Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"
.
.
.
Please Enjoy to Read!
.
.
.
CHAPTER 21 – A MOMENT
Author's POV
TOK–TOKK–
"Hime-sama, anda harus beristirahat." Shirayuki bersua. Ini sudah hampir seharian, tapi Leva belum juga mau keluar. Ia bahkan tidak mengambil jatah makan siang dan makan malam yang Shirayuki letakkan di depan pintu ruangan itu.
"Leva-hime…"
Tidak ada jawaban. Sehingga ia hanya bisa menggeleng pada pelayan pribadi sang tuan putri; yang sama khawatirnya. Wajah Aira terlihat sendu mengingat Nonanya u=ini sudah mengurung diri berjam-jam lamanya di dalam sana.
"Haah–Zen akan memarahiku jika ia tahu tentang semua ini." Shirayuki menghela nafas. Ia tidak bisa terus seperti ini. Shirayuki tahu jika tuan putrinya itu begitu ambisius, namun bagaimanapun juga Leva harus dihentikan. Jika semua ini berlanjut, Leva bisa jatuh sakit.
"Sepertinya tidak ada cara lain lagi…"
.
.
Realm for The Hearts
Story & OC'sNakashima Aya
Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata
[There's no profit we gain from this fanfiction]
Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.
Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC
.
.
Shirayuki membungkukkan badannya sejenak dan tersenyum pada Zen sembari ia undur diri dan berjalan ke luar ruang kerja sang pangeran.
CKLEKK–
"Ah! Mitsuhide-san! Selamat pagi." Pria itu tersenyum dan melambai sejenak pada Shirayuki–yang entah kenapa terlihat terburu-buru–lalu segera masuk dan menutup pintu.
"Zen, ada ta–" Mitsuhide berkedip. Ada apa ini? Kenapa Zen tersungkur lesu begitu di meja kerjanya? Ini tidak biasa. Biasanya jika Zen baru saja bertemu Shirayuki, Mitsuhide bisa melihat kilauan di matanya.
Zen menghela nafas. Belum juga berkas pasca perayaan selesai dan ia sudah mendapat laporan dari Shirayuki, dan bukan hal yang baik pula. Zen sangat tahu bahwa Leva bukanlah tipe gadis yang bisa ia suruh duduk diam dan melakukan apa yang ia minta, oh tentu saja jika ada sesuatu yang mengusiknya ia akan bertindak semaunya sendiri. Dan sekalinya ia diam di satu tempat seperti sekarang ini, gadis itu bahkan tidak lagi peduli dengan keadaan dirinya sendiri.
"Haah…aku tidak menyangka ia masih seperti itu di usianya yang hampir dua puluh itu." Zen tahu ada sesuatu yang membebani Shirayuki sejak hari pembukaan festival, dan bukannya Zen tidak peduli, hanya saja ia masih tidak punya waktu untuk sekedar menjadi baby sitter untuk adiknya yang kelewat sok dewasa itu.
"Aku benci ini." Zen mengangkat kepalanya, tangan kanan menopang dagu dan wajahnya terlihat kesal. "Mitsuhide, panggilkan Obi."
Mitsuhide tidak paham, yaa pemuda itu memang tidak pernah paham, tapi toh ia tetap akan mematuhi apapun perintah Zen walau sekonyol apapun itu, "Ya, Zen."
.
.
.
Ah, aku merasa pusing.
Surai merah muda pucatnya terlihat lepek, dan matanya sayu, tanpa Leva katakan pun semua orang pasti tahu bahwa tubuh gadis itu sudah sampai pada batasnya.
Untaian pucatnya ia sibakkan agar tidak menutupi pandangan pada buku tebal bersampul kulit di hadapannya. Ia hampir saja menemukannya, pasti ada sesuatu yang bisa menghubungkan semuanya. Apapun itu.
Pria tua itu…
Benak Leva kembali berkelana pada hari-hari ke belakang, ketika ia iseng mendatangi penjara istana hanya untuk sekedar menyapa seorang pencuri yang masa tahanannya menjadi agak lama atas tuduhan 'usaha-penyerangan-keluarga-kerajaan'. Padahal Leva baik-baik saja, pria itu tidak menyentuh Leva barang seujung jaripun.
Padahal harusnya dia hanya pencuri biasa–harusnya Leva tidak pernah pergi ke balik jeruji besi–namun entah kenapa pria itu, kata-katanya, tabiatnya, membuat suatu percikan dalam diri Leva. Ada yang tidak beres, dan gadis itu akan memecahkannya, apapun taruhannya.
"Riwayat kesehatan, pekerjaan, data keluarga, tidak ada yang aneh. Tidak ada yang janggal." Tuan putri muda itu menghela nafas. Tidak tahu lagi harus mencari ke mana.
SINGG–
"Jadi selama ini kau mengurung diri di sini, sampai aku tidak bisa menemukanmu. Apakah anda sudah lelah merajuk, Hime-sama?"
Leva tidak perlu menoleh, bahkan tidak sedikitpun ia perlu mengurangi atensinya pada buku-buku tebal itu untuk mengetahui siapa yang kini duduk di tepian jendela; menyebabkan angin musim semi masuk secara tidak wajar melalui jendela yang tadinya ia tutup rapat-rapat.
"Aku tidak merajuk, Obi." Dan pemuda itu tertawa. Aah… sudah lama Leva tidak mendengarnya, tawa renyah itu.
Obi turun dari tempatnya duduk, dan menutup jendela kayu berwarna coklat itu. Dan tentu saja ia membawa semangkuk sup di tangan, toh ini hanyalah perintah Zen karena Leva menolak keluar dari ruangan ini, bahkan ia mengunci pintu depan agar tidak ada siapapun yang menganggunya.
"Apa yang anda lakukan?" Ia berjongkok, tepat di sebelah sang gadis, menyebabkan Leva merasakan satu getaran aneh pada dirinya. "Bukan…apa-apa."
Entah kenapa Obi merasa sedikit jengkel, gadis ini–tidak mau memberitahukan apa-apa padanya. Memangnya ia masih marah pada Obi? Lagipula apa sih yang membuatnya menghindari Obi beberapa hari ini? Toh ini bukannya Obi melakukan sesuatu yang membuatnya marah 'kan? Argh… Kenapa susah sekali memahami seorang wanita?
Obi masih sibuk mengacak-acak rambutnya ketika ia mendengar ujaran pelan lepas dari bibir Leva. "Ah, ketemu."
Akhirnya. Sesuatu. Leva menemukan sesuatu.
Namanya Aroha Seria, anak perempuan dari Rohan Seria, sang ayah dulunya adalah seorang pengrajin sepatu kulit. Kehidupannya cukup mumpuni. Sampai entah karena kemalangan apa, pabriknya terbakar habis, istrinya meninggal ketika melahirkan anak kedua mereka–begitupun bayinya tidak bisa diselamatkan–dan anak perempuan satu-satunya hilang begitu saja tanpa jejak.
"Aroha Seria… hilang 2 tahun yang lalu…"
2 tahun yang lalu…
"Hai, Hime-sama buka mulutmu–"
Leva menoleh, merasakan sesuatu yang hangat masuk kedalam mulutnya. "A-Apa-apaan?"
"Aruji memintaku kemari karena Hime-sama tidak mau makan sejak kemarin, jadi aku harus memastikan sesuatu masuk ke dalam tubuhmu, Leva-hime."
Wajahnya memerah. Entah karena sup krim hangat yang kini terasa penuh dalam mulutnya, atau karena afeksi yang diberikan bocah bermata kucing ini padanya.
"A-Aku bisa makan sendiri." Melihat Leva yang menunduk malu seperti itu entah kenapa malah membuat Obi ingin menjahilinya, tapi toh ia tidak mau ambil resiko dan membuat Leva menjauh lagi seperti hari-hari sebelumnya; Obi benci ketika ia tidak bisa berada di dekat Leva, apalagi jika gadis itu sendiri yang memutuskan untuk menghindarinya.
"Iya iya–"
TOK–TOK–TOK–
"Hime-sama? Ada sesuatu yang anda harus tahu."
Eh?
.
.
.
"Diracun?!"
Shirayuki bisa melihat dahi Leva mengkerut, tidak habis pikir. "Kita juga baru mengetahuinya baru-baru ini. Seorang penjaga melihatnya pingsan di dalam penjara, dan wajahnya membiru. Mereka membawanya kemari tapi… aku tidak tahu apakah ada yang bisa kita lakukan."
"Sudah terlambat ya." Obi menimpali.
"Ya, kita terlambat mengetahuinya." Shirayuki menunduk malu, menyesal entah karena apa, "T-Tapi kami akan mengusahakan yang terbaik."
"Ya."
Gadis dengan mata kelabu itu berjalan perlahan menuju bilik tidur gedung farmasi, ia mulai terbiasa dengan bau obat-obatan yang menyeruak tiap kali ia memasuki gedung tersebut. Irama langkahnya terlihat ringan walaupun sebenarnya ia berat hati menengok ke dalam sana; pria itu–pencuri itu–terbaring di sana. Lemas dan lemah. Pria yang sangat ia benci akhir-akhir ini, kini terbaring di sana.
Rohan… Seria
"Hime-sama?" Tanpa ia sadari, Shirayuki sudah berada di belakangnya, dan ia sendiri sudah berada tepat di samping Rohan. "Bagaimana ini bisa terjadi?"
Ia hanya bergumam pelan, namun Shirayuki mendengarnya, dan gadis bermanik kehijauan itu merasa bersalah. "Maafkan saya, Hime-sama. Racunnya berasal dari bekas sabetan pisau di pundak kanannya."
Sabetan pisau? Apakah saat ia hampir menyerangku?
Leva jadi gelagapan. Ia tidak bermaksud menyalahkan Shirayuki, apalagi para pharamacist lainnya. Namun gadis itu hanya menunduk dan malah mengulurkan tangannya untuk menarik selimut bulu di hadapannya menutupi seluruh tubuh Rohan; sampai pundak.
"Obi, ayo pergi."
"Ya, Leva-hime."
Keduanya berjalan keluar dari ruangan, diikuti Shirayuki yang menutup pintu bilik kesehatan farmasi. Dengan kedua tangan bersilang di belakang, pemuda bermanik tembaga itu melirik singkat pada sang gadis di sebelahnya. Rahangnya mengeras dengan helaian merah-muda–pucat yang menutupi hampir sebagian wajahnya–membuat Obi tidak bisa menerka ekspresi gadis itu dan apa yang kini ia pikirkan.
Mencoba tidak memikirkannya, Obi bersiul dengan kedua netra berkelana melihat segala hal yang ada di sekitarnya. Oh ia jadi ingat, tadi 'kan Leva belum selesai memakan supnya ketika Shirayuki datang secara tiba-tiba.
"Leva,"
Gadis itu menoleh, tidak berkata apapun.
"Kau pernah tahu rasanya sup kadal?" dan gadis itu memekik.
.
.
.
TOK–TOKK–
"Masuk saja," gadis muda dengan helaian merah apel itu berujar, kedua tangannya masih sibuk dengan peralatan dan bubuk-bubuk yang siap dikemas.
Shirayuki bahkan tidak akan menyadari bahwa yang datang adalah Zen tatkala ia terlalu berkutat dengan kesibukan di hadapannya–dan tentu saja melihat Zen kemari membuatnya agak terkejut.
"Z-Zen–ada apa?" Sang pangeran tersenyum, mengambil satu kursi di dekat meja kerja Shirayuki, "Hanya mengecek Leva. Obi menolak melihatnya lagi semenjak Leva memukulinya karena sup kadal."
Shirayuki bingung. Tapi melihat Zen yang seakan menahan tawa membuatnya ikut tersenyum. Ia mungkin tidak paham dengan perkataan sang pemuda, namun melihat tawanya saja sudah menjadi happy virus bagi Shirayuki.
Sejenak gadis itu langsung teringat, "Oh, Leva-hime ada di bilik perawatan."
Selama beberapa hari terakhir ini memang Leva sudah tidak lagi mengurung diri di ruang arsip, namun entah kenapa gadis itu lebih memilih mengusik tidur seorang pria bernama Rohan Seria di bilik perawatan.
"–kuharap kalau anda pergi saja dari sini jika memang tidak ada yang dilakukan."
Zen bisa mendengar suara sayup-sayup dari dalam ruangan beraroma mint itu, dan benarlah ia melihat surai merah muda pucat itu di sana; duduk dalam diam dan membaca bukunya. Sungguh, lalu apa yang sebenarnya Leva lakukan di sini kalau ia hanya ingin membaca buku?
"Oy," gadis itu menoleh, kemudian menekuk wajahnya dengan malas, "Kau benar-benar betah di sini ya?"
Urgh, Leva benci ketika Zen mencemooh nya seperti ini. "Pergi kau."
Zen merengut, kenapa adiknya ini tidak pernah bisa bersikap menggemaskan di hadapannya. Pemuda itu tidak menjawab Leva, malah tetap berdiam di ambang pintu; tidak masuk namun tidak juga keluar.
Dan hal itu tentu saja membuat pria paruh baya yang ada di dalam sana merasa canggung, toh ini sang pangeran yang berada di jarak pandangnya. Ia boleh saja berani mencuri, tapi nyalinya tetap ciut jika berhadapan dengan penguasa negara. Rohan hanya melirik singkat dari ranjang tidurnya, namun ia bisa dengan pasti melihat tatapan menusuk dari sang surai putih itu mengarah tepat padanya.
Seakan mengatakan, jangan coba-coba melakukan hal yang tidak menyenangkan pada sang tuan putri.
Yah, lagipula ia sudah kehilangan motivasi untuk melakukan apapun. Pria bermarga Seria itu sudah terlalu sering melihat sang gadis Wisteria sehingga ia kehilangan nafsunya lagi untuk membenci.
Lagipula gadis itu tidak patut untuk dibenci. Dia bahkan–tidak tahu apa apa.
"Levanthine Wisteria!"
Leva tidak menyadari bahwa Zen sudah beranjak pergi ketika ia mendengar namanya dipanggil dengan nada memerintah, membuatnya menghela nafas dan berdiri dengan wajah tertekuk. Ia benci diperintah, tapi ia lebih tidak suka Zen yang memerintahnya.
"Aku akan kembali lagi."
Levanthine harus agak berlari kecil untuk menyesuaikan ritme geraknya dengan sang pangeran kedua–yang entah kenapa berjalan dengan langkah panjang dan cepat–sembari masih memeluk buku yang ia bawa.
"Hahh…" Zen menghela nafas, Leva tahu sebuah ceramah akan datang padanya, "Kenapa juga kau harus pergi ke sana setiap hari?"
Leva cemberut, malas menjawab sejujurnya, "Ada…sesuatu."
"Lain kali bawalah Obi ke sana."
"Tidak mau!" Leva sudah hampir saja berlari sekarang. Ada apa sih dengan Zen yang selalu terburu-buru ini? Lagipula dia bukan anak kecil lagi, dia tidak harus pergi kemana-mana ditemani orang lain seperti ketika ia berusia tujuh dan harus bersama Sam kemanapun ia pergi. Dan memang hanya Sam saja yang eksistensinya bisa ia tolerir untuk terus menghantuinya. Ia tidak mau ada orang lain lagi yang menginvasi zona nyamannya, tidak boleh ada lagi.
Zen hanya terdiam, sepertinya adiknya itu masih merasa enggan menemui Obi karena pemuda bodoh itu menawari Leva sebuah sup kadal. Zen mungkin masih bisa mentolerir makanan seperti itu, namun Leva? Well, itu pasti dianggap sebagai satu bentuk ketidak-sopanan bagi seorang lady seperti Levanthine.
Dasar bodoh, Zen merutuki keduanya. Yang satu terlalu menjunjung tinggi harga dirinya dan yang satu lagi memang…bodoh.
"Zen," Leva berhenti. Ingin mengatakan sesuatu. "Ya. Nanti saja, sekarang kita kembali ke ruanganmu dulu."
Gadis itu tidak bisa menahan agar bibirnya tidak tertarik. Sebenci apapun ia pada Zen, ia sangat sangat menyukainya–karena kakak laki-lakinya itu akan selalu mendengarkannya, seaneh dan sekonyol apapun yang akan gadis itu katakan nanti. Dan pemuda itu selalu mengerti, tanpa perlu Leva katakan.
.
.
.
Kiki baru saja mendengar tentang hal ini. Dan tentu saja hal itu membuatnya terkejut. Siapa mengira di Clarines akan ada sesuatu seperti…perdagangan manusia?
"Jadi, menurutmu anak perempuan pria itu menjadi korban dari perdagangan itu?"
Zen melipat kedua tangannya di depan dada, sembari menyandar sedikit pada bantalan sofa, ia benci mengakuinya tapi hal ini sudah bukan masalah yang bisa ia hadapi sendiri lagi. Sebuah perdagangan manusia adalah masalah yang cukup berat, ia harus membawa masalah ini ke pengadilan istana.
"Aroha, namanya. Dia menghilang ketika sedang mengantarkan sepatu buatan ayahnya ke salah satu anggota dewan pelabuhan–dan tidak pernah terlihat lagi setelahnya. Keterangannya ada di file orang hilang dua tahun lalu."
"Aku tidak suka mendengar ini Zen, kita harus segera melakukan sesuatu." Mendengar Kiki akhirnya memberikan respon mengenai masalah ini membuat Leva sedikit menarik dirinya. Kiki adalah putri dari salah seorang bangsawan terkemuka di Clarines, kekuasaannya hampir sama dengan kuasa Leva di istana ini.
Bahkan mungkin lebih, toh Leva tidak pernah memiliki suara di Wistal. Tidak pernah.
"Kita tidak boleh gegabah," kata gadis bersurai pucat itu, "mereka cukup cerdik untuk bergerak selama ini tanpa diketahui istana."
"Dan melirik dari file orang hilang beberapa tahun terakhir menjelaskan bahwa hal ini bukan hanya terjadi dalam satu-dua tahun ke belekang, begitu bukan, Leva-hime?" Leva melirik pada Kiki dan mengangguk.
"Kita perlu mengirim squad pengintai."
"Kita tidak punya lagi pengintai sehandal Tn. Cronvel, Zen."
DEGG–
Mendengar nama itu Leva bisa merasakan darahnya berdesir, namun ia memaksa dirinya untuk tetap fokus dan mendengarkan perkataan Kiki. "Setidaknya untuk tugas seperti ini, kita perlu orang yang cekatan dan sehandal Samuel Cronvel."
"Bagaimana dengan dia?" Zen dan Kiki serentak menoleh pada sang tuan putri, "Pembawa pesan pangeran kedua Clarines, bukankah dia orang yang cukup handal?"
Leva bisa merasakan keduanya menatap aneh pada Leva, memangnya ia mengatakan hal yang salah? Toh selama ini semua orang selalu menjunjung tinggi skill Obi, mereka bilang ia kuat karena permainan pedang dan gerakannya tidak teratur, karena ia ia tidak pernah bertarung dengan pola serangan, Obi adalah seorang petarung yang bergerak sesuai instingnya.
Belum lagi ia dengar dulu Obi melakukan pengejaran seorang diri untuk melacak Shirayuki ketika gadis itu diculik di Tanbarun.
Jadi apa masalahnya?
"Ehem–" pemuda itu berdehem, lalu berkata agak keras, "Kau dengar itu, Obi?"
Leva menoleh, melihat jendela kamarnya terbuka lebar–menyebabkan hembusan angin dengan keras menampar korden hijau tua jendela besar itu–dan seorang pemuda bermata kucing yang sudah berdiri tepat dengan kaki kanan di ruangan dan tangan kiri menumpu tubuhnya pada bingkai jendela.
Dan bisa-bisanya Leva terpesona dengan pemandangan seperti itu. Sial.
"Heee, Hime-sama kita semua akhirnya mau meminta bantuanku lagi?"
'Kenapa sih dia harus mengatakannya dengan nada seperti itu?'
"Untuk penyelidikan."
Obi tersenyum. Melompat masuk ke dalam ruang pribadi Tuan Putri Levanthine dalam satu lompatan kecil dan langsung menempati sofa yang sama dengan sang putri, bahkan dengan seenaknya duduk di sampingnya.
'Apa-apaan? Padahal di sebelah Zen masih kosong. Dia pasti mempermainkanku.'
Leva bahkan tidak sempat menata detak jantungnya yang kembali memompa luar biasa kala ia melirik sang pemuda yang malah tersenyum padanya. Dasar buaya.
"Tapi tetap saja kita tidak bisa hanya mengandalkan Obi, kita butuh satu pasukan pengintai bukan seorang pengintai." Zen mengangguk.
"Lagipula tanganku sudah penuh dengan tugas menjaga Hime-sama, Aruji." Obi mengakhiri kalimatnya dengan satu tawa panjang yang mendapat hadiah tatapan tidak menyenangkan dari Leva. Lagipula Leva tidak pernah meminta untuk dijaga sekalipun pada siapapun.
Haha, ingin sekali Leva untuk sesekali menjitak jidat pria itu agar tidak besar kepala.
Tapi memang benar, bahkan untuk seorang Obi sekalipun, tidak mungkin ia dikirim sendirian, harus ada orang lain yang bersamanya. Dan Leva tidak akan mau lagi mengambil resiko untuk kehilangan salah satu mata-mata terbaik Clarines untuk yang kedua kalinya.
Di tengah ributnya isi kepala Leva, ia merasakan seseorang mengacak kasar rambutnya membuat sang gadis terkejut dan melihat bahwa sang pangeran sudah berdiri dengan tangan terulur di hadapannya.
"Apa?" Leva mendesis. Kadang ia terlihat seperti karakter wanita tsundere dan gadis itu sungguh tidak menyadarinya.
Padahal ia senang. Ia senang ketika Zen ada untuk berbagi keraguannya. Ia selalu butuh seorang sosok kakak di sisinya, lebih dari yang ia tahu.
"Yosh, rapat kita tutup dulu untuk sementara ini, aku akan mencoba mencari cara untuk menyelidiki masalah ini sementara kau, Leva, persiapkan kepulanganmu menuju Wistant."
"Hah?" Kini Leva menampik keras tangan sang pemuda, menyebabkan pangeran bersurai cerah itu meringis, "kau pikir aku akan pulang dengan keadaan seperti ini?"
Ia berdiri dengan tergesa-gesa, surai merah muda pucatnya yang terlihat lepek tidak menutup kilatan tajam pada kedua matanya yang menohok langsung kepada sang empunya ruangan, ia tidak sudi untuk dikeluarkan lagi dari masalah ini untuk yang kedua kalinya. Dan kini, ketika para antek-antek dewan istana itu sedang sibuk mengurus tetek-bengek alih kuasa dari Ibu Ratu kepada Pangeran–salah, raja–Izana adalah saat yang paling tepat untuk Leva bergerak.
Keduanya masih saling berperang tatapan ketika akhirnya Leva lelah dan memutuskan untuk angkat kaki saja dari ruangan ini. Gadis itu mendengus sebelum akhirnya benar-benar melangkah pergi dari ruangan ini–tanpa lupa sok membanting pintu keras-keras agar seluruh dunia tahu bahwa ia marah pada Zen.
"Haah," Zen kembali duduk dan menyandar dengan malas pada sandaran sofanya, "Aku tidak akan pernah bisa terbiasa dengan sikap keras kepalanya itu."
Obi tertawa, lalu berujar, "Haruskah saya mengejarnya?"
"Tidak perlu, biarkan saja dia sendiri untuk sekarang."
.
.
.
To be continued
Author's Note
Alohaa! Lama banget aku gak nulis karena sibuk sama kehidupan kampus huhu, maafkan author kurang ajar ini yang hobi banget telat update :'' but believe me meskipun aku sibuk bgt dan gk nulis, sebenernya banyak banget ide-ide dan alur yang mengalir di dalam otakku selama aku berkuliah.
At last, tidak lupa aku mengucapkan terima kasih pada segenap pembaca yang masih mau dengan setia menunggu fanfiksi ini update, huhu arigatou gozaimasu khamsahamnida monangis ai.
Wait for next chappie, okay?
