Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"

.

.

.

Please Enjoy to Read!

.

.

.

CHAPTER 18 – SEPARATE WAYS

Author's POV

"Haaah…"

Jika Zen bisa memberi gaji untuk setiap helaan nafas yang keluar dari bibir Obi, maka bisa dipastikan sang pemuda akan kaya mendadak.

Sudah dari beberapa bulan yang lalu, pemuda itu tidak punya semangat hidup, menghela nafas setiap kali ia merasa bosan dan tidak ada yang dilakukan. Dan jujur saja, Zen sudah muak melihatnya. Muak melihat Obi ada di sudut matanya sembari terlihat bosan dan menghela nafas.

"Hentikan itu sekarang juga."

"Ada apa, Aruji?"

Dan sialnya, sang pemuda justru seakan tidak sadar dengan keadaan dirinya saat ini.

"Ada tugas untuk pengantar pesan pangeran kedua. Sebuah perjalanan."

Hoo. Zen bisa melihat percikan dari kedua bola mata Obi.

.

.

Realm for The Hearts

Story & OC'sNakashima Aya

Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata

[There's no profit we gain from this fanfiction]

Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.

Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC

.

.

Namanya Aira. Dan hari ini genap sudah hari ke-50 ia bekerja di kastil Wistant sebagai pelayan pribadi Putri Levanthine Wisteria.

Jujur saja, jika ditanya bagaimana ia bisa bekerja di kastil, Aira sendiri tidak tahu. Yang ia tahu hanya ketika ia ditolong oleh seorang gadis berjubah aneh yang ternyata adalah Tuan Puteri Clarines itu sendiri dan ia dibawa ke kastil. Ia dibawa, oleh penjaga kastil seakan ia adalah pelaku kriminal masyarakat.

Tapi sepertinya ia salah, sesampainya di sana, ia langsung dibawa menuju paviliun pribadi tuan putri dan entah bagaimana malah berakhir sebagai pelayannya.

"Oh! Hime-sama! Anda sudah kembali."

"Hngg." Leva bukanlah tuan putri yang teramat baik kepada pelayannya, bahkan ia cenderung menyuruh mereka melakukan ini-itu. Tapi bagi Aira, Leva adalah segalanya. Penyelamat hidupnya. Oasis keresahan hatinya. Segalanya.

"Aku akan melakukan perjalanan bisnis, urus perbekalanku."

"Hai, Hime-sama!"

Aira segera berlari menuju ruang baju Leva dan mencari pakaian musim dingin untuknya. "Ngomong-ngomong, Hime-sama akan pergi kemana?"

"Benteng Liveare. Sepertinya akan jadi perjalanan yang panjang."

.

.

.

Ini adalah yang kedua kalinya Obi kemari. Dan seperti yang Obi ingat, suasana pasar yang ramah kembali membuatnya tercengang.

Daratan Wistant selalu terlihat ramai dan damai, tentu saja toh mereka ibukota kedua kerajaan Clarines, dan merupakan jalur perdagangan utama untuk jalur darat menuju ke negara-negara tetangga.

Melewati jajaran pedagang, Obi tidak bisa menahan diri untuk tidak menghentikan laju kakinya ketika ia mendapati sebuah air mancur besar yang dulunya–saat kali pertama ia kemari–terlihat beku, namun kini ia bisa melihat kilauan cahaya memantul dari jernihnya air di sana. Tempat itu masih sepi, sama seperti saat ia pertama kali mendapati dirinya mengalihkan fokus dari perjalanannya ke kastil Wistant menuju jernihnya suara dawaian gitar dari seorang gadis dengan surai pucat yang indah.

Tempat itu, adalah saksi pertama kalinya Obi bertemu Leva. Menatap dalamnya iris keabuan kaca milik sang gadis.

Obi tersenyum, tidak sabar untuk segera menuju ke istana dan bertemu dengan Leva. Obi tidak tahu, tapi entah kenapa, pemikiran untuk segera bertemu Leva benar-benar membuatnya bersemangat.

Kedua kakinya kembali berjalan dengan cepat menembus jalanan utama kota Wistant yang terlihat ramai penduduk, tidak seramai saat pertama kali ia kemari, toh kala itu memang ada karnaval istana dan Leva malah memilih membawanya menuju lorong gelap dan jalan dunia bawah. Yang sialnya menuntun mereka pada kumpulan bandit yang seakan siap menangkap Leva dan menjualnya pada saudagar kaya. Oh mengingat hal itu membuat Obi ingin menggorok satu per satu leher bandit menggelikan itu.

Obi jadi sadar.

'Hangat, dan nyaman.'

Ia berkali-kali melihat sedari tadi beberapa penduduk keluar dari jalanan kecil di samping kota, jalanan yang sama yang terlihat berbahaya dengan penjahat dunia bawahnya. Namun, mereka terlihat tenang dan berjalan dengan nyaman.

'Apa akhirnya penjaga kota bertindak dan melakukan sesuatu pada para bandit itu?' Well, siapa yang tahu? Obi akan menanyakannya pada Leva nanti. Yang paling penting saat ini adalah segera mencapai istana.

Siulan dari sang pengantar pesan kini terdengar di tengah-tengah hiruk pikuk kota Wistant yang mempesona. Tatkala kota ini memang daerah padat penduduk, dan juga merupakan pusat kerajaan Clarines, memang wajar jika kota ini dikenal sebagai 'The sleepless city of Clarines'–kotanya Clarines yang tidak pernah tidur. Dengan aroma semerbak musim gugur dan daun-daun kering yang berjatuhan, ditambah tatanan kota yang mempesona, Obi benar-benar merasa senang untuk datang kemari untuk yang kedua kalinya.

Ia tidak merasa waktu telah berjalan begitu lama, ketika ia akhirnya mencapai penghujung kota dan jalan utama menuju Kastil Wistant. Tanpa sadar senyum merekah pada bibir dan Obi tidak lagi merasa kedinginan.

.

.

.

"Ini ruangan anda, Obi-sama. Tolong panggil kami jika ada yang anda butuhkan."

Obi tidak pernah suka dengan formalitas istana. Jika boleh, ia lebih memilih untuk tidur di barak penginapan warga atau bahkan di taman kota sekalipun. Namun untuk kali ini ia sungguh tidak bisa berlaku seenaknya sendiri, toh ia datang dengan membawa nama tuannya sebagai Pembawa Pesan Pangeran Kedua Clarines.

Seperti yang ia tahu dari formalitas istana, ruangan tempatnya berada saat ini benar-benar luar biasa (bahkan lebih daripada yang ia tempati di Tanbarun). Kasurnya luas, hampir sama seperti ranjang tidur Zen–yang sering ia tiduri–dengan tirai yang bisa ditutup jika ia butuh privasi. Terdapat sebuah sofa panjang berwarna merah maroon dan meja kaca yang terlihat senada dengan hamparan karpet besar berwarna kecoklatan di bawah kakinya. Sebuah chandelier juga terpampang indah dengan kilauan cahayanya yang mengalahkan cahaya bulan di luar sana.

Sayangnya, Obi tidak menemukan keberadaan beranda dimana-mana.

Dan sialnya lagi, seharian ini ia belum dan sama sekali tidak melihat sosok yang ia cari-cari sedari tadi.

Ini Obi yang tidak teliti atau memang si Levanthine yang menghindar darinya? Memangnya gadis itu tidak sadar jika seorang dari Wistal sedang pergi kemari untuk menyampaikan pesan? Memangnya gadis itu tidak mau bertemu dengannya?!

'Cih.' Obi emosi.

TOK–TOK–

"Obi-sama?" Mendengar suara ketukan pada daun pintu disusul sebuah panggilan untuknya membuat sang pemilik netra tembaga beranjak dari sofa yang ia duduki dan membuka pintu ruangannya. Mendapati seorang gadis mungil dengan surai kecoklatan dan manik kecoklatan yang senada berada di balik pintu yang baru saja ia buka.

Obi tidak mengatakan apapun, menyebabkan sang gadis pelayan tersenyum canggung dan menggeleng lalu kembali berkata, "Ehem, makan malam sudah siap, apakah anda mau dipersiapkan di ruang rekreasi atau di sini saja?"

Ruang rekreasi?

Obi berkedip. Tidak paham. "Disini saja," belum sempat sang pelayan menjawab Obi sudah kembali bertanya. "Anoo, bisakah kau memberitahuku tentang Tuan Puteri?"

Obi berani bersumpah ia melihat mata sang pelayan itu berbinar. Dan itu adalah suatu hal yang langka, jarang sekali ada seseorang yang senang mendengar nama Leva.

"Hai!"

.

.

.

Obi baru saja menyelesaikan makan malamnya ketika pelayan–yang baru ia ketahui bernama Aira–itu membawa sebotol wine dan beberapa keju potong. Oh, Obi suka keju potong.

"Jadi, apa yang ingin anda ketahui tentang Hime-sama, Obi-sama?" Obi melirik Aira menuang wine berusia 35 tahun itu dengan seksama, oh Tuhan, ia suka dengan kastil ini. Ia berdehem sejenak sebelum membalas kalimat sang pelayan.

"Itu…bagaimana ya…aku sering mendengar tentang Tuan Puteri Clarines, dan aku sedikit ingin tahu tentangnya."

Lagi. Obi berani bersumpah ia kembali melihat kilatan aneh di mata sang gadis.

"Jadi?" Obi mengulangi, sembari menengguk wine.

"Hime-sama itu–setelah lebih dari satu bulan aku bekerja di sini, aku baru sadar bahwa Leva-hime itu, tidak begitu disukai," Aira tertawa, Obi tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut tersenyum. Bukan karena tawa sang gadis, tapi karena apa yang ia katakan. Leva memang tidak memiliki kemampuan untuk membuat orang lain menyukainya, malah yang ada hampir setiap orang yang berhubungan dengannya akan merasa kesal bahkan membencinya. "Demo ne, aku juga tahu bahwa Hime-sama itu orang yang sangat lembut. Ia menolongku ketika aku benar-benar berada di kesulitan, ia bahkan juga memberiku pekerjaan di istana."

Obi mengangguk, "Jadi begitu. Aku ingin bertemu dengannya."

Suaranya sangat halus, namun Aira mampu menangkap kata-kata yang keluar dari bibir sang pemuda. Gadis itu tersenyum, agak bangga membuat orang berpikir baik tentang tuan puterinya. "Sayang sekali ya, anda tidak akan bisa menemuinya sekarang."

"Eh? Kenapa?" Obi mencicit. Apa-apaan ini? Ia sudah jauh-jauh dan ia tidak bisa bertemu dengan dia?

"Sekarang Leva-hime sedang melakukan perjalanan bisnis ke Liveare, dan baru akan kembali dua pekan dari sekarang. Anda sendiri akan kembali keesokan hari 'kan?"

"Dia pergi? Dengan siapa?"

Oh. Obi tidak suka ini, ia tidak suka mendengar kabar Leva bepergian jauh tanpa ada dirinya di sisinya.

'T-Tunggu…kenapa aku berpikir seperti itu? Ini bukan seperti itu urusanku juga.'

Aira mengambil keju potong yang ia bawa, menyodorkannya pada Obi sembari memakan satu untuk dirinya sendiri, lalu berkata. "Sendirian."

Oh shit.

"S-Sendirian? Kesana? Jauh di sana?" Aira tertawa, "Maksudku kesana sendirian Hime-sama hanya ditemani dua orang penjaga istana dan sebuah kereta kuda dalam perjalanan."

Obi menghela nafas lega. Untung saja Aira tidak menyadari helaan nafas ganjil itu, walaupun sebenarnya Aira agak merasa aneh dengan Obi yang menanyakan Leva pergi kesana dengan siapa.

"Well, sekarang sudah malam, sebaiknya anda segera tidur untuk perjalanan esok hari." Aira membereskan sisa cemilan malam mereka dan berjalan keluar dari ruangan Obi. "Kalau begitu, selamat malam, Obi-sama."

Obi mengangguk sebentar lalu terdengar suara pintu ruangannya yang tertutup. Ia kembali menghela nafas, padahal ia sudah jauh-jauh kemari, tapi untuk sekedar melihat batang hidung gadis itu saja ia tidak bisa.

"Dasar wanita yang menyusahkan."

Obi tidak menyadari ketika ia akhirnya terlelap dan bermimpi panjang, mengenai gadis yang begitu ia rindu, tanpa ia tahu.

.

.

.

Suara kicauan burung membangunkan gadis itu dari tidur lelapnya. Sengaja ia mengedipkan mata sedikit demi sedikit untuk menyesuaikan cahaya yang menyeruak masuk dari daun jendela. Ia menguap perlahan sembari mengacak surai pucatnya ketika ia mendengar ketukan pelan di pintu ruang pribadinya.

"Hime-sama? Sarapan sudah siap."

Gadis itu tidak menjawab–sama seperti biasanya–namun ia segera beranjak dari kasurnya dan mengambil mantel jam malam miliknya dan serta merta pergi keluar dari kamarnya untuk bebersih diri.

Hari ini Leva sedang tidak ada jadwal, toh baru semalam gadis itu pulang dari perjalanan jauhnya. Ia ingat begitu ia sampai di kastil ia melihat Aira sudah siap berlari dan menerjangnya–yang untungnya tidak gadis pelayan itu lakukan–Leva sudah terlalu lelah untuk menanggapi Aira yang terlalu banyak energi.

Sebenarnya hari-hari seperti inilah yang biasanya sang tuan puteri habiskan dengan berjalan-jalan ke kota dan bermain seenak hati, namun entah kenapa hari ini yang ia inginkan hanya mendapat kehangatan kastil dan tidur bergulung di ranjang. Sepertinya Leva benar-benar sudah berada di batas kelelahannya. Karena itulah bahkan ketika sarapan disajikan dengan menu favorit Leva ia tetap terlihat bermata lesu dengan wajah tertekuk dan tanpa gairah hidup.

"Hime-sama, anda baik-baik saja?"

Leva hanya melambaikan tangannya singkat sebaik isyarat bahwa ia baik, dan dengan segera sang pelayan pergi dari hadapan Leva dan membiarkan sang gadis menikmati makanan paginya.

Leva sudah mendengarnya.

Katanya baru dua hari yang lalu terjadi hara-huru di dalam kastil. Katanya surat dari Wistal sudah datang dan mereka mengatakan bahwa persiapan pengangkatan Pangeran Izana sudah siap, sepertinya tidak lama lagi Leva akan kembali ke Wistal (meskipun ia tidak tahu kapan). Seisi kastil cukup heboh ketika Leva datang, terutama Aira yang ngotot meminta diikut-sertakan rombongan kerajaan ketika nanti Leva dan Ibu Ratu pergi ke kastil utama.

Ia masih ingat betapa merengeknya Aira kemarin malam, dan Leva terlalu lelah untuk menanggapinya sehingga ia hanya mengiyakan apapun yang si gadis kecil katakan bahkan tanpa mendengarnya lebih dulu. Ia ingat Aira menceritakan sesuatu kemarin, tentang pengirim pesan dan ingin tahu tentang Leva, namun sungguh malam yang lalu pikiran Leva sungguh kosong karena rasa lelah yang melanda.

"Aku sudah selesai. Bersihkan."

"Ya, Hime-sama."

Levanthine menyeka mulutnya dengan perlahan sebelum akhirnya beranjak dari ruang makan dan pergi kembali menuju kamar pribadinya. Ia ingin berganti dengan baju yang layak dan menghadap ibunda ratu. Toh seberapa lelah tubuhnya kini, tugas tetaplah tugas, dan ia wajib melapor.

Lorong-lorong kastil terlihat sepi ketika Leva meniti langkahnya menuju aula besar, namun toh memang kastil ini selalu sepi, tidak seperti kastil Clarines yang lainnya. Kastil ini bukanlah kastil utama, bukan pemegang otoritas pemerintahan tertinggi, karena itulah bahkan seorang Levanthine bisa bergerak bebas di dalam istana.

"Tuan Putri Levanthine datang."

Leva bisa mendengar gumaman dari dalam pintu besar berlapis emas itu, dan tidak lama kemudian pintu terbuka untuk menampilkan sang Ratu yang duduk tegap di singgasananya–tanpa terusik barang sedikitpun.

"Saya datang, Yang Mulia."

"Ya."

.

.

.

Terdengar hening bunyi 'plop' ketika Leva membanting tubuhnya di ranjang tidur. Ia bahkan belum berganti pakaian untuk tidur, terlalu banyak yang berputar di otaknya untuk sekadar disisipi pemikiran 'mengganti kostum'. Padahal ia baru saja pulang namun sudah harus mempersiapkan keberangkatan lagi.

Belum lagi kata-kata sang Ratu agak mengusiknya.

Sang pengantar pesan.

Tidak mungkin itu dia'kan? Well, takdir tidak sebaik itu pada Leva.

Leva bahkan tidak menyadari ketika angin malam membawa kedua kelopak matanya semakin dan semakin berat, hingga akhirnya ia pun terlelap bersama kericuhan udara malam yang sendu.

.

.

.

To be continued

Next kah?

Next chapter kayaknya bakalan agak pendek huhu, but stay tune yaa!