Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"
.
.
.
Please Enjoy to Read!
.
.
.
CHAPTER 26 – BAUQUET
Author's POV
"Hoi, Obi!"
Obi menoleh, mendapati seniornya, Mitsuhide, memanggilnya dari arena pelatihan. Sepertinya ia baru saja selesai membantu pelatihan prajurit muda, terlihat dari lengan bajunya yang digelung ke atas dan handuk yang terlingkar di bagian belakang lehernya.
"Ada apa, Mitsuhide-san? Ingin coba bertanding denganku?"
"Haha, aku harus menolak tawaranmu kali ini." Mitsuhide terlalu lelah untuk menanggapi bocah itu dan gaya bertarungnya yang terlalu abstrak. Yah bukannya ia merendah, namun Mitsuhide tidak percaya diri bisa menang sparring dengan Obi jika tubuhnya tidak dalam kondisi prima-seratus-persen.
"Kudengar kau akan berangkat ke Monosoaria besok," tangan kanannya meraih handuk di pundak dan menyeka keringat yang kembali membasahi wajahnya, "Berhati-hatilah, Monosoaria bukan tempat yang bagus untuk main-main."
"Ah…ya…"
.
.
Realm for The Hearts
Story & OC's Nakashima Aya
Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata
[There's no profit we gain from this fanfiction]
Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.
Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC
.
.
Hari-hari berikutnya berjalan dengan tanpa masalah, kecuali dengan fakta bahwa satu minggu sudah berlalu dan Zen masih belum memberi kabar apapun kepada Obi. Dan bagaimana Obi tidak memiliki petunjuk apapun mengenai masalah yang kini mereka hadapi. Well, apapun itu, jauh di lubuk hatinya, Obi merasa lega ketika menyadari Leva ada di sini karena jujur saja, ia bukanlah tipikal orang yang menggunakan otak. Dan keberadaan Leva di sini seakan oasis pada dunia Obi yang terputus hubungan dengan tuannya.
"Kita tidak bisa terus-terusan seperti ini," Leva menghembuskan nafas, namun walaupun begitu ia tidak bisa menahan diri untuk tidak memakan hidangan yang ada di hadapannya saat ini; dan tentu saja Obi menyadari hal itu.
"Hime-sama, sebaiknya anda tidak terlalu menggunakan otak anda ketika sedang menyantap makanan." Katanya dengan nada mengejek ala Obi yang tentu saja selalu sukses membuat Leva memutar bola matanya.
Satu hal yang menjadi lebih baik semenjak Obi ada di sini adalah bagaimana Leva tidak harus diikuti lagi oleh para prajurit pelabuhan itu, toh sekarang Obi benar-benar 24/7 ada di sebelahnya seakan Leva akan kabur jika barang satu detik saja Obi tidak melihat surai pucat itu ada dalam jangkau pandangnya. Namun kabar buruknya, Obi mengatakan pada semua orang bahwa Leva adalah Leva, sang Tuan Puteri, sang sepupu pangeran, sang Levanthine Wisteria.
Obi benar-benar murka saat ia tahu bahwa seharusnya Leva berada dalam pengawasan penjaga pelabuhan–namun berhasil lolos dari pantauan mereka dan pergi berkelanan dengan sendirinya–lalu mengatakan dengan jelas pada mereka bahwa dirinya, sang pembawa pesan pangeran kedua akan mengambil alih tugas menjaga tuan puteri dengan sendirinya.
"Dasar tukang pamer."
Obi berkedip. "Ada apa, Hime-sama? Anda terlihat sangat kesal."
"Ha Ha, terserah kau saja." Leva menolak bertatap mata dengan sang pemilik surai gelap, dan memilih untuk menaruh fokus pada makanan di hadapannya.
Namun, Obi tersenyum.
Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Leva untuk menyelesaikan makanannya dan mengembalikan fokus pada sang lelaki. Dan ketika ia menatap penuh pada netra tembaga itu, membuat sang gadis hampir saja terjerembab karena rasa terkejut yang tidak ia kira–ketika seseorang menyebut namanya dengan nada yang tidak tenang.
"H-HIME-SAMA!"
"Y-Y-Ya?" Ketika Leva menoleh, pemuda dengan seragam penjaga pelabuhan terlihat terengah-engah dengan kedua tangan menopang beban tubuhnya tepat di paha.
"S-Seseorang dari kastil mencari anda, mereka meminta kehadiran anda di perjamuan teh dengan sang Duchess!"
.
.
.
Duchess Rosaline Monosoaria. Leva jarang mendengar tentangnya, selain kenyataan bahwa wanita itu adalah salah satu keturunan langsung dari sisa Kerajaan Armadea di seberang benua. Kerajaan kecil yang musnah akibat perebutan tahta dan meninggalkan banyak penerus di berbagai belahan dunia, kini bahkan keberadaan berapa banyak keturunan langsung dari kerajaan itu tidak bisa dipastikan.
Tidak ada yang tahu bagaimana Duke Monosoaria bisa bertemu dengan sang duchess, namun melihat bagaimana wanita itu selalu menolak untuk menghadiri acara-acara resmi kerajaan dan memilih untuk terus berada di belakang suaminya membuat Leva yakin bahwa wanita itu bukan sekedar putri buangan. Dia menolak terlihat di antara publik karena satu alasan, dan memanggil Leva yang memiliki hubungan kuat dengan anggota imperial karena alasan lain. Yang pasti, Levanthine tidak boleh lengah.
Ruangan itu dipenuhi aroma mawar–bukannya Leva tidak suka–bahkan hingga pada taraf yang cukup memabukkan. Gadis itu tidak tahu lagi apakah ini karena rasa tidak nyaman dalam dirinya atau karna bau serbuk mawar yang terlalu berlebih itu yang membuatnya tidak mampu menatap pada apapun selain kedua punggung tangannya sendiri–yang kini dengan lemas tertumpuk di atas meja.
Ia tidak mengira bahwa keberadaannya di Monosoaria akan secepat ini diketahui pihak berwajib. Oh, ini semua pasti karena Obi dan mulut embernya yang kurang ajar itu. Gadis itu bahkan harus mengenakan gaun panjang–yang ia cari secara dadakan di pasar bersama Obi–karena ia tidak membawa pakaian resmi kerajaan kemari. Ia bahkan tidak sempat menata rambutnya dengan benar dan hanya menyematkan satu buah hiasan rambut di bagian kiri kepalanya.
Namun kini, ia benar-benar sendiri. Tanpa Obi. Tanpa Zen. Tanpa … Sam. Ia berada di medan perang dimana ia diharuskan untuk berdiri dengan kedua kakinya sendiri, dan kenyataan itu cukup untuk membuat degupan jantung Leva lebih cepat dari biasanya. Ia bahkan bisa mengingat rupa Obi ketika pemuda itu meninju keras pintu gerbang kastil karena hanya dirinya yang boleh masuk; Obi mau tidak mau harus menunggu di luar gerbang dengan wajah masam.
KLAKK–
"Maaf sudah membuat kau menunggu, Tuan Puteri Levanthine … Wisteria." Rahangnya mengeras. Ia belum melihat sosok di balik nada suara itu namun Leva sudah tahu bahwa wanita ini harus diwaspadai.
Wah, ia bahkan tidak ragu untuk berbicara secara kasual padaku. Selama ini, hanya beberapa orang yang benar-benar berbicara dengan sangat lugas tanpa honorifik pada Leva, termasuk Zen dan Obi–yang mana ia maklumi dilihat dari kali pertama dia dan sang pemuda bertemu bukanlah di dunia sosial kebangsawanan. Namun, baru kali ini Leva mendapati seseorang yang tidak dekat dengannya dan bertemu di meja politik dengan tanpa basa-basi berbicara dengannya secara kasual.
Well, ini bukan masalah besar sih, menilik dari status sosial mereka yang memang sedikit pelik. Leva sangat memahami itu. Posisinya di sini bukanlah yang paling menguntungkan.
Dalam dunia politik posisi Grand Duke/Duchess berada satu tingkat lebih tinggi daripada posisi Leva yang hanya seorang Princess, bukan Crown Princess. Keadaannya akan berbeda jika ia memang adalah Puteri Mahkota, namun Leva yang saat ini tidak memiliki kuasa yang cukup besar, sama dengan kasus yang dialami Zen dan alasan mengapa pangeran muda itu tidak bisa berbuat banyak walaupun ini merupakan daerah di bawah pengawasannya.
Ya, di bawah pengawasan, bukan di bawah kekuasaan. Itu artinya Zen tidak punya hak untuk urusan perpolitikan Grand Duchy jika sang Duke sendiri tidak berkenan.
Dan kini, Leva harus berhadapan, berdua, dengan pasangan dari penguasa daratan Monosoaria.
Leva berdiri, membungkuk singkat sembari menarik bagian samping gaunnya. "Salam, Duchess Monosoaria. Semoga angin baik Clarines selalu berhembus pada anda." Rosaline mengangguk, masih mengenakan senyum meja politik pada bibirnya, dan mengisyaratkan pada Levanthine agar gadis itu kembali duduk.
"Maaf karena anda harus menyiapkan semua hal ini hanya karena kedatangan saya yang begitu tiba-tiba." Basa-basi, haha. Secangkir teh yang sekali lagi, beraroma mawar, dituangkan di hadapan Leva; seakan mengatakan bahwa 'ya, kau memang merepotkanku.'
"Tentu saja tidak, Tuan Puteri. Seharusnya aku yang meminta maaf karena tidak menyediakan pelayanan yang baik untukmu padahal kau sudah jauh menyeberang lautan dari daratan utama kemari."
Lagi. Ia benar-benar berbicara tanpa hormat sama sekali. Leva tersenyum, mengangguk, dan menenggak teh anehnya itu.
Rosaline adalah seorang wanita muda dengan usia akhir kepala dua, namun ia tetap terlihat begitu anggun dan indah seakan usianya barulah belasan tahun. Terutama dengan bagaimana ia membiarkan untaian emas miliknya tanpa noda dan pilihan gaunnya yang tidak terlihat tua dan menor–seperti pilihan gaun Yang Mulia Ratu yang menurut Leva begitu norak–yang tidak Leva sukai dari wanita ini hanyalah tarikan senyumnya yang begitu mengganggunya. Senyum yang seakan mengatakan bahwa semua hal ada di genggamannya.
Ini … akan menjadi jamuan yang melelahkan.
"Jadi, apa yang dilakukan seorang Tuan Puteri satu-satunya Clarines di Grand Duchy?" Rosaline memajukan tubuhnya, menopang dagu dengan tangan kiri dan memutarkan pengaduk perak pada cangkir teh dengan tangan satunya. "Bukan hal yang wajar melihatmu melenggang seenaknya di pelabuhan, nona muda."
Mengerikan, wanita ini mengerikan. "Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan, Duchess."
Tentu saja, Leva tidak datang kemari tanpa persiapan. Dia tidak sebodoh itu untuk tidak memikirkan apa yang harus ia lakukan jika saja Liveare tidak mau membantunya kemari–yang ternyata berkebalikan dengan itu mereka malah dengan senang hati menyeberangkan Leva bahkan memberi beberapa penjaga di pelabuhan–singkatnya, ia tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.
"Ada berita dari Liveare, kalau pasokan garam dari Monosoaria mulai berkurang setiap pengirimannya." Tangan kanannya mengambil cookies di meja, memakannya dalam satu lahapan dan mencoba untuk menatap lurus pada netra semerah darah di seberang mejanya. "Aku membawa berkasnya di kediaman penjaga pelabuhan jika anda berkenan untuk melihatnya."
Leva tidak suka senyum itu, sangat tidak suka. Namun Rosaline tidak kunjung mengurangi lengkungan di wajahnya. "Tentu saja. Aku tahu kau tidak akan kemari tanpa alasan."
Degupan jantung Leva tidak kunjung memelan, bahkan semakin cepat jika ia bisa merasakannya–namun kini Leva merasa ia sudah mati rasa. "Aku akan meminta pelayanku membawakan laporan lengkapnya ke barak prajurit pelabuhan nanti. Sekarang aku harus pergi dulu, Leva-hime, silahkan habiskan dulu hidangannya sebelum kembali."
Wanita itu menarik dirinya dari meja minum teh, dengan perlahan berjalan anggun menuju pintu kayu di ujung ruangan. Namun sejenak, ia behenti, berbalik dengan tiba-tiba hingga membuat surainya yang ikal tersibak cepat. "Aku bisa menyiapkan ruangan yang lebih baik di sini, Tuan Puteri. Bagaimana?"
"O-Oh tidak perlu, Duchess." Leva berdiri dengan terburu-buru, ia tidak bisa berada di sini. "Akan lebih baik jika saya lebih dekat dengan subjek permasalahan."
Berada di dekat wanita ini selama beberapa menit saja sudah membuatnya sesak, apalagi jika harus menghabiskan hari-harinya selama di Monosoaria di satu atap yang sama?! Dan lagipula bagaimana dengan Obi jika ia berada di sini?
Wanita itu mengangguk, tidak menjawab, dan meneruskan perjalanannya. Dan sang puteri terduduk lemas dengan keringat di sekujur tubuhnya.
Ini lebih melelahkan daripada latihan panahan dengan Zen–
.
.
.
Obi melirik nona muda di hadapannya yang kini terlihat sangat lesu, seakan seluruh dunia telah menjadi musuhnya–dengan dahi mencium dinding kastil.
"Hime-sama."
"Diam, Obi." Obi langsung menutup mulutnya, dan berdiri tegak. Kendati Leva mengatakan demikian, ia sebenarnya ingin Obi menghiburnya. "Ini pertama kali, aku benar-benar ketakukan beradu mulut dengan seseorang."
Oh … Obi mengerti. Nona mudanya ini baru saja melalui hari yang berat, yang mungkin tidak pernah ia alami sebelumnya, terutama dengan bagaimana ia selalu terlalu dilindungi baik oleh kedua kakaknya maupun ibu angkatnya (sang permaisuri). Obi tidak bisa memungkiri kalau dibalik rasa lelah yang kini terlihat di pundak gadis itu, ia terlihat begitu … manis? Bagaimana bibirnya yang ia lipat ke dalam, air mukanya yang begitu suram, entah kenapa semua yang terlukis di wajah gadis itu selalu terlihat menyenangkan di benak Obi.
Semua yang ada padanya begitu indah.
"O-Obi! Kau mendengarkanku kan?!"
"Iya iya, Hime-sama." Sekali lagi, ketika celotehan keluar dari bibir gadis itu, yang Obi perhatikan bukan hanya segala yang ia katakan, melainkan semua yang ia lakukan ketika gadis itu bercerita padanya. Dan Obi tertawa.
"Haha, aku jadi penasaran seperti apa orang yang bisa membuat tuan puteriku begitu kesal seperti ini." Lagi. Leva tidak bisa memungkiri setiap ia mendengar Obi mengatakan hal-hal mengenai Leva dengan tanda kepemilikan seperti itu hanya akan membuat sang gadis semakin tidak waras. Degupan jantungnya yang ia maksud, semakin gila.
Dengan dahi masih tertunduk dan menempel pada badan luar kastil, netranya yang sebening kaca melirik singkat pada sosok penjaga di sampingnya–yang kini menyilangkan tangan di depan dada dan berusaha menyamakan posisi dengan Leva, menempel tembok, juga tersenyum.
"Urgh–" Leva kembali membenamkan wajahnya, menolak melirik sedikitpun pada eksistensi di sebelah kanan tubuhnya. Ia bisa gila jika Obi terus-menerus menatapnya seperti itu. Padahal Leva sudah sangat menyadari bahwa ia tidak bisa terus seperti ini, ini adalah perasaan yang tidak seharusnya ia rasakan, yang tidak seharusnya terus ia pikirkan.
"Yosh, karena pekerjaan anda sudah selesai di sini, sekarang saatnya Hime-sama ikut denganku!" Obi menelusupkan telapak tangannya di antara dinding kastil dan dahi Leva yang kini memerah–yang akan memalukan jika Leva bisa melihatnya–mendorong perlahan puncak kepala Leva agar gadis itu tidak lagi menopang beban tubuhnya pada dinding sembari mencekal pergelangan tangan sang gadis dengan tangannya yang lain.
Pemuda itu berhenti sejenak, tidak serta-merta menarik tubuhnya. Dahinya berkerut dan dengan cepat jemarinya merapikan poni Leva untuk menutupi bagian kemerahan pada dahi gadis itu. "Sekarang terlihat lebih baik." Dan Leva tidak tahu lagi sudah seperti apa ekspresinya sekarang. Yang ia tahu hanyalah bagaimana seluruh bagian tubuhnya yang disentuh pemuda itu terasa begitu panas.
Dasar gila…
Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Obi untuk menuntun sang puteri menuju gemerlap distrik perbelanjaan Monosoaria, melewati jajaran toko dengan pernak-pernik berkilau dan stan makanan khas daerah yang tidak pernah Leva perhatikan selama ini. Well, selama ia berada di Monosoaria ia hanya berfokus pada apa yang seharusnya ia lakukan. Dan seperti biasa, Obi selalu menariknya ke sana-kemari sesuka hatinya, membuat Leva menjauh dari tujuan awalnya.
Namun, Leva tidak membencinya. Tidak pernah sekalipun ia membenci cara Obi membawanya masuk kepada hal-hal yang aneh dan tidak Leva suka. Tidak pernah.
"Obi, lihat!" Langkah kecilnya terhenti ketika gadis itu menunjuk satu objek di balik kaca toko, sebuah gantungan berbentuh bulat dengan rajutan dan bulu-bulu menggantung dari bagian utamanya. "Aah … jadi ini yang namanya dreamcatcher?"
Leva berhenti sejenak, lalu kembali mengoceh. "Kau tahu tidak kalau katanya jika memasang benda ini di atas kepalamu ketika tidur, tidak ada mimpi buruk yang akan datang. Tapi … jika dia diberi nama penangkap mimpi, bukankan harusnya dia tidak pilih-pilih dan memakan semua mimpi?"
Obi tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum. Obi selalu suka melihat kerlingan pada iris kaca gadis itu ketika ia melihat sesuatu yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, bagaimana gadis itu bisa melihat keindahan pada segala hal di dunia, bahkan pada hal yang tidak terlihat seperti musik. "Penjaga toko bisa mengira kau akan mencuri jika kau terus menatapnya seperti itu, Leva."
Leva mengerucutkan bibirnya. "Kau berbicara informal lagi padaku." Ia jadi teringat kejadian di kastil tadi dan hal itu membuat hatinya kembali terasa campur aduk.
"Hahaha, apa anda lebih suka saya memanggil tuan puteri-tuan puteri di sini dan membuat anda jadi bahan tontonan?" Obi tertawa, helaan nafas keluar dari partnernya. Dan Leva akhirnya setuju bahwa lebih baik Obi berlaku biasa daripada memperlihatkan bahwa puteri satu-satunya Clarines ada di sini.
SREKK–
Menoleh, pemuda itu memicing, melihat bayangan ganjil pada persimpangan kecil di balik tubuhnya. Secara insting, pemuda itu langsung mendekatkan tubuhnya pada Leva yang masih mengagumi benda bernama dreamcatcher yang tergantung di kaca itu. "Hime-sama, ada yang–"
Leva memotong, "Mengikuti kita kan? Aku menyadarinya sejak kita keluar dari areal kastil tadi."
Obi berkedip, sekali. Dua kali. Leva benar-benar tidak pernah berhenti membuatnya terkejut. Kecakapannya dalam menyadari detil-detil kecil di sekitar selalu membuat Obi merasa ia tidak akan bisa menang dari gadis itu. "Jadi apa yang harus kita lakukan?"
"Biarkan saja. Lagipula kau pasti akan melindungiku, kan?" Leva mendongak, tersenyum hingga matanya terlihat sangat tipis, seakan mengatakan pada Obi bahwa 'ini-tugasmu-dan-lakukan-dengan-benar.'
Obi mengangkat kedua tangannya, menyerah. Keduanya melanjutkan perjalanan seakan tidak ada apapun yang mengganggu, walaupun sebenarnya Leva agak penasaran siapa dan mengapa ada yang mengekor mereka berdua. Tapi toh setidakya sedari tadi hingga kini ia tidak melakukan apapun, hanya menjaga jarak aman agar Leva dan Obi tidak menyadari keberadaannya–yang tentu saja salah–Leva sangat-sangat menyadari keberadaannya.
Leva begitu asik dengan pikirannya sendiri ketika ia menyadari bahwa ia tidak lagi mendengar langkahnya, tidak ada langkah pemuda itu yang selalu mengimbanginya di balik tubuh gadis itu. Ia menoleh, dan senyum jenaka itu tidak ada di sana.
"O-Obi? Obi?!"
.
.
.
To be continued
.
.
.
Haloo!
Mau menyapa reader sekalian, apakah masih ada yg baca ini? Wkwk
