Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"

.

.

.

Please Enjoy to Read!

.

.

.

CHAPTER 29 – THE ANSWER

Author's POV

Shirayuki menuangkan teh hijaunya yang masih penuh dengan uap, melirik singkat pada rekan kecilnya yang seperti biasa sibuk dengan buku-buku tebalnya di kala luang. Kadang gadis itu berpikir untuk membiarkan Ryuu bermain selayaknya anak pada usia demikian, namun ditepis dengan keras pemikiran akan fakta bahwa bocah itu bukannya tidak bisa memiliki waktu untuk bermain, namun ia memang memilih untuk menjadi seperti ini.

Setelah menaruh cangkir tersebut di samping Ryuu, Shirayuki tersenyum sejenak padanya sebelum berjalan menuju jendela ruang kerjanya yang terbuka lebar. Kedua netra kehijauan miliknya menatap jauh pada hal yang tidak terlihat, dengan kedua tangan mendekap erat satu buah buku bersampul keabuan.

Tatapannya nanar, seakan ada hal yang membebani hatinya. Dan memang ada yang membebani hatinya. Otaknya kembali berputar pada kali terakhir pertemuannya dengan sang pangeran, dan kalimat yang sama terus berputar di benaknya.

'Aku ingin kau membuatkanku sesuatu, Shirayuki. Sesuatu yang bisa mengakhiri, dan juga obat penawarnya.'

Zen meminta Shirayuki untuk membuatkan sebuah racun.

.

.

Realm for The Hearts

Story & OC's Nakashima Aya

Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata

[There's no profit we gain from this fanfiction]

Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.

Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC

.

.

Jika beberapa waktu yang lalu dadanya dipenuhi detakan konstan yang melambangkan rasa takut, kini jantungnya berdegup keras akan rasa ingin tahu pada misteri yang tersaji di hadapannya.

Toh semua orang tahu kalau Monosoaria adalah daratan penuh intrik. Dan Leva sangat mengetahui hal itu, sampai-sampai kini ia melupakan tujuan awalnya kemari dan hanya berfokus untuk menyingkap kabut yang melingkupi Grand Duchy. Apalagi semenjak pertemuannya dengan sang Duchess yang terlihat seperti wanita berbisa itu, Leva tidak akan tenang jika ia angkat kaki dari tempat ini tanpa membawa pengetahuan baru apapun.

Rasa hausnya akan hal baru menguar begitu hebat hingga pada titik dimana Obi bisa menciumnya. Obi menghela nafas, padahal tadi gadis itu terlihat begitu menggemaskan ketika ia menautkan jemarinya pada kelingking Obi, dan kini ia malah mendapati gadis itu berjalan beberapa meter di depan seakan tidak mau ketinggalan kereta kuda. Tawa getir yang setengah tertahan keluar dari bibir, dan langkah melebar untuk menyesuaikan rima dengan Levanthine.

"Baiklah Hime-sama, apa yang menurutmu ada di depan sana?"

'Hah?' Leva mengernyit, "Kau pikir aku peramal?" Dan Obi kembali tertawa. Gadis itu memang benar-benar tidak memiliki sisi manis dalam dirinya, namun justru itulah yang membuat Obi tertarik pada hal-hal yang selalu dilakukannya.

"Bagaimana jika kita menemukan hal yang luar biasa seperti … err … tambang emas di sana?" Kini Leva yang tertawa, sembari merilekskan langkah dan berjalan tepat di samping sang pemuda. "Lihatlah topografi wilayah ini, Obi. Tidak mungkin kau akan menemukan garam dan emas bersandingan di Monosoaria."

Toh Obi hanya bercanda, setidaknya gadis itu kini mau berdampingan dengan Obi. Obi membiarkan Leva berbicara tentang topografi dan hal-hal keilmuan yang tidak terlalu mengerti sembari pemuda itu menajamkan indera penciuman dan pendengarannya. Obi tidak akan salah, ia tahu ada ruang yang cukup besar beberapa belokan dari tempat mereka berdiri. Udara berhembus cukup dari bagian depan wajahnya, dan ada bau aneh yang tidak pernah ia cium sebelumnya. Leva mungkin saja ahli dalam teori dan aroma buku, namun Obi tidak akan kalah dalam hal praktek di lapangan. Hey, dia pernah menjadi buron, orang bayaran, hingga anjing deteksi perompak. Melirik lima hingga sepuluh langkah ke depan bukanlah hal yang sulit untuknya.

Semakin dekat mereka dengan ruang yang dibicarakan Obi, semakin keras pula suara dentuman dan beberapa model suara lain yang saling bertabrakan. Leva menelan ludah, dan kini kembali merasakan tensi yang luar biasa pada udara di sekitar–yang membuatnya kembali merapatkan diri pada sang pengawal–sembari berusaha meredam detak jantungnya yang luar biasa. Suara-suara benda keras yang saling bertabrakan, suara gerandel roda yang bergerak, suara logam, suara keramaian, semua bercampur menjadi satu. Seakan … ia berada di dalam ruang pertambangan.

–dan itulah yang tersaji di depan matanya kini. "A-Apa-apaan ini …."

Beberapa meter di bawah kakinya, kedua pasang netra tersebut membesar dengan apa yang terlihat, sebuah pertambangan besar dengan ratusan, atau bahkan ribuan pekerja dengan pekerjaan mereka masing-masing. Tepat di sisi sebelah kiri mereka terdapat sebuah pintu yang bisa Obi tebak adalah tempat katrol pengangkut untuk membawa benda atau orang dari bawah ke atas dan sebaliknya.

"Obi …." Leva bersua, menahan nafasnya. "Kau benar. Ini … sebuah pertambangan." Dan kedua iris keabuan miliknya tidak berkedip barang sedikitpun.

Sampai mereka mendengar suara itu. Suara katrol yang ditarik ke atas.

KREKK–KREKK–

"Hime-sama, LARI!" Refleks, Obi menarik pergelangan tangan Levanthine, membawanya dengan cepat menyusuri lorong yang tadinya mereka lewati dengan lenggang dan tenang, kini pada kecepatan yang luar biasa. Namun, walau kedua kakinya bergerak, otak Leva tetap berada di hadapan ruang pertambangan itu.

'Ini adalah Monosoaria. Monosoaria yang merupakan daratan dikelilingi air laut. Bagaimana bisa?' Otaknya tidak mampu memproses. Bagaimana bisa Monosoaria punya sebuah pertambangan yang sebegitu besar, dan tidak ada yang tahu? Tidak pernah ada satu katapun keluar dari tempat ini. Kedua tangannya mengepal, rahang mengeras, dan kini debaran jantungnya yang penuh semangat berubah menjadi rasa kesal. Monosoaria tidak mengatakan pada pemerintahan pusat mengenai ini, yang artinya mereka tidak membayar pajak dan upeti pada kerajaan untuk hasil tambang mereka.

'Duke Ellen sialan!'

"Simpan rasa kesalmu, Leva. Kita harus segera keluar dari sini!" Leva ingin menjerit mengatakan bahwa ia tahu, namun belum sempat kalimat itu keluar dari bibirnya, ia sudah dikejutkan dengan sorot lampu dari ruangan penuh buku yang tadi.

Obi tidak tahu. Obi tidak tahu bagaimana cara menutup pintu ini. Dan tidak ada waktu untuk mencari tahu, sehingga kini yang ia lakukan adalah mendorong rak besar tersebut sekuat tenaga. Ia bisa saja langsung membawa Leva keluar dari sini, namun jika ada satu saja jejak bahwa ada orang yang pernah masuk ke tempat ini, ia tidak yakin mereka berdua bisa keluar dari Monosoaria hidup-hidup. Terutama dengan kenyataan bahwa mereka kabur dari penjara menara yang jaraknya tidak sampai 100 meter dari tempat ini. Sudah pasti mereka berdua akan menjadi yang paling pertama dicurigai.

Obi menghela nafas. Tertutup sudah. Tawa renyah keluar dari bibirnya, namun belum sampai ia menarik nonanya keluar dari ruangan ini, ia mendengar lagi suara itu. Suara rak yang bergerak. Suara lorong rahasia yang terbuka.

"Sial!"

Menyadari apa yang terjadi, Leva melihat ke sekeliling. Mereka berdua tidak akan sempat untuk keluar dari sini, terutama untuk Leva yang pastinya hanya menghambat Obi dengan gaun menyebalkan ini. Netranya membesar ketika ia melihat meja minum teh di tengah ruangan, dan dengan cepat menarik pergelangan tangan Obi lalu menendang perlahan kakinya agar pemuda itu memahami maksudnya.

Dan kini keduanya bertekuk lutut di dalam penutup meja teh kecil pada ruang aneh ini dengan nafas tertahan.

DEG–

DEG–

DEG–

Gila. Leva benar-benar merasa gila. Ia tidak pernah merasa sekacau ini, dadanya berdetak keras dan kemungkinan mereka tertangkap basah berada di sini benar-benar membuatnya tidak nyaman. Namun, tidak sedikitpun, tidak sedikitpun Leva merasa … takut. Terutama dengan bagaimana jemari pemuda itu yang perlahan tertaut pada jemarinya yang memanas.

'Tenanglah, hatiku! Bukan waktunya kau memikirkan hal seperti ini!' Otaknya memberontak, walau tubuhnya masih berdiam kaku. Apalagi ketika pucuk kepalanya menyenggol satu bukaan kecil pada bagian bawah meja, menyebabkan sebuah buku jatuh dari dalamnya; tepat di atas pangkuan Leva.

Ia hampir saja memekik ketika siapapun itu yang berada di luar sana berhenti bersiul, berhenti berjalan, dan berkata. "A-Apa itu?"

Lagi. Levanthine menahan nafas. Sembari mengabaikan tatapan Obi yang mengeras, seakan mengatakan pada Leva bahwa apa yang baru saja ia lakukan sangat-sangat berbahaya.

"S-Sudah kuduga tempat i-ini berhantu!" Katanya dilanjutkan dengan langkah cepat keluar dari tempat ini. Membuat Leva dan Obi akhirnya mampu bernafas dengan lega, merenggangkan kaki keluar dari balik penutup meja, dan saling melempar tawa.

Leva benar-benar tidak akan melupakan semua ini, rasa tegang yang kurang ajar ini, dan juga tawa lepas yang keluar dari bibir Obi hingga membuatnya setengah menangis.

.

.

.

Zen bisa merasakan rasa kesal yang begitu besar kini tertahan di dalam dirinya. Sejak tadi, sejak satu jam yang lalu, yang ia dengar hanyalah debat kusir dan lemparan cemooh seperti bocah usia lima tahun yang bertengkar berebut mainan boneka.

"Zen, tahan dirimu." Ha ha ha. Kiki bisa saja berkata begitu, namun bahkan Mitsuhide yang kini berdiri sebagai pendamping Grace ikut menggelengkan kepalanya dengan kesal.

Zen tidak pernah mengira bahwa rencananya akan berbelok seperti ini. Semua dimulai ketika ia menerima surat dari Obi yang mengatakan bahwa ia sedang menyelidiki sesuatu dan belum bisa ditemui, sehingga Zen tidak lagi mencarinya dan memutuskan untuk fokus pada rencana selanjutnya. Beruntunglah karena hal itu, Zen bisa tetap membawa kedua abdinya dan Grace tidak perlu meminta orang dari penjaga pelabuhan untuk menjadi pengawalnya.

Toh masalah ini membutuhkan lebih dari sekedar keberadaan Zen, ia butuh otak dari kedua orang terpercayanya untuk hal ini.

Namun, yang kini ada di hadapannya, yang seharusnya adalah pertemuan resmi antara tiga pihak penguasa wilayah tertinggi Monosoaria, yang seharusnya menjadi sebuah temu formal dan tempatnya memancing informasi, menjadi sebuah tempat pertukaran rutukan dan perkataan tidak baik antara kedua faksi yang terlibat.

Ya, Zen saat ini ada di pertemuan antara faksi budaya, faksi agama, dewan pelabuhan (Grace) dan dirinya sebagai orang yang dikirimkan oleh pihak pengawalan pelabuhan. Artinya, Zen menyamar menjadi prajurit pelabuhan dengan Kiki untuk menjaga tempat itu agar tidak ada pihak lain yang ikut campur.

"Ini menyebalkan." Zen berbisik, memutar bola matanya, mendapatkan respon poker-face Kiki yang seperti biasa. "Haruskah kita menghentikan mereka?"

"Haha, kau gila, kita hanya prajurit rendahan di sini."

Grace masih tetap menutup matanya, kedua tangan menyilang di depan dada. Wajahnya yang penuh keriput berkerut dan berkedut, sebelum ia akhirnya membuka mulut, malu dengan keberadaan Zen di bagian belakang tubuhnya.

"Bisakah kita kembali ke topik utama kita?" Suaranya yang besar dan keras membuat kedua perwakilan faksi itu terdiam, kembali membenarkan posisi duduk mereka. Melihat keduanya kembali ke posisi masing-masing, Grace meneruskan kalimatnya. "Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian, namun aku tidak suka ada keikut-campuran pihak luar di dalam pelabuhanku."

Mitsuhide meringis. Sejak kali pertama ia menemui pria tua ini, ia sudah terjebak dalam permainan kata-katanya, terutama dengan tipikal dirinya yang lebih mengedepankan otot daripada otak. Tidak aneh jika Obi cukup dekat dengan pria tua ini, melirik bagaimana keduanya sama-sama eksentrik dalam cara mereka sendiri.

"Liveare mengendus pelabuhanku, dan aku tidak suka itu." Kedua tangan masih menyilang di depan dada, dan suaranya yang besar sungguh cukup membuat dua orang muda perwakilan faksi itu terdiam ciut; merasa kalah dalam hal karisma dengan pria tua itu. Well, tentu saja, bahkan menurut Zen, karisma Grace adalah yang kedua terkuat setelah kakaknya. Di luar usianya yang memang sudah sangat matang, Grace adalah seorang ksatria dan juga lihai dengan lidahnya. Itulah yang menuntunnya dengan cepat pada posisi dirinya yang saat ini, dan yang membuat sang pangeran berani menaruh percaya padanya.

"I-Ini semua salah kalian para budak korporat! Dasar budayawan yang hanya tahu uang dan kesenangan saja! Kalian t-tidak tahu bahwa semua kebusukan kalian itu bukan apa-apa di mata Tuhan!"

Lagi, pria dari faksi abdi tuhan itu berdiri. Menuding-nuding dengan tidak sopan pada perwakilan faksi lain di hadapannya. Membuat oknum yang berseberangan menjadi naik pitam. "Jika kau dan orang-orang gila dari faksimu itu tidak melakukan hal yang aneh, tentu saja Liverae tidak akan mengendus apa-apa!"

"G-GILA?! KAU BILANG GILA?! Kami yang berada di jalan Tuhan hanya melakukan hal yang benar! Salahkan kau dan kaummu yang haus akan uang dan kekuasaan itu!"

Keduanya kembali berdiri, saling menatap maut. Pria berambut pirang dari faksi budaya itu mendengus, setengah tertawa, lalu menjawab. "Memangnya kenapa? Dunia memang digerakkan dengan uang 'kan? Dan kalian yang sudah gila dengan seenaknya membakar properti-properti bangsawan dengan dalih utusan Tuhan."

"M-Membakar?!" Zen mencicit, yang langsung terdiam karena Kiki yang dengan cepat menendang pelan kakinya. Gila. Mereka memang benar-benar orang gila.

"BUKANKAH SUDAH KUBILANG CUKUP?!" Suara Grace kembali menggema, dan lagi, keduanya duduk menciut pada kursi masing-masing. Grace sudah mengira akan seperti ini, namun sungguh ketika hal yang ia pikirkan terjadi di hadapannya, hanya sakit kepala yang tersisa. Ia membuka kedua bola mata, manatap tajam pada kedua perwakilan di hadapannya, lalu berkata dengan tenang dan menekan. "Kau pikir aku tidak tahu bahwa ada darah dan kepala yang dikirim ke Liveare? Kau pikir aku bodoh? Kau pikir pelabuhan tidak tahu bahwa kalian menyelundupkan darah ke dalam kapal yang melewati pengawasanku?"

Tubuhnya menegang, kedua tangan di atas meja, dan suaranya terdengar stagnan dan mantap. "Sekarang katakan padaku, siapa yang memberi kalian perintah itu? Aku akan menampakkan kepalaku sendiri dengan mereka. Pelabuhan tidak akan diam saja ketika kalian sendiri yang melibatkan kami."

Zen menelan ludah. Dadanya bergemuruh. Ia merinding.

.

.

.

Tidak lama setelah Grace menuangkan isi pikirannya dan meyakinkan kedua pihak untuk benar-benar berbicara, mereka sepakat utuk menyuruh seluruh penjaga keluar. Termasuk Mitsuhide dan juga seluruh pengawal faksi–seorang pemuda yang terlihat tidak bisa mengangkat pedang dan satu pria bertubuh besar yang mengenakan jubah dan topeng aneh. Mitsuhide merapat pada Zen dan Kiki, namun ketiganya tetap diam hingga orang-orang abdi keluar dari ruang tertutup itu.

"Aku akan mencoba membicarakan dengan pihak Liveare, agar hal ini tidak bocor kepada keluarga kerajaan. Kita mungkin tidak sepaham, namun bagaimanapun juga kita adalah sekutu Monosoaria." Grace menjabat tangan kedua pria lain dan mempersilahkan keduanya kembali ke kediaman masing-masing. Grace tahu bahwa mereka tidak mengatakan seluruh kebenarannya, namun jauh di dalam lubuk hatinya mereka juga terlihat tidak berbohong.

Lebih tepatnya, keduanya bukan merupakan orang penting, dan mungkin tidak begitu tahu akar permasalahan dan hal-hal gelap dalam faksi mereka.

"CHOU!" Mendengar identitasnya disebut, pria bertopeng itu berjalan, melewati Kiki, lalu berhenti tepat di hadapan Zen. Ia membungkuk, tanpa menoleh sedikitpun, dan berkata dengan perlahan. "Tidak perlu tergesa-gesa, Yang Mulia. Adikmu tercinta berada di tangan yang tepat. Setidaknya kami tidak akan melukainya."

TAP–TAP–TAP–

Belum sempat Zen merespon, pria itu sudah berjalan pergi, mengikuti orang yang ia kawal, dan hilang dari pandangan. Rahang Zen mengeras, tangan mengepal, dan jantungnya kembali berdetak dalam tempo yang tidak keruan. Leva ada di sini. Dan dia ada di tangan bajingan faksi itu.

"Z-Zen–" Lehernya yang kaku bergerak, menoleh pada Kiki yang kini membelalakkan matanya. Bibir gadis itu bergetar, dan Mitsuhide melanjutkan kalimat sang gadis yang rumpang. "Itu … orang itu … Samuel … Samuel Cronvel."

DEGG–

Ketiganya berlari cepat, meninggalkan Grace yang meneriakkan nama Zen dengan kebingungan, hanya untuk mendapati sosok berjubah itu sudah hilang dari belokan pertama. Dan sampai sisa hari itu, mereka tidak menemukannya walau terus mencari hingga sudut terjauh pelabuhan.

'LEVA! Kau harus baik-baik saja!'

.

.

.

To be continued