Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"

.

.

.

Please Enjoy to Read!

.

.

.

CHAPTER 17 – PICKLED THE FEELINGS

Author's POV

"Haaah…"

"Apa-apaan dengan helaan nafasmu itu, Obi?"

Obi sedang merajuk. Lebih tepatnya kondisi mentalnya sedang tidak baik. Entah kenapa ia merasa bosan, semua orang terlihat sibuk. Bahkan Ryuu yang biasanya bisa ia ajak bermain kini lebih memilih menghabiskan waktu bersama Shirayuki dan mengusirnya jauh-jauh dari lahan eksperimen mereka.

Karena itulah yang bisa ia lakukan hanyalah duduk di sofa ruang kerja Pangeran Zen sembari menghela nafas lelah.

"Kalau kau sebegitu bosannya carilah pekerjaan." Zen melirik singkat pada Obi, dan pemuda itu masih menekuk wajahnya seakan seluruh dunia ini telah bersalah kepadanya.

Yah. Ini memang sudah tiga bulan.

Tiga bulan semenjak intervensi dan kehadiran Leva hilang tanpa jejak dari kastil ini.

.

.

Realm for The Hearts

Story & OC'sNakashima Aya

Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata

[There's no profit we gain from this fanfiction]

Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.

Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC

.

.

"Cepat cari Hime-sama!"

Leva bisa mendengar suara derap kaki prajurit istana dari balik semak-semak taman kota. Sudah lama sejak Leva terakhir kali keluar dari kastil dan ia tidak akan semudah itu membiarkan dirinya tertangkap begitu saja. Apalagi hari ini adalah hari yang begitu spesial baginya.

Setelah melihat keadaan sudah lebih aman dan lenggang, Leva keluar dari persembunyiannya dan berlari menuju jalan utama Kota Wistant. Hari ini sedang ada festival besar untuk perayaan musim tanam padi, Leva jadi lebih mudah untuk berkeliling kota tanpa tertangkap penjaga istana. Ia hanya perlu menutupi rambutnya dengan jubah musim panas–yang sesungguhnya membuat ia begitu gerah–dan berbaur dengan keramaian pusat kota.

Berbeda dengan kastil Wistal yang berada di daerah dataran tinggi dan jauh dari keramaian publik, kastil Wistant justru berada di pusat kota dan menjadi objek pariwisata (walaupun hanya halaman depannya saja), sehingga sangat mudah bagi Leva untuk pergi keluar-masuk istana.

Hiruk pikuk keramaian dan suara musik pesta rakyat yang mengalun dari setiap sudut kota membuat Leva merasa tidak kesepian. Akhir-akhir ini terkadang ia merasa kesepian, terutama karena tidak ada lagi yang mendadak menggebrak pintu kamarnya dan memarahinya, atau yang tiba-tiba melompat masuk ke dalam ruang tidurnya melalui jendela. Leva tidak mau mengakuinya tapi ia merindukan masa-masa seseorang memperhatikannya.

Bukannya Yang Mulia Ratu tidak memperhatikannya, ia sangat memperhatikan Leva lebih daripada yang seharusnya. Namun, bagaimanapun juga pekerjaan negara akan menjadi prioritas utama sehingga waktu yang dihabiskan Yang Mulia Ratu dengan Leva sangat terbatas. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa Leva sangat senang pergi keluar kastil dan berjalan di tengah pusat kota.

TINGG–KRIEETT–

Derit kayu diiringi suara bel penanda tamu membuat pria paruh baya di dalam toko tersebut menurunkan cerutu di mulutnya dan menyapa pelanggannya siang hari ini.

"Oh, Leva-hime!"

"Selamat siang, Boro-san." Leva melepas penutup kepalanya dan berjalan mendekati meja sang pria tua sembari menepuk bagian belakang rambutnya yang agak tidak beraturan.

Suasana ruangan tersebut cukup menenangkan. Dengan dinding dan lantai yang terbuat dari kayu serta cahaya remang-remang dari ventilasi udara di atap. Namun yang paling penting adalah karena jajaran peralatan musik yang begitu indah di sekelilingnya, membuat Leva merasa senang hanya dengan memandanginya saja.

"Ngomong-ngomong Hime-sama, pesanan anda sudah selesai kukerjakan."

"Benarkah?!" Mendadak Leva langsung bersemangat. Akhirnya. Setelah penantian lamanya.

Pria tua bernama Boro tersebut segera meletakkan cerutunya dan berjalan masuk ke dalam ruang kerjanya, lalu mengambil sebuah tas gitar berwarna cerah yang terlihat berat dan kuat. Dengan segera ia kembali keluar menuju pelanggannya yang telah menunggu.

"Aku membuatnya kerangkanya dari kayu elm musim dingin, warnanya putih dengan dekorasi ukiran emas. Untuk senarnya sendiri aku membuatnya dari bahan mineral, pasti kuat." Boro mengulurkan tas berisi gitar tersebut yang langsung disambut dengan senyum lebar di wajah Leva. Oh, sudah lama sekali sejak Leva terakhir kali memegang sebuah gitar. Toh gitarnya sudah entah bagaimana ketika kejadian di pelabuhan kala itu.

"Arigatou, Boro-san!"

TINGG–

Leva mengeratkan tali tas gitarnya sembari berjalan menelusuri keramaian dan mencari tempat yang agak sepi untuk mencoba gitar barunya. Hanya dengan ini saja Leva merasa moodnya membaik dengan luar biasa (padahal beberapa bulan terakhir ini ia agak sering merajuk dan marah-marah pada prajurit istana).

Aroma roti panggang yang hangat bercampur bau wine sejuk bisa ia rasakan sejak tadi, namun Leva benar-benar tidak tertarik dengan hal tersebut karena yang ia inginkan sekarang hanyalah pergi ke sudut kota dan mencoba gitar barunya. Toh ini sudah tiga bulan semenjak ia mencekal alat musik dan bermain-main dengan nada.

Sampai di persimpangan pasar menuju taman belakang hunian rakyat, Leva masih berusaha berjalan cepat dengan menutup sebagian wajahnya dan berjalan seraya menundukkan kepala–takut jika ada satu dua penjaga istana yang masih mencarinya. Namun, begitu ia kembali berbelok ia malah menabrak seorang gadis yang terlihat terburu-buru dan menjatuhkan isi keranjang si gadis.

BRUKK–

"A-Aduduh…"

"G-Go-Gomenasai!" Padahal gadis itu yang terjatuh, namun malah ia yang meminta maaf. Membuat Leva merasa tidak enak saja.

"Tidak apa-apa."

Melihat gadis bersurai kecoklatan itu terlihat terburu-buru mengambil barangnya yang berjatuhan–dan sesekali ia terlihat menengok ke belakang dengan hati-hati–membuat Leva menarik alisnya penasaran. Ada sesuatu yang aneh dari gadis itu.

Belum sempat Leva menanyakan pada gadis itu, ia melihat seberkas bayangan dari sudut matanya, berada di balik bayang-bayang lorong gelap jalur tengah Wistant yang berbahaya. Mengamati dan melihat gadis di hadapan Leva dengan begitu intens.

Sekarang Leva yakin. Gadis itu diikuti.

"Hey kau." Leva, masih berdiri, melirik dan berbisik kepada gadis bersurai kecoklatan di hadapannya. "Ikut aku."

.

.

.

Mereka berhenti di sebuah tempat makan kecil di sudut kota. Agak ramai memang, tapi justru Leva butuh tempat seperti ini agar bisa berbicara dengan gadis itu.

"A-anu…"

"Hm?"

Tangan kanan menumpu dagu sementara kedua netranya dengan intens menohok tepat pada manik coklat sang gadis.

"Namamu siapa?"

"A-Aira." Leva masih memperhatikannya ketika ia menyisip minuman hangat di hadapannya, dan jujur saja Aira merasa agak tidak nyaman. Namun, entah kenapa ia tetap mengikuti gadis aneh dengan jubah aneh menutupi rambutnya itu menuju kemari.

Aira cukup suka suasana tempat ini, tidak terlalu ramai tapi tetap membuatnya merasa aman. Akhir-akhir ini ia tidak punya cukup uang dan waktu untuk ke tempat-tempat seperti ini, sudah terlalu banyak permasalahan yang harus ia pikirkan sekarang.

"Kau…diikuti." Leva berhenti. Memberi ruang pada Aira untuk mencerna kalimatnya. Namun tidak begitu lama, Aira langsung menyahut. "Ya. Aku tahu."

"Siapa yang mengikutimu?"

Oh sungguh. Aira merasa seperti ia sedang diinterogasi pengawal istana sekarang. "M-Mereka para bandit yang selalu berada di jalur tengah. Sudah s-sejak lama mereka menargetkanku."

Hening sejenak. Leva hanya diam dan meminum coklat panasnya, dan Aira tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Sesungguhnya ia sangat ingin mengatakan semuanya sekarang, namun untuk apa? Kenapa juga ia mempercayai gadis aneh yang kini berada di hadapannya ini?

Oh tapi sungguh. Aira sudah tidak kuat lagi.

"Semua ini gara-gara saudagar itu." Leva terperanjat, akhirnya ia mau membuka mulutnya. "Ia menipu keluargaku, membawa semua uang keluargaku, membiarkan orang tuaku dan adik-adikku mati kelaparan sementara ia memenjarakanku di mansion anehnya. Dan ketika aku berhasil kabur ia membayar para bajingan itu untuk menangkapku."

Sekarang Leva tahu kenapa tatapan para bandit itu terlihat begitu haus. Leva yakin saudagar itu membayar uang muka dan berjanji untuk memberikan sisanya jika gadis ini sudah tertangkap. "Aku akan mengantarmu pulang."

Eh? Aira tidak mengerti. Begini saja? Tidak ada kejadian apa-apa lagi?

Well, tentu saja tidak akan terjadi apa-apa. Ia baru saja bercerita pada seorang gadis yang terlihat seumuran–atau bahkan lebih muda–darinya, dengan jubah aneh dan tatapan mata yang menakutkan. Pada akhirnya Aira hanya mengangguk dan membiarkan Leva membawanya melewati lorong-lorong sempit pinggiran Wistant yang akan membawa mereka ke pusat kota.

Aira sejujurnya agak merasa was-was. Mungkin saja bukan jika gadis aneh di depannya ini adalah suruhan saudagar busuk itu untuk menjebaknya ke dalam perangkap? Toh Aira sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Terkadang Aira juga memikirkan untuk menjalani saja semua itu, dengan ia kabur seperti ini ia hanya menyiksa dirinya sendiri dengan uang yang terbatas dan rasa takut yang terus membayanginya.

Aira mengikuti Leva berbelok melalui kelokan demi kelokan, ia bisa merasakan kelembaban tembok di sekitarnya dengan jelas; memberikan kesan dingin yang menakutkan baginya. Helaian coklatnya yang tergerai hingga bahu tidak memberi kehangatan lebih pada tengkuknya yang kini semakin menegang. Semakin lama dan semakin dalam mereka berjalan, semakin jelas pula ketakutan terlukis di wajah Aira.

Gadis yang kini menuntunnya bahkan tidak mengatakan namanya pada Aira. Mencurigakan.

SREKK–

Leva menoleh. Membuat Aira sedikit terperanjat dan semakin memucat. Leva sedikit melirik ekspresi Aira–yang membuatnya menaikkan alis–namun segera fokus netranya kembali pada lorong kosong di belakang mereka.

Sama. Ini sama seperti ketika ia bersama Obi.

"Berjalanlah agak cepat."

Leva kembali memutar tubuhnya dan berjalan dengan tempo yang lebih cepat. Mau tidak mau Aira mengikutinya dengan agak menaikkan rok panjang yang ia gunakan.

SREKK–SREKK–

Leva tidak suka suasana ini. Ia harus memikirkan sesuatu. Sudah terlambat untuk berbalik sekarang, namun berjalan tanpa arah hanya akan membawa mereka berdua ke dalam masalah.

'Pikirkan sesuatu, Levanthine. Sekarang tidak ada Obi yang bisa melindungimu.'

Satu detik kemudian Leva merutuki dirinya sendiri karena kembali menyebut nama Obi di dalam pikirannya. Mata kucing sialan.

Jika Leva tidak salah mereka akan menggiring Leva dan Aira menuju area terbuka, dengan mengejar dan menyudutkan mereka. Leva harus mampu membawa arus pelarian dan pergi menuju rute yang ia inginkan.

"Kita akan berlari. Ikuti langkahku."

Tepat di belokan, Leva melesat berlari cepat diikuti Aira yang masih tidak paham namun tetap mengikuti Leva. Leva menikung dan berlari memasuki bagian belakang dapur hunian (yang kini sepi karena adanya festival) lalu keluar dan memasuki tikungan lain, berlari kembali menuju beberapa lorong dan belokan sebelum berhenti berlari.

Seharusnya ini membuat siapaun yang mengikuti mereka untuk kehilangan jejak. Ya harusnya.

"Sudah cukup bermain kejar-kejarannya, Ojou-chan tachi."

"E-EEKK!"

Aira langsung memekik begitu ia mendengar suara berat di belakang tubuhnya, dan langsung berlari menuju Leva yang kini berdiri di hadapan Aira–menatap tajam pada para bandit di hadapannya. Mereka hanya bertiga. Ya hanya bertiga, namun tetap Leva bukan tandingan mereka.

"Mengikuti wanita-wanita muda seperti kami ke lorong seperti ini, sepertinya kalian hanya seorang mesum menjijikkan yang tidak layak berbicara denganku."

Semoga ini berhasil.

"Sayangnya kami tidak hanya bertiga, kau sedang tidak beruntung Ojou-chan. Kami ingin gadis di belakangmu."

"Huh? Ingin? Lalu kau pikir aku akan memberikannya begitu saja? Secara cuma-cuma?" Untung saja Leva memiliki mulut ular dan kepercayaan diri yang tinggi. Ia benci direndahkan terutama oleh seseorang yang benar-benar rendahan seperti mereka.

"HAHAHAHA, aku menyukai mulutmu Ojou-chan. Sayangnya kau tidak akan mampu berbicara lagi setelah ini." Leva menyadarinya, Leva menyadari ia dan Aira yang makin lama berjalan semakin mundur pada lorong yang lebih besar dan bagaimana kini kerumunan orang dihadapannya sudah berjumlah lebih dari sepuluh orang.

Leva benci dipanggil Ojou-chan, terlebih kata itu tidak keluar dari mulut'nya'.

Leva juga bisa menyadari nafas Aira yang memburu karena rasa takut yang luar biasa, Leva tidak bisa memungkirinya, ia sendiri juga merasa ketakutan.

"A-Apa yang harus kita lakukan?"

"Berlari. Saat ini hanya itu yang bisa kita lakukan. Kau masih kuat?" Leva berbisik berharap tidak ada yang mendengarnya selain Aira.

Aira mengangguk sehingga Leva langsung menarik pergelangan tangan kiri gadis itu dan berlari menuju lorong yang semakin lama semakin melebar itu. Aira harus bisa menyesaikan pace lari Leva yang terbilang cukup cepat untuk gadis seusianya itu. Aira kini bisa merasakan bahwa Leva tidak seberbahaya yang ia pikirkan sebelumnya, toh ia menyelamatkannya dari kejaran bandit dunia bawah itu.

Belok kanan. Kiri. Kiri lagi. Kanan.

Dan buntu.

"B-Bagaimana ini?" Jantungnya berdetak tidak karuan. Begitu pula dengan Leva yang kini berdoa agar peruntungannya berhasil.

Ketika Leva berbalik, ia bisa melihat para bandit–dengan jumlah yang tidak sedikit itu–kini sudah mengeluarkan senjata (kayu, bambu, atau pisau lipat).

Jujur saja, ini sebuah peruntungan. Dan Leva harus terdengar ekstra royal-like agar rencananya berhasil. Jika apa yang ia pikirkan benar-benar ada di balik tembok besar ini, maka ia yakin, ia dan Air akan selamat.

"Kalian tidak akan bisa kemana-mana lagi, Ojou-chan. Serahkan dia dan kami akan membiarkan kau pergi tanpa luka sedikitpun."

Sial. Leva tersudut.

.

.

.

"Hoaaam–"

Lagi-lagi Obi menguap, untuk yang ke sekian kalinya dalam paruh hari ini. Ia sedang tidak punya kegiatan, dan Tuannya (Zen) juga tidak kunjung memberikan pekerjaan untuknya. Sehingga pilihannya terjatuh pada mencari gara-gara dengan Ryuu dan melihat Shirayuki bekerja.

"Oh, Obi!"

"Apa yang sedang kau lakukan, Ojou-chan?" Obi meniti gerak netranya dan mengamati betapa kotornya tangan Shirayuki sekarang.

"Kami menanam ulang semua tanaman di greenhouse karena musim dingin sudah berakhir." Obi hanya menganggukkan kepalanya tanpa mengerti sebenarnya apa yang tengah dibicarakan sang gadis, toh memang itu bukan bidangnya.

Dengan segera, Obi mengambil satu karung besar di sisi sebelah pintu kaca dan berujar, "Yang ini dibawa kemana?"

Melihat Obi yang seperti suami siaga itu, kedua netra Shirayuki langsung bersinar dan ia dengan bersemangat meminta Obi memberikan isi karung-karung tersebut kepada Ryuu yang ada di bagian atas greenhouse.

Kedua netranya memandang semu pada atap bening rumah kaca, berangan-angan akan suatu hal.

'Apa ya yang sedang dilakukan Hime-sama sekarang?'

.

.

.

Leva mengumpat dalam hati.

"Kalian tidak akan bisa kemana-mana lagi, Ojou-chan. Serahkan dia dan kami akan membiarkan kau pergi tanpa luka sedikitpun."

Mereka tidak bergerak. Tapi Leva tahu mereka siap menyerang.

"Sudah kubilang aku tidak akan menyerahkannya pada bandit rendahan seperti kalian."

"Grrr–"

Ia bisa melihat salah satu bandit termakan omongannya dan berlari menerjang Leva. Ia butuh sesuatu, ia butuh senjata, apapun itu.

'Oh–'

Aira hampir saja memekik ketika ia melihat pria tua bau itu menerjang Leva dengan bambu runcing di tangan, sebelum akhirnya Leva mengayunkan gitarnya tepat pada punggung sang bandit disusul dengan sebuah tendangan di perut.

"Oh my…aku bahkan baru saja mengambilnya." Leva menepuk perlahan tas gitarnya yang kini koyak, meratapi mainan barunya itu yang terancam untuk rusak.

Melihat salah satu kawannya diringkus hanya oleh seorang gadis belia dengan jubah aneh dan mulut angkuh membuat mereka naik darah. Mereka bandit, dan mereka menolak untuk dianggap remeh.

Sayangnya, mereka kini berurusan dengan orang yang salah.

Leva bersiul. Menyebabkan keheningan aneh di lorong-lorong gelap Wistant.

"Oi Oi, Ojou-chan, kau sudah kehilangan akal? Kau pikir burung-burung aka–" belum selesai pria tua itu mencemooh Leva, ia mendengar dentuman aneh dari balik tembok, yang disusul dengan teriakan dari kawanan banditnya di sisi belakang.

"T-T-T-Tentara istana!"

Bahkan dengan jubah yang menutupi sebagian wajahnya, Aira bisa melihat seringai di bibir gadis di hadapannya. Ia mengerikan, dan jika boleh memilih Aira tidak akan mau berurusan lagi dengan gadis itu. Ia cerdik, kuat, dan mengerikan.

Tidak lama, tentara istana yang bahkan jumlahnya tidak sampai separuh dari para bandit, berhasil meringkus mereka.

Leva berjalan menuju pimpinan tentara kastil sembari membuka tudung jubahnya, memperlihatkan untaian merah muda pucat yang kontras dengan warna jubahnya.

"Bawa mereka ke istana, dan pastikan pengadilan mengurus mereka. Lagipula, tidak ada yang bisa selamat dari tuduhan rencana pembunuhan Tuan Putri 'kan?"

"As your wish, Hime-sama."

Aira berkedip. Hime sama? H-H-HIME-SAMA?!

.

.

.

Lanjut or no?

Lanjut ajadah wkwk