, bahkan ia masih mengingat bagaimana buruknya tenggorokannya pasca terkena kebakaran kemarin. "Oh, aku merasa tubuhku berat." Leva menggumam, mendengar hal tersebut Shirayuki mengeluarkan tawa singkat lalu segera beranjak meracik beberapa obat-obatan.

"Bagaimana perasaan Anda?" Leva menoleh, mendapati salah satu abdi sepupu laki-lakinya kini berdiri sembari melipat tangan di depan dada.

"Buruk. Aku masih tidak bisa berpikir dengan benar."

"Ini akibatnya jika anda keluar tanpa mengatakan apapun pada Zen. Apa jadinya jika Obi tidak bersama anda kemarin? Anda ingin Yang Mulia Izana terkena serangan jantung karena terbangun akibat mendengar anda pulang tinggal nama?" ah, Leva kena marah lagi. Ia benci dimarahi, tapi lebih dari itu ia benci ketika ia memang pantas dimarahi. Leva tahu perbuatannya kemarin begitu ceroboh dan tanpa persiapan yang matang, ia bahkan sempat kehilangan akalnya (beberapa kali) di pelabuhan.

"M-Maaf." Well, setidaknya Leva masih bisa menurunkan harga dirinya dan mengatakan kata maaf.

"Hah, sudahlah, saya akan mengatakan pada Zen-sama bahwa anda sudah sadar." Leva menatap punggung Kiki yang semakin lama terlihat semakin jauh sebelum akhirnya wanita muda itu pergi keluar dari ruang tidurnya.

Entah kenapa Leva merasa bersalah, selama ini ia tidak begitu akrab dengan Kiki maupun Mitsuhide, dan mereka selalu memperlakukan dirinya selayaknya seorang tuan puteri (tidak seperti Zen yang memang meminta secara langsung untuk diperlakukan sebagai seorang teman), jadi ini pertama kali dalam hidupnya seseorang yang bukan anggota keluarganya memarahinya seperti itu. Namun, bukannya kesal, entah mengapa Leva merasa…senang?

"Hime-sama, bagaimana rasanya?" Leva terlonjak ketika ia mendengar suara ikemen seseorang dari sisi kanan ranjangnya. Ternyata Ryuu.

"Umm…aku merasa mual, dan tenggorokanku tidak enak, seperti ada sesuatu yang mengganjal. Mataku juga terasa berat."

Ryuu hanya diam sejenak tanpa mengatakan apapun lalu berjalan menuju Shirayuki dan mengatakan sesuatu dengan istilah yang Leva tidak ketahui, mungkin istilah medis. Tidak lama setelah itu Shirayuki berlari keluar, meninggalkan Leva berdua dengan Ryuu.

Leva mengeluarkan sedikit kekuatannya untuk duduk–dengan masih bersandar pada bantalan di bagian belakang tubuhnya–kedua irisnya berpendar menuju jendela besar berjarak beberapa meter di sisi sebelah kanan ranjangnya. Matahari bersinar kuat menembus pilar-pilar jendela, dibarengi dengan helaian angin yang cukup kencang, bukan hari yang menyenangkan untuk dihabiskan dengan berada di luar ruangan. Leva cukup lega hari-harinya bisa ia habiskan di dalam ruangan untuk beberapa hari ke depan.

Ryuu melihatnya. Jujur saja, Ryuu tidak begitu mengenal Tuan Putri Clarines yang satu ini, lebih tepatnya ini memang kali pertama ia benar-benar berbincang dengannya. Bahkan pertama kali ia bertemu Tuan Putri Levanthine adalah ketika kasus kebakaran hutan tempo hari. Ia sesekali mendengar namanya disebut di beberapa kesempatan, oleh ketua, ataupun Pangeran Zen, tapi Ryuu tidak pernah sekalipun membayangkan dirinya akan berada di situasi dimana ia harus membuka sebuah pembicaraan dengan Leva. Toh mereka memang dasarnya tidak saling mengenal.

BRAKK–

Leva menoleh, berpikir bahwa ia akan mendapati Zen dan wajah menyebalkannya berada di daun pintu, namun oh sungguh betapa terkejutnya ia ketika yang kini menatapnya adalah sepasang manik gelap Izana Wisteria yang begitu menohok tajam.

"Y-Yang Mulia…" Leva mencicit.

Izana berjalan mendekati ranjang tidur Leva lalu berhenti tepat di hadapan sang gadis, "Bagaimana keadaanmu?"

"T-Tidak begitu buruk, aku b-baik."

Leva terdiam, oh sungguh hatinya masih tidak siap untuk bertemu dengan Izana, meskipun ia juga adalah kakaknya, tetap saja perasaan intimidasi dari seorang Putera Mahkota terasa kental pada diri Izana. Dan Leva sangat sangat sangat takut padanya.

"Masih ingat apa perintahku kemarin?"

"Y-Ya, Izana-sama." Sejenak gadis ayu tersebut mengambil jeda untuk mengambil nafas, dan mempersiapkan hatinya, "Temui anggota d-dewan pelabuhan."

"Benar sekali. Aku memintamu menemui salah satu petinggi dewan pelabuhan, bukan berada di pelabuhan."

Oh, Leva bisa mendengarnya dengan jelas. Penekanan kata bukan tersebut, sungguh ia tidak bisa lagi merasakan detak jantungnya sendiri saking cepatnya sang jantung berdetak. Lagipula, darimana juga Izana tahu kalau Leva berada di pelabuhan kemarin? Tepat ketika Leva akan menjawab perkataan Izana, pintu terbuka sekali lagi, dan kini benar-benar Zen yang berada di sana, bersama Shirayuki dan juga Obi?

Tunggu, apa yang dilakukan si mata kucing itu di sini?

"Tepat waktu sekali, sekarang kau bisa jelaskan kenapa kau ada di sana kepada adikku yang bodoh ini."

Aah, Leva benci melihat ekspresi Zen yang seperti itu. Ia benar-benar akan dimarahi habis-habisan oleh Zen setelah ini, sepertinya ocehan Kiki dan sindiran Izana belum cukup, ia masih harus mendengar ceramah Zen dan juga ugh…Obi. Leva tidak tahu bagaimana reaksi Obi, tapi yang jelas sekali Obi marah padanya, berapa kali dalam malam itu Leva membuat dirinya dan Obi berada dalam bahaya? Jika saja dari awal Leva mengikuti perkataan Obi dan kembali ke kastil pasti kejadiannya tidak akan serunyam ini.

Tapi itu juga berarti mereka tidak akan pernah tahu tentang keadaan pesisir Clarines.

Zen menatap Leva tajam, meminta jawaban, dan hal itu menyebabkan sang tuan putri merasa canggung dan takut. Entah kenapa, meskipun Leva dan Zen selalu berseteru, setiap kali Zen mulai terlihat marah Leva akan merasa sangat ketakutan.

Well, namanya juga seorang adik kepada kakaknya.

"Aku…minta maaf." Obi membelalakkan matanya, ternyata orang seangkuh Leva bisa meminta maaf pada orang lain, sungguh gadis itu tidak henti-hentinya memberikan kejutan pada Obi. "Aku tahu tindakanku ceroboh. Namun, kau tau sendiri 'kan apa yang diinginkan 'mereka'? Para antek-antek dewan istana."

Tanpa mereka sadari Izana sudah pergi keluar dari ruangan penuh manusia tersebut, toh yang ia butuhkan adalah melihat keadaan Leva, untuk rincian kejadiannya bisa ia tanyakan nantinya pada Zen.

"Ya. Mereka ingin kau kembali ke Wistant. Lalu? Apa kau pikir aku dan Aniue akan membiarkannya begitu saja?"

Lagi, mereka membahas dewan istana. Sungguh Obi sangat ingin tahu ada apa antara dewan istana dan Leva.

"I-Ini berbeda Zen, mereka akan melakukan apa saja untuk mendepakku dari sini." Kedua iris Leva menyipit, menahan air mata yang bisa keluar kapan saja. Oh, Leva benci ketika ia terlihat emosional seperti ini. Sangat benci.

Desiran angin dan suara ketukan ranting pohon pada jendela kaca menambah ketakutan dalam diri Leva, terutama ketika Zen hanya diam dan menatapnya seperti ini. Bahkan Obi dan Ryuu bisa merasakan beratnya suasana ruangan saat ini, sehingga mereka berdua memilih sok sibuk membantu Shirayuki yang entah sedang meracik apapun itu (yang Obi tidak ketahui).

"Membantah perintah Yang Mulia Izana. Pergi sendiri menuju tempat kejadian tanpa surat perintah langsung dari kastil. Terlibat dalam sebuah kebakaran. Dan hampir saja ditangkap oleh sekelompok penjual manusia. Hanya dengan tuduhan itu bahkan aku bisa menjebloskanmu ke penjara."

Shirayuki hampir saja terlonjak kaget, ia tidak pernah mendengar Zen berbicara dengan nada setinggi itu. Padahal sejak tadi ia sudah berusaha terlihat kalem dan tidak mendengarkan, namun tetap saja, mendengar bagaimana nada bicara Zen yang naik satu oktaf di akhir membuatnya agak ketakutan.

"M-Maaf,"

"Setidaknya berpikirlah sebelum bertindak." Zen berbalik dan berjalan keluar dari ruang tidur Leva, bahkan tanpa mendengar satupun jawaban dari Leva. Oh sungguh, saat ini Leva hanya ingin tidur meringkuk di dalam selimutnya tanpa menghiraukan keberadaan Ryuu dan Shirayuki di sana.

Karena itulah Leva menutup seluruh tubuhnya dalam balutan selimut, dan menangis.

.

.

.

Ketika Leva terbangun untuk yang kedua kalinya di hari itu, ia bisa merasakan hari sudah mencapai penghujungnya, dan tirai jendela sudah ditutup sedemikian rupa, ruangannya juga terlihat sepi dengan hanya ada satu lampu tidur yang dinyalakan. Ia bahkan bisa mendengar bunyi hewan malam yang bersahutan dengan ketukan lembut ranting pada jendela kamarnya.

"Anda sudah bangun?"

Leva menoleh tegas, mendapati sosok Obi berada di sana, berdiri di dalam kegelapan di dekat pintu masuk. Pemuda tersebut berjalan perlahan mendekati ranjang tidur Leva, tanpa terdengar langkah kakinya. Jika saja Obi tidak menyapanya lebih dulu, Leva tidak akan tahu bahwa pemuda itu berada di sini.

Levanthine hampir saja mengeluarkan kalimat pedasnya seperti biasa sebelum ia sadar bahwa ini bukan saatnya ia melakukan itu, toh pemuda yang lebih tua ini pasti akan memarahinya juga, mungkin lebih kejam daripada Zen.

"Aku tidak datang untuk membuat moodmu menjadi lebih buruk lagi, Hime-sama." Kini Obi sudah berdiri di sebelah kiri sang gadis–berusaha sebisa mungkin agar tidak merengkuh gadis itu sembari berkata betapa ia marah padanya–dan kembali berbicara, "Harus berapa kali anda membuat saya khawatir hingga anda puas?"

Leva terkejut, bukan karena kata-katanya yang terlampau manis, bukan juga karena sorotan matanya yang begitu lembut, namun karena tata bahasanya yang sungguh formal. Sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah Obi berbicara sesopan itu pada Leva. Dan itu membuat Leva merasa…asing.

Leva bisa merasakan kedua tangannya terasa dingin, entah karena suasana malam yang sepi atau karena degupan jantungnya yang luar biasa tidak teratur. Kedua netra berpendar pada sosok pemuda yang entah bagaimana kini sudah berada tepat di hadapannya, membuat gadis itu mengubah posisinya agar duduk dengan lebih tegak.

Leva menunduk. Ingin mengatakan sesuatu namun tidak menemukan kata-kata yang tepat, gadis itu hanya mampu menggigit bibirnya dan mengujarkan satu kata dengan lirih, "M-Maaf."

Obi tersenyum, lalu mengulurkan tangan kirinya dan mendorong dahi gadis itu hingga menyentuh bantalan tidur kasurnya, "T-Tunggu, apa y-yang kau lakukan?!" Oh, wajah Leva sudah mengalahkan teh raspberry Shirayuki saat ini.

Kini ganti tangan kanannya yang menarik selimut tidur Leva hingga menutupi hampir seluruh tubuh sang tuan puteri, membuatnya terlihat seakan tenggelam dalam selimut–dengan hanya kepala yang terlihat–tanpa sedikitpun Obi menarik tangan kirinya menjauh dari dahi sang gadis yang sudah sangat panas. Pemuda bernetra tembaga tersebut menurunkan tangan kirinya untuk menutupi kedua netra Leva, sembari mendekat dengan begitu perlahan.

"Selamat tidur, milady."

Leva mendengarnya, sangat dekat dan jelas. Sebelum kini ia hanya merasakan sepi sekali lagi, yang memintanya untuk kembali ke alam mimpi.

Yang tidak Leva ketahui adalah bahwa sebelum sang pemuda menarik diri, dengan lembut ia mencium punggung tangan kirinya yang menutupi mata sang gadis. Sembari berusaha agar detak jantungnya tidak di dengar sang gadis di tengah-tengah malam yang begitu sunyi ini.

.

.

.

To be continued

.

.

.

Holaa

Akhirnya arc 'Flying Dutchmann' mencapai penghujungnya /banzaii

Untuk ke depannya, kuharap kalian semua tetap setia menunggu update-an author tukang ngaret update ini :''

Have a nice day ^^