Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"

.

.

.

Please Enjoy to Read!

.

.

.

CHAPTER 27 – A COIN OF TWO

Author's POV

"Kau sudah siap, Zen?"

Pemuda itu mendongak, mendapati kakaknya–yang sekarang sudah menjabat sebagai Raja–kini berdiri dengan punggung menempel di badan pintu ruang kerja sang pangeran. Matanya terpejam, seperti yang selalu ia lakukan, sebelum ia menarik dirinya dan berjalan mendekati sang adik.

"Ada hal lain yang ingin anda sampaikan padaku, aniue?" Zen mendengus, membiarkan Izana kini meneliti berkas-berkas yang ada di meja kerjanya. Ia mungkin tidak seangkuh Leva, namun Zen tetap tidak suka jika pekerjaannya dikritik.

"Jangan lupa, ingat apa yang harus kau lakukan pertama kali ketika sampai di sana." Izana bersua, tangan dan matanya tidak berhenti bekerja. "Tidak ada yang menjamin apa yang akan terjadi walaupun kau pergi. Terutama dengan kemungkinan bahwa adik kita tersayang juga mungkin berada di sana."

Zen menghela nafas. Benar. Semua ini karena surat yang dikirimkan Aira–pelayan pribadi Levanthine–tempo hari. Apa lagi yang dilakukan gadis ceroboh itu? Zen benar-benar tidak habis pikir.

.

.

Realm for The Hearts

Story & OC'sNakashima Aya

Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata

[There's no profit we gain from this fanfiction]

Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.

Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC

.

.

"O-Obi?" Leva membalik tubuhnya dengan cepat, berbalik lagi, dan lagi. Kedua netra keabuannya menyiratkan kecemasan kala ia menyorot cepat pada tiap-tiap sudut keramaian.

"Obi?!" Ia hampir saja histeris. Kedua kakinya terasa berat walaupun kini ia begitu ingin berlari mencari pemuda itu. Apa-apaan ini? Leva pikir tidak akan terjadi apa-apa. Ia merasa begitu naif, harusnya tadi mereka langsung bertindak saja.

Bagaimana jika ternyata Obi disergap? Bagaimana jika itu ternyata orang-orang dari salah satu faksi? Bagaimana jika mereka tahu Obi kemari untuk menyelidiki perkara kedua faksi? Bagaimana jika–

"Hime-sama!" Suara itu! "Tikusnya sudah tertangkap!"

Ketika Obi kembali dengan bocah berpakaian formal di genggamannya, ia bisa melihat wajah Leva yang memerah dan tubuhnya yang bergetar hebat, dan kedua bola mata pemuda itu terbelalak akan kesadaran bahwa ia baru saja meninggalkan Leva begitu saja.

'Bibirnya bergetar, dan ia berusaha keras agar air mata tidak keluar.' Pemuda itu membelalakkan matanya, dengan cepat ia melempar pergelangan tangan orang yang ia cekal dan menyentuh pipi Levanthine dengan kedua tangan. "A-Ah-Him-Leva jangan menangis!"

"Dasar bodo–gil–ARGH!" Leva menendang Obi tepat pada tulang kering, membuat sang pemuda berlutut karena rasa sakit. "Lagipula aku tidak sedang menangis. Huh."

Dan faktanya, memang Leva tidak menangis. Ini lebih kepada luapan emosi rasa takut dan keterkejutan serta amarahnya pada sang abdi pangeran kedua. Ia berkacak pinggang, sebelum berbalik dan menatap pemuda dengan surai pirang kuncir kuda yang sedari tadi mengikuti mereka. "Dan kau, apa maumu?"

Ia terlihat seperti kelinci di hadapan serigala. Tubuhnya bergetar dan maniknya menolak keras bertemu pandang dengan iris kaca tuan puteri Levanthine. Kendati ia mengenakan pakaian formal namun tidak ada wibawa bangsawan sedikitpun di wajahnya kini, yang ada hanya kedua kaki yang bergetar hebat dan ekspresi penuh ketakutan seakan ia sudah masuk ke dalam kandang singa.

"H-Hime-sama, s-sakit."

'S-Siapa dia?! Apa-apaan ini? Apakah tuan puteri Levanthine Wisteria yang kudengar lemah lembut itu ternyata adalah seorang tiran?!' Semakin lama ia menatap tubuh kokoh gadis itu, semakin ketakutan mengambil alih dirinya. Tapi toh ia sudah tertangkap, maka setidaknya ia akan mengatakan apa yang ingin ia katakan pada gadis itu.

"S-Selamatkan hamba!" Ia berlutut, kedua tangan di atas kepala, dan wajahnya separuh akan menangis.

"Hah?"

.

.

.

Obi bersiul, menyembunyikan rasa sakitnya dengan terlihat seakan tidak ada apa-apa. Sialan, harusnya Obi tahu jika gadis itu punya kebiasaan buruk dengan kakinya. Ini bukan pertama kalinya Obi merasakan kekejaman kaki sang puteri, dan ia tidak juga belajar dari pengalaman.

Kini mereka bertiga berdiri menghimpit pada jalan kecil yang tertutup, jalan buntu yang gelap dan sepi, pas untuk melakukan transaksi illegal. Sayangnya, apapun yang mereka lakukan tentu saja tidak akan kontra dengan legalitas kerajaan.

"Jadi?"

Leva berkacak pinggang, matanya terpejam tanda ia mulai tidak sabar. Sejak dulu, gadis ini memang memiliki kecenderungan tidak sabar dengan orang-orang yang berbicara berbelit dan bersikap prejudice.

"S-Saya anak dari Viscount Berlant, Shun Berlant. Saya m-mohon lindungi saya dari p-para orang-orang faksi kepercayaan. K-Kumohon…." Lambat laun suaranya makin memelan, dan ia duduk menunduk di tanah, dan berbicara kepada dirinya sendiri. "Aku sudah gila…."

Sekarang Leva tahu kenapa sejak awal ia tidak merasakan bahaya apapun walaupun pemuda ini terus mengikutinya. Karena ia mengikuti Leva didasarkan rasa takut, bukan keinginan melukai. Dan melihat dari bagaimana ia bersikap serta warna wajahnya yang semakin memutih sejalan dengan waktu berlalu, membuat gadis itu yakin bahwa memang ada sesuatu yang sangat ditakutkan pemuda itu. Apalagi, ia sudah mendengar bocah di hadapannya menyebut-nyebut 'faksi' tentu saja Leva tidak akan diam saja bukan?

"Faksi … maksudmu orang-orang yang menyebut dirinya 'abdi Tuhan' itu?" Obi menilik dari balik bahu Levanthine, kini sudah benar-benar tidak merasakan rasa sakitnya, dan mulai mengikuti pembicaraan; membuat Leva mendengus tidak suka dengan intensitas kedekatan yang dilakukan Obi.

"Y-Ya, Tuan." Oh, Obi suka bocah ini! Sangat jarang ada yang memanggilnya 'tuan' seformal itu. Melihat ekspresi Obi yang seakan di atas langit, Leva menjitak pemuda itu dengan tangan kanannya dan berucap. "Berhenti berpikiran yang tidak perlu."

Kedua tangan kembali bersilang di depan dada, dan walaupun dengan gaun yang melingkari tubuhnya, sikap tegas Leva masih bisa terlihat jelas hanya dari gesture lembut yang ia keluarkan. Leva kembali angkat bicara. "Jadi maksudmu kau memintaku untuk melindungimu? Kau? Padaku? Walaupun subjek utama alasanku disini hanyalah karena dugaan korupsi dari pelabuhan?"

Leva memancing. Tentu saja ia tidak akan melepaskan seseorang yang terlihat terlibat langsung dengan perkara begitu saja. Namun, ia tetap butuh argumen lain, ia butuh bukti yang lebih kuat.

"M-Maafkan saya, Hime-sama! Saya sudah begitu kurang ajar mengatakan hal yang tidak perlu!" Shun kembali berlutut, kuncirannya kini benar-benar sudah tidak berbentuk, ia benar-benar tidak lagi terlihat seperti anak bangsawan. "Semua ini karena teman saya hilang! T-Teman saya yang juga ada di faksi budaya bersama saya. D-Dia ingin mengungkap keresahan penduduk yang seringkali diganggu oleh faksi agama, d-dan terakhir kali saya m-mendengar ia mengirim surat ke Liveare. N-Namun, tidak lama s-setelah itu, dia menghilang! S-Saya benar-benar tidak bisa menemukannya d-dimanapun!"

Dia mengoceh, mungkin karena tensi di udara yang mendorongnya.

'Surat, Liveare, dan … hilang!' Leva sontak menoleh pada Obi, begitu pula sang pemuda, dan mereka tahu mereka memikirkan hal yang sama. BINGO!

"Lalu kenapa kau pikir kau diincar juga?" Kini Obi menarik dirinya mendekati bocah itu, mulai benar-benar tertarik pada apa yang dikatakannya. Akhirnya, setelah bermalam-malam ia berada di sini, ada sesuatu yang bisa memberinya petunjuk. Dan semua terjadi setelah ia bersama dengan Leva. Obi tersenyum, gadis itu memang tidak pernah mengecewakannya.

"I-Itu … karena a-aku, hanya aku yang t-tahu bahwa dia mengirim surat itu. Aku bahka–"

BRUAKK–

Ketiganya menoleh, pada jalanan besar di sisi lain tempat mereka berbicara, yang kini sudah terlihat porak-poranda, kacau. "Apa-apaan?" Ucap Leva secara spontan.

Obi menggertakkan giginya, lalu berlari cepat menuju celah kecil di antara gang sempit tersebut dan jalan besar areal pasar. Kedua bola matanya membesar tatkala ia melihat pemandangan aneh yang … hampir tidak ia pikir ada di Clarines. Pasukan berseragam aneh yang memporak-porandakan distrik perbelanjaan seenak mereka. Ia mengepalkan tangannya dan kembali ke sisi Leva.

"Ini berbahaya, Hime-sama. Kita harus kembali." Leva mengerutkan dahinya. "Ada a-apa?"

"A-AHH–Sudah kuduga mereka akan muncul di sini!" Shun kembali histeris, hampir berteriak jika saja ia tidak kehilangan staminanya setelah berbicara intens dengan Leva. "Mereka selalu saja–selalu mengganggu kesenangan orang lain dengan dalih dosa."

Leva bisa merasakan amarah dari dalam diri bocah di hadapannya. Ia mungkin masih muda, tidak lebih tua dari lima belas setidaknya, namun emosi yang ia rasakan terasa dengan sangat kuat–hingga Leva bisa tahu bahwa hal seperti ini tidak hanya terjadi satu dua kali. Shun Berlant terlihat sangat kesal, mengalahkan rasa takutnya yang sejak tadi bernaung di dalam diri.

DRAP–DRAPP–

BRUAKK–

"Di sana!" Suara derap kaki beberapa orang disusul dengan satu sosok berjubah panjang yang menunjuk pada Leva, seakan mengumumkan keberadaan gadis itu yang ada di sudut sepi pada semua kawanannya. "Tidak tahu malu! Melakukan hal-hal tidak senonoh antara laki-laki dan perempuan di sudut gelap seperti ini."

'Ahahaha, dasar orang aneh.' Leva hampir saja tertawa, jika saja Obi tidak secara sepihak menarik tubuh gadis itu dengan tangan di pinggang–seakan siap membawa Leva terbang kapan saja.

"Aku tidak tahu denganmu, tapi aku akan membawa Hime-sama keluar dari situasi ini. Kau harus selamat sendiri." O-Obi?! Bukannya tadi ia dan Leva sepakat melalui tatapan mereka kalau ini adalah saksi penting yang harus dijaga? Urgh, Leva selalu tidak bisa terbiasa dengan sisi Obi yang terlalu over-protektif ini.

"T-Tunggu, Obi–"

"A-Aku–"

Tepat ketika Obi hampir mengangkat Leva, lagi, seperti ketika di distrik hiburan, gadis itu kembali melayangkan tendangannya, kini pada bagian belakang lutut Obi. Membuat pemuda itu sedikit terjengkang, dan jatuh terduduk. "H-H-Hime-sa…."

"Dengarkan ketika orang lain bicara, dasar kau ini selalu saja seperti itu."

Kawanan pria berjubah itu akhirnya sudah datang, dan siap menyerbu mereka. Leva melirik sedikit pada kawanan itu sebelum menarik kerah Obi agar pemuda bersurai gelap itu berdiri, dan berbisik tepat di depan wajahnya. "Biarkan mereka menangkap kita. Percayalah padaku."

Obi menelan ludahnya. Ini dia, ia sekali lagi harus masuk kedalam rencana gila Leva.

"TANGKAP MEREKA!"

.

.

.

KLANGG–

BRUAKK–

"A-Aduduh–" Obi mengaduh ketika merasakan pantatnya mencium tanah lebih dulu. Namun dengan segera ia menoleh pada Leva yang juga meringis menahan benturan. "L-Leva! Kau baik-baik saja?"

"Apa aku terlihat baik-baik saja?" Gadis itu mencibir, lalu melirik ke belakang tubuhnya dimana tangannya terikat. Ia menimbang-nimbang apakah sebaiknya meminta Obi melepas ikatan ini atau membiarkannya begitu saja agar mereka tidak dicurigai.

Dan jawabannya jatuh pada pilihan kedua. Ia harus ekstra hati-hati agar mereka tidak tahu bahwa yang baru saja mereka tangkap adalah orang nomor empat di keluarga kerajaan–tentu saja yang nomor satu adalah Izana disusul Yang Mulia Ratu dan Zen–Leva tertawa hambar. Di saat seperti ini ia benar-benar benci mendengar tawa meremehkan Zen di dalam otaknya.

"Urgh, aku benci ini." Leva kini merapat pada dinding sel tahanan mereka. Lagipula darimana juga orang-orang ini bisa memiliki bangunan dengan sel seperti ini? Leva semakin yakin saja bahwa orang yang berpengaruh pastinya berada di belakang mereka. Belum lagi rumor bahwa kebanyakan anggota faksi ini adalah mereka yang dulunya membantu Duke yang sekarang menduduki tahtanya.

Singkatnya, tidak aneh bukan jika Leva mencurigai sang penguasa punya andil banyak untuk kehebohan di daerah ini?

"M-Maafkan hamba Hime-sama, hamba membuat anda terjebak dalam tempat kotor dan m-mengerikan ini." Oh, Leva hampir lupa bahwa Shun juga dibawa kemari.

"Ya ya! Kau ini menyusahkan tuan puteriku saja!" Dan Obi kembali menerima tendangan bebas dari Levanthine, kini tepat di pinggang akibat mereka yang sama-sama duduk beralaskan lantai sel yang dingin.

"Berhenti berbicara konyol." Leva menghela nafas, entah kenapa Obi menguras begitu banyak tenaganya hari ini. "Sudahlah. Lagipula ada atau tidaknya kau, aku akan tetap memutuskan seperti ini."

Obi cekikikan, dan Leva benar-benar merasa kesal mendengarnya. Hari ini pemuda itu terlalu berlebihan, dalam mengusik Leva yang ia maksud, dan Leva tidak tahu apakah ia bisa lebih kesal lagi dari ini.

Waktu terlewati, ketiganya tidak terlalu melakukan hal yang berarti, hanya saling melempar pertanyaan dan sesekali Obi menggoda Leva hingga membuat bocah itu benar-benar berpikir keras sebenarnya siapa Obi. Ia berbicara tidak konstan kepada sang puteri, terkadang terlampau formal dan terkadang mereka berbincang seakan keduanya ada di status sosial yang sama–begitu lugas dan tanpa honorifik sama sekali.

'Apa mungkin Obi-san adalah kekasih gelap tuan puteri?!' Tapi ia segera mengeyahkan pemikiran tidak sopan itu dari benaknya sebelum mulutnya yang terlalu spontan itu mengatakan kalimat kurang ajar mengenai subjek tersebut.

"Hey, Barlent."

"Y-Ya!" Begitu mendengar suara Leva yang begitu dalam, membuat Shun langsung menegakkan posisi duduknya. Dan jika Leva boleh berkomentar, ia sudah seperti berada di camp prajurit saja, seakan Leva bisa menelannya kapan saja.

"Kau–yang tadi, emm, apa maksudmu bahwa kau sudah menduga mereka akan ke sana?" Gadis itu menarik kedua kakinya mendekat di depan dada, merasa sedikit menggigil karena udara yang lembab. Shun, yang kini duduk dengan sangat formal, seakan mereka sedang menjalani penghukuman, akhirnya bersuara.

"Etto… Bagaimana mengatakannya… Mereka selalu melakukannya–para bawahan abdi Tuhan maksudku–menghancurkan tempat-tempat hiburan, terutama yang berbasis di malam hari dan memiliki geisha." Ahh, Obi jadi ingat tempat ia menemukan Leva.

"Sayangnya, tempat-tempat seperti itu kebanyakan dikelola oleh anak bangsawan, atau pedagang yang lumayan ternama. Jadi, tentu saja itu memicu kekesalan dari para bangsawan yang akhirnya mengadu pada faksi budaya yang memang berbasis orang-orang bangsawan baru."

Leva mengangguk. Tidak bisa dipungkiri, dimanapun pasti akan terus terjadi kesenjangan antara aristocrat atau bangsawan lama dan new order yaitu bangsawan baru (biasanya terdiri dari pedagang yang tersohor dan baru saja mendapat gelar kebangsawanan seperti Baron dan Viscount). Ini sudah bukan hal baru, dan memang fakta adanya terjadi di seluruh negeri, mungkin bahkan di seluruh kontinen–terutama dengan kebijakan kebangsawanan yang selalu rancu dan mudah digoyahkan. Izana pernah sekali berbincang dengan Leva–sebelum ia menjadi raja–mengenai masalah ini, dan mereka berdua benar-benar tidak bisa menemukan jalan keluarnya walau sudah memutar otak begitu keras. Pastinya lelaki itu memasukkan perkara ini ke dalam hal yang ingin ia pecahkan setelah ia dinobatkan menjadi penguasa Clarines.

"Lalu, maksudmu dengan bawahan abdi? Kukira mereka semua … berada dalam satu kelompok dan tidak ada kecenderungan sosial." Leva kembali bertanya, setidaknya dari waktu yang ia habiskan di sel ini, ia harus mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari sumber yang ada.

"O-Oh! Mereka tidak tergabung dalam faksi. Mereka orang-orang yang mengenakan jubah dan topeng aneh di wajahnya, seperti beberapa orang yang menangkap kita tadi. Umm… Kami sendiri dari faksi budaya belum yakin kenapa mereka membantu para biadab itu, hanya saja mereka menyebut diri mereka sebagai … etto … chou. Ya, mereka menyebut diri mereka sebagai sang chou."

Chou? Obi berkedip. Dimana … ia pernah mendengar sebutan itu? Ia melirik Leva, tapi yang ia lihat hanyalah rahang gadis itu yang mengeras seakan menahan sesuatu.

KLANGG–

TAP–TAPP–

"Jadi, ada apa dengan tiga orang berpakaian bagus ini?" Dengan cepat Obi melompat ke depan nonanya, memicingkan mata pada orang-orang yang baru saja berhenti di balik sel ini. Satu orang tua dengan kacamata bulat satu sisi di mata kirinya dan dua orang berjubah dengan topeng, chou. Obi tidak bisa melihat wajah di balik topeng itu, namun ia tahu bahwa keduanya cukup kuat, terlihat dari bagaimana tegaknya mereka berdiri.

Obi hampir saja melompat ketika ia merasakan hembusan nafas Leva dari balik tubuhnya, dan gadis itu berbisik. "Obi, ingat, tujuan kita bukan untuk menyerang."

Haha, gadis itu selalu tahu bahwa Obi sudah tidak sabar ingin membawanya kabur dari sini. Setidaknya kini ia tidak bergerak seenaknya sendiri dan mengatakan apa yang ia inginkan pada Obi. Lebih baik begini daripada gadis itu bergerak bebas dan terlepas dari jangkau pandang Obi, ini lebih baik. Karena itu ia merilekskan dirinya sendiri sembari tetap berada di depan nonanya.

"Baju itu … kau pasti anak dari new order, huh. Aku bisa melihatnya dari caramu berpakaian, bangsawan rendahan tidak tahu malu." Shun mengepalkan tangannya yang terikat di belakang tubuh. Namun, pria tua itu tidak peduli dengan tatapan emosi Shun dan meneruskan kalimatnya. "Jadi kau bocah dari keluarga mana? Phillippe? Grantz?"

"Shun Barlent."

Pria tua itu tersentak, lalu tertawa. "HAHAHA TERNYATA HANYA SEORANG BARLENT. Apa yang anak Viscount rendahan lakukan di sini?"

Tawanya terhenti. "Tapi aku tidak suka tatapanmu itu. Bawa dua tahanan lainnya dan pindahkan mereka ke gudang wine atau menara, terserah kalian saja. Aku akan menghubungi Barlent dan menanyakan berapa harga yang mau mereka bayar demi anaknya yang bodoh ini."

Pria itu mengeluarkan satu seringai keji, dan Shun bergidik. Namun, setidaknya ia tahu keluarganya tidak akan diam saja. Lalu, bagaimana dengan Hime-sama? Siapa yang akan menyelamatkannya?

KLANG–KLANGG–

Pintu sel dibuka, tepat ketika keduanya ditarik keluar oleh para Chou, Leva berbisik pelan pada Shun. Pemuda itu tidak mendengar suara tenang gadis itu, hanya bibirnya yang ia baca. Dan sang gadis muda berkata 'percayalah padaku' dan keduanya ditarik pergi. Meninggalkan Shun dengan pria tua gila dari faksi kepercayaan.

.

.

.

Ini sudah hampir penghujung hari. Entah sudah berapa jam lamanya mereka berdua dikurung di menara berdebu dan terbuka ini. Tapi setidaknya tempat ini tidak semenyebalkan sel lembab dan gelap yang tadi, dan meskipun para pencekal mereka berpikir bahwa keduanya tidak mungkin kabur dari bangunan tinggi ini, mudah untuk meminta Obi mencari jalan keluar bagi mereka. Tempat ini terbuka di seluruh sisinya, dan ada juga pintu keluar di bagian lantainya.

Sempurna. Leva tanpa sadar menaikkan lengkung bibirnya beberapa senti ke atas. "Hime-sama, apakah aku boleh memainkan bel besar itu?"

Obi dan keahliannya merusak suasana. Leva memijit pelipisnya–tentu saja Obi sudah melepaskan ikatan tangannya–dan berjalan mendekati pemuda itu. Keduanya mendongak ke atas, terdapat sebuah bel tua yang mungkin dulunya biasa digunakan untuk penanda waktu, dibunyikan ketika dini hari dan ketika matahari terbenam.

Sinar mentari senja terlihat jelas di sisi barat menara, membuat Leva mampu melihat dengan jelas lekuk wajah pria di sampingnya–yang kini berkacak pinggang dan juga melihat pada arah yang sama dengan Leva.

Sebenarnya sudah sejak lama Leva ingin menanyakannya, mengenai bekas luka pada pelipis sebelah kiri pemuda bermata kucing itu. Toh sejak awal Leva tidak pernah tahu apapun tentangnya, tentang siapa dirinya, apa arti namanya, dan semua kisah sebelum mereka berdua bertemu di tengah kota kala musim dingin itu. Tentang masa lalunya.

Leva tidak tahu semua itu.

"Obi," hanya sebuah gumaman yang dilemparkan sebagai jawaban, namun Leva tahu bahwa pemuda itu mendengarnya, "…tentang lukamu, u-umm…"

Leva belum menyelesaikan kalimatnya ketika ia mendapati Obi berbalik dan melihat senyum itu kembali hadir pada wajahnya yang terlihat lelah. "Anda ingin tahu?"

"Hm. Semuanya. Katakan semuanya padaku."

Sorot manik keabuan itu tajam, dan kalimat yang ia lontarkan selalu terkesan menuntut, namun Obi menyukainya. Tatapan itu, senyum ringkih yang begitu langka terpatri di bibirnya, kerja kerasnya, kehati-hatiannya, dagunya yang selalu bertumpu ke atas dan menyangga harga dirinya. Obi menyukai semua itu.

Dan selanjutnya, keduanya duduk berdampingan, dan Obi menceritakan semuanya. Semua yang ingin diketahui gadis itu. Menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan sampai ia puas. Hingga rasa lelah menghampiri gadis itu dan ia tidak menyadari bahwa ia telah terlelap.

Obi tersenyum. Tangannya tergerak menyandarkan kepala Leva pada pundaknya, dan ia merasa hatinya menghangat.

"Selamat tidur, Leva." Dengan kepala yang ia sandarkan di atas milik gadis di sampingnya.

.

.

.

To be continued