Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"

.

.

.

Please Enjoy to Read!

.

.

.

CHAPTER 22 – WISH OF THE DYING ONE

Author's POV

Saat itu hari hujan. Hujan yang cukup deras. Dan Obi tidak pernah suka dengan hujan. Begitu juga dengan gadis itu, yang kini menatap kilatan cahaya itu dalam diam dengan hanya sebuah gaun tidur menutup tubuhnya.

DUARR–

"M-Mama?"

Ia menggedor pintu ruang tidur ayah dan ibunya yang sebenarnya berjarak agak jauh dari kamar tidur miliknya. Kakinya terasa dingin; ia tidak menggunakan alas kaki, dan surai pucatnya sudah terlihat sangat tidak karuan karena keringat dan air mata.

DDUARRR–

Satu lagi kilatan cahaya membuatnya tersentak dan menggedor dengan lebih intens, "M-Mama, Otou-sama!"

Tangis hampir pecah dari gadis itu ketika pintu di hadapannya terbuka, dan terlihat seorang wanita muda melirik dari celah pintu dengan wajah masih mengantuk, "Leva? Ada apa sayang?"

Ia membuka pintu itu lebar-lebar, mengangkat gadis muda kesayangannya dalam satu gendongan ringan. "Mama…"

"Mama…"

.

.

Realm for The Hearts

Story & OC Nakashima Aya

Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata

[There's no profit we gain from this fanfiction]

Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.

Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC

.

.

Nafasnya…

Ryu bersua dalam hatinya, dan ia bisa melihat Shirayuki tidak tenang dalam bekerja. Padahal partnernya itu adalah orang yang selalu bisa menjaga dirinya tetap tenang dan berkonsentrasi walau apapun keadaannya.

"Shirayuki-san?"

Ia tersenyum, "Tidak apa-apa, Hime-sama akan segera kesini."

BRAKK–

"Shirayuki, ada apa?" Leva berjalan masuk, diikuti Obi di belakang. Gadis bersurai apel itu bisa melihat kilatan gusar di wajah sang tuan putri. "Racun itu, bekerja lebih cepat dari yang kita kira. Dia tidak akan bertahan, Hime-sama, tidak sampai matahari terbenam."

Leva bisa merasakan denyutan jantungnya agak mengganggu, sesuatu dalam dirinya terasa aneh dan menyakitkan. Pria itu, Leva tidak mengenalnya, pun ia wajib bersikap baik padanya. Hanya saja sesuatu dalam diri pria itu membuat Leva merasa wajib untuk melakukan sesuatu untuknya, untuk anak perempuannya yang entah ada dimana sekarang.

Itu tanggung jawabnya. Ia yang melihat semua itu, kapal itu, di pelabuhan. Leva adalah saksi hidup. Dan ia tidak mau diam saja.

"Boleh aku kesana? Aku sendiri." Ia menekankan, membuat Obi mundur selangkah dan menarik tangannya. "Hai hai, Hime-sama."

Leva berjalan masuk ke bilik perawatan, belum sampai ia memasuki ambang pintu langkahnya terhenti karena panggilan Obi. "Leva, panggil aku jika ada apa-apa."

Leva mengerutkan dahi, memangnya ia anak tk yang tidak bisa melakukan apa-apa?

Tangannya meraih gorden berwarna putih itu dan membukanya perlahan, ia bisa melihat sosok pria paruh baya dengan separuh rambut beruban itu di sana, bernafas dengan kesusahan. Ia ingin membiarkan pria itu tertidur namun belum sempat ia pergi, sang pria sudah membuka mata.

Padahal beberapa hari yang lalu ia adalah seorang pencuri yang berani mengutuk hidup Leva, namun kini ia hanyalah seorang pria tua yang ringkih dan berada di ambang batasnya.

"Tuan p-putri."

"Ya."

Dengan satu gerakan singkat gadis bersurai pucat itu menarik kursi kayu di dekat ranjang pasien–dan mengistirahatkan kakinya dengan duduk di sana. Pria itu bahkan tidak menoleh barang sedikitpun pada Leva, lebih tepatnya tidak mampu. Semua sendinya terasa aneh dan hanya kaku yang ia rasa pada seluruh bagian tubuhnya.

Kaku dan menyakitkan.

Kedua matanya yang sayu masih senantiasa melihat pada langit-langit; yang lambat laun terasa semakin pudar. Ia bisa menangkap warna merah muda pucat itu dari sudut matanya yang rabun, karena itulah ia tahu sang tuan putri masih ada di sana. Gadis aneh, menurutnya, padahal ia menghardik keras gadis itu di awal, namun hari-hari singkat yang ia rasakan bersamanya mengingatkan pria tua itu akan anak perempuannya.

"Gadisku, seusia dengan anda. Aroha. Namanya Aroha. Andai saja aku mampu melindunginya, ia tidak akan h-hilang dari–uhuk uhuk–sisiku." Leva hanya diam, ia ingin menjawab, apapun, namun hatinya yang dingin itu tidak mampu memikirkan kalimat apapun yang mampu membuat pria di hadapannya lebih baik.

"Kau terlihat buruk."

BODOH, Levanthine bodoh. Ia kembali merutuki dirinya sendiri dan mulutnya yang tidak bisa diatur itu.

Kekehen kecil terdengar, sepertinya ia sudah terbiasa dengan Leva dan ketidak jujurannya. "Bahkan tetap dingin sampai akhir."

Berat. Matanya terasa berat, kini langit-langit putih itu sudah tidak lagi berwarna. Pekat. Semua gelap.

"Hiduplah dengan baik,"

Aah–aku tidak kuat lagi. Matanya baru saja terpejam ketika satu nama keluar dari bibir pucatnya, "–Levanthine Vy–"

"Wisteria." Leva mengambil sapu tangan di meja sebelahnya, meletakkannya dengan hati-hati untuk menutupi wajah pria itu. "Aku akan menemukannya. Setidaknya hanya itu yang bisa kulakukan."

Tidak ada air mata. Tidak ada tangis.

Hanya ada rasa sesak akan hal yang menjadi beban berat di pundaknya kini.

Ya. Hiduplah dengan baik, Hime-sama. Seperti Aroha-ku.

.

.

.

Setidak rela apapun dirinya, ia tidak akan sampai hati untuk membiarkan Yang Mulia Permaisuri kembali menuju Wistant seorang diri. Dan walaupun hatinya masih terasa tidak tenang untuk meninggalkan permasalahan ini kali kedua, ia tetap memahami kewajibannya sebagai attendant sang Ratu.

Ia harus kembali ke Wistant.

Dan, ya, itulah yang kini membuatnya berada di ruangan Zen dengan wajah tidak mengenakkan itu.

"Sudah kukatakan, serahkan saja masalah itu padaku."

Zen sudah membiarkan gadis itu seenaknya masuk ke ruang pribadinya, setidaknya ia harus menurut dan kembali ke kastil seberang dengan tenang.

"Aku tahu, hanya saja…" Leva menghela nafas, lalu mengacak rambutnya dengan kasar, "–ada hal-hal yang membuatku merasa tidak nyaman untuk pergi begitu saja."

Ia terus memikirkannya.

Yang ia lihat adalah hal-hal yang tidak seharusnya ada di Clarines, hal-hal yang tidak seharusnya diketahui publik, karena itulah mereka menebar rumor The Flying Dutchmann sang Bajak Laut. Padahal semuanya tidak sesederhana itu. Bahkan, hal sekecil bagaimana bisa Rohan Seria yang berada jauh di dalam penjara kastil bisa diracuni, ia terus memikirkan semua itu.

"Kau tidak akan membuatnya maju sendiri 'kan? Maksudku pengirim pesanmu itu." Zen berkedip, agak terkejut, ia tidak tahu bahwa Leva memilik afeksi khusus pada salah satu bawahannya itu. Mereka memang sering terlihat bersama, apalagi Zen sering memerintahkan Obi untuk mengawasinya diam-diam atau menemaninya jika ada hal-hal yang tidak menyenangkan.

"Dia tidak selemah itu, kau tahu. Dan aku juga tidak sebodoh itu untuk melepaskannya tanpa persiapan matang."

Leva mengerucutkan bibirnya dengan malas. Wajahnya terlihat kesal, namun sebenarnya ia tidak bisa mendebat Zen saat ini. Sepupunya itu sangat bijak, dia adalah seorang yang tahu bagaimana bertindak tanpa mengorbankan siapapun; terutama bawahannya yang berharga.

"Well, setidaknya aku harus tahu segala perkembangan kasus ini. Kirimi aku pesan setiap detilnya."

Zen mengangkat tangan, senyum simpul terpatri di wajah, "Ya, ya, ya sesukamu saja." Setidaknya Zen akan berusaha membuat gadis itu tetap tenang. Sudah terlalu banyak hal yang terjadi belakangan ini, dan meskipun Leva tidak mengatakannya, Zen tahu bahwa ada beban berat yang terus memunggungi sang gadis. Mulai sejak insiden kebakaran, hilangnya Sam, hingga kematian pencuri aneh itu. Semua yang terjadi terlalu berat untuk pundak ringkihnya.

"Tuan Haruka yang akan menemanimu hingga perbatasan." Zen bersua, "Tetaplah tenang seperti Leva yang biasanya, kau sudah berlaku di luar karaktermu akhir-akhir ini."

Leva mendengus.

Namun memang benar, semua yang Zen katakan benar. Akhir-akhir ini ia tidak bisa berpikir dengan jernih, padahal selama ini ia adalah orang yang selalu berkepala dingin dan mampu melihat jalan keluar dalam situasi apapun. Namun beberapa waktu ini ia merasa emosinya terlalu mengambil alih dan membuatnya berada di posisi yang menyulitkan.

"Setidaknya ketahuilah bahwa banyak hal tidak harus kau tanggung sendirian, dan banyak orang yang akan dengan senang hati bersedia mengulurkan tangan untukmu."

Leva tersenyum. Entah kenapa ia merasa sesuatu yang aneh dalam hatinya.

"Pulanglah dan tetap jaga agar Ibu tidak khawatir berlebihan."

"Ya, Yang Mulia." Leva berkata, formal dan penuh kepercayaan. Karena kalimat terakhir Zen bukanlah sekedar pemanis mulut, itu adalah perintah, perintah yang sama yang diutarakan Pangeran Izana beberapa tahun yang lalu; dan yang menjadi alasannya berumah di kastil Wistant hingga saat ini.

.

.

.

Lagi.

Padahal sejak dulu Obi adalah pihak yang selalu meninggalkan, namun ketika ia mendapati sang gadis surai pucat favoritnya kini akan pergi lagi dari hadapannya membuat pemuda itu begitu gusar dan tidak tenang. Toh Leva adalah sebuah magnet masalah, entah mengapa dimana ada Leva di sanalah akan ada sebuah perkara dan Obi benci jika harus membiarkan Leva seorang diri menghadapi hal-hal yang tidak ia ketahui.

Singkatnya Obi mengkhawatirkannya. Gadis itu terlalu naif dan lugu untuk ukuran kepahitan dunia. Obi tidak akan sampai hati untuk melepas mata darinya.

"Haaah…"

"Ada apa dengan helaan nafas panjang itu?" Zen mengkerut, terkadang ia tidak paham bagaimana bisa pemuda di sampingnya ini begitu mempermudah segala hal; seperti saat ini ia yang dengan seenaknya masuk ke kediaman pribadi Zen tanpa bingung mengetuk pintu.

Iya, seperti biasa, ia masuk dari jendela.

"Aruji, apa anda pernah berpikir bahwa dunia begitu kejam?" Hah? Zen hanya meliriknya sejenak tanpa membalas. Ada apa dengan kalimat sok puitisnya itu?

Dan sekali lagi, helaan nafas panjang keluar dari sang pemilik manik tembaga.

"Jika kau kemari hanya untuk mengeluh, keluar saja dan cari orang lain yang mau mendengarkanmu!"

Zen baru saja menghardik Obi untuk berhenti menghela nafas dengan menyebalkan–dan membuat sang abdi keluar dari ruangan–ketika Kiki masuk bersama dengan salah seorang utusan dewan istana. Sebenci apapun Zen pada golongan ini, birokrasi tetaplah birokrasi, dan pengadilan dewan jenderal tetap harus melalui prosedur yang seharusnya. Sudah selama beberapa hari terakhir ini memang Zen dan Leva mengusahakan untuk mengadakan pengadilan dewan jenderal, yang mana akan melibatkan Zen–sebagai saksi utama menggantikan Leva yang harus kembali ke Wistant–Izana sebagai titah kuasa tertinggi Clarines, dan anggota birokrasi Kerajaan yang sebenarnya hanya sebagai pelengkap.

Intinya adalah, mereka melakukan ini karena Izana sudah tidak semudah digapai seperti sebelumnya. Toh kini ia sudah naik tahta menjadi seorang Raja, bukan sekadar Putra Mahkota. Dan perkara di pelabuhan itu sudah bukan lagi hal yang bisa ditangani Zen seorang diri.

"Yang Mulia, bisa kita mulai rapatnya sekarang?" Kiki bersua, menyebabkan Zen mengabur dari lamunannya dan berdiri dari meja kerjanya.

"Ya."

.

.

.

"Jadi anda benar-benar akan kembali ke Wistant, ya?" Shirayuki tertunduk, membuat Leva merasa bersalah karena tidak memberitahu sang gadis lebih cepat.

"Apakah ini karena pria tua itu sudah tidak ada di sini?"

Aah, dia lagi.

Leva memaksa dirinya untuk tersenyum, karena dia tau dalam hati gadis bersurai merah di hadapannya ini sangat merasa bersalah atas kepergian Rohan Seria–pencuri aneh itu. Namun toh ia tidak ada hubungannya dengan segala ini.

"W-Well setidaknya Zen tidak memberitahu secara tiba-tiba seperti saat kunjungan yang lalu. Aku akan mempersiapkan banyak hal untuk anda, Leva-hime."

"Y-Ya."

Shirayuki segera beranjak dari tempat duduknya dan pergi entah kemana, membuat sang tuan putri akhirnya memutuskan untuk bersandar pada bantalan sofa dengan mata tertutup. Aah, ia merasa pusing, pusing akan segala hal yang terjadi dan membuat hidupnya terasa sangat aneh.

'Seandainya aku bisa di sini lebih lama lagi, mungkin semuanya akan terasa lebih baik.' Toh Leva selalu merasa aneh ketika berada di sini. Walaupun ia merasa lelah dan kesal tanpa alasan yang jelas, namun begitu banyak hal baru–emosi baru yang hanya bisa ia rasakan ketika ia berada di Wistal. Wistant boleh saja tempat tinggalnya, namun di sinilah rumah baginya.

BRAKK–

"Ojou-sa–Woaa Hime-sama!"

Leva hampir saja terjerembab dari tempat duduknya mendengar pintu dibuka dan sang pemuda beriris tembaga berdiri tepat di sana.

'Aah, padahal aku tidak ingin bertemu dengannya.'

Obi jadi salah tingkah. Ia tidak mengira akan bertemu sang Tuan Puteri di sini. Walaupun jujur saja, sebenarnya ia ingin menemuinya walau tidak tahu harus melakukan apa ketika sang gadis ayu itu ada di hadapannya. Leva sendiri memilih untuk buang muka dan menolak menatap iris menenangkan sang pemuda, ia tidak akan bisa mempertahankan ketenangannya jika kedua netranya menangkap Obi ada di sekitarnya.

Ia tidak pernah bisa tenang ketika pemuda itu ada di sekitarnya.

"Hime-sama."

"Hm?" Leva masih menolak untuk bertatap wajah dengannya, membuat sang pemuda mengerucut bibir sejenak dan terlihat kesal. Memangnya aku dewan istana yang tidak akan pernah mau diliriknya itu?

Obi kesal. Ia mendengus dan akhirnya menolak untuk bertegur sapa dengan gadis bersurai pucat itu–walaupun dari ekor matanya ia akan terus berusaha menangkap sosoknya yang magis dan angkuh itu. Dia indah, sangat indah hingga Obi khawatir jika ia melepas pandang darinya, gadis itu akan lenyap bagai buih. Sayangnya, memang Obi bukanlah sosok yang bisa berada di sisinya, Obi tidak mampu–tidak memiliki hak–dan tidak berhak.

"Oh, Obi! Kau disini?" satu tepukan di pundak itu membuatnya sedikit terkejut, agak terlompat namun kembali menunjukkan cengirannya yang jenaka itu.

"Hoo, Ojou-san sibuk seperti biasa. Apa yang kau lakukan sekarang?" Pemuda itu minggir sejenak, agar tidak menghalangi pintu dan membiarkan sang pharmacist istana memasuki ruang kerjanya.

"Aku…ingin menyiapkan banyak hal untuk Leva-hime." Shirayuki meletakkan kotaknya yang penuh akan banyak hal dan kembali menghadap Obi, "Obi, kau butuh sesuatu? Tiba-tiba kemari."

"A-Ah tidak. Bukan apa-apa, hanya butuh sedikit pelarian."

Degg–

Dan Leva bisa merasakan hatinya mencelos. Ia bukanlah pelarian, bukan rumah, bagi siapapun. Dan kapanpun. Ia sendiri. Lagi dan lagi.

.

.

.

Haloo, chapter ini sepertinya sedikit (baca: banyak) lebih pendek dari sebelumnya, but I hope u all still enjoy it. Sebenernya pingin aku panjangin tapi ntar jatuhnya maksa huhu jadi kupotong aja segini. Aku akan apdet asap for the next one ^^