Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"

.

.

.

Please Enjoy to Read!

.

.

.

CHAPTER 28 – FORWARD

Author's POV

"Hahh–Haahh–AGHHH–"

Izana berlari memasuki ruangan adik perempuannya itu dengan wajah khawatir, diikuti Zen dengan kaki kecilnya di belakang. Sang pangeran kecil segera melompat ke ranjang sang gadis dan mengetuk tubuhnya agar gadis itu terbangun.

"Leva… Leva bangun…"

GASP–

Leva terkesiap. Dadanya bergerak naik turun dan air mata jatuh deras dari kedua netra keabuan miliknya. "A-A-Ah Zen, Izana-sama–"

Ia bermimpi buruk, lagi. Bayangan mimpi buruknya terus mengikuti bahkan ketika ia sudah terbangun. Kedua pupilnya mengecil, Izana menggigit bibirnya. Pangeran muda itu menarik kedua adiknya, merengkuh keduanya dalam satu pelukan hangat.

"Tidak apa-apa, Leva. Tidak apa-apa. Bukan hanya kau yang merasakan kehilangan. Kita semua merasakannya. Jadi, tidak apa-apa. Menangislah. Karena mulai besok kau harus hidup sebagai Levanthine Wisteria dan membuang nama lamamu. Jadi untuk sekarang, tetaplah menjadi Leva yang kita tahu."

Tangisnya pecah. Namun, rengkuhan itu semakin kuat. Ya. Karena Izana juga kehilangan. Ia kehilangan seorang partner, orang yang paling ia percaya untuk menjaga punggungnya. Dan saat itulah ia berjanji akan melindungi semua keluarganya, adik-adiknya, agar ia tidak perlu lagi merasakan rasa 'kehilangan.'

.

.

Realm for The Hearts

Story & OC's Nakashima Aya

Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata

[There's no profit we gain from this fanfiction]

Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.

Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC

.

.

Zen menarik kendali kudanya agar berhenti tepat di depan kantor keamanan pelabuhan Monosaria, lalu melompat turun dengan cepat dan melempar kendali kudanya pada Mitsuhide. "Kuserahkan padamu. Kiki, ayo masuk."

Terkejut mendapati anggota keluarga kerajaan Clarines tepat di lobi utama kantor mereka yang kecil, Zen dan Kiki bisa melihat pada penjaga perdamaian itu kelabakan dan tidak tahu harus berbuat apa. Kiki tergerak untuk menahan tawanya terutama dengan kondisi Zen yang kini juga tidak mampu berkata apa-apa karena kedatangannya yang ternyata membuat keadaan sangat runyam.

Zen sudah hampir berteriak agar semua orang tenang ketika seorang pria paruh baya menghampirinya dan membungkuk perlahan, lalu tersenyum. "Saya sudah mendengar tentang kedatangan anda, corporal akan menemui anda di ruangannya. Silahkan."

KRIETT–

Kiki menutup pintu perlahan, lalu kembali mengekor di belakang Zen. Ketika keduanya masuk, seorang pria tua berdiri di dekat jendela–menghadap langsung pada hamparan laut–dan satu orang lagi yang sudah cukup Zen kenal. Pemuda itu tersenyum. "Kau bahkan sudah sampai di sini lebih dulu daripada aku ya, Grace." Sang pria tua, melambai padanya sebagai jawaban.

Grace, pemegang kuasa tertinggi untuk Satuan Penjaga Pelabuhan Wistal dan juga pemilik kursi anggota Dewan Pelabuhan Clarines. Jika bukan karena pria ini, Zen mungkin tidak akan bisa menginjakkan kaki di Monosoaria tanpa terdeteksi oleh sang penguasa. Berbeda dengan Leva yang mengambil resiko terjun langsung melalui Liveare, Zen memilih untuk sedikit berputar dan memakai jalur yang lebih tertutup.

Kendati Monosoaria adalah satu daerah yang anti-liberal, terutama dalam masalah pembagian wilayah, ada satu daerah yang mana sang Duke tidak memiliki wewenang terlalu besar–sekaligus tidak terlalu memperhatikan. Dan tempat itu adalah kantor cabang Dewan Pelabuhan, yang mana berada dalam satu instansi dengan satuan keamanan pelabuhan Monosoaria, tempat Leva tinggal selama beberapa hari ke belakang–walaupun Zen tidak tahu hal tersebut.

Dengan wewenang Grace sebagai anggota dewan, ia dengan mudah mendapatkan surat resmi untuk menyusupkan Zen dan rekan-rekannya ke dalam wilayah Monosoaria, sehingga jika saja terjadi hal yang tidak diinginkan, Zen tidak akan dituduh melakukan tindakan illegal. Well, walau demikian, proses yang dilakukan juga tidak sederhana sehingga Grace membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berhasil melengkapi keinginan sang pangeran.

Bukan hanya itu. Grace, yang sejak awal terjun langsung dalam operasi pencarian The Flying Dutchmann, memiliki alasan tersendiri untuk pergi ke daratan ini–selain dari fakta bahwa sang pangeran yang menyuruhnya mencari alasan agar mereka bisa kemari. Pria tua itu terus mencari jejak kapal hantu dan seluruh muatan yang dibawanya itu. Ada satu hal yang menarik kecurigaannya, yaitu kesaksian penguasa perbatasan luar Clariness bagian laut utara, Marchioness Albenda dan penerusnya yang kini masih dalam bimbingan–karena masih belum mencapai usia coming age[1] dan belum melalui debutante[2].

Wanita tua itu berkata dengan jelas bahwa tidak ada kapal selain kapal dagang resmi kerajaan yang melewati batas wilayahnya, apalagi melewati perbatasan luar Clarines. Dan jika wanita itu tidak berbohong, maka hal itu hampir tidak mungkin karena Grace sendiri yang memukul mundur seluruh kroni-kroni Flying Dutchmann menuju lautan lepas, dan mereka tidak pernah kembali ke daratan pelabuhan Wistal semenjak malam itu. Sehingga hanya ada dua kemungkinan. Marchioness Albenda berbohong, atau kapal hantu itu merapat di daratan Monosoaria. Satu-satunya daratan yang berada di lautan lepas di antara Wistal dan wilayah Albenda.

Dan itulah alasan kuat mengapa Grace dengan mudah mengabulkan keinginan sang pangeran kedua. Pria tua itu tahu, selalu ada bau angin yang mencurigakan berhembus di Monosoaria, dan semua orang termasuk Dewan Pelabuhan hanya menutup mata karena besarnya pengaruh sang Grand Duke.

Tidak banyak yang mereka bicarakan selain dengan formalitas kuno serta pembagian kewenangan dan apa-apa saja yang harus mereka lakukan selama Zen ada di sana. Dan ketika ia menuju bagian luar, Mitsuhide sudah berada di arena pelatihan dan melakukan latih tanding dengan beberapa prajurit.

'Haha, dasar pria dengan otot.' Kiki tertawa, ia bisa tahu apa yang kini dipikirkan Zen hanya dengan melihat sorot matanya.

"Haruskah kupanggil, Zen?" Zen melambaikan tangannya, sebagai gesture setuju akan perkataan Kiki dan gadis itu segera melompat turun menuju partnernya. Ketika keduanya kembali, Zen benar-benar menahan diri untuk tidak meninju wajah Mitsuhide yang terus tersenyum seperti orang aneh itu.

"Yosh, saatnya kita menyusul rekan kita sebelum ia melakukan hal bodoh."

"Benar juga, dia pasti sudah merengek karena kau datang terlambat, Zen." Zen tidak akan mengelak, apalagi ini Kiki yang unjuk bicara. Sudah waktunya mereka mencari Obi, dan mungkin mencari tahu apakah Leva juga benar-benar berada di sini.

.

.

.

12 years ago

"–terbakar! Kediaman mereka hangus terbakar!" Izana menggebrak meja di hadapannya dengan gigi bergetar. Namun, tidak sedikitpun pria tua di meja kerja itu melirik padanya.

"Apa yang harus kukatakan pada Leva, Ayah?! Dia hanya seorang anak kecil yang bahkan belum berusia sepuluh! Dan karena i-ini–karena kesalahan kita ia kehilangan seluruh anggota keluarganya, ayahnya, kakaknya." Kini tak hanya rahangnya yang bergetar, kedua tangannya, kedutan pada otot-otot matanya, menandakan bahwa emosi dalam diri pangeran muda itu membuncah begitu kuat. Ada rasa tidak terima dalam kalimatnya yang terkesan membentak itu. Padahal belum pernah sekalipun ia menaikkan nada bicaranya pada sang ayah, belum pernah sekalipun.

Sang ayah, Raja, dan penguasa tunggal daratan Clarines pada kala itu, menahan nafasnya. Namun, tidak sepatah katapun keluar dari bibirnya yang dikenal bijaksana, tidak sedikitpun bahkan sekedar helaan nafas keluar dari sana.

Izana tidak tahan lagi. Ia menarik dirinya, keluar, dan membanting pintu besar itu kuat-kuat; walau tidak menimbulkan perbedaan berarti tatkala suara pintu itu sendiri sudah sangat keras sendirinya. Kedua kakinya menapak cepat, pergi dari kediaman tunggal ayahnya, dan berlari menuju kastil sayap kiri–tempat kedua adiknya menunggu kehadirannya–dengan langkah yang pasti.

Ketika ia sampai di ruangan besar itu, kedua bocah itu sedang saling menginjak satu sama lain di kelas dansa mereka sembari bertukar kata rutukan yang kurang pantas diucapkan mulut bangsawan. Senyum terkembang dari sudut bibirnya, membentuk satu lengkung lembut yang menghiasi wajah paripurna sang pangeran mahkota.

"Ah, Aniue/Izana-sama!" Zen berlari menuju kakaknya yang berada di ambang pintu, Leva tidak mau kalah.

"Aku tidak mau berlatih dengan Zen terus menerus! Jika aku terus berlatih dengan Zen aku akan terlalu terbiasa dengan tinggi tubuhnya dan hanya bisa menari dengan Zen!" Leva mencibir, dan sang pangeran muda kembali memelototinya.

"Siapa juga yang mau mendampingimu di pesta ulang tahunmu?" Zen membalas tidak kalah sengit, dan lagi, Leva menginjak kakinya–membuat Zen mengerang kesakitan dengan dramatis.

Izana tertawa, kedua tangan di pucuk kepala adik-adiknya, "Siapa yang kau inginkan untuk mendampingimu di pesta ulang tahunmu?"

"Ani-sama!"

Dan hati Izana mencelos, seraya senyum masih menutupi.

.

.

.

"Obi." Leva menyentuh ubun-ubun pemuda di sampingnya itu dengan ujung jari telunjuk, lalu mendengus. Kedua tangan memeluk lututnya yang ditekuk agar posisi tinggi badannya sama setara dengan sang pemuda. "Obi bangun."

Obi mengerang, dan melihat bahwa pemuda itu sudah kembali pada kesadarannya, Leva berdiri lagi untuk menengok bagian luar menara mereka. "Ada apa, Hime-sama?"

"Lihat itu, di bawah sana."

Obi mengikuti arah yang ditunjuk oleh sang gadis, dan kedua netranya menyipit. Sepertinya kemarin mereka berdua tidak terlalu memerhatikan sekeliling selama keduanya dibawa dari tempat sel pertama mereka dan kemari. Ada sebuah pintu menuju gudang bawah tanah agak jauh dari menara, namun mereka bisa melihatnya. Tempat apa itu? Leva berpikir, jika tempat mereka dikurung kemarin adalah sel untuk tahanan apakah tempat itu adalah markas utama mereka?

Namun, untuk ukuran sebuah markas, Leva merasa ada yang janggal dari tempat itu. Semenjak ia memperhatikannya sejak fajar terbit hingga kini hanya ada beberapa orang yang lalu lalang memasuki tempat itu, dan kebanyakan berpakaian kumuh seperti kuli angkut pelabuhan. Bukan pakaian jubah aneh seperti yang dikenakan orang-orang faksi kepercayaan dan antek-anteknya.

"Menurutmu, ada apa di sana?"

"Haruskah aku melompat dan memeriksanya?" Leva mendelik, melempar tatapan setengah kagum setengah tidak percaya pada bocah itu. 'Kita berada tidak kurang dari 50 kaki di atas tanah dan dia bilang melompat?!'

"Jangan gila. Tidak usah terburu-buru." Ketika Leva mengatakan hal itu, Obi hanya tertawa, seperti biasanya. "Ada banyak hal yang bisa dilihat hanya dengan mengamati dari sini. Lagipula akan menyusahkan jika ada penjaga yang menyadari kau tidak ada di atas sini."

Leva tidak membenci sikap impulsif dan rasa berani yang membuncah dari pemuda itu, hanya saja ia merasa untuk saat ini bertindak satu orang dan berpisah bukanlah jalan keluar. Ia menghela nafas sejenak sebelum akhirnya kembali meneruskan kegiatannya, mengamati orang-orang yang keluar-masuk dari lubang pintu tersebut.

SREKK–

Meskipun Leva berkata demikian, sejujurnya tidak banyak informasi yang bisa didapat selain orang-orang yang masuk berpakaian lusuh dan beberapa membawa keluar karung aneh yang terlihat berat.

SREKK–SREKK–

Jika dipikir-pikir, Leva tidak tahu sudah pukul berapa sekarang dan sudah berapa lama mereka dikurung di sini? Sejak kemarin belum ada satupun penjaga yang naik kemari, dan mereka berdua terlampau lelah untuk merasakan perasaan lain. Karena itulah ketika kini Leva sudah merasa lebih baik ia baru bisa merasakan bahwa tubuhnya butuh asupan makanan.

SREKK–SREKK–

Leva mengerutkan dahi, menoleh pada Obi. "Apasih yang kau lakukan?" Akhirnya merasa terganggu dengan suara yang ditimbulkan pemuda itu.

Terkadang, dan tidak jarang pula, gadis itu benar-benar tidak paham dengan tingkah laku Obi, seperti sekarang ini. Mereka berdua sedang dalam keadaan yang tidak menyenangkan. Disekap di sebuah penjara bertajuk menara beralaskan debu yang sudah menumpuk bagai tanah dan penuh pasir. Dan sungguh, yang dilakukan Obi saat ini malah menggambar entah apa menggunakan pasir di bawah kakinya dengan menggunakan potongan kayu yang tersebar di sekitar.

"Aku sedang menghibur diri, Hime-sama." Hah? Dasar aneh.

Ia memutar bola matanya. Jika Leva boleh meminta, ia ingin dipindahkan saja. Ia sudah lelah bersama dengan bocah ini.

Tapi setelah dipikirkan lagi, Leva tidak mau terpisah darinya. Berbahaya.

KWAK–

KWAKK–

Mendengar suara tersebut dari arah luar menara, secara spontan sang pemuda bernetra tembaga langsung melempar kayu mainannya dan melompat ke bagian pinggir menara–membuat Leva memekik karena mengira bocah itu akan jatuh ke bawah. Tangan kirinya menghalau sinar matahari sembari kedua bola mata memicing, lalu senyumnya merekah.

"Hime-sama lihat!"

KWAKK–

"Ap-A-Ah! Burung itu!" Obi mengeluarkan benda kecil di saku jaket bagian dalamnya, menampakkan batu indah berwarna hijau dan mengayunkannya dengan cepat.

"Lihat, Hime-sama, Aruji sudah datang."

Kedua bola matanya membesar, berkilat dan terlihat sangat bahagia, menatap pada hentakan sayap biru-kehijauan burung itu yang terlihat begitu bebas menyatu dengan warna langit; dan Obi kembali berkata. "Kita tidak perlu menahan diri lagi."

'Obi sangat mempercayainya. Zen. Mereka benar-benar saling percaya.'

Levanthine sempat mendengar tentang pelatihan burung native di pulau selatan Clarines, namun jujur ini kali pertama ia melihatnya secara langsung–bagaimana hewan berbulu itu bisa dengan mudah mendengar suara lonceng yang dibawa Obi dan hinggap di pundak pemuda itu dengan ringannya. "Hime-sama, beri aku perintahmu."

Tangan kanan di pinggang, pemuda itu berkacak pinggang sembari kedua netra menatap lekat sang tuan puteri. "Kita keluar dari sini, Obi!"

"Sesuai perintah anda, Yang Mulia."

Tidak perlu waktu lama untuk Obi melompat turun dari dinding curam menara, dan kembali lagi melalui tangga bagian dalam untuk membukakan pintu bagi nona mudanya. Dan bahkan hingga Leva sudah menapak tanah di luar menara, ia kembali menoleh ke atas dan tidak percaya bagaimana bisa bocah itu melompat turun seakan ketinggian bukanlah apa-apa. Wah … pemuda itu benar-benar tidak pernah berhenti membuat Leva terkejut.

Menyadari bahwa kini matahari mulai merayap ke atas, Leva menyeret Obi dengan cepat untuk pergi menuju pintu gudang bawah tanah itu selagi tidak terlihat orang mondar-mandir di sekitar situ. Obi masih sibuk menulis surat untuk tuannya dan kembali menerbangkan sang burung untuk kembali pada suara peluit, ketika Leva membuka pintu itu dengan mudah–toh tidak dikunci baik dari luar maupun dari dalam–dan kedua netra kacanya mengernyit ketika menemukan bahwa dibalik pintu aneh tersebut sudah terbentang sebuah tangga yang terlihat dalam, tidak terlihat ujungnya.

"O-Obi–" jemarinya reflek menarik ujung pakaian Obi, membuat bocah itu melirik singkat dan bersiul. "Woah, aku tidak tahu ada tempat seperti ini di daratan terbuka. Ini terlihat seperti sarang bandit, Hime-sama. Kau yakin mau turun ke sana?"

Leva menelan ludah, dadanya bergemuruh, namun rasa penasaran dan intuisinya berkata bahwa ia akan menemukan sesuatu yang besar di dalam sana. "K-Kau sendiri yang bilang jika kita tidak perlu menahan diri lagi." Obi mengendikkan bahu dan meraih obor di bagian dalam pintu, lalu menutupnya dengan satu gebrakan keras, membuat satu-satunya cahaya hanya berasal dari api yang ada di genggaman.

Reflektivitas membuatnya meraih ujung jemari pemuda di sampingnya, kendati gelap bukanlah poin kelemahannya, namun tetap saja melirik bagian dalam dari gua yang tidak terlihat itu membuat sang gadis mengernyit dengan gemuruh di dada. Dan Obi tidak keberatan dengan gesture kecil itu. Manis, menurutnya. Keduanya menapak jauh memasuki lorong berundak, semakin dan semakin dalam, sembari merasakan udara yang semakin lembab dan membuat api pada obornya goyah.

Leva tidak tahu sudah berapa lama mereka berjalan ketika akhirnya ia merasakan kedua kakinya menapak pada anak tangga paling ujung dengan dua buah daun pintu yang terlihat berat. "Biar aku."

Leva mundur, melepas genggaman kecilnya pada jemari kasar Obi, dan membiarkan Obi mendorong pintu besar tersebut. Leva hampir saja menjerit tertahan dengan intensitas cahaya yang menyeruak masuk dengan sangat tiba-tiba melalui celah terbukanya pintu, menampakkan sebuah ruangan yang terlihat elegan, gelap, dan mengerikan. Dan pintu mahoni tua di hadapannya tidak membantu sedikitpun untuk membuat suasana terlihat lebih hangat.

Obi melirik pada gadis di sampingnya–yang kini perhatiannya telah terserap pada interior ruangan besar yang dipijak. Hanya ada satu set meja–dengan penutup yang menjuntai hingga lantai–dan kursi minum teh yang sekali lagi, tidak terlihat hangat. Dan penuh dengan rak-rak buku yang terlihat tua. Ketika Obi telah kembali pada kesadarannya, kedua tangan Leva sudah dengan lihai membolak-balik buku pada rak tersebut.

"Menemukan sesuatu?" Obi menepi pada Leva, kedua tangan bersilang di depan dada sembari bersandar pada rak buku besar tersebut.

"Ini terlalu acak. Buku-buku yang ada di sini maksudku. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan di sini." Dan lagi, rasa penasaran mengambil alih seluruh inderanya. Buku ke buku, rak satu ke rak yang lain, seakan lapar dengan rasa ingin tahu. Kedua netranya dengan cepat membaca karakter demi karakter pada setiap buku yang ada. Hanya dalam satu jam, ia sudah membuka hampir seluruh buku di dalam ruangan itu, yang hasilnya hanyalah nihil.

"Kenapa buku-buku acak ini ada di sini? Untuk apa ruangan ini ada di sini? Di tengah antah berantah dengan orang-orang yang keluar masuk membawa karung?"

Kedua iris kucingnya menyipit. Benar juga, ia bergumam pada dirinya sendiri. Orang-orang itu keluar dengan membawa hal yang tidak ada jejaknya di sini, bukankah itu artinya….

Membiarkan nonanya berkutat dengan rak tua, Obi mulai menyentuh tiap detil dinding dengan kertas wallpaper gelap tersebut, menyentuh rak, menuju meja, melirik pada setiap inci sudut ruangan ini dengan kedua matanya yang sudah beradaptasi dengan seluruh rasa dingin dan memuakkan dalam ruangan ini. Ia hampir saja merasa akan menyerah ketika kedua netranya menangkap satu lubang kecil pada dinding paling dekat dengan pintu yang mereka lalui, dan kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Bocah itu bersiul senang.

"Lihat apa yang kutemukan, Hime-sama." Obi berkata, dengan tangannya yang secara kurang ajar menarik lembut hiasan rambut yang tersemat pada bagian kiri surai Leva yang kini sudah tidak beraturan. Membuat gadis itu mendengus kesal, namun menelan rasa kesalnya dalam-dalam ketika melihat Obi dengan lihainya memutar-mutar hiasan kecil tersebut pada lubang yang sama kecilnya.

KLIK–

Suara klik dibarengi dengan deritan kayu yang yang bergerak, membuat keduanya menoleh. Rak buku bergerak ke samping, menampakkan lorong lain yang tidak lagi gelap, penuh dengan obor pada dinding–namun tetap tidak terlihat ujungnya.

"Kupersembahkan padamu, Hime-sama. Penemuan terbaik dalam sejarah Monosoaria." Dadanya berdegup kencang, Leva tidak sabar untuk mengetahui apa yang ada di balik sana.

.

.

.

To be continued

.

.

.

Note:

Coming Age: Usia dewasa bagi anak bangsawan.

Debutante: Debut para anak-anak bangsawan di high-society, biasanya dilakukan di usia 15-17 tahun.