Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"
.
.
.
Please Enjoy to Read!
.
.
.
CHAPTER 25 – A LITTLE WHITE LIE
Author's POV
DRAPP–
DRAPP–
"Tuan Puteri Levanthine Wisteria memasuki benteng Liveare!"
Leva menurunkan derap pacu kudanya semakin perlahan dan berhenti tepat di gerbang dalam Liveare, gadis itu melompat turun dari kudanya sembari merapikan pakaiannya yang sudah terasa lusuh.
"Bawa dia ke dalam barak. Aku akan menemui Harren Wilston."
"Ya, Yang Mulia."
Mereka sudah mendengar berita bahwa Levanthine akan kemari, namun tidak sekalipun para prajurit Liveare menyangka bahwa sang tuan puteri akan tiba hanya dalam kurun waktu dua hari setelah surat resmi dari Wistant datang; dan tanpa pengawal maupun kereta.
Sungguh, sebenarnya apa ini?
.
.
Realm for The Hearts
Story & OC'sNakashima Aya
Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata
[There's no profit we gain from this fanfiction]
Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.
Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC
.
.
'–jangan mencariku dan anggap aku benar-benar berada di Liveare.'
Tangan gadis itu bergetar. Air mata hampir menetes dari kedua pelupuk matanya yang sudah menghitam karena kurang tidur. Ia menarik nafasnya dalam-dalam dan berjalan menjauhi meja kerja majikannya. Sejenak ia mengusap air mata yang berhasil jatuh ke pipinya sebelum memantapkan hati–menggenggam erat kertas di tangan kanannya–dan melangkah keluar dari ruangan besar itu.
Membutuhkan keberanian yang besar dari diri gadis itu untuk memberikan surat tersebut kepada salah satu prajurit pengirim pesan Wistant, namun ia tahu bahwa dirinya harus melakukan ini. Aira tahu bahwa ia hanyalah seorang pelayan rendahan, gadis itu tidak punya kemampuan untuk membantu nona mudanya. Dan yang bisa ia andalkan sekarang hanya mereka, yang ada di seberang daratan.
"Aku mohon," ia memegang tangan prajurit itu, "Tolong pastikan surat ini benar-benar sampai di tangan Pangeran Zen Wisteria."
"Serahkan padaku."
Hime-sama…
.
.
.
Leva benar-benar tidak menyangka ia melakukan semua ini. Hanya karena sebuah surat bodoh dan keputusan sepihaknya.
"Apa yang sudah kulakukan?" Ia melempar dirinya pada sofa bulu di sudut ruangan–ruang pribadinya di benteng ini tentu saja.
Ruang ini tidak besar, tidak juga semewah kediamannya di Wistal, namun cukup untuk sang gadis merasa nyaman dan memiliki tempat privasi tersendiri. Toh ruangan ini memang diperuntukkan sebagai hak miliknya; sebagai pengawas utama benteng Liveare.
Ia baru saja melakukan sesuatu yang luar biasa bodoh, bahkan menurut dirinya sendiri. Walaupun tentu saja dengan cara yang pintar dan struktural tanpa celah. Toh ini seorang Levanthine yang kita bicarakan.
Beberapa waktu setelah ia memutuskan untuk melakukan sesuatu terhadap surat kaleng yang ia terima tempo hari, gadis itu langsung mengajukan izin inspeksi menuju Liveare sembari memetakan dan mempersempit kemungkinan lokasi yang dimaksud dalam surat itu. Dan segera setelah surat izin resmi meluncur, ia juga berangkat menuju Liveare dengan dua orang penjaga dan satu kereta kuda.
Dan bagaimana ia berakhir dengan mengendarai kuda seorang diri kemari?
Leva menghela nafas. Ia benar-benar sudah melakukan dosa besar.
Segera setelah Leva dan rombongannya sampai di penginapan kota, Leva meninggalkan kedua pengawalnya, meminjam kuda dari penjaga kota dengan menggunakan tanda pengenal Aira yang sudah ia ambil sebelumnya; dan pergi menuju Liveare tanpa diikuti siapapun. Ia harus pergi sendiri, tidak boleh ada yang terbawa arus dengannya, ini masalah pribadinya.
Apa yang akan dilakukan Aira jika gadis itu tahu Leva sudah melakukan hal-hal seperti ini? Apalagi Zen … Wah kakaknya yang satu benar-benar akan menguncinya di Laxdo–benteng kekuasaan Zen–jika ia tahu Leva sudah melakukan hal seperti ini.
"Dan sekarang ketika aku hampir saja menyerah dan kembali ke kastil–"
Benar. Leva sudah hampir menyerah, berpikir bahwa ia sudah bertindak terlalu gegabah dan akan menyesal jika ia meneruskan semua kegilaan ini. Namun para prajurit justru mengira ia dikirim oleh Zen sebagai balasan dari surat yang mereka ajukan tempo hari pada sang pangeran.
Namun justru hal itulah yang menguatkan teorinya mengenai tempat yang akan ia tuju.
'di tempat dimana dua yin dan yang saling beradu.'
Dugaannya benar. The Grand Duchy of Monosoaria dan persaingan kaum budaya serta kaum agamanya yang sudah terdengar bahkan hingga pelosok Clarines.
Dan setelah mendengar semua yang terjadi tentang Monosoaria dan kedua kaum itu, memangnya Leva bisa kembali begitu saja ke Wistant? Apalagi dengan menyadari bahwa ia bukanlah balasan dari surat yang dikirim Liveare pada Zen, itu artinya Zen belum bergerak 'kan? Bagaimana mungkin Leva diam saja setelah mengetahui semua itu?
Apasih yang dilakukan Zen di sana, mengulur waktu seperti ini…
Karena itulah, ia tetap akan berangkat ke sana. Ke seberang pulau. Menuju The Grand Duchy of Monosoaria.
.
.
.
Tidak banyak yang bisa ia lakukan setelah ia sampai di Grand Duchy, terutama dengan Harren Willston yang dengan seenaknya mengirim surat pada dewan keamanan setempat bahwa Leva akan pergi ke sana. Dan itu artinya Leva tidak akan bisa bergerak dengan bebas.
'Well, ini tidak buruk juga,' toh ia bisa mendapat ruangan yang tenang di salah satu barak dewan keamanan tanpa harus memikirkan apa yang akan ia makan untuk nanti malam. Setidaknya Harren masih bisa berpikir jernih dengan mengirimkannya sebagai utusan dari Liveare; dan tidak menyebutkan bahwa ia sang tuan puteri sedikitpun dalam surat resminya.
Hanya satu yang membuat Levanthine merasa tidak senang, eksistensi prajurit yang benar-benar 24/7 berada di dekatnya. Harren boleh saja memalsukan identitasnya, namun ia tetap benar-benar dengan extra meminta para prajurit untuk mengawasinya.
Leva menyelesaikan sisa harinya dengan berkeliling dewan keamanan, bertanya ke sana kemari mengenai permusuhan dua kaum hingga tentang keluarga bangsawan Monosoaria. Beberapa kali ia sempat menyelipkan bertanya mengenai Sam, namun sepertinya ia tidak akan mendapat apapun, dan tidak satupun yang merasa melihat Sam. Well, sejauh ini Leva sungguh tidak menghasilkan apa-apa.
Hari demi hari berlalu, dan yang Leva bisa lakukan sekali lagi hanyalah berkeliling barak tanpa ada kemajuan yang berarti; dan ini sungguh bukan hal yang seharusnya Leva kerjakan sekarang. Apa gunanya ia berada di sini jika ia tidak bisa melakukan apapun?
"Aku tidak bisa terus-terusan seperti ini." Gadis itu menarik kedua kakinya turun dari ranjang, mengambil karet untuk rambutnya dan memasukkan beberapa barang ke keranjang mandi miliknya. Sudut matanya menangkap choker berbandul kupu-kupu yang sudah cukup lama tidak lagi ia kenakan–namun masih tetap ia bawa di saku setiap saat–dan meraihnya dengan cepat sembari berjalan keluar dari ruang pribadinya.
"O-Ojou-sama, tapi untuk j-jam segini masih banyak prajurit di bilik mandi." Leva menahan dirinya untuk tidak tersenyum, tentu saja ia tahu itu. Ia mengeratkan pelukannya pada keranjang mandi di genggaman, dan menjawab. "Aku tidak akan bisa mengikuti jadwalku jika aku harus terus menunggu mereka selesai menggunakan bilik mandi. Kau sendiri tahu 'kan selama ini aku sudah sabar menunggu. Ya? Bisa 'kan?"
Leva hampir memuntahkan isi perutnya. Sungguh ia tidak pernah membayangkan dirinya harus bersikap seperti gadis muda bodoh yang naif dan memajukan bibir sembari mengedipkan matanya agar orang lain mau mendengarkannya.
Dan ya, inilah yang kini sedang ia lakukan. Dan ya, sekali lagi, tentu saja semua ini sudah ia perhitungkan.
"O-Ojou-sama…" pemuda di hadapannya menggelengkan kepala, padahal ia mengira tugas ini akan menjadi perkara mudah. Toh ia hanya diminta menemani dan menjaga seorang gadis yang merupakan utusan dari Liveare untuk inspeksi pasar perikanan.
Ia menghela nafas, tentu saja tidak ada pekerjaan yang mudah. Dan ia menuruti permintaan bocah di hadapannya dengan bahu tertekuk lemas.
Keduanya berjalan keluar dari barak, melewati bilik mandi prajurit dan berjalan lurus terus menuju pelabuhan. Leva sudah memikirkan ini. Hampir setiap hari, setiap paginya, sarapan akan diantarkan ke dalam kamar Levanthine sembari ia harus menunggu bilik mandi selesai dipakai oleh prajurit yang baru saja menyelesaikan porsi latihan pagi. Beberapa hari ke belakang Leva banyak bertanya dan berkeliling, dan meskipun terlihat tidak memiliki hasil yang konkrit, ia jadi mengetahui banyak detik kecil tentang tempat ini.
Seperti rumor toko hiburan malam yang sebenarnya milik seorang Count, atau gossip para wanita kalangan aristokrat yang biasa ikut perjamuan teh dengan sang Duchess, hingga hal remeh seperti pembicaraan mistis mengenai beberapa orang yang tidak pernah keluar dari ruang mandi umum pelabuhan.
Dan tentu saja itulah yang diincar Levanthine Wisteria saat ini. Leva tidak pernah percaya hal mistis, toh semua pasti ada penjelasan ilmiahnya. Beberapa orang tidak pernah keluar dari ruang mandi umum? Terdengar seperti ada pintu keluar yang lain, bukan?
Gadis itu melempar tatapan tajam pada sang prajurit di belakangnya, mengisyaratkan bahwa hanya ia yang boleh masuk dan awas saja jika pemuda itu berani-beraninya mengikuti Leva hingga ke dalam bilik mandi; yang di balas dengan penghormatan setengah malas dari yang bersangkutan.
.
.
.
Ada hal-hal yang tidak seharusnya diketahui, terutama oleh orang yang jauh tidak ada hubungannya sama sekali dengan daerah ini. Monosoaria adalah daratan yang kaku, kolot, dan penuh intrik. Seperti halnya tidak adanya pintu keluar lain dari bilik mandi pelabuhan, namun sang gadis tetap bisa mencari celah untuk kabur dari pengawalnya dan pergi menuju salah satu daerah paling terlarang dalam hidupnya–tanpa kawalan siapapun–hanya karena ia sudah hampir putus asa. Selicik itu pula Monosoaria dalam menutupi dan berlari dari masalah yang mereka timbulkan.
BUAGH–
Levanthine Wisteria benar-benar menahan nafasnya, ia bahkan tidak lagi bisa merasakan bulir yang jatuh dari kedua matanya, dan dadanya berdetak tidak karuan. Bibirnya bergetar karena adrenalin yang membuncah dalam diri, sebelum akal sehat akhirnya menarik kesadaran kembali dalam dirinya dan berlari menerjang bocah dengan iris tembaga di hadapannya.
"Obi! Cukup!"
Wajah pemuda itu merah padam karena amarah, dan ia bisa merasakan seluruh tubuhnya memanas akan pemikiran mengenai hal-hal yang mungkin saja sudah terjadi jika ia tidak berada di sini dan menempeleng kepala pria tua busuk bau tanah itu. Namun ketika kedua tangan yang bergetar itu menerjangnya tanpa ragu, sang pemuda kembali mengumpulkan kewarasannya, merasakan setiap inci tubuh ringkih itu menegang karena hal-hal yang baru saja terjadi.
Tanpa ragu, Obi mengangkat tubuh mungil Leva yang masih berbalut pakaian tidak wajar, memapahnya pada pundak kanan seakan gadis itu hanyalah seberat karung beras sembari menarik selimut tebal di sudut ruangan dan dengan cepat melompat turun keluar dari bangunan laknat itu melalui jendela besar yang ia lihat saat ia memasuki ruangan ini.
PLUK–
Semua terjadi begitu cepat, hingga Leva merasa otaknya tidak mampu memproses semua ini.
Obi dengan cepat menurunkan tubuh Leva dari rengkuhannya, membalutkan selimut tebal itu melingkari tubuh sang gadis sembari menatapnya dengan ekspresi yang tidak pernah Leva lihat sebelumnya. "Dasar perempuan gila."
Leva tidak paham, ini apa? Apa yang ia lakukan di sini? Bagaimana bisa ia bertemu dengannya di sini? Di tempat ini?
"A-Apa–"
"Harusnya aku yang bertanya padamu," nadanya begitu dingin, walaupun begitu tidak sedikitpun Leva merasa ketakutan, "Apa yang kau lakukan di sini?"
Leva hanya pernah sekali mendengar nada bicara Obi seperti ini, hanya satu kali itu, dan saat itu pun Obi hanya bisa tenang ketika Shirayuki yang berbicara dengannya. "Aku punya urusanku sendiri." Ya, benar. Ini urusan Leva, bukan yang lain. Semakin sedikit yang tahu, semakin baik untuknya.
Gila. Obi bisa gila mendengarnya. Ini bukan kali pertama gadis itu bersikap tidak masuk akal dan keras kepala, tapi kali ini sungguh Obi merasa kepalanya akan pecah mendengarnya berbicara seperti itu. Ia mencoba menenggelamkan rasa marah jauh ke dalam dirinya, menghela nafas sebagai bentuk usahanya.
Namun, melihat wajah gadis itu saja yang berantakan dan menggigil membuat amarah yang ia pendam pada sang bajingan tua itu kembali naik ke permukaan.
"Sialan."
DEGG–
Iris matanya membesar, pemuda itu membalikkan tubuhnya; memunggungi sang gadis. Levanthine memeluk tubuhnya yang kaku dengan selimut beludru itu, namun bukan hangat yang ia rasa, sama sekali bukan hangat. 'Obi marah … padaku.'
Ia tidak sadar ketika tangannya yang basah karena keringat kini meraih bagian belakang baju pemuda di hadapannya. Dadanya bergemuruh terlalu cepat untuk dia menyadari bahwa badannya menuruti kata hatinya dan bersandar pada punggungnya yang tegap. Dan ia menangis.
Levanthine, yang selama ini selalu bersikap stoic, kini menangis dengan sangat keras–dan kedua tangannya mencekal erat punggung itu.
"A-Aku … sangat takut…."
Ini menyakitkan. Obi tidak suka rasa sesak yang kini ia rasakan di dadanya, ia tidak suka mendengar tangis gadis itu. Ia tidak suka melihatnya seperti ini. Ia tidak suka melihat pria sampah itu seenaknya menyentuh kulit porselennya. Ia tidak suka … gadis itu terluka. Karena semua itu menyakitinya.
Hatinya dipenuhi rasa posesif dan kecemburuan yang nyata. Obi tidak tahan lagi.
Ia menggigit bibirnya dan berbalik, dengan cepat menarik gadis itu dalam satu dekapan hangat. Tangannya bergetar, seperti tubuh gadis itu yang bergeming tak keruan, meluapkan semuanya pada dada bidang sang pemuda.
"Maafkan aku, Leva, maafkan aku,"
Dekapannya semakin dan semakin erat, pipi bergesekan dengan surai merah muda pucat sang gadis dan tak henti-hentinya kata maaf keluar dari bibir sang pemuda yang tadinya mengeluarkan cercaan luar biasa.
Ia marah. Ia sangat marah. Tapi lebih dari apapun ia tidak bisa melihat Levanthine terluka lebih dari ini. Rengkuhannya tidak melonggar sama sekali, tidak sedikitpun. Tidak apa-apa jika Obi yang merasakan rasa sesak ini asal gadis itu tidak, asal Leva tersenyum lagi, asal ia tidak harus merasa jatuh lagi dan lagi.
Ahh … aku lemah, jika itu untuknya.
.
.
.
Malam itu langit sedang cerah. Tidak ada awan yang menghalangi jutaan bintang melirik hening pada daratan. Tidak ada asap dari kapal yang menutupi jalan rasi bintang. Dan pemuda itu tak henti-hentinya mengusap punggung tangan gadis itu seakan jika Obi tidak melakukannya maka Leva akan menangis sekali lagi.
Ini … gila. Kau sudah gila, Levanthine Wisteria. Apa-apaan dengan emosimu yang tumpah sia-sia itu?!
"O-Obi…." Suaranya terdengar parau, dan ia bahkan tidak bisa memanggil nama pemuda itu tanpa tergagap. Menangis sekeras dan selama itu tentu saja memiliki efek yang buruk pada pita suara sang gadis.
Pemuda itu berhenti. Berbalik tanpa melepas genggaman itu. "Hanya untuk kali ini, Hime-sama, anda benar-benar keterlaluan."
Leva tidak tahu bahwa Obi bisa mengeluarkan eskpresi seperti itu. Dimana ia menolak bertatap langsung dengan kedua netra Leva dan memilih untuk melihat ke bawah. Seakan ialah yang terluka….
"Kumohon," ia bersua, "jangan pernah lakukan hal seperti ini lagi. Jangan pernah pergi ke tempat yang berbahaya sendirian, tanpa aku."
"Y-Ya."
'Ah, harusnya aku tahu…' Jantungnya masih berdegup dengan kencang, namun kini, ia tahu apa yang ingin ia lakukan, ia tahu apa yang tubuh dan jiwanya butuhkan. Ia hanya butuh Obi. Hanya Obi.
"Obi," genggamannya pada pemuda itu mengerat, "Maukah kau mendengarkanku?"
Ya. Benar sekali. Selama ini Leva hanya ingin didengar, ia hanya ingin suaranya mencapai seseorang, ia hanya ingin menjadi eksistensi yang dianggap, bukan hanya buih kosong bertajuk 'tuan puteri' seakan tanpa embel-embel itu ia bukanlah siapa-siapa. Ia hanya dan akan selalu ingin dilihat sebagai Levanthine. Karena itulah, Obi selalu akan menjadi eksistensi spesial di mata gadis itu. Karena sejak awal, sejak pertemuan pertama mereka, Obi tidak pernah melihatnya sebagai sang tuan puteri. Leva di mata Obi, sejak awal hanyalah gadis yang bernyanyi di atas tumpukan salju di sudut kota Wistant.
Dan yang Leva tahu selanjutnya adalah bagaimana Obi membawanya ke dalam ruangan hangat dengan susu coklat yang membuatnya tenang, dan bagaimana Leva menceritakan semuanya. Semuanya. Mengenai surat itu. Mengenai bagaimana ia pergi dari Wistant, hingga kini mampu bertatap dengan iris tembaga pemuda luar biasa yang mau mendengarkannya dengan tersenyum, dan tanpa menyela.
Satu hal yang Leva tidak tahu adalah apa yang ada di dalam kepala pemuda itu di sepanjang ceritanya. 'Ha Ha Ha. Samuel sialan. Sekarang aku benar-benar ingin mencincangnya.'
.
.
.
To be continued
