Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"

.

.

.

Please Enjoy to Read!

.

.

.

CHAPTER 20 – CAPTURED SINS

Author's POV

"Anda sudah datang? Bagaimana keadaan 'istana'?"

Pria itu melepas jubahnya, menampakkan bekas luka bakar besar yang menutupi bagian samping kanan wajahnya hingga ke sekitar leher, sebuah senyum–seringai terlintas di bibirnya.

"Mereka tetap saja, ramai dan naif."

Ia berjalan keluar, beranjak dari ruang utama menuju ruangan pribadinya yang begitu gelap, penuh tumpukan buku, dan kertas-kertas aneh dengan tulisan yang tidak mudah dimengerti. Seperti rapalan mantra dan tulisan-tulisan gelap yang kuno.

"Aku akan bersekutu bahkan dengan iblis sekalipun, jika itu artinya aku bisa men–"

.

.

Realm for The Hearts

Story & OC'sNakashima Aya

Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata

[There's no profit we gain from this fanfiction]

Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.

Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC

.

.

Tanpa Zen katakan sekalipun semua orang dalam ruangan itu bisa mengetahui bahwa sang pangeran sedang dalam keadaan tidak senang hati, agak marah lebih tepatnya.

"K-Kau…" Leva menahan nafas, kenapa sih setiap kali ia kemari Zen selalu marah kepadanya?

Pangeran Wisteria itu menarik nafas dalam-dalam, "Selalu saja bertindak sendiri, melalaikan pekerjaan yang sudah diberikan, meninggalkan pos jagamu, dan bahkan mengejar seorang pencuri sendirian tanpa penjagaan–"

Zen berhenti, menenggak sejenak teh buatan Shirayuki, lalu duduk semakin tegak (membuat Leva juga menarik punggungnya agar tegak lurus). "Kau dihukum."

"H-Hah?!"

Leva menendang kerikil di hadapannya keras-keras; dengan wajah merengut setengah tertekuk. Membuat sang pengantar pesan itu tersenyum, sedikit menahan tawa.

"Apa? Kau juga mau memarahiku?"

Kedua tangan bersilang di belakang kepala, pemuda itu berujar, "Hime-sama selalu saja berpikiran buruk tentangku."

Gadis itu memberengut kesal, lalu kembali menghadap ke depan dan berjalan dengan agak tergesa-gesa. Padahal ini kali pertama ia bertemu Zen di luar pertemuan resmi dan ia malah mendapat teguran dan amarah Zen. Padahal Leva 'kan hanya melakukan tugasnya, ia bahkan tidak terluka sedikitpun, tidak menyalahi aturan dalam istana–yah well sedikit sih, tapi yang pasti semua hal itu membuat suasana hati seorang Levanthine menjadi sangat buruk.

"Dan kau," Leva menahan nafas, berbalik, "Apa yang kau lakukan sekarang?"

"E-Eh? Aku…mengawalmu?" Obi tertawa renyah, namun tidak berhasil membuat suasana hati gadis di hadapannya menjadi lebih baik, "Aruji memintaku untuk menjagamu Hime-sama, beliau memindahkan tugasku dari yang membosankan dan tidak menyenangkan itu pada dirimu." Obi sok dramatis.

Tentu saja Leva hanya memutar bola matanya. Bagaimana bisa sih manusia aneh ini terlampau sering membuat Leva berdebar?

"Saa, Hime-sama, kemanakah kita akan pergi di pagi hari yang cerah ini?" Leva tidak menjawab, sudah lelah menanggapi Obi dan hal-hal aneh yang selalu mengitarinya. Gadis itu memilih untuk tetap berjalan tegak menuju tujuannya; dan jujur saja, Obi sebenarnya bisa meraba-raba akan pergi kemanakah nona muda itu membawanya.

Untuk Leva, jalanan yang ia lewati saat ini termasuk asing, jarang sekali bahkan mungkin tidak pernah Leva menginjakkan kaki di sisi istana bagian ini.

"Hime-sama,"

"Hmm."

"Hime-sama, anda yakin mau masuk?"

"Hngg."

"Tapi Hime-sama," Leva mendengus kesal, "Apa sih?!"

"–Ini penjara loh."

Sejujurnya mendengar Obi mengatakannya seperti itu membuat Leva agak bergidik ngeri. Bukan apa-apa, namun hanya saja ini bukanlah tempat dimana seorang Lady seharusnya berada.

"A-Ada sesuatu yang harus kuketahui." Obi bersyukur Zen tadi menyuruhnya untuk mengikuti Leva alih-alih kembali berjaga di pintu belakang kastil–bayangkan saja jika gadis itu akan masuk ke tempat kotor dan mengerikan itu sendirian. Oh, memikirkannya saja sudah membuat Obi bergetar karena rasa khawatir.

Kastil Wistal memang merupakan salah satu bangunan paling megah dan cerah di seluruh dataran Clarines. Namun, sudut ini terasa dingin dan mengekang. Leva bisa merasakannya begitu ia mulai menapaki tangga semakin turun dan dalam. Rasa dingin yang mencekat, bukan suasana yang Leva suka.

"Hime-sama, ayo kembali saja."

Obi mencicit. Ia tidak suka melihat Levanthine berada di sini. Pemuda itu tahu bahwa Leva merasa tidak nyaman, dan itu menyesakkan.

Semakin jauh meraka turun semakin gelap pula keadaan sekitar, dengan jendela yang minim cahaya dan tanah yang licin membuat Leva melangkah dengan sangat hati-hati. Ia tidak mau mempermalukan dirinya sendiri dengan jatuh tidak anggun di hadapan orang lain–terutama Obi.

KLANGG–

Pemuda bersurai gelap itu sungguh sebenarnya tidak tahu apa tujuan Tuan Putri-nya itu kemari, kedua netranya menyisir sekeliling tatkala sang gadis berbicara dengan dua penjaga pintu yang terlihat agak kebingungan. Well, Leva datang kemari tanpa surat perintah namun siapa sih yang bisa menolak perintah seorang Tuan Putri?

"Obi," Ia menoleh, Leva menatapnya tepat pada kedua netra tembaga sang pemuda. "Ayo masuk."

Aah, aku suka perasaan ini.

Obi tersenyum. Entah kenapa ia menyukainya; sensasi yang merasuk hatinya kala Leva mengatakan hal seperti itu. Seakan gadis itu memperbolehkan Obi untuk tetap berada di sisinya, dan hal itu entah mengapa membuat Obi merasa…tenang.

Keadaan di dalam pintu jeruji itu tidak lebih baik–malah cenderung lebih kelam dan gelap. Bahkan seorang Leva yang dikenal nekat dan tidak punya rasa takut itu merasa bergidik seketika ia melirik tatapan-tatapan para tahanan di balik jeruji mereka masing-masing. Semua ini…bukan hal yang seharusnya dilihat Leva, setidaknya itulah pikir Obi.

"H-Hime-sama…" Obi masih mencicit, dan Leva masih kukuh untuk tidak menghiraukan Obi.

Obi hampir saja menabrak sang gadis ketika Leva berhenti secara begitu tiba-tiba. Gadis Wisteria itu menarik napas sejenak sebelum menghadap ke sisi kirinya, bertatap muka secara langsung dengan satu sosok yang kini menelusuk langsung pada kedua netra Levanthine–dengan ganas dan tajam.

"Heh," pria tua itu terlihat mendengus jenaka, "Apa yang kau perlukan dariku, nona muda?"

Leva menahan nafas. Dadanya berdegup kencang. Ia bahkan bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Oh ini menyebalkan.

"Asal kau tahu saja, aku kemarin bukan untuk menghiburmu. Dasar pencuri." Sial, dasar kau dan mulut bodohmu! Leva merutuki dirinya sendiri yang selalu berbicara sembarangan.

Leva bisa merasakan dadanya mencelos begitu ia merasakan aura membunuh yang luar biasa dari pria di balik jeruji itu. Merasakan hal yang sama, Obi reflek menarik Leva ke balik tubuhnya, berusaha menutupi pandangan gadis itu dan mengirimkan sinyal mengancam yang sama pada pria di ruang balik sana.

"Asal kau tahu saja, nona muda. Jika bukan karena kau–JIKA BUKAN KARENA KAU AKU PASTI BISA MEMBEBASKAN PUTRIKU SEKARANG!"

Leva hampir saja memekik. Kenapa? Kenapa ia yang disalahkan? Ia hanya menangkap seorang pencuri yang hampir mengacaukan pesta rakyat kastil yang sempurna itu. Ia…hanya melakukan yang menurutnya benar. Kenapa semua orang menyalahkannya?

Bahkan Zen juga…

Obi bisa merasakan atmosfir di sekelilingnya semakin gelap dan menurun, dan gadis di hadapannya ini terlihat begitu ringkih seakan seluruh dunia tidak berpihak padanya. Apa-apaan pria tua aneh ini? Bagaimana bisa ia berani-beraninya menodong bangsawan tertinggi istana dengan nada bicara seperti itu.

Oh, ini buruk. Obi bisa merasakan amarah bergejolak dalam dirinya. Pria itu, tatapan tidak sopan itu, semuanya membuat darah sang pemuda berdesir.

"Hime-sama, kita kembali." Leva mengangguk. Membiarkan Obi meraih bahunya dan membawanya keluar. Ia bahkan tidak berniat untuk menoleh ketika ia mendengar raungan pria itu.

"SEMUA INI KARENA KAU! KAU AKAN MEMBALASNYA LEVANTHINE WISTERIA! KAU AKAN MEMBALASNYA DENGAN HIDUPMU YANG TIDAK SEBERAPA ITU! HAHAHAHAHA!"

–namun tetap saja, ia mendengarnya. Ia mendengar semuanya.

.

.

.

"Ini Leva-sama, minumlah." Leva meraih cairan hangat itu. Membiarkan rasa nyaman dari aroma teh tersebut menenangkannya.

Hidungnya memerah, bahkan walaupun Shirayuki tidak tahu apa yang terjadi, ia bisa tahu bahwa gadis yang seumuran dengannya itu tergucang. Sangat terguncang. Dan Obi bahkan tidak membantu sama sekali. Pemuda itu sibuk mengoyak rambutnya dan terlihat sangat marah, akan sesuatu. Shirayuki bahkan sempat mendengar Obi berkata 'aku akan membunuhnya' yang artinya baru saja tidak ada hal yang baik terjadi pada diri Levanthine.

Shirayuki merasa ia harus melakukan sesuatu. Gadis bersurai kemerahan itu memutuskan untuk duduk di sebelah sang putri, toh pekerjaannya hari ini telah ia selesaikan dan ia punya waktu luang saat ini.

Ia membiarkan Leva menyesap sedikit demi sedikit minuman hangat di kedua tangannya, hingga akhirnya rasa ingin tahu dalam dirinya tidak tertahankan lagi.

"Leva-hime, aku tidak memaksa anda, tapi jika ada sesuatu yang menganggu anda, tidak perlu sungkan untuk mengatakannya padaku. Aku akan medengarkannya."

Sejujurnya Leva bukannya tidak mau menceritakannya. Hanya saja ia tidak tahu harus memulainya dari mana.

"Ojou-san kau tidak perlu tahu."

Dingin. Leva menoleh pada pemuda itu, namun tidak sedikitpun netra tembaga itu balik menatapnya.

Dan begitu ia merasakan tatapan Obi mengarah padanya, hanya dingin yang ia rasa, kehangatan itu sudah tidak ada, dan Leva membencinya. "Hime-sama, kita kembali ke kediaman Aruji sekarang juga."

"T-Tidak mau."

Obi berjalan mendekat, langkahnya bahkan hampir tidak terdengar, dan itu terasa mematikan bagi siapapun yang berada di dalam ruangan itu. "Berdiri. Kita kembali." Obi mencengkeramnya, tangan yang sama, rengkuhan yang sama, namun Leva tidak lagi merasakan nyaman yang ia rasa ketika Obi membawanya kemari.

Sakit. Ini menyakitkan. Leva meringis dalam cengkraman sang pemuda.

"OBI!"

PLAKK–

Obi terbelalak. Ojou-san, Shirayuki menamparnya. Dan ketika ia melirik pada sang tuan putri yang ia lihat adalah seorang gadis ringkih yang ketakutan. Tubuhnya bergetar. Dan semua itu karenanya. Karena Obi.

"Cih."

Ia hanya…mengkhawatirkannya. Ia hanya tidak suka dengan keadaan ini. Tidak boleh ada satupun entitas di dunia ini yang bisa dengan seenaknya membuat gadis itu menangis, tidak ada, bahkan dirinya sekalipun.

Karena itulah, pemuda itu berjalan keluar, menggebrak pintu dengan keras seakan mengatakan pada seluruh dunia bahwa suasana hatinya sedang tidak baik. Dan begitu sang pemuda berada di luar jangkauan, Leva akhirnya mengeluarkan suaranya dan ia bercerita. Ia menceritakan semuanya pada satu-satunya gadis yang ia anggap teman–di seluruh daratan Clarines.

Ketika Obi membuka matanya hari sudah menjelang penghujungnya. Dan kini ketika dadanya sudah tidak bergetar dan hatinya tidak terbakar karena amarah, ia mulai bisa berpikir dengan tenang. Ada yang salah dengan Obi. Ia tahu. Tidak biasanya ia berlaku seperti itu apalagi pada seseorang seperti…Levanthine.

Posesif. Hanya itu yang ada di pikirannya.

"Apa yang sudah kulakukan?!" Obi mengacak rambutnya dengan barbar. Apa-apaan dengan cara bicaranya yang menakutkan itu tadi? "Haah… Aku harus meminta maaf pada Hime-sama nanti."

"Oy Obi!"

Pemuda itu hampir saja terjatuh dari ranting pohon yang kini menompangnya, untung saja ia segera menyadari siapa yang memanggilnya.

"Y-Ya, Mitsuhide-dono?"

"Apa saja yang sudah kau lakukan seharian ini?! Zen mencarimu kemana-mana."

Aah… aku terlalu lama tertidur di sini…

.

.

.

Ini sudah tiga hari sejak kejadian di penjara istana. Dan sejak itu pula tidak sekalipun Leva datang menemui Obi; lebih tepatnya ia bahkan menghindari Obi.

"Haah… Mitsuhide-san apa yang harus kulakukan?"

Jujur saja, bahkan Mitsuhide sudah bosan mendengar helaan nafas Obi. Toh memang seluruh istana sedang sibuk-sibuknya dalam 3 hari terakhir ini. Hari ini adalah puncak dari seluruh kesibukan dimana upacara pelantikan Yang Mulia Izana sebagai raja akan dilakukan tepat pada tengah hari–yang artinya kurang dari 2 jam lagi.

"Yah, setidaknya aku tidak harus berjaga dengan kouhai hiperaktif dan banyak bicara di pintu belakang."

Well, sekarang kau lah yang menyandang gelar kouhai hiperaktif dan banyak bicara, Obi.

Mitsuhide tertawa, tawa khas miliknya yang entah kenapa selalu mampu membuat semua orang merasa nyaman dan merasa 'semua-akan-baik-baik-saja.'

"Tenang saja, Obi. Leva-hime mungkin terlalu sibuk untuk sekedar menemui dan bermain denganmu."

"T-Tapi t-tapi Mitsuhide-san, apakah kau mengingat ketika dua hari yang lalu Hime-sama sedang berada di ruang kerja Aruji dan seketika aku masuk, woah, dia begitu kalang-kabut dan mencari alasan untuk pergi keluar." Obi mendengus. "Aku sakit hati Mitsuhide-san, sakit hati."

Bukannya Mitsuhide tidak paham dengan masalahnya. Zen sudah menceritakan semua yang terjadi pada Mitsuhide, toh Obi tidak akan tahan tidak mengatakan pada Zen tentang ancaman pencuri festival itu pada Leva. Namun, sekarang bukan saatnya mereka memikirkan masalah pribadi dan perasaan masing-masing. Keduanya harus bertahan sampai perayaan ini selesai, setelah itu Mitsuhide yakin waktu yang akan membawa mereka kembali seperti sebelumnya.

Toh keduanya seperti roti dan selai, terlihat bisa dipasangkan dengan yang lain namun tetap paling pas jika dikombinasikan berdua. Hmm, Mitsuhide jadi lapar memikirkan roti dan selai coklat.

Leva dihukum untuk tidak keluar dari daerah pantauan Zen, sama sekali, dan pekerjaannya di festival dikurangi. Karena itulah Obi sejujurnya sangat sangat sangat yakin bahwa Levanthine sengaja menghindarinya. Seharusnya tidak akan susah untuk menemukan Leva toh ia hanya akan berputar antara ruangan Zen, kamar tidurnya, dan gedung farmasi. Dan mungkin taman-taman di sekitarnya. Namun Obi berani bersumpah selama tiga hari ini bisa dihitung dengan jarinya berapa kali ia melihat Leva dan dalam satu detik gadis itu sudah hilang lagi dari pandangannya.

Ini menyebalkan, batinnya.

Mitsuhide menggeleng, pemuda bersurai biru itu segera memukul pelan bahu sang partner kerja hari ini, "Sudah sudah sekarang fokus bekerja dulu!"

"Yaa…"

Obi menghela nafas. Lagi.

2 hari sebelumnya–

Leva membuka gorden kamar tidurnya. Hari ini begitu melelahkan, ia bahkan bertengkar dengan Obi dan tidak tahu harus bagaimana ketika melihatnya. Jadi yang gadis itu lakukan hanyalah melarikan diri setiap ia melihat bahkan sehelai rambut bocah bermata kucing itu.

"Haah…" ia membanting dirinya sendiri ke ranjang, melihat langit-langit kamarnya yang berlukis lily of the white valley. "Aku harus mencari kesibukan."

Leva hampir saja tertidur ketika sesuatu terbesit di otaknya.

'JIKA BUKAN KARENA KAU AKU PASTI BISA MEMBEBASKAN PUTRIKU SEKARANG!'

Ia terbelalak. Tentu saja, itu dia. Ia harus tahu, Leva harus tahu apa maksudnya. Siapa pria itu, siapa putrinya, kenapa ia mencuri, kenapa ia butuh uang, kenapa–apa maksudnya 'membebaskan'?

Gadis itu bahkan tidak menyadari ketika lelah telah menyergapnya, dan ia terlelap. Terlelap dengan sebuah mimpi tentang masa lalu yang tidak akan ia ingat ketika ia terbangun; seperti malam-malam biasanya.

Keesokan harinya tidak menjadi lebih baik. Zen benar-benar membatasi jangkauan kerjanya. Dan ia merasa bosan. Hampir semua pekerjaannya dikerjakan oleh Aira atau Kiki, mereka tidak menyisakan apapun untuknya.

'Jika aku ingin mengetahui tentang pria tua itu, taruhan terbaikku tentu saja Zen…dan dokumen istana yang bisa kubuka menggunakan namanya.'

Tentu saja, tapi tidak mungkin untuk saat ini. Leva mengetahuinya. Mungkin saat ini otak Zen sudah hampir pecah karena kesibukan dan rasa rindunya pada Shirayuki.

Oh, benar juga, Shirayuki.

"Kenapa aku tidak pernah memikirkannya…" Leva menggaet blazer miliknya dan segera berlari keluar dari ruang santainya. "Tentu saja, Shirayuki-san pasti punya itu."

.

.

.

Cantik–

Mungkin ini karena mereka sedang bersitegang, mungkin juga karena Obi merasa sangat lama tidak melihat gadis itu. Namun sungguh, ia yang berdiri di sana, yang berjajar dengan semua bangsawan lainnya, Obi melihatnya sebagai yang paling bersinar.

Hari ini adalah hari perayaan. Dan seluruh anggota kerajaan melakukan parade keluar istana tepat setelah pelantikan Izana sebagai raja. Dan Obi tentu saja bertugas untuk berada di keramaian dan menjaga agar tidak ada hal buruk yang terjadi. Namun, sejujurnya kini pemuda itu tidak lagi terfokus pada tugasnya. Ia melihatnya, gadis itu tersenyum dan melambai pada semua keramaian ini. Dan Obi ingin tertawa memikirkan betapa mungkin gadis itu merutuki kenapa ia harus melakukan ini. Toh Obi sangat tahu bahwa Leva tidak suka beramah-tamah dengan orang lain.

"Leva-hime sangat cantik ya." Obi bersyukur saat ini ia tidak sendirian. Gadis di sebelahnya, sang gadis bersurai kemerahan itu, ia juga mengalami hal yang sama. Ia mengaguminya, mengagumi sosok pangeran di atas balkon kastil itu.

Yang tidak Obi sadari adalah bahwa kini dadanya tidak lagi merasa sakit ketika melihatnya. Ia tidak menyadari bahwa afeksi yang ia miliki untuk sang gadis farmasi sudah tidak sama lagi seperti sebelumnya.

Indah. Ia begitu bersinar. Sang tuan puteri.

.

.

.

Alohaa~

Maaf sekali ini agak pendek huhu (ngga agak lagi tapi emang pendek T.T)

Jadiii, gini-gini, chapter ini diputus bukan karena authornya tidak bisa menulis lagi seperti di beberapa chapter sebelumnya hehe (mian :''3) tapi murni karena klo diteruskan bakalan ambyar dan terkesan terburu-buru. Toh chapter ini perlu dibaca perlahan-lahan biar feels nya dapet /aseekk

I'd like to share the next chapter really soon bcs sebenernya chapter slanjutnya dan chapter ini adalah satu chapter yang dipisah jadi dua ^^

Soooo see u reallyyy soon!

Kritik dan sarannya yaa hehe aku lama bgt ngga nulis takutnya jadi agak kaku bahasaku .