Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"

.

.

.

Please Enjoy to Read!

.

.

.

CHAPTER 24 – THE GRAND DUCHY OF MONOSOARIA

Author's POV

"Hee, jadi ini, Grand Duchy yang tersohor itu…"

Obi melompat turun dari kapal berbadan kayu keras tersebut. Wajahnya bercahaya tatkala ia menapak tanah lagi setelah sekian lamanya berlayar di atas perairan Clarines yang terkenal luas. Iris tembaganya menelusuk jauh melihat sekeliling, Obi selalu suka menjelajah tempat baru dan tempat ini adalah salah satu dari daratan Clarines yang belum pernah ia datangi satu kalipun dalam hidupnya–bahkan ketika ia masih bekerja sebagai bandit bayaran.

Suara hiruk pikuk pelabuhan dan keramaian manusia di sana membuat pria berusia kepala dua itu terus saja menyungging senyum, membayangkan jika ia berada di sini bersama rekan-rekan dan juga nona manis favoritnya.

"Saa, Aruji, mari lakukan sesuai keinginan anda."

Namun ia di sini demi misi, dan ia akan melakukannya sesuai keinginan tuannya. Sampai sang tuan menyusulnya kemari. 6 hari dari sekarang.

.

.

Realm for The Hearts

Story & OC's Nakashima Aya

Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata

[There's no profit we gain from this fanfiction]

Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.

Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC

.

.

The Grand Duchy of Monosoaria, salah satu daerah terbesar Clarines yang kini menjadi wilayah kekuasaan Duke Ellen Monosoaria–di bawah pengawasan pangeran kedua Clarines. Berbatasan langsung dengan benteng Liveare melalui jalur perairan–yang menjadi tanggung jawab Puteri Levanthine–daerah ini diliputi air dan terpisah dari daratan utama Clarines. Dengan komoditas utama garam dan olahan hasil laut, Monosoaria merupakan salah satu daerah terkaya di daratan Clarines tanpa perlu sokongan langsung dari pemerintahan pusat kerajaan.

Singkatnya, Grand Duchy bukanlah tempat dimana Zen bisa dengan seenaknya mengatur walaupun itu merupakan daerah pengawasannya. Dan ketika surat dari benteng Liveare datang, ia tidak bisa langsung bertindak sehingga pilihan satu-satunya adalah mengirim Obi–bukan sebagai pengirim pesan–sebagai mata-mata yang merupakan keahlian utamanya.

Bahkan bagi sang pangeran sendiri, mengurus daerah itu adalah hal yang menyusahkan. Mereka mengirimkan upeti secara berkala, dan memberi feedback yang baik kepada kerajaan, namun Zen tidak pernah bisa ikut campur dalam urusan perpolitikan mereka. Duke Ellen bukanlah orang yang bisa Zen perlakukan secara sembarangan, apalagi dengan naiknya Izana yang baru saja menjadi raja, yang mana kedudukan dan posisi politiknya masih lemah, Zen tidak bisa berbuat seenaknya.

Pangeran muda itu boleh saja mengatakan pada Obi bahwa ia akan tiba di sana dalam kurun 6 hari setelah sang abdi, namun ia benar-benar tidak yakin bahwa ia bisa menepatinya. Toh, tidak pernah sekalipun eksistensi Zen diterima di sana.

"Haah… Apa yang harus kulakukan sekarang, Mitsuhide?"

"E-Eh?"

Zen mencumbu meja kerjanya. Ia mengerang.

.

.

.

Obi sudah banyak mendengar tentang daerah aneh ini–daerah dimana bahkan Tuannya sekalipun tidak bisa bergerak dengan lugas–yang memang sejak dulu selalu Obi jauhi. Bahkan dalam tugas dan pekerjaannya sebagai bandit kasar, ia enggan pergi kemari, pun beberapa orang yang ia kenal seperti Trow.

Grand Duchy Monosoaria terkenal sebagai daerah monopoli kekuasaan dua faksi yang sangat berbeda. Kaum budaya terpelajar, yang terdiri dari bangsawan-bangsawan ternama, dan kaum bangsa kepercayaan, yang merupakan orang-orang terdekat Duke dan serat akan paham keagamaan. Mereka bahkan menyebut diri mereka sendiri sebagai kaum abdi Tuhan.

Dan keduanya, saling berebut posisi tertinggi pada rantai politik wilayah ini. Sang duke? Ia tidak pernah ikut campur, atau lebih tepatnya ia menolak memiliki urusan dengan kedua pihak. Bahkan rumor berkata bahwa Duke Ellen tidak bisa berkutik dihadapan kedua belah pihak. Karena posisinya akan terancam jika ia memihak bahkan satu dari keduanya.

Dan ini pula yang menjadi momok utama dari surat yang dikirim utusan Liveare kepada Zen. Salah seorang kaum terpelajar mengirimkan surat terbuka kepada benteng Liveare untuk disampaikan kepada Yang Mulia Izana–karena ia tahu bahwa Duke Ellen Monosoaria tidak akan mau ikut campur dengan permasalahan kedua pihak–dan mengatakan bahwa perang akan pecah jika anggota royal family tidak segera turun tangan.

Hanya itu. Ia tidak menulis lebih detilnya. Dan karena itulah pada awalnya Liveare menganggap ini sebagai guyonan konyol dan tidak memedulikannya. Sampai surat kedua datang kepada mereka, atas nama pemuka kaum bangsa kepercayaan, dikirim bersama sebuah kotak berbau amis yang tidak akan ingin kalian ketahui isinya.

'Mengirim surat itu kepada Raja berarti nasib yang sama seperti bocah sialan budaya ini.'

Saat itulah Liveare akhirnya memutuskan bahwa masalah ini bukan main-main. Apalagi orang yang mencoba memperingatkan mereka sudah menjadi korban. Dan karena itu pula Zen menganggap masalah ini harus segera ditindak-lanjuti, walau apapun konsekuensinya.

Obi tidak pernah terlalu suka dengan perpolitikan istana, apalagi jika sudah berhubungan dengan orang-orang yang sarat akan ilmu dan terlalu fanatik pada suatu hal. Seperti orang-orang yang pastinya akan ia hadapi dalam beberapa pekan ke depan. Ia tahu dalam hatinya bahwa berurusan dengan orang-orang sok pintar seperti itu hanya akan menguras tenaganya dan tentu psikisnya. Obi benci ini.

Sekali lagi, pemuda itu merasakan desiran angin laut yang terasa asin dan hangat. Ia mengeratkan tas di pundak sebelah kirinya, menoleh sejenak memandang Clarines di sisi lain samudera, dan berbalik–berjalan memasuki wilayah Monosoaria dan segala hal yang mungkin akan membuatnya terkejut dalam beberapa hari ke depan.

.

.

.

TAP–TAP–TAP–

BLAMM–

Suara langkahnya memenuhi lorong-lorong menurun yang sarat akan cahaya, sebelum akhirnya ia mencapai satu ruang kecil di sudut lorong dengan dinding batu marmer hitam yang terlihat dingin. Pria itu menutup pintu besar di belakangnya, menyingkap jubahnya ke belakang hanya untuk memperlihatkan paras yang ditutupi dengan topeng separuh wajah. Surainya yang menyala membuatnya terlihat semakin menakutkan; terutama dengan bekas luka bakar panjang pada bagian wajah dan lehernya serta guratan luka yang terlihat acak di kedua tangannya.

"Maaf sudah membuat anda menunggu." Ia berbalik, melirik pada individu lain di dalam ruangan sembari memulai percakapan.

"Aku tidak punya banyak waktu, kau tahu kan?" pria itu hampir saja menghela nafas, namun ia menahannya ketika wanita di seberang ruangan kembali bersuara, "Duduklah."

Sang wanita, terlihat berusia akhir dua-puluh, tersenyum sinis di balik cadar merah mudanya–yang sesungguhnya tidak terlau menyembuyikan bentuk wajahnya dengan warna yang sedikit terawang itu–tangan kanannya mengeluarkan gesture agar pelayan di sandingnya menuangkan teh rosella untuk tamunya.

Iris tajamnya yang berwarna merah melirik tajam pada sosok pria di hadapannya, pun ia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengeluarkan senyuman–yang palsu dan menohok–toh itu merupakan hal yang wajib dikuasai tiap bangsawan bukan? Wanita itu kini tidak lagi duduk dengan tegak, perlahan ia menarik dirinya semakin mendekat pada meja.

"Jadi, apa yang ingin anda katakan?" sang pria, tidak menyentuh cangkir di hadapannya sama sekali. Dan wanita cantik di hadapannya, tersenyum dengan kedua tangan menopang dagu. "Kau tahu bahwa berita itu sudah sampai ke Wistal, bukan?"

Kini, tangan kanannya dengan gemulai memutar sendok perak mini pada cangkir porselen di meja kaca tepat di hadapannya. "Orang-orang bodoh itu. Padahal sudah kukatakan tidak usah terburu-buru. Mereka malah mengirimkan kepalanya sebagai balasan. Anak yang malang, kematiannya menjadi sia-sia."

Pria itu tidak akan memungkirinya, dengan surai pirang ikal dan netra semerah darah itu, wanita di hadapannya sungguh terlihat seperti boneka hidup. Indah, namun mengerikan pada waktu bersamaan. Seakan kau tidak akan pernah bisa membaca pikirannya, namun ia mampu menelusuk jauh ke dalam kepalamu.

Apalagi dengan senyumnya yang membekukan, membuat seisi ruangan terasa sangat dingin. Dingin dan sunyi, dan tertutup. Tidak ada celah sedikitpun untuk seseorang mampu mendengar pembicaraan mereka. Tidak ada jendela, dan hanya ada satu jalan masuk menuju kemari, pintu besar berbahan mahoni tua dengan warna gelap di belakang pria berjubah itu.

"Kudengar mereka bahkan mengirimkan surat ancaman ke Liveare."

"Ya, sangat tidak beradab. Itulah yang selalu dilakukan orang-orang bodoh tanpa tata krama seperti mereka."

Wanita itu menyesap sedikit cairan kemerahan tersebut, sebelum kembali memulai pembicaraan lain.

"Kudengar Wistal belum bergerak, namun aku yakin raja muda licik itu tidak akan diam saja. Dia dan adik-adiknya yang kurang ajar itu. Haah … membuat sakit kepala saja."

Sekali lagi, pria itu menghela nafas. Kilatan pada iris abu-abunya mengisyaratkan ia sudah lelah dengan pembicaraan ini. Toh ia memang tidak begitu menyukai bagaimana seorang noble dengan seenaknya membicarakan orang lain seakan mereka adalah sampah.

"Tenang saja, sang chou tidak akan diam saja."

"Ya. Kuharap begitu. Aku tidak mau masalah ini mempengaruhi bisnisku. Kau paham, kan?" Pria itu berdiri. Kembali mengenakan tudung jubahnya dan menarik diri menjauh dari teh hangat berwarna aneh itu. Ia membungkukkan badannya dengan gesture bangsawan dan berjalan menuju pintu mahoni besar yang tadinya membawa ia masuk kemari.

"Anda tidak akan bisa mengelabuiku," ia berhenti sejenak, tanpa menoleh sedikitpun ke balik punggungnya. "Terutama tidak dengan cara seperti ini, Duchess."

Wanita itu tersenyum, sebelum mengeluarkan gelak tawa. Dan pintu besar itu menutup, meredam suara tawa sang wanita. Bersama tetesan racun yang ada di dalam cangkir porselen yang tak tersentuh.

BLAMM–

.

.

.

"Jadi, maksud anda, tempat ini bukan tempat yang baik?"

Obi meringis, kenapa juga ia harus menemani seorang pria tua untuk mabuk-mabukan di sebuah bar kuno seperti ini?

"Ya, ya, maksudku itu! Ini bukan tempat yang baik! Bagaimana bisa pemilik tidak menyediakan satupun wanita untuk kita?!" Wajahnya benar-benar berwarna merah, tentu saja toh dia sudah dalam keadaan mabuk berat.

Obi kembali mengedarkan pandangannya, sembari sesekali menenggak gelas dalam genggaman. Tempat-tempat seperti inilah yang biasanya banyak menyimpan dan membuka rahasia-rahasia besar, terutama pada orang-orang seperti yang kini ia temani. Pedagang tua yang tengah mabuk, dan butuh ditemani wanita. Pria tua yang ingin wanita namun tidak memiliki uang yang cukup untuk pergi ke distrik hiburan.

Haah… Padahal tadinya ia hanya duduk sendirian di sini.

Dan kenapa pula setiap kali ia duduk sendirian di barak seperti ini ia selalu didatangi pria tua seperti Grace dan orang ini? Obi merutuk. Setidaknya Grace–orang yang dulu membantunya di pelabuhan–bukanlah orang sembarangan yang hanya mabuk dan memikirkan kepuasan diri. Bahkan ia memberi banyak bantuan pada Obi. Dulu pun, yang membuatnya bisa memulangkan Leva dengan selamat adalah karena andil pak tua itu yang membukakan jalan dan meminjamkan kudanya.

Jujur saja, tidak banyak yang bisa Obi lakukan saat ini, dan ia benar-benar tidak punya petunjuk apapun untuk memulai investigasinya. Ia bahkan tidak punya ide dimana ia bisa menemukan orang-orang kontroversial yang menjadi pokok permasalahan ini.

Hari semakin mencapai penghujungnya ketika ia bisa merasakan pria yang satu meja dengannya itu kini telah mencium meja–tetap dengan wajah merahnya dan gumaman tidak jelas yang keluar dari bibir–dan Obi mulai lelah. Wajahnya juga mulai menunjukkan ia sudah minum lebih banyak dari yang seharusnya.

CKLAKK–

Pemuda itu menutup perlahan pintu kayu tersebut, merasa agak pusing dan membutuhkan sedikit udara segar.

"Haah…" ia bahkan bisa merasakan pipinya memanas. Ini tidak baik. Apalagi dirinya bukanlah tipe orang yang lemah dengan alkohol.

Obi tidak menyadari ketika ia tiba-tiba menutup matanya dan membayangkan jika saja kini di sandingnya ada Levanthine, gadis itu pasti sudah merutuki karena minum terlalu berlebihan dan menyeretnya untuk kembali ke penginapan. Betapa ia merindukan surai pucat gadis itu dan kerut yang muncul di dahinya tiap kali ia berbicara dengan Obi. Dan netra tembaganya menipis, tersenyum.

Ah, aku memikirkan Hime-sama lagi…

CKLAKK–

"–kau serius?"

Obi masih berada di ambang kesadarannya ketika ia mendengar pria yang keluar dari barak itu. Tangannya mengepal dan hampir saja melayang pada dinding di samping Obi.

"Sungguh, tuan!"

"Ini buruk, kita harus segera ke sana. Orang-orang agamis picisan itu tidak boleh sembarangan pada bisnis pribadi seorang bangsawan."

Agamis? T-tunggu–

"Tuan? Maksud anda agamis…" Pria itu menoleh pada Obi, melihat perawakannya yang sedikit mabuk lalu mengerutkan dahi, "Ya! Orang-orang gila itu. Kaum abdi tuhan atau apalah mereka menyebutnya. Masyarakat sialan itu, bisa-bisanya mencoba mengacaukan bisnis Count Philippe dengan embel-embel membersihkan tempat ini dari dosa dunia."

Obi menarik dirinya, berdiri agak tegak, "Bisnis yang tuan bicarakan, apakah itu–"

"Itu hanya sebuah bar malam! Itu bahkan bukan sebuah prostitusi, orang-orang sialan itu!"

BINGO!

.

.

.

Sang pria tua bersuit.

"Woah, kau benar-benar mengajakku kemari, Nak!"

Obi tertawa sekenanya, well, toh dengan begini ia punya alasan untuk benar-benar ke tempat seperti ini. Sungguh, dalam sejarah hidupnya ini benar-benar kali pertama ia akan memasuki tempat hiburan malam. Ia pernah mengintai tempat seperti ini, namun hanya sekedar itu. Untuk memasukinya lewat pintu depan seperti ini? Wah, ini hal baru bahkan untuk seorang Obi sekalipun. Zen akan sangat bangga padanya.

"Ayo cepat masuk, Nak! Aku sudah tidak sabar!"

Dasar pria tua gila, dia masuk ke tempat seperti ini dengan keadaan mabuk. Obi tidak perlu melihat cermin untuk tau seperti apa ekspresinya saat melihat orang tua itu.

Jadi inilah yang biasa orang katakan bahwa semakin tua semakin banyak pengalaman. Ha Ha.

Suasananya yang dingin dan kerlip cahaya lampu yang terlihat remang-remang sungguh membuat pemuda itu merasa tidak nyaman. Dan di sisi lain, sang pak tua di sandingnya malah terlihat terlampau bersemangat. Wah, Obi tidak akan terkejut jika pak tua ini akan membawa satu atau dua wanita di sini ke rumahnya nanti.

"Ruangan untuk dua orang?" Obi mengangguk, "Silahkan ikuti saya."

Keduanya mengikuti gadis muda berpakaian oriental itu, menyusuri lorong-demi lorong dengan pintu di kanan-kiri. Obi bisa mendengar suara dari balik bilik-bilik tersebut, gelak tawa hingga hal-hal yang tidak ingin ia dengar sama sekali.

Sialan… Di saat-saat seperti ini ia benar-benar merasa masih seperti bocah.

"Kita sudah sampai, Tuan-tuan. Silahkan." Gadis itu membungkuk beberapa saat sebelum pergi meninggalkan mereka berdua. Obi bahkan masih merasa merinding untuk benar-benar memasukinya. Ini masih belum terlambat untuk kembali.

"Ayo masuk, apa yang kau tunggu?" Oh, sudah terlambat, Obi.

Ketika Obi menyibak kain dibalik pintu kayu dengan pahatan gaya daerah timur itu, ia bisa merasakan bau menyengat menyeruak memasuki indera penciumannya. Baunya terlalu manis, dan sekali lagi, cahayanya terlalu redup.

Ruangannya cukup kecil, mungkin hanya satu-per-delapan dari ukuran ruang kerja Zen. Hanya ada satu buah meja teh–dengan minuman dan kudapan yang sudah tersaji di atas meja–dan empat bantalan duduk. Satu buah jendela besar pada sisi yang berlawanan dengan pintu masuk. Dan tentu saja, vas bunga besar beserta isinya terlihat mengisi kekosongan pada tiap sudut-sudut ruangan. Well, mereka 'kan memang hanya memesan ruangan untuk dua orang.

Ketika ia menoleh, Obi bisa melihat satu ruang kecil di sisi kanan tengah dinding–ditutupi sebuah kerai transparan–namun ia tetap bisa melihat figur seorang wanita di dalam sana. Tunggu dulu? Dengan adanya tempat seperti itu bukankah ini berarti bukan sekedar kedai minum teh biasa 'kan? Wah, Obi benar-benar merasa sudah hilang akal karena pergi ke tempat seperti ini. Ia sungguh-sungguh merutuki dirinya sendiri.

Sementara sang pemuda menuang minuman untuk dirinya sendiri, pria tua itu bisa-bisanya sudah mengambil langkah menuju bilik kecil di sisi kiri mereka–tetap dengan wajahnya yang terlihat sangat mabuk–dan Obi hanya bisa mendengus.

"Ojou-chan, apa aku boleh masuk?"

Bahkan tanpa menunggu jawaban dari sang geisha, pria itu sudah menyibak tirai pendek tersebut dan masuk ke dalamnya.

"Wah…" Obi tidak peduli. Sekarang yang harus ia lakukan adalah diam dan berpura-pura tidak mendengar apapun; menikmati sake di hadapannya sembari menunggu siapapun dari kaum abdi apapun itu untuk datang kemari.

"Haha, kau masih muda dan malu-malu ya." Sialan. Obi benar-benar ingin tidak mendengar apa-apa. Ia memang lelaki, tapi semua ini membuatnya merasa tidak nyaman.

"Tidak perlu malu, ojou-chan."

"T-Tung–"

DEGG–

Tidak. Suara itu… Ah, tidak-tidak. Obi menggeleng, ini pasti karena alkohol. Ia pasti berhalusinasi. Toh ia sudah agak mabuk sejak tadi.

"T-Tunggu, tuan–ACK–"

Ia menahan nafas. Kakinya memacu cepat dan membuka tirai dengan satu hentakan kasar.

PRANGG–

Gelas di tangannya jatuh. Netranya membelalak. Dan surai merah muda pucat itu ada di sana. Tersudut di antara dinding dan pria tua sialan itu, dengan bulir air mata menetes di pipinya yang merona.

"A-APA MAUMU ANAK MU–"

"Obi…"

Tangan pemuda itu mengepal.

BUAGH–

.

.

.

To be continued

.

.

.

NINUNINU MOHON PERHATIKAN TANGGA GELAR KEBANGSAWANAN DI BAWAH DENGAN CERMAT!

Buat kalian para readerku tersayang yang sudah sering bacain manhwa isekai mungkin gak asing dgn istilah-istilah di atas. Namun, bagi yg belum pernah mengenali, aku harap kalian menyimak dengan baik soalnya untuk arc ini bakalan banyak menyinggung istilah di atas dalam penyampaian ceritanya. Jadiii, agar kalian lebih enak dan paham bacanya, aku bakal ulas sedikit tentang gelar-gelar ini.

TINGKAT GELAR KEBANGSAWANAN:

1. EMPEROR/KING dan EMPRESS/QUEEN (Izana Wisteria)

2. CROWN PRINCE/CROWN PRINCESS

Posisi Putera Mahkota ada tepat di bawah Raja, yang membuat mereka biasanya menjadi orang kedua di Kerajaan.

3. DUKE (GRAND DUKE)

Posisi Duke sendiri dibagi lagi menjadi tiga, 1) Grand Duke, 2) Archduke, dan 3) Duke. Dalam posis ini, Grand Duke setara dengan seorang Adipati, sehingga kedudukan mereka lebih tinggi daripada Prince/Princess selain Putera Mahkota.

4. PRINCE/PRINCESS (Zen dan Leva).

5. DUKE/DUCHESS.

6. MARQUESS/MARCHIONESS.

Biasanya memiliki tugas menjaga perbatasan kerajaan, sehingga mereka cenderung punya prajurit sendiri.

7. COUNT/COUNTESS (biasa juga disebut Earl)

8. VISCOUNT/VISCOUNTESS.

9. BARON/BARONESS

n.b hal ini yang membuat Zen tidak bisa berbuat banyak ke Grand Duke Ellen. Karena dia berada di posisi yang lebih rendah sebagai pangeran kedua^^

.

.

.

FINALLYYY SMPE DI PERTENGAHAN CERITA /HIKS

Personallyyy, arc ini adalah arc favorit aku, karena di sini bakal banyak hal yang terbuka. Banyak momen di antara hampir semua chara. Tidak lupa dengan intrik yang ada dan plot yg udah kusiapin sejak lama, hihi. Meskipun aku gak nyangka kalo bakal sampe 20+ chapter untuk sampai ke sini. Intinya, happy reading! Semoga kalian tetap suka dan jangan dibawa ribet yaa, hehe!

I would like if you all give me some sign of reading this, mau lewat like maupun komen biar aku tau kalo kalian menikmati fanfiksi ini^^