Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"
.
.
.
Please Enjoy to Read!
.
.
.
CHAPTER 16 – THE ROAD
Author's POV
"Oy, Izana, mereka bertengkar lagi?" Izana menoleh, membuat surai keemasannya semakin acak-acakan dan terlepas dari kuncirannya.
"Biarkan saja, mereka masih bocah."
Izana bisa mendengar tawa dari partner berbincangnya, dan tanpa sadar kini kedua netranya terpatri pada dua sosok cilik di lapangan berkuda, sedang berdebat bahwa siapa yang mencapai garis finish lebih dulu.
"Hahaha, Leva selalu tidak mau kalah." Izana melirik sejenak sebelum menjawab, "Lebih kepada Zen yang selalu mau menang sendiri."
Izana tidak mendengar jawaban dari sosok di sebelahnya, namun kini ia menyadari Leva telah berlari kemari dengan wajah tertekuk, "Ani-sama! Zen nakal!"
.
.
Realm for The Hearts
Story & OC'sNakashima Aya
Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata
[There's no profit we gain from this fanfiction]
Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.
Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC
.
.
Hari ini Leva resmi sudah keluar dari belenggu farmasi istana, yang artinya ia benar-benar sudah dinyatakan sehat. Dan seperti dirinya yang unlady-like, gadis itu sudah melesat keluar dari ruangan tidurnya dan pergi berkeliling kastil. Hari ini Leva sedang tidak mood menggunakan gaun resmi istananya, sehingga ia lebih memilih menggunakan outfit sederhana yang terdiri dari inner tigaperempat berwarna krim, sebuah dress musim panas tanpa lengan berwarna hijau muda, dan stocking hitam yang panjangnya mencapai pertengahan kakinya.
Jalanan setapak terlihat agak basah, sisa dari hujan gerimis tanpa henti kemarin, menyebabkan bagian bawah tubuh sang gadis sedikit terkena cipratan air. Kerutan muncul pada dahi putri pertama kerajaan Clarines tersebut, namun segera ia tepis jauh-jauh ketika ia mendengar sebuah suara familiar beberapa meter di hadapannya.
"Ojou-chan, hati-hati!"
Leva berkedip sejenak. Melihat Obi berteriak pada Shirayuki yang entah bagaimana kini tengah berada di atas sebuah pohon, masih terbalut seragam farmasinya.
Dengan perlahan, Leva berjalan mendekat, "Apa yang kalian lakukan?"
"Oh, Hime-sama! Sepertinya tuan putri kita sudah sehat sekarang." Haha, ingin sekali Leva membungkam mulut bocah berisik itu sekarang juga.
Namun, Leva lebih memilih mendengus kecil lalu menorehkan pandangannya pada Shirayuki–semburat cahaya matahari sempat membuatnya memicingkan mata–yang ternyata sedang mencoba mengambil seekor kucing kecil yang tengah tersangkut di salah satu dahan.
'Kucing bodoh.' Oh tidak, Leva tidak membenci binatang, tapi ia tidak akan memungkiri bahwa dirinya memang bukan seorang penyayang binatang pula. Ia menganggap satwa adalah salah satu makhluk yang hidup berdampingan dengan manusia. Hanya itu. Tidak lebih.
"Ah–Dapat!" Shirayuki berteriak, sembari melambai pada sang tuan putri istana, menyebabkan Leva tersenyum. Dan ia juga tahu pria di bawah pohon itu kini juga tersenyum, sebuah senyum dan tatapan yang tidak pernah ia tujukan pada Leva sebelumnya. Tidak pernah dan tidak akan pernah.
Leva tidak tahu, tapi ia merasakan denyutan aneh di hatinya.
.
.
.
"Kau yakin, Zen?" Zen menggertakkan giginya, sedikit gugup, sekaligus takut. Namun dengan mantap ia berkata, "Kupikir ini yang terbaik, Aniue."
Izana menatap keluar jendela. Memunggungi adik laki-lakinya tersebut sembari berpikir. Cuaca di luar sedang bagus hari ini, cocok untuk melakukan inspeksi, tidak seperti beberapa hari ke belakang yang cenderung berair. Izana mampu mendengar suara adu pedang dari lahan pelatihan prajurit di seberang ruang kerjanya, bersahutan dengan suara-suara kepak sayap burung yang sepertinya juga sedang dalam masa pelatihan.
"Kalau begitu, biar aku yang mengatakan padanya. Siapkan pengawal dan kereta."
"Akan saya laksanakan, Yang Mulia."
Zen membungkuk beberapa derajat sebelum beranjak pergi dan keluar dari ruangan kakaknya. Helaan nafas keluar dari bibirnya, untung aniue mau menerimanya. Sisanya tinggal kakaknya sendiri yang mengurus, karena Zen sungguh tidak mau lagi berurusan dengan yang namanya adu bacot bersama oknum Levanthine.
Benar sekali. Semua ini tentang Leva, dan selalu tentang Leva.
Pemuda bersurai cerah tersebut berjalan tegap dengan kedua tangan di sisi sebelah tubuhnya–berniat untuk kembali ke ruang kerjanya–sebelum indra pendengarannya menangkap suara-suara familiar yang mengakibatkan Zen menghentikan langkahnya; dan menoleh ke luar lorong lantai dua terbuka kastil.
Ia melihat mereka.
Pengawalnya, Adiknya yang menyebalkan, dan–cintanya.
"Apa yang kalian lakukan?" Zen menepi pada pilar pagar lorong sembari membiarkan tangan kanannya menopang dagunya.
Ketiga individu di bawah Zen itu kini menoleh ke atas, mendapati sang pangeran berada di sana (Zen bisa melihat dengan jelas senyum lebar di bibir Shirayuki dan Obi serta dengusan dari Leva, yang entah bagaimana sedang menggendong seekor kucing).
"ZEN!" Shirayuki melambai, yang dibalas lambai juga oleh Zen yang kini berpikir sungguh apa yang sudah dilakukan Shirayuki hingga ia terlihat lusuh dan penuh tanah seperti itu.
"Oy, sejak kapan kau jadi penyayang binatang, Leva?"
Sekali lagi, Leva mendengus.
Bukan. Leva bukan penyayang binatang, ia hanya terpaksa melakukan ini. Terkadang Leva sendiri tidak sadar, jika ia sudah bersama Shirayuki dan Obi ia jadi melakukan hal-hal yang bukan seperti dirinya.
"Bukankah terdengar baik, Aruji. Leva-hime, Tuan Puteri yang mencintai alam dan binatang."
"Diam kau."
Well, ini mungkin terakhir kalinya aku akan melihat mereka seperti ini di kastil. Zen tersenyum, mungkin menunda sedikit pekerjaannya bukanlah hal yang buruk.
.
.
.
Mitsuhide baru saja selesai membereskan meja kerja Zen ketika sang pangeran masuk dengan senyum lebar di wajah–membuat pemuda bersurai biru cerah di dalam ruangan tersebut terlihat kebingungan. Mitsuhide belum sampai bertanya ketika Zen menyela dan duduk dengan cepat di meja kerjanya, "Jadi apa yang harus kukerjakan hari ini?"
'Moodnya sedang bagus.' Mitsuhide hanya menunjuk tumpukan berkas yang baru saja ia bereskan dan Zen langsung saja mengerjakannya dengan cepat. Helaan nafas keluar dari bibirnya diiringi senyum sembari ia berjalan keluar dari ruang kerja pangeran kedua Clarines.
Ia baru saja berniat untuk keluar dan membiarkan Zen berkutat dengan tugas negaranya ketika tiba-tiba sang pangeran memanggil Mitsuhide dan berkata, "Mitsuhide, siapkan kereta kuda."
Mitsuhide berkedip, "Sekarang, Yang Mulia?"
"Ya. Untuk besok dini hari." Mitsuhide sebenarnya kurang paham, memangnya Zen mau pergi kemana esok hari? Dan lagipula tidak biasanya Zen bepergian menggunakan kereta kuda (Zen lebih suka menaiki kuda secara langsung). Namun Mitsuhide tetap menjawab, "Akan saya laksanakan."
Zen mengangguk, membiarkan Mitsuhide keluar dari ruangannya dan mengerjakan tugasnya.
Suasana siang hari ini bukan suasana yang Mitsuhide suka, namun lebih baik daripada beberapa hari sebelumnya–yang notabene basah dan berair–walaupun Pemuda Louen tersebut masih bisa merasakan betapa lembabnya udara sekitar saat ini. Manik cerahnya menatap tepat pada silaunya cahaya matahari pukul-dua-belas yang begitu menyengat, mengingat bahwa hari ini Kiki sedang melatih para prajurit di posko pelatihan yang lapangannya begitu terbuka.
'Apa dia akan baik-baik saja ya?'
Ah, Mitsuhide lupa kalau Kiki adalah seorang wanita yang kekuatannya setara dengan dua kali lipat kekuatan Mitsuhide sendiri.
Sudahlah. Yang penting sekarang Mitsuhide harus menyiapkan kereta kuda sesuai perintah Zen.
.
.
.
Zen baru saja menyelesaikan porsi tugasnya hari ini, ketika ia mendapati bocah pengantar pesan tengah berbaring begitu saja di ranjang tidurnya. Well, Zen sudah terbiasa sebenarnya dengan pemandangan ini.
"Jadi, apa yang kau lakukan di sini, Obi?"
Obi terkekeh, "Hanya mengistirahatkan kaki sejenak, Aruji."
Pangeran istana itu hanya meliriknya sejenak lalu mendengus dan berjalan menuju jendela besar ruang pribadinya. Ini sudah agak malam, dan bulan tidak bersinar seterang yang seharusnya–berkebalikan dengan mentari hari ini yang sinarnya begitu menyilaukan–sehingga Zen kembali terbenam pada kedalaman pikirannya.
"Aruji?" Obi membalik tubuhnya dan menumpu kepalanya dengan siku tangan kanan, melihat Tuannya kini tengah melamun dan berpikir keras membuatnya memutuskan untuk membenarkan posisi tubuhnya dan duduk di pinggiran ranjang Zen.
Zen melirik ajudannya, "Kau tidak ingin menengoknya? Ini malam terakhirnya di sini, kau tahu?"
Obi berkedip. Tidak paham maksud perkataan Zen. Namun, belum sempat Obi bertanya Zen sudah menjawab seluruh ketidak-tahuan Obi.
"Leva. Dia akan kembali ke Wistant esok dini hari."
Zen bahkan tidak menyadari ketika Obi sudah melesat keluar kamarnya dan pergi entah kemana. Ia baru sadar ketika ia berniat mengusir Obi dari kamarnya agar ia bisa beristirahat, namun sang bocah bermata kucing tersebut sudah tidak ada dalam jarak pandang Zen.
Tok–Tok–BRAKK–
Leva hampir saja terperanjat dan terguling dari ranjangnya akibat bunyi keras dari arah jendela kamarnya–yang tidak perlu diragukan lagi siapa penyebabnya–toh hanya ada satu orang di kastil ini yang hobi keluar masuk ruangan Leva melalui jendela.
Leva hampir saja berbalik dan mengusirnya ketika suara baritone tersebut hinggap di indera pendengaran Leva, "Hime-sama."
Obi berjalan selangkah demi selangkah mendekati sang tuan puteri. Namun tidak sedetikpun Leva berbalik dan menghadapnya. "Apa anda benar-benar akan kembali ke kastil Wistant?"
Mendengar suara Obi tepat di belakang telinganya sungguh membuat wajah Leva memerah tidak karuan. Akhir-akhir ini ia benar-benar tidak bisa mengontrol emosinya di hadapan Obi. Karena itulah, ia menolak berbalik dan membiarkan Obi melihat seberapa merah wajahnya saat ini.
"Y-Ya."
"Souka."
Keheningan hinggap seketika keduanya tidak ada yang bersua, namun Leva masih bisa merasakan hangat tubuh Obi yang berjarak tidak lebih dari 20 cm dari punggungnya. Namun, keheningan tersebut terpecah ketika Leva merasakan tangan dingin Obi menyentuh kulit leher Leva yang memanas seiring sentuhan Obi.
"O-Obi!"
"Hime-sama diam dulu."
Leva menutup matanya, membiarkan sensasi menggelitik di lingkar lehernya mengambil alih emosinya.
'Eh? Dingin.'
Ketika Leva membuka matanya ia merasakan sebuah choker sudah bertengger di leher gadis itu. Choker dengan bandul kupu-kupu indah yang terbuat dari batu Azure.
Kedua manik Leva membelalak dan ia segera berbalik untuk menemukan Obi tengah tersenyum padanya. "D-Dimana…"
"Shh–" Leva tidak tahu harus berkata apa, semuanya, semua hal yang sudah Obi lakukan untuknya terlalu berharga. Bahkan terima kasih saja tidak akan mampu membalas semua itu. "Leva, ingatlah bahwa aku akan selalu ada di sisimu. Selalu."
Obi tidak tahu kenapa ia mengatakan hal tersebut pada Leva; padahal mereka mungkin saja tidak akan bertemu lagi dalam waktu dekat ini. Hanya saja, ia ingin memberikan dukungan terbaiknya untuk gadis itu. Gadis ringkih yang selalu memaksakan dirinya untuk terlihat kuat di mata orang lain. Gadis angkuh yang selalu mencoba agar orang lain tidak akan merendahkannya. Gadis belia yang entah bagaimana kini menjadi eksistensi yang luar biasa berharga dalam hidup Obi, sama seperti kehadiran tuannya dan semua orang yang kini berada di sisinya.
"Tidurlah, Hime-sama. Tidur yang nyenyak."
.
.
.
Shirayuki segera berlari keluar dari gedung farmasi kerajaan begitu ia mendengar berita bahwa Tuan Puteri Levanthine akan berangkat tidak lama lagi.
Sejujurnya Shirayuki agak kesal karena Zen tidak memberitahunya sejak kemarin kalau Leva akan kembali ke Wistant pagi hari ini–walaupun keberangkatannya agak terlambat dikarenakan pengawalnya yang tak kunjung siap–Shirayuki jadi harus menyiapkan segala hal yang ingin ia berikan pada Leva secara mendadak dan terburu-buru pagi ini.
Shirayuki ingin membawakan banyak obat-obatan pada Leva, toh itu satu-satunya hal yang bisa ia berikan pada sang tuan puteri. Dan ketika ia sampai di gerbang depan, Leva belum berada di sana, dan ia hanya menemukan Zen bersama Mitsuhide yang sedang berbicara dengan beberapa pengawal Leva.
"Shirayuki-san?"
Ketika Shirayuki menoleh ia melihat untaian helai merah muda pucat yang kini setengah tertutupi jubah musim dingin. "Hime-sama!"
Gadis bermanik hijau tersebut segera berlari menuju Levanthine yang berada di sebelah Obi, mungkin Obi baru saja menjemputnya.
"Ini," Shirayuki menyodorkan kotak kecil di tangannya pada Leva, yang hanya mengedipkan matanya dengan bingung, "Aku membawakan beberapa obat-obatan untuk Hime-sama. Oh! Di sini juga ada teh herbal yang bisa menghangatkan tubuh Leva-hime. Hime-sama suka hal-hal yang seperti itu 'kan?"
Leva tersenyum, "Ya. Sangat suka."
Tidak lama setelah Leva menerima bingkisan Shirayuki, Zen memanggilnya. Semua sudah siap dan Leva bisa segera berangkat sekarang, agar ia tidak terlalu malam mencapai Wistant nanti.
Leva mengeratkan genggamannya pada bingkisan Shirayuki, sebelum ia mengangguk pada semua yang sudah melepas kepergiannya dan masuk ke dalam kereta kuda. Ia akan kembali ke rumahnya, ke kastil Wistant, di mana Yang Mulia Ratu telah menunggu kepulangannya.
Obi berbalik. Ia tidak ingin melihat punggung kereta itu bergerak menjauh. Ia menolak mengetahui bahwa individu di dalam kereta tersebut kini sudah tidak dalam jarak jangkauannya lagi.
Namun, ia tersenyum. Ia mengingat percakapan terakhirnya dengan sang tuan puteri sebelum mereka berjalan menuju kereta pagi ini. Ia mengingat dengan jelas aksen dan nada suara Levanthine yang selalu terdengar begitu datar dan misterius. Bahkan ia mulai mengingat suara indah yang ia dengan kali pertama ia menginjakkan kaki di daerah Wistant.
Dulu, ia tidak menyangka bahwa gadis yang membuatnya tersesat di lorong-lorong gelap penuh bahaya Wistant, yang menyanding gitar dan menyatakan dirinya memiliki bakat melarikan diri dari masalah, adalah seorang tuan puteri maha angkuh yang menolak dipandang sebelah mata oleh orang lain.
Aah… Hari-hari Obi setelah ini akan terasa membosankan.
.
.
.
Extra: (sebelum keberangkatan Leva kembali ke Wistant)
"Oh, Hime-sama, selamat pagi!" suara kicauan burung hampir saja menutup sapaan pagi Obi pada Leva yang baru saja menghampiri sang pemuda. Tatapannya begitu tajam, berbanding terbalik dengan Leva yang menahan emosi dan wajah memerahnya tadi malam. Kini, bahkan Obi yang jenaka sekalipun mampu merasakan keseriusan dalam tiap inci tatapan gadis di hadapannya.
"Aku akan pulang…kembali ke Wistant." Leva berbalik menghadap pegangan jembatan, netranya mematri pandangan pada kolam penuh bunga lotus di bawahnya.
"A-Aku benar-benar menghargai semua yang sudah kau lakukan sampai saat ini. T-Terima kasih…" Jujur saja, bukan hal yang mudah bagi Leva untuk mengutarakan hal semacam ini, terutama pada pemuda bernama Obi.
"Aku lebih berterima kasih pada Hime-sama." Eh?
Leva menoleh, mendapati Obi menatap lurus pada manik keabuan miliknya, "Terima kasih karena anda sehat dan baik-baik saja."
Hah?
Leva tidak mengerti. Apa maksudnya?
Karena itulah Leva memilih untuk diam, dan kembali mengamati biota kolam yang entah kenapa kini terlihat lebih menarik daripada pemuda di sandingnya. Desiran angin menemani keheningan di antara keduanya yang kini saling berdalih agar tidak memiliki alasan untuk berbicara dengan satu sama lain. Sampai Leva memutuskan untuk memecah kesunyian tersebut.
"Ehem." Leva bermain-main dengan sepatu bootsnya, membentur-benturkannya perlahan pada pinggiran jembatan. "K-kau…menyukainya 'kan? Shirayuki-san."
Obi terdiam sejenak, terkadang ia menakuti kemampuan wanita untuk membaca pikirannya. Namun ia tersenyum, dan ia berkata yang sejujurnya. "Ya."
Ya. Tentu saja, hanya dengan melihatnya Leva sudah tahu. Leva tahu itu.
Namun tetap saja, kenapa ia merasakan nyeri tanpa alasan di dadanya?
.
.
.
To be continued
.
.
.
Author's Note:
Finally kita mencapai chapter ini, yuhuu~
Well, Aya masih merencanakan beberapa arc untuk fanfiksi ini, namun overall kerangkanya sudah selesai sampai tamat yeyy /keprok keprok/
Doakan saja Aya tidak kehilangan motivasi untuk menulis ini seperti Aya yang akan selalu mencintai Leva yang mencintai Obi yang mencintai Shirayuki :')
Sore ja, sampai bertemu lagi!
Salam Hangat,
Nakashima Aya
