Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"
.
.
.
Please Enjoy to Read!
.
.
.
CHAPTER 23 – THE LETTER
Author's POV
Kepada anakku Zen,
Yang berada jauh di sisi daratan.
Bagaimana kabarmu? Dan juga kakakmu, tentu saja. Apakah ia bisa bekerja dengan baik?
Setiap hari terasa agak sepi sekembalinya aku dan Levanthine kemari. Dan seperti biasa gadis itu akan mencari-cari alasan agar bisa keluar dari ruangannya (bahkan keluar dari istana jika bisa). Untungnya kini ia punya pelayan pribadi yang manis dan sangat bijaksana, Aira selalu menemaninya kemanapun gadis itu pergi. Setidaknya aku ingin ia memiliki teman lagi, wahai anakku.
Aku sudah mendengar garis besar masalah yang kini membebani kalian dari putriku ini, namun aku butuh pernyataan tertulis tentunya dari sang raja. Pastikan Izana menulis untukku, dan kau juga. Aku menyayangi kalian.
Ibu
.
.
Realm for The Hearts
Story & OC'sNakashima Aya
Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata
[There's no profit we gain from this fanfiction]
Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.
Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC
.
.
Jika saja Kiki bisa menghitung konstelasi bintang, mungkin ia sudah menjadi seorang scholar kebanggaan Clarines sekarang; alih-alih menjadi seorang putri bangsawan yang entah bagaimana kerap menjadi sasaran pinangan dari berbagai pihak.
Singkatnya, Kiki lelah menjadi bunga incaran lebah. Toh cita-citanya–dan pekerjaannya saat ini pula–adalah seorang ksatria.
Dan kini, ia harus kembali ke rumahnya untuk menolak lamaran lain padahal kastil sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik-saja. Masalah yang tempo hari ditemui Tuan Putri Leva akhirnya mulai muncul ke permukaan dan dilirik penuh oleh seluruh dewan kebangsawanan Clarines. Perdagangan manusia bukanlah hal yang remeh, apalagi hal itu ditemukan oleh sang putri sendiri.
Akhir-akhir ini Obi juga agak sibuk, ia adalah satu-satunya yang berada di lokasi selain Leva sehingga mau tidak mau–ketika Leva tidak ada di sini–ialah yang menjadi sasaran militer untuk mencari informasi. Dan hal itu membuat sang pemuda bersurai gelap itu kewalahan dan ingin rehat saja. Well, tentu saja Zen tidak membantu sama sekali, toh sang pangeran bahkan terkesan sangat bahagia acap kali Obi masuk ke ruang pribadinya dengan ekspresi lelah.
Pernah sekali Kiki mendengar bahwa Obi hilang, lebih tepatnya bersembunyi, dimana bahkan Zen sekalipun tidak tahu keberadaannya. Dan ternyata ia malah ditemukan di bangsal kuda Wistal–tentu saja tidak ada seorangpun yang mengira ia akan bersembunyi di sana. Hal itu, tentu saja, masih menjadi bulan-bulanan bagi Zen dan Kiki untuk mengejek Obi hingga sekarang.
Yah, setidaknya kini ia tidak perlu khawatir untuk meninggalkan Zen di istana hanya bersama Mitsuhide. Ada Obi. Ada lagi orang yang bisa Kiki percayai.
.
.
.
Bagi Obi, hari-hari ini adalah hari yang sangat melelahkan. Begitu juga dengan Zen.
Sudah hampir dua pekan semenjak ia menerima surat dari Yang Mulia Ratu, dan dia belum juga punya waktu untuk membalas dan bertukar kata dengan sang ibunda. Toh kini memang masih masa-masa evaluasi acara penobatan raja, belum lagi dengan perkara bajak laut dan pelabuhan maut tempo hari.
Akhir-akhir ini memang ia acap kali melirik ke paviliun kakaknya, banyak orang keluar masuk. Diplomat kerajaan lain, para bangsawan, anggota dewan pelabuhan, perwakilan kongsi dagang, sampai tuan putri dari negara lain. Zen tidak kaget, toh seorang Raja muda yang bujang tentunya menjadi hidangan yang menggiurkan bukan untuk kerajaan-kerajaan tetangga. Namun, toh, kakaknya itu pasti sudah memikirkan langkah cerdas untuk menghidari situasi tidak menyenangkan ini.
Yang penting yang saat ini harus ia tangani adalah apa yang sekarang menjadi topik utama yang ia tulis–untuk surat yang akan ia kirim ke Leva. Zen memang secara konstan terus mengirim perkembangan investigasi yang ia lakukan mengenai persoalan pelabuhan tersebut. Namun, ia tidak akan berbohong ketika ia bilang semua ini terasa sulit tanpa otak sang tuan puteri yang mungkin dua-kali-lipat lebih encer daripada Zen. Dan walaupun pangeran kedua itu sudah menemui salah seorang narasumber yang dibicarakan Leva–seorang anggota dewan pelabuhan yang juga ada di tempat kejadian–tetap tidak ada perkembangan yang berarti.
Belum lagi Izana meminta agar kasus ini diketahui sesedikit mungkin orang agar tidak menimbulkan keresahan di mata rakyat. Izana tidak mau awal mula karirnya sebagai seorang raja terlukis sebagai masa-masa yang meresahkan.
Dan Zen akan menaati itu; meskipun bekerja dalam bayangan bukanlah gayanya. Ia lebih suka–melakukan sesuatu dengan terang-terangan.
Karena itulah pemuda bersurai cerah itu kini meminta sang pengantar pesan untuk berdiri di hadapannya. Karena hanya dia yang paling cocok untuk bekerja di balik layar dan di belakang bayangan.
"Anda membutuhkan saya, Aruji?"
Basa-basi, seperti biasa. Padahal Obi sendiri sudah tau apa akar masalah dan apa yang akan diutarakan Tuannya itu; toh mereka sudah sering membicarakan masalah ini dan memang hanya ada satu penyelesaian sesuai dengan keinginan Izana.
Mengirimkan mata-mata tunggal tepat ke jantung musuh.
Sialnya, mereka bahkan tidak tahu harus mulai dari mana untuk mengetahui dimana 'jantung' musuh ini berada.
"Saya selalu siap kapan saja, Aruji. Saya hanya menunggu perintah anda." Ya, aku yang tidak siap memberitahu si bodoh Leva itu bahwa aku akan mengirimmu sendirian ke medan perang. Haha.
Kali ini Zen tidak berbohong jika ia bilang dirinya takut untuk memberitahu Leva bahwa ia benar-benar berniat mengirim Obi sendirian ke sana, walaupun Zen sendiri masih tidak tahu kemanapun itu ia akan mengirim abdinya. Tapi toh Zen percaya pada Obi; dan kemampuannya yang luar biasa.
Jika Obi boleh jujur, ia tahu tuannya itu merasa resah. Toh pelabuhan itu adalah daerah kekuasaan pangeran kedua sehingga pastilah Zen merasa tidak baik-baik saja. Karena itulah Obi mengajukan diri untuk langsung terjun sendiri ke sana, toh ia juga yang melihat kejadian langsungnya bersama Levanthine, maka bukankah itu sudah kewajaran ia yang meneruskan inspeksinya? Lalu apa yang membuat Zen merasa resah?
"Kita tidak bisa bertindak gegabah. Setidaknya tidak sampai ada bukti konkrit."
Tapi toh sejenak ia mengingat perkataan kakaknya tempo hari ketika ia melaporkan kasus ini, lebih baik bergerak dengan hati-hati dan menunggu kepastian daripada bersikap terburu-buru dan berujung kegagalan. Tidak ada yang tahu kemana kapal itu berlabuh, tidak ada yang tahu apa yang terjadi di dalam kapal itu. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada orang-orang di dalam sana.
Dan itu sudah cukup menjadi alasan bagi Zen untuk bersikap hati-hati.
Obi baru saja hendak berjalan keluar ketika salah seorang penjaga gerbang istana mengetuk pintu ruang kerja Zen; yang tentu saja dengan segera dibukakan oleh sang pengawal pangeran.
"Ada apa?" Zen bersua. Pemuda malang di hadapannya itu hanya bisa menjawab dengan agak tergagap, "A-ada sebuah surat untuk a-anda, Yang Mulia. Dari Liveare."
Liveare? Benteng Liveare?
.
.
.
"Hime-samaa?" Aira menilik ke dalam ruang baca sang tuan puteri, namun tetap saja ia tidak menemukan sang empunya surai pucat di dalam sana.
'Ya ampun, apa mungkin tuan puteri pergi ke luar lagi?' namun dengan cepat Aira menggelengkan kepalanya, nona mudanya itu memang hobi berbuat nakal dan pergi keluar seenaknya, namun tidak tanpa dirinya. Selama ia bekerja di sini, belum pernah sekalipun Levanthine meninggalkan Aira keluar area kastil.
Well, lebih seperti Aira yang akan selalu mengikutinya kemanapun ia pergi.
"Hime-sama?" sekali lagi, suara gadis belia itu terdengar di sepanjang lorong kastil, namun tetap tidak ada jawaban yang pasti.
Aira sudah hampir saja menyerah ketika ia mendengar seseorang memanggil namanya, "Aira? Ada apa?"
"O-Oh, Hime-sama!" ia mengelus dadanya dengan ritme cepat, "Anda membuat saya terkejut." Levanthine mengernyit, apa juga yang sudah ia lakukan? Toh Aira yang sedari tadi sibuk memanggilnya tanpa mau melihat ke dalam perpustakaan.
Well, ia memang tadi berkata pada sang pelayan bahwa dirinya akan berada di ruang baca. Namun, toh ia sudah kehabisan bahan bacaan, dan ada banyak hal yang kini berkecamuk di kepalanya. Ia, gadis beriris keabuan itu benar-benar ingin mengubur dirinya dalam tumpukan buku–atau ia benar-benar akan kehilangan kewarasannya karena semua yang sudah terjadi belakangan ini.
"–dan saya bahkan lupa dimana saya menaruh tanda pengenal istana. Apa yang harus saya lakukan, Hime-sama?" Aira tidak mendapat jawaban. Dan Leva kembali hanyut dalam pemikirannya sendiri.
"Hime-sama?"
"O-Oh, tidak, b-bukan apa-apa. Ayo kembali." Aira hanya mengangguk sembari mengikuti nonanya yang kini berjalan cepat kembali menuju ruang belajarnya.
Tidak banyak yang bisa dilakukan seorang Levanthine Wisteria akhir-akhir ini. Dan Zen dengan menyebalkannya tidak begitu sering mengirim surat untuknya, sehingga ia hanya bisa mengubur rasa khawatirnya dengan melakukan hal-hal trivial seperti belajar–toh ia tidak diijinkan untuk keluar dari istana semenjak kasus pencurian dan semua hal yang terjadi di Wistal.
Well, walaupun tentu saja gadis muda itu selalu bisa menemukan celah untuk keluar dari kediamannya ini.
Tapi ia sadar, akhir-akhir ini keamanan istana sedikit lebih ketat daripada biasanya. Banyak penjaga yang tidak berada di tempat yang biasanya dan ia bisa tahu bahwa sang ratu sangat memperhatikan gerak-geriknya. Yang artinya berita tentang apa yang menjadi kekhawatirannya itu kini sudah dibawa ke ranah dewan, bahkan mungkin saja Zen sudah mulai bergerak dengan caranya sendiri.
Kedua alisnya mengkerut dan bibirnya mengerucut. Leva tidak suka ini. Ia tidak suka menjadi pihak yang tidak tahu apa-apa.
"Aira, ambilkan aku kertas dan pena." Tangannya mencari-cari ikat rambut di meja kerjanya, dan segera mengikat surai merah-muda-pucatnya dalam satu ikatan tinggi. "dan juga parfumku."
Ia akan menulis surat untuk kakaknya yang sangat ia cintai ini. Sangat sangat ia cintai, sampai ia ingin menaboknya keras-keras.
.
.
.
Ada satu hal yang sebenarnya agak mengganggu pikiran Aira sejak tempo hari, dimana Tuan Puterinya menerima sepucuk surat dengan amplop berwarna merah cerah–yang entah bagaimana juga memiliki aroma mawar yang sangat kuat. Dan bahkan bagi seorang Aira yang tidak begitu memiliki kepekaan akan keadaan sekitarnya, bisa mengetahui bahwa isi surat itu cukup mengganggu nonanya.
Semenjak itulah Levanthine banyak menghabiskan waktu di ruang belajar pribadinya dan tidak mencoba-coba untuk pergi keluar.
Padahal Aira sangat tahu bahwa sekeras-apapun Leva dikurung dalam kastil, ia selalu bisa menemukan celah untuk keluar dan pergi bermain. Namun akhir-akhir ini sungguh, Leva benar-benar tidak menginjakkan kaki keluar dari kediamannya; selain pergi ke sayap sebelah untuk menemui panggilan Yang Mulia Ratu.
Dan walaupun Leva mencoba menyembunyikan semua hal itu, tidak susah bagi Aira untuk menyadari bahwa isi dari sepucuk surat itu memiliki pengaruh besar dan membuat sang gadis belia tersebut merasa resah. Aira tidak menyukainya, Aira tidak suka ketika sang tuan puteri menyembunyikan sesuatu darinya. Dan acap kali ia mencoba menanyakan hal itu, sang gadis hanya akan menggeleng dan mengalihkan pembicaraan.
"Hime-sama?"
Ia tidak menjawab.
"Hime-sama?"
"A-Ah, ya." Leva merasa tertangkap basah dengan tatapan Aira yang melihatnya begitu nanar. Ia tahu ia baru saja membuat dirinya terlihat tidak tenang dan harusnya ia sadar bahwa Aira tidak mungkin tidak menyadarinya. Toh gadis itu adalah entitas yang dalam dua-puluh-empat jam harinya selalu ada di sisinya.
Ini semua dimulai satu pekan yang lalu.
Hari itu Levanthine baru saja kembali dari inspeksi rutinnya yang sudah cukup lama tidak ia lakukan. Tubuhnya terasa agak basah karena keringat dan ia masih bisa merasakan pucuk kepalanya yang sedikit panas karena sengatan matahari di luar. Sang Tuan Puteri Clarines itu melempar tubuhnya pada ranjang tidur miliknya dan mengerang–walaupun ia masih merasa kotor karena bajunya yang aus dan penuh keringat–diikuti gelak tawa dari sang pelayan pribadinya.
"Tuan Puteri anda harus berganti pakaian lebih dulu."
"Bawakan saja aku pudding dingin." Levanthine merengek. Namun toh ia sebenarnya juga ingin membilas diri dengan air dingin. Akan tetapi badannya yang terasa lelah dan sendi-sendinya meronta agar ia merebahkan diri saja.
'Sudah lama semenjak aku merasa selelah ini.' Leva memang sangat sangat benci musim panas.
Ketika Aira kembali dengan pudding dingin dan segelas coklat yang ia minta, gadis belia itu juga membawa sepucuk surat dengan amplop merah–katanya seorang prajurit menemukannya di barak dan mereka benar-benar tidak berani membukanya, apalagi dengan jelas tertulis pada bagian bahwa amplopnya bahwa surat itu ditujukan untuk Levanthine VV.
Dan seketika ia melihat surat itu, Aira bisa merasakan bahwa udara di sekitarnya menjadi tidak enak. Ia bisa melihat tubuh nonanya itu bergetar hebat. Leva hampir saja berteriak dan mengusir Aira keluar dari ruangannya saat itu juga. Dan degupan jantung itu bisa ia rasakan hingga ia keluar dari ruang pribadi sang puteri muda.
'Apa-apaan?'
Leva bergumam. Ia belum membuka surat itu, namun tangan kanannya sudah hampir saja meremas kertas itu menjadi gumpalan sampah. Ini adalah kekurang-ajaran, dan Leva tidak pernah sekalipun mentoleransi seseorang yang berlaku tidak sesuai pada tempatnya.
Ia adalah Levanthine Wisteria. Puteri satu-satunya dari Kerajaan Clarines. Tidak ada orang yang boleh memanggil Leva dengan nama lain selain itu.
To our dearest ice princess,
Abdimu ada bersama kami. Dan jika kau ingin menemuinya, datanglah. Bawa dirimu pada kami.
Kami menunggumu di seberang laut, di tempat dimana dua yin dan yang saling beradu.
Chou
'SIALAN!'
Leva melempar buntalan kertas itu jauh-jauh, tidak menyadari bahwa air mata kini sudah menetes deras merambati paras ayunya. Nafasnya terengah dan ia merasa wajahnya sangat panas, air matanya tidak bisa berhenti, dadanya bergemuruh, dan tubuhnya terasa sakit.
Amarah, ia merasa panas. Siapapun yang berani mengorek masa lalunya tidak akan ia biarkan, tidak boleh ada satupun yang mengganggu kedamaian keluarganya. Tidak boleh ada seorangpun yang menodai kematian keluarganya. Bahkan tidak orang yang sangat ia percayai pada masa lalu.
'SAM!'
.
.
.
To be continued
