Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"
.
.
.
Please Enjoy to Read!
.
.
.
CHAPTER 19 – ANOTHER START
Author's POV
Lagi-lagi. Ini sudah yang ke sekian kalinya.
Zen menggeram, kedua kaki kecilnya menghentak dengan keras pertanda bahwa ia sedang kesal. Dan sang gadis di hadapannya, tentu saja hanya tersenyum dengan begitu bangga. Toh hanya di bidang inilah Leva bisa mengalahkan Zen.
"ARGH! Lain kali aku benar-benar akan mengalahkanmu!" dan dengan itu, sang pangeran berlari menuju ruang belajarnya, bertekad untuk mengalahkan adik perempuannya itu di ujian berikutnya.
Leva masih tertawa ketika ia mendapati Izana berjalan mendekatinya dari arah yang berlawanan dengan Zen, mereka hampir saja bertubrukan jika pria bersurai tegas di samping Izana tidak menangkap Zen.
"Hati-hati, Pangeran kecil." Zen hanya mendengus dan kembali berlari.
Di sisi lain, Leva terlihat merekahkan senyuman terlebar yang ia miliki, "Ani-sama!"
.
.
Realm for The Hearts
Story & OC'sNakashima Aya
Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata
[There's no profit we gain from this fanfiction]
Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.
Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC
.
.
Hari ini kastil sangat sibuk. Dan Obi sangat bosan.
Pada hari-hari dimana ada event besar seperti ini, selalu menjadi hari dimana semua orang akan mengabaikan Obi karena terlalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Padahal ini masih belum acara yang sebenarnya, tapi entah mengapa seisi kastil Wistal sudah heboh tidak keruan.
Tentu saja sebagai bawahan Zen yang baik ia sudah meminta pekerjaan pada sang Tuan, namun apa yang Zen katakan?
"Tugasmu adalah diam dan tidak merusak apapun."
Hey, memangnya Obi ini anak TK yang bisanya hanya merusuh?
Haah, bahkan Shirayuki dan Ryuu terlihat sangat sibuk menyiapkan ini dan itu. Jadi kenapa Obi harus berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa?
Tapi Obi tahu, sangat tahu bahwa jauh di dalam dirinya ia bersemangat karena seluruh atmosfir kerajaan saat ini. Sungguh, ia merasa beberapa hari terakhir ini–walaupun semua orang terkesan terlalu sibuk hingga mengucilkannya–ia merasa dadanya berdegup lebih cepat dari biasanya, seakan ada sesuatu yang sangat menyenangkan akan terjadi.
Oh tentu saja Obi senang. Toh rombongan dari Wistant akan datang hari ini. Dan itu artinya 'dia' juga akan datang 'kan?
Obi tidak bisa menyangkal jika kini setiap menitnya bibirnya akan terangkat satu senti lebih lebar.
Pemuda bersurai gelap itu baru saja sampai di greenhouse ketika ia melihat Ryuu sendirian di sana, tidak ada tanda-tanda Shirayuki. Dan ketika ia menanyakan kemana perginya sang nona muda, Ryuu berkata bahwa Shirayuki sangat sibuk dan bersemangat dengan apa yang akan terjadi hari ini. Well, sepertinya bukan hanya Obi yang tidak bisa menenangkan diri hari ini.
"Ryuu-bou, apa yang kau lakukan?"
"Ini…" Ryuu bingung bagaimana mengatakannya, "Tanaman untuk makanan?" Tanaman yang ia petik saat ini jelas tidak berfungsi sebagai obat ataupun teh herbal.
"Maksudmu untuk bumbu dapur?" Obi tertawa.
Ryuu mengangguk, masih dengan wajahnya yang stoic. "Shirayuki-san yang menanamnya."
Hoo… Shirayuki memang benar-benar tidak terduga.
Obi tidak tahu sudah berapa lama ia menghabiskan waktu dengan melihat Ryuu bekerja hingga Zen muncul dari hadapan pintu kaca tersebut dan mengomelinya.
"Apa yang kau lakukan disini? Diam dan tidak melakukan apa-apa."
Hey, siapa yang tadi berbicara bahwa Obi hanya akan merusak dan menyuruhnya untuk diam?
"O-O-Ohohoho, Aruji…"
Hari sudah hampir menjelang sore ketika akhirnya Obi selesai membantu Ryuu dan diwajibkan melapor pada Zen–bersama Kiki dan Mitsuhide tentunya–dan juga untuk mempersiapkan diri. Wah, sudah berapa lama Obi tidak melihat Kiki dan Mitsuhide? Sungguh hari ini mereka benar-benar disibukkan dengan hal masing-masing.
"Oh, Obi?"
Obi menoleh. Surai merah itu ada di sana. Namun kini, ia tidak merasakan perasaan aneh di dadanya.
.
.
.
Sebenarnya sejak kapan Obi mulai menyadari afeksinya pada sang pharmacist muda itu?
Apakah sejak insiden bajak laut?
–atau jauh sebelum itu?
"K-kau…menyukainya 'kan? Shirayuki-san."
Obi terdiam sejenak, terkadang ia menakuti kemampuan wanita untuk membaca pikirannya. Namun ia tersenyum, dan ia berkata yang sejujurnya. "Ya."
Obi tidak akan menyangkalnya. Apalagi di depan gadis ini, toh ia terlalu pandai untuk Obi bodohi.
Obi menyandarkan punggungnya pada pinggiran jembatan sembari melirik kecil pada sang surai pucat, gadis itu menundukkan wajahnya dan Obi tidak bisa membaca ekspresinya. Kenapa? Apa karena lukanya? Ia tidak mau bertanya. Gadis itu tidak akan suka jika Obi menanyakannya.
Ia tersenyum.
"Hime-sama,"
Dengan gelagapan Leva menarik dirinya dan membalas, "H-Hm?"
"Hati-hati di jalan."
Obi hampir saja terjerembab dari ranjang tidurnya ketika ia terbangun. Linglung. "Ah, mimpi."
.
.
.
Jika Obi bisa mengukur dan membandingkan intensitas keramaian kastil di hari-hari biasa dengan hari ini maka ia akan mengira-ngira perbandingannya sebesar 1:500 orang. Well, ini memang bukan event khusus pertama Obi di sini, namun tetap saja hal ini cukup mencengangkan baginya.
Apalagi kini ia malah ditempatkan sebagai lini terdepan di gerbang samping kastil Wistal. Ia bahkan tidak ditempatkan di gerbang utama, sungguh Obi tidak habis pikir dengan apa yang sudah dilakukan tuannya ini.
"Obi-san,"
Dan sialnya, partnernya ini adalah si tukang gosip gerbang depan yang harus mau dipindahkan ke sudut terpencil ini.
"Hngg." Obi menjawab sekenanya, dengan kaki kanan tertekuk menyandar dinding tebal gerbang kecil ini. Wajahnya terlihat penuh kebosanan, helaan nafas siap keluar kapan saja, oh belum lagi dengan ketidak-sukaannya mengenakan pakaian resmi kerajaan–membuatnya kesusahan bergerak saja.
"Kenapa Obi-san ditempatkan di sini?"
Ya, itu juga yang ingin kutanyakan pada petinggi di sini, bocah.
"OH! Atau jangan-jangan akan ada sesuatu yang jahat melewati gerbang ini?!"
Hah? Memangnya kau pikir aku pengusir roh jahat?
Obi menggelengkan kepalanya sembari melirik pada penjaga gerbang muda di sandingnya; yang kini malah sibuk membuat teropong dengan kedua tangannya.
Haah…
Tapi ada benarnya juga.
Sebenarnya siapa juga yang mau melalui gerbang kecil di pinggiran aliran sungai ini? Kebanyakan orang waras akan lebih memilih untuk melalui keramaian pasar dan masuk lewat gerbang utama–yang tentunya dijaga dengan sangat ketat–sembari menikmati euphoria keramaian kastil di sana. Toh sejauh ini hanya ada beberapa merchant dan pedagang serta petugas dapur yang butuh melalui gerbang ini untuk menghindari keramaian; agar pekerjaannya tidak terganggu tentu.
"Obi-san,"
Obi kini bahkan sudah berpindah posisi dan berjongkok, agak lelah berdiri tanpa melakukan apapun.
"Aku bosan." Bocah, aku juga.
"Kabarnya rombongan dari Wistant juga sudah datang."
KLAKK–
Obi tidak bisa memungkirinya, ia tersentak, cukup terkejut. Dari mana juga bocah ini dapat informasi segenting itu? Bukannya sejak tadi ia ada di sini bersama Obi?
Tepat ketika Obi hendak membuka mulutnya dan bicara, seorang pria bertubuh cukup kekar berjalan mendekat dengan sebuah karung putih besar bertengger di pundak sebelah kirinya. Ia mengenakan jubah kusut khas mercenary sewaan yang menutupi bagian atas kepalanya–namun tidak sampai membuat wajahnya tidak terlihat. Sepertinya ia seorang pesuruh dapur yang mengambil bahan-bahan, toh Obi tidak terlalu memperhatikan mereka yang mondar-mandir-keluar-masuk sejak tadi.
Obi langsung berdiri dan menyingkir sedikit dari depan gerbang, tidak melakukan tetek-bengek formalitas apapun seperti di gerbang utama. Begitu juga dengan sang penjaga di sisi lain gerbang. Pria itu mendongak sejenak pada Obi–memperlihatkan kilatan obsidian miliknya–dan dengan tegap berjalan melewati gerbang, melewati Obi.
Tatto…
Kupu-kupu?
Obi melihatnya, di punggung tangan kirinya yang mencekal erat karung besar itu, tergambar dengan jelas sebuah kupu-kupu berwarna biru.
"Woah, pria kekar itu pasti berlatih dengan sangat keras. Aku dan tubuh cungkringku ini tidak ada tandingannya dengannya. Benar 'kan, Obi-san?"
Haah, Obi bahkan lebih lelah mendengar ocehan di sisi kiri tubuhnya daripada harus berdiri tanpa melakukan apa-apa seharian penuh ini.
.
.
.
Hari ini hampir saja berakhir. Mungkin tidak sampai satu jam lagi.
Leva tidak suka ini. Apa-apaan dengan bocah mata kucing itu? Berani-beraninya ia tidak menampakkan iris tembaganya itu di hadapan Leva barang sedetikpun padahal gadis muda itu sudah jauh-jauh datang kemari dari Wistant. Tidak tahukah pemuda itu bahwa tinggalnya Leva di sini hanya untuk beberapa waktu yang singkat?
Wajahnya tertekuk. Bahkan ia sudah membuka jendela kamarnya lebar-lebar, takut jika serangga dan angin malam tidak bisa masuk ke dalam kamarnya.
Tidak mungkin 'kan pemuda itu sudah melupakan ruangan tempat Leva tinggal? Toh ruang tidurnya tidak pernah berubah dan tetap di tempat yang sama.
Ah, Leva benci ini. Ia bahkan tidak bisa tidur karenanya.
Dan yang lebih Leva benci lagi adalah sikap biologis tubuhnya yang langsung merona dengan pemikiran bahwa tidak lama lagi Leva akan mampu melihat wajah pemuda itu lagi. Oh, sial, pemikiran bodoh itu saja bisa membuat detakan jantungnya memompa tidak karuan.
"Sial."
Uh, Leva, seorang princess tidak seharusnya mengutarakan kata kasar seperti itu.
Gadis itu menggeleng, menutup rapat–bahkan mengunci–jendela kamarnya dan berjalan cepat menuju ranjang istirahatnya, "Aku harus tidur."
.
.
.
Hari ini tidak kalah sibuknya dari kemarin. Bahkan Leva hanya sempat melihat Zen saat makan pagi kerajaan pagi ini, itupun harus Zen selesaikan dengan cepat, mereka bahkan hanya sempat berkontak mata sejenak sambil saling mengejek lewat tatapan masing-masing.
Yang Mulia Ratu juga tidak lagi terlihat setelah jamuan pagi ini, seperti beliau sibuk dengan sang Putra Mahkota yang tak lama lagi akan segera dinobatkan menjadi raja. Acaranya masih satu pekan lagi, namun Leva bisa merasakan atmosfirnya hingga ke sudut paling terpencil dari kastil.
Dia sendiri tidak kalah sibuknya, dari prahara birokrasi, hidangan perayaan, hingga kostum paradenya harus ia pusingkan. Ia sudah berada di Wistal, namun ia bahkan tidak mampu sekedar bertegur sapa dengan Shirayuki ataupun Kiki, apalagi untuk mengharapkan si mata kucing itu untuk muncul di hadapannya.
"Hime-sama, mohon kehadirannya di hall biru sekarang juga."
Bolehkah Leva menghela nafas sejenak dan mengambil cuti untuk meminum teh herbal Shirayuki yang sudah sangat ia rindukan itu?
Matahari sudah hampir berada di titik tertingginya ketika Leva akhirnya mampu menghirup udara sejenak. Ia ditugasi untuk melihat dan mencocokkan stand yang tercatat di birokrasi kerajaan dengan yang kini tersebar di halaman istana–untuk menghindari adanya perdagangan illegal.
Dengan mengenakan setelan resmi kerajaan dan ditemani Aira serta seorang penjaga istana, ia berjalan perlahan dari satu petak tanah ke petak tanah lain, menanyakan surat ijin perdagangan tiap pedagang yang ada dan melirik sejenak koleksi pernak-pernik yang berjajar di etalase. Leva tidak munafik, ia masih seorang wanita yang menyukai barang unik dan berkilau.
Aira mengikuti nona mudanya itu sambil sesekali berjinjit dan melihat ke sekeliling. Keputusannya untuk merengek meminta dibawa ke Wistal memang adalah keputusan yang tepat, dalam sejarah hidupnya ini kali pertama gadis muda itu pergi ke sisi lain dari negara ini. Wistant boleh saja dibilang sebagai kota festival, namun tetap saja keramaian seperti ini adalah hal baru bagi Aira.
Ia hampir saja membiarkan seorang anak kecil menabraknya ketika kedua netranya menangkap satu hal yang cukup menarik perhatiannya.
"Umm, Hime-sama," ia bisa mendengar gumaman keluar dari bibir sang tuan putri–pertanda bahwa ia boleh melanjutkan kalimatnya, "Kita tidak perlu mendata para pedagang yang berjualan dengan berkeliling?"
"Tidak. Mereka tidak menggunakan lahan istana. Lagipula apa yang mereka lakukan tidak illegal." Leva masih sibuk membolak-balik buku catatan di genggamannya sehingga Aira memutuskan untuk mengangguk singkat dan kembali menyibukkan dirinya dengan pemandangan yang terpapar di hadapannya.
Namun, tidak lama setelah itu, Leva kembali berujar. "Mereka toh hanya memanfaatkan euforia keramaian, sekedar mengisi kantung untuk penghasilan tambahan dan ikut memeriahkan acara yang ada. Banyak dari mereka hanya berjulaan makanan ringan atau mainan anak-anak. Bukan hal yang patut untuk dijadikan sebuah perkara."
Aira mengangguk, lalu tersenyum. Terkadang Leva mungkin terlihat tidak memedulikannya, namun sungguh Aira tahu bahwa nonanya itu sangat memperhatikan detil-detil kecil dari suatu hal. Dan itulah yang membuat Aira selalu belajar banyak hal dari Levanthine.
Hiruk-pikuk halaman besar istana membuat Leva agak sakit kepala, toh sejak dulu Leva tidak terlalu suka berada di tempat yang penuh sesak seperti ini. Bahkan sebelum kunjungan terakhirnya di Wistal, Leva lebih suka pergi kemana-mana sendirian, atau ditemani salah satu penjaganya–jika dalam urusan kerajaan dan birokrasi.
Well, setidaknya aku bersama Aira.
BRAKK–BRUK–BRUKK–
"PENCURI!"
Sontak Leva menoleh ke belakang, bersamaan dengan Aira yang sudah terjatuh di tanah–tertubruk seseorang yang berlari dengan sangat cepat–membuat gadis itu mengaduh kesakitan; tangannya tergores tanah dan membuat darah mengalir dari sana.
"Bawa Aira ke perawatan medis!"
"Ya, Hime-sama."
Penjaga istana di belakangnya langsung pergi sembari memapah Aira yang untungnya terlihat tidak begitu terluka. Gadis bersurai pucat itu melirik sebentar dan menunggu keduanya pergi sebelum memasukkan buku kecil berisi catatan pedagang itu ke dalam sakunya dan berlari mencari sumber suara yang pertama kali ia dengar.
.
.
.
"Saa, Obi-san, apakah anda dekat dengan Shirayuki-san?"
Obi hampir saja menyemburkan minuman yang ia tenggak jika saja ia tidak segera menelannya. Sungguh, kenapa juga kini ia harus menjalani masa istirahatnya dengan minum berdua dengan bocah tukang gossip ini; yang namanya saja ia tidak ingat.
"Apakah anda sering melihat Zen-sama dan Shirayuki-san bersama?" Oh, wajahnya berkilau ketika menanyakan itu. Bahkan surai coklat terangnya ikut terlihat menyilaukan.
Ingin sekali Obi menjawab 'sering, bahkan pernah memergoki keduanya sedang berduaan di tengah keremangan'. Namun tentu saja tidak ia utarakan. Obi masih seorang abdi yang menjaga kehormatan tuannya. Sedikit demi sedikit Obi mulai menghabiskan minuman yang tersaji di hadapannya, sembari mendengarkan ocehan-ocehan tidak jelas dari partner jaganya itu.
BRAKK–BRUK–BRUKK–
"PENCURI!"
Mendengar riuh kacau dari keramaian sontak membuat kedua penjaga gerbang itu berdiri dan menoleh, lalu tanpa saling bertukar kontak keduanya langsung berlari mencari sumber suara.
'Cih,' Obi mendecih kesal sembari berlari menembus kerumunan, ia bahkan harus mengatakan 'permisi, permisi' berkali-kali. Inilah kenapa Obi tidak suka keramaian, selalu ada masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan cepat.
"Obi-san, sebelah sini," Obi menikuk mengikuti rekan kerjanya, menemukan seorang wanita tengah duduk menangis di tengah kerumunan. "Harap tenang, kami penjaga dari istana."
Obi membiarkan bocah itu yang berbicara dengan wanita itu, sepertinya ia korbannya. Manik kucingnya berpindar, menyisir keramaian, mencari-cari sosok yang terlihat tidak wajar.
"Haah," Obi menghela nafas, ia butuh melihat dari tempat yang lebih luas, lebih tinggi. "Oy, aku pergi dulu. Kau tetap disini." Ia menepuk bahu juniornya itu sebelum akhirnya melesat berlari memasuki kerumunan yang lebih padat.
Seseorang…yang terlihat menutupi sesuatu dan mencurigakan…
Memang ya, yang namanya acara besar tidak mungkin lepas dari masalah. Sekarang Obi jadi tahu kenapa ia ditempatkan di sudut gerbang menyedihkan seperti itu, pasti untuk menghindari adanya bandit atau penjarah gunung yang memanfaatkan situasi untuk masuk dan merusuh.
Kedua netranya masih berpindar hingga mengunci satu titik. 'Ketemu.'
Obi berlari menembus keramaian sedikit demi sedikit, sembari berusaha tidak terlihat mencurigakan. Sama seperti pria yang ia pindai–yang kini terlihat jelas kegugupannya, melirik kanan-kiri tanpa alasan yang jelas sembari menyembunyikan tangannya di balik sebuah jaket kulit tebal.
Obi hampir sama berhasil menutup jarak antara keduanya ketika ia merasakan bahunya membentur seseorang bersamaan dengan sebuah teriakan memekakkan yang membuatnya ingin mengumpat.
"BERHENTI KAU DI SANA!"
Suara itu…
Surai itu…
Cih, Obi mendecih. Dasar wanita bodoh. Sia-sia sudah usaha Obi untuk mengikuti pria itu secara diam-diam dan menyergapnya dari belakang.
Pencuri itu sudah menyadari bahwa aksinya ketahuan dan ia memilih berlari memasuki celah-celah kecil diantara bangunan istana, berusaha menghilangkan jejak dari incaran sang gadis istana. Lagipula, ini festival, tidak mungkin hanya dirinya yang mencuri? Lalu kenapa hanya ia yang dikejar-kejar?!
Keluar dari celah gelap, pria itu kembali membaur dengan keramaian dan mencoba bersikap sewajar mungkin. Ia harus segera keluar dari lingkungan kastil atau nasibnya akan berada dalam bahaya. Sebuah seringai terlukis di bibirnya kala ia bertolak menuju tempat yang lebih lapang; merasa dirinya sudah aman dari kejaran anjing-anjing istana.
BRUKK–
"Kena kau," Pria itu menabrak pojokan tembok dengan bahu sebelah kirinya, wajahnya memerah padam–antara marah, kesal, dan kecewa–dan tanpa berpikir panjang mulai mengambil ancang-ancang untuk berlari.
"SIALA–"
Leva menjegalnya. Well, ia menyakiti Aira, pria tua pencuri ini butuh lebih dari sekedar sebuah jegalan tepat di kaki.
"Sudah cukup berlarinya, pencuri." Ia menelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, menimbulkan bunyi 'klak klak' dari otot-ototnya yang terasa kaku. Sudah lama gadis itu tidak berlari, apalagi dengan mengenakan setelan resmi istana seperti ini. Helaan nafas keluar dari bibirnya, ia tidak suka ada satu tetes kerusuhan dari sebuah acara dimana ia memiliki andil di dalamnya.
Pria itu tersungkur, dengan wajah mencumbu tanah; merutuki ketidak-adilan yang menimpanya karena gadis ini. Ia bahkan tidak sadar ketika iblis sudah merasuk hatinya dan membuat niat buruk yang awalnya hanya berada di angan kini mulai muncul ke permukaan. Dan saat itulah Leva sadar bahwa ia berada dalam bahaya.
Sebuah pisau, tipis dan tajam, kini sudah tergenggam erat olehnya. Leva tidak bisa berkutik.
"K-Karenamu, ini s-semua karenamu. Jika s-saja k-kau tidak menggangguku!"
Leva bisa saja terkena sabetan pisau pendeknya itu jika ia telat barang satu detik saja beranjak dari tempatnya. Tusukannya amatir, namun yang namanya pria tetap pria, dan Leva bukanlah gadis seperti Kiki yang bisa dengan mudahnya mengungguli seorang lelaki.
"INI SEMUA KARENAMU!"
Leva menutup mata, pasrah.
KRANGG–
BRAKK–
Gadis bersurai pucat itu berkedip sejenak, seorang pria di depannya, dan si pencuri itu tersungkur di tanah. Apa yang baru saja terjadi?
"A-Anu," Levanthine mencicit, entah kenapa melihat pria berjubah di hadapannya ia agak ciut nyali.
"Berhati-hatilah, Yang Mulia Levanthine." Dan pria itu berjalan pergi, meninggalkan bekas goresan pisau pada bahu kanan sang pencuri, dan meninggalkan Leva dalam keadaan terduduk di tanah.
"HIME-SAMA!"
"E-Eh? Obi?"
Obi melihatnya, hanya saja ia terlambat bertindak, sehingga kini ia hanya menjadi seakan pahlawan kesiangan yang datang tanpa mampu melakukan apapun. Well, setidaknya ia membawa dua orang penjaga kerajaan yang langsung membekukan pencuri kelas teri itu.
Jika saja Leva tidak butuh pertolongan medis sesegera mungkin, Obi bersumpah ia benar-benar akan menjitak dahi gadis ceroboh itu.
Obi menarik perlahan pergelangan tangan kanan Leva sembari melingkarkan lengannya pada bahu sang gadis; membantunya untuk berdiri. Kedua netranya masih memaku fokus pada sosok yang baru saja menyelamatkan tuan puterinya, pria itu. "Ne, Hime-sama, kau mengenalnya? Pria itu."
Leva mengerjap, "Siapa?"
Oh, dia tidak mengenalnya. Pria yang sama yang kulihat di gerbang. Pria kekar aneh dengan tato kupu-kupu berwarna biru–dan bekas luka bakar di balik surai merah menyalanya yang ia tutup rapat dengan jubah.
Pria itu, berbahaya, jika bukan sebagai kawan. Setidaknya menurut insting Obi.
"Kita kembali ke istana, Leva-hime."
"Hm."
.
.
.
To be continued
Haloo, it's been so long since I write this fanfic. I'd like to share to all of you, that maybe this ffn will take some slow-update-moment, because of the hectic in my everyday life, I'm so sorry:((
But believe me that I'll guarantee you that I'll never take down this ffn. I will continue it until the end!
nb: jujur guys, ini aslinya di otakku tidak sepanjang ini tapi begitu menulis eee keterusan dong smpe 3k wkwk hope u enjoy it all!
