Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"

.

.

.

Please Enjoy to Read!

.

.

.

CHAPTER 30 – THE MINE

Author's POV

"Hime-sama, sepertinya aman." Obi kembali turun beberapa langkah, setelah mengecek keadaan di luar pintu besi di atas. Mendapati Leva yang masih memeluk erat buku dari ruangan di dalam sana; yang sempat membuat Obi kesal pada gadis itu. Harusnya mereka tidak meninggalkan jejak apapun kalau pernah berada di sana. Jika orang-orang yang berada di dalam sana menyadari ada satu hal yang hilang–terutama buku itu disembunyikan dengan sangat rapih di balik meja–tentu saja mereka berdua yang kabur dari menara itu adalah orang pertama yang akan dicurigai.

Leva berjalan perlahan keluar dari balik lorong bawah tanah tersebut, matanya seikit menyipit karena cahaya yang luar biasa ketika ia menginjakkan kaki di luar. Wah, ia tidak sadar bahwa mereka berdua tidak berada di dalam sana cukup lama, justru mungkin hanya beberapa jam dan tidak ada seorangpun yang sadar bahwa mereka sempat berada di sana.

Benar juga. Tidak ada yang sadar mereka sudah turun dari menara, bukan?

"Obi," pemuda itu menoleh, menarik tangannya keras-keras ke atas untuk meregangkan ototnya yang kaku. "Kau bilang kita akan dicurigai karna kita kabur bukan?"

Ia mengangguk, lalu bergidik melihat seringai di bibir Leva.

"Kalau begitu kita tinggal tidak kabur. Kita kembali ke sana."

Eh?

.

.

Realm for The Hearts

Story & OC's Nakashima Aya

Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata

[There's no profit we gain from this fanfiction]

Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.

Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC

.

.

Obi benar-benar tidak percaya ini.

Kedua tangannya menopang dagu, melihat jauh ke bawah dimana tanah terlihat begitu berjarak. Iya, benar sekali, keduanya kembali ke menara sialan itu dan Obi sungguh tidak tahu lagi apa yang kini ada di dalam kepala tuan puterinya. Well, Obi memang tidak pernah paham, sejujurnya.

Sejenak kedua netranya bergerak, mencari-cari helaian merah-muda-lembut itu yang kini benar-benar tidak menghiraukan Obi sedikitpun. Semua atensi gadis itu jatuh pada lembaran-lembaran dalam buku yang baru saja ia ambil. Sesekali alisnya mengkerut, lalu irisnya membelalak, atau bibirnya yang mengerucut dengan kepala yang menilik samar ke samping. Senyum simpul hinggap di bibir, dan kini keseluruhan bahasa tubuhnya sudah mengarah pada gadis itu–tidak lagi pada jauhnya tanah di bawah sana.

"Berhenti melihatku dengan pandangan seperti itu." Leva menghardik. Namun, kalimat tegasnya itu sekali lagi makin membawa tawa pada diri Obi.

"Anda tidak sadar betapa banyak ekspresi yang anda keluarkan." Kini Obi berjongkok, menyesuaikan tinggi dengan Levanthine. Gadis itu menoleh, tatapannya lurus, dan ia bertanya. "Lalu?"

'Dan itu menggemaskan.' Namun tentu saja jawaban itu hanya akan ia suarakan di dalam hatinya.

Tidak mendapat jawaban apapun dari sang empunya iris tembaga, Leva memutar bola matanya dan kembali menekuni buku di dalam genggaman. Dan dalam tiap lembar yang ia balik, rasa cemasnya semakin besar, dan jawabannya semakin jelas. Ini bukan hanya sebuah kecurigaan semata, dan ada hal yang lebih besar dari sekedar keberadaan sebuah pertambangan pada pulau kecil di tengah laut ini.

"Obi…." Ia mencicit. Vokalnya mengecil, dan kini volume suaranya tidak lagi tegas. Obi mendekat, mendekat dalam batas wajar. Seluruh telinga terbuka untuk gadis itu.

"Aku takut. Ini … menakutkan." Kedua alis mengkerut, bibir hampir terbuka, namun kembali tertutup ketika Levanthine menyelesaikan kalimatnya. "Buku ini … tulisan di dalamnya … Buku ini berisi tentang orang-orang yang hilang di Clarines selama satu dekade terakhir."

Netranya membelalak, perlahan dan ragu pandangan berpindah dari iris keabuan Leva pada lembaran buku yang terbuka. Persis pada foto seorang gadis dengan rambut ikal sebahu, dan sebuah nama yang tertera di sana. Aroha Seira.

KRAKK–

BRAKK–

Dengan cepat Levanthine memasukkan kembali buku kecil tersebut ke dalam saku roknya, merapat pada Obi yang kini memposisikan dirinya di depan sang puteri sembari menatap lurus pada pintu tangga yang terbuka dengan suara mengkerit yang mengerikan.

"Tetap di belakangku, Leva." Obi berbisik, suaranya hampir teredam gebrakan keras pada pintu kayu di bawah kaki.

BRUAKK–

"Yo, para tahanan." Seseorang mencuat dari bawah sana, dengan topeng dan jubah. Rahang Leva mengeras, chou. "Waktunya pergi dan melakukan pekerjaanmu."

Hah?

.

.

.

Walaupun kedua matanya tertutup rapat dengan kain hitam, Leva masih bisa merasakan sengatan kuat dari cahaya matahari siang hari itu yang lambat laun semakin terasa menjauh–tanda bahwa ia memasuki suatu tempat dimana sinar mentari tak mampu menggapainya. Dan kendati demikian, ia bisa menerka-nerka sebenarnya kemana kedua penjaga itu kini menggiringnya dan Obi. Ia mendesah, bersyukur karena Obi masih mendengarkan perkataannya dan menurut tanpa berontak sedikitpun. Ha ha, miris memang, tapi Leva benar-benar butuh Obi untuk bersikap tenang.

' –tetaplah tenang seperti Leva yang biasanya, kau sudah berlaku di luar karaktermu akhir-akhir ini.'

Leva memejamkan matanya, kalimat terakhir yang ia dengar dari Zen sebelum ia kembali ke kastil Wistant bergema dalam dirinya, seakan menjaga gadis itu agar tetap waras. Benar. Tenang, Leva harus tenang, perlahan dan pasti mengenali situasi smebari memutar otaknya untuk keluar dari jeratan masalah ini. Gadis itu hampir saja mengeluarkan tawa, jika bukan karena kegelapan lorong mungkin kroni-kroni faksi inipun mampu melihat perubahan ekspresinya.

Benar sekali, senjata terkuat Levanthine adalah ketenangannya.

Aneh memikirkan fakta bahwa ia selalu berseteru dan berseberang pendapat dengan pangeran muda itu, namun justru kalimat sarkastik darinya lah yang membuat gadis itu tetap waras. Membuat Levanthine tetap menyadari siapa dirinya dan apa yang harus ia lakukan. Toh kini ia tidak sendiri, ada orang yang tidak membiarkannya terluka apapun bayarannya.

SREKK–

Berhenti sejenak. Kedua tangannya dicekal erat oleh prajurit berjubah itu, dan segera setelah suara derit janggal itu usai, ia kembali didorong pelan untuk kembali berjalan.

Oh gila, Obi sudah gila. Ia benar-benar merasa kewarasannya akan hilang begitu saja; keterbalikan dari Leva yang merasa sangat tenang dan berpikiran jernih. Obi merasa jika detik itu juga ia tidak menangkap sosok surai pucat itu di dalam jangkauan genggamannya, ia akan mengamuk dan menenggelamkan Monosoaria saat itu juga.

Tapi ia tidak bisa begitu. Atau Levanthine akan benar-benar menendang pantatnya keras-keras.

Tidak lama sampai keduanya merasakan kain hitam ditarik lepas dari wajah dan cahaya memasuki ruang retina dengan amat terburu-buru; membuat dua orang itu berjengit dan berkedip cepat untuk menyesuaikan diri.

"Wahh." Obi kelepasan. Di hadapannya adalah tambang yang sama dengan tempat ia berdiri dengan Leva beberapa jam yang lalu.

Salah seorang dari pria berjubah itu–yang kini membuka tudungnya dan menampakkan rambut hijau segar–mengeluarkan cengiran aneh pada Leva. Gadis itu berkedip, mundur beberapa langkah karena intensitas kedekatan wajahnya dengan sang rambut brokoli, lalu berkata. "Apa ini?"

Pria itu berjingkat, melompat mundur, masih memperlihatkan deretan giginya. "Kau boleh saja terlihat seperti nona rumah bangsawan, tapi disini kita semua sama, Ojou-chan." Nadanya mengejek, dan Leva tidak suka. Namun ia hanya mendengus dan melempar tatapannya pada Obi yang malah terdiam mengamati keadaan sekitarnya. Well, setidaknya bukan hanya Leva yang bisa berpikir jernih saat ini.

"Saa, ojou-chan, apa kelebihanmu?"

.

.

.

Ini menggelikan…

Leva masih bisa melihat dengan jelas ekspresi wajah Obi yang meraung-raung ketika ia dipisahkan dengan Levanthine tadi. Setelah kini ia akhirnya berada di satu ruang tertutup sendirian, ia merasa punggungnya terpukul satu beban berat, dan tensi yang sempat menggebu satu harian ini seakan menguap hilang begitu saja. Pundaknya yang ringkih itu bersandar perlahan pada pondasi kayu di belakang, ia tidak tahu lagi sekarang mereka sudah memasuki malam hari atau bagaimana, toh di dalam tempat ini tidak sedikitpun cahaya yang masuk.

Tempat ini … aneh. Janggal. Dan terasa menyebalkan. Sepertinya mereka mengambil orang-orang yang mereka tangkap–yang tidak memiliki afiliasi dengan keluarga bangsawan Grand Duchy–dan menjadikannya pekerja di pertambangan ini. Kedua netranya melirik pada tangan yang terlihat lemas di atas pahanya, dan gadis itu menyadari ia bahkan tidak diberi apapun untuk mengganti gaun norak dan menyebalkannya ini.

Leva ditempatkan di ruang kontrol. Dimana ia bertugas untuk menggerakkan lift dan mengawasi pintu masuk. Tidak buruk sebenarnya, apalagi ia bekerja dalam sistem shift karena tidak banyak orang yang terlihat cukup pintar untuk mengendalikan ruang kontrol. Dan dengan alasan itulah walaupun ia baru saja memasuki tempat ini di hari yang sama, ia bisa mendapatkan posisi yang cukup mumpuni. Terutama dengan penempatan ruang ini yang berada di bagian atas sehingga ia bisa melihat dengan sangat jelas hampir keseluruhan bagian pertambangan.

Well, ia bahkan bisa menemukan Obi beberapa kali sejak tadi, dan walaupun Leva tidak mau mengakuinya, hal itu membuat gadis itu merasa lebih tenang.

Lain halnya dengan sang tuan puteri, Obi tanpa basa-basi langsung ditarik ke bagian pertambangan. Si kepala hijau itu–Obi memanggilnya dalam hati–langsung mengeluarkan ekspresi menjijikkan ketika menyadari Obi adalah seorang pria sehat dengan badan yang segar. Maaf jika ini terdengar geli, namun itulah yang ia katakan ketika menyeret Obi memasuki elevator dan turun ke aula besar pertambangan. Walaupun mungkin pemuda itu tidak bermaksud demikian.

Obi benar-benar hampir saja melempar dua pria berjubah itu ke udara jika saja ia tidak membaca gerak bibir Leva yang mengatakan bahwa Obi sebaiknya tidak coba-coba membongkar kedok mereka berdua. Dan walaupun rasa was-was tetap bersarang di hatinya, Obi tetap menghela nafas dan mengikuti apapun keinginan nonanya. Toh selama ia masih bisa melirik surai pucat itu di ujung netranya–walau seberapa jauh–ia akan tetap baik-baik saja. Mereka akan tetap baik-baik saja.

.

.

.

TANGG–KLANGG–

"Zen, sudah cuku–"

"SEKALI LAGI!"

Grace menghentikan langkahnya seketika ia mendapati pangeran bersurai cerah itu melempar dirinya pada sang abdi bertubuh dua kali lebih besar daripada dirinya. Ia sudah mendengarnya dari sang abdi, Mitsuhide, bahwa adik kecil Yang Mulia pangeran ada di tangan salah satu faksi–entah itu kebenaran atau hanya dalih mereka untuk menggoyahkan keyakinan Zen. Apapun itu, benar ataupun tidak, hal itu tentu saja mengusik ketenangan sang pangeran. Dan pelampiasannya adalah dengan membuat abdinya menjadi samsak berpedangnya.

Ia menghela nafas, pria tua itu. Mendapati hal tersebut Kiki merapat pada sang pria tua, membungkukkan badan sejenak lalu berkata. "Bagaimana menurut anda? Apa yang harus kita lakukan?"

Kalau ditanya apa yang harus dilakukan, well, ia sendiri hanya bisa mengira-ngira. Namun, jika benar sang tuan puteri ada di sini, dan jika memang tuan puteri itu adalah gadis yang sama yang memberikan kesempatan pada Grace untuk memukul mundur pasukan Flying Dutchmann malam itu, walaupun ia berada di kediaman musuh, bukankah itu hal yang baik? "Gadis itu, Tuan Puteri Levanthine, bukanlah gadis yang lemah. Dia … adalah sekutu terkuat kita."

Kiki mengangguk, tersenyum. "Benar juga. Benar sekali."

KLANGG–

Keringat mengalir deras di sekujur tubuhnya, namun walau selelah apapun ia rasa, tetap saja pikirannya akan beralih kembali pada beberapa hari yang lalu–ketika pengkhianat itu muncul di hadapannya begitu saja dan mengatakan bahwa Leva ada padanya. Dan seakan itu tidak cukup, Obi benar-benar tidak menghubunginya walau sudah tiga hari ia menunggu.

'Bahkan burung pengirim pesannya tidak dapat menemukan keberadaan Obi.' Hal itu benar-benar tidak membantu suasana hati sang pangeran. Adiknya, dan salah satu bawahannya yang berharga, berada di pulau ini tanpa bisa ia cari. Memangnya sesuatu bisa menjadi lebih buruk lagi daripada ini?

Mitsuhide menggertakkan giginya, mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya dan melayangkan pedangnya keras-keras. Membuat senjata pada genggaman tangan sang pangeran terlepas, meninggalkan bunyi 'klangg' di balik tubuhnya. "Sudah cukup, Zen. Cukup."

Pemuda itu tidak akan berbohong jika ia berkata ia tidak merasa resah, pun dengan keadaan tuannya yang semakin hari semakin buruh. Namun, kondisi tidak akan berubah hanya dengan Zen melampiaskan amarahnya melalui bertukar pedang seperti ini. Tidak akan ada yang berubah. Kedua netranya melemas, helaan nafas keluar dari bibir, dan pemuda yang lebih tua itu dengan tanpa ragu mencekal pundak lawan bicaranya.

"Ingat apa kata Yang Mulia Tuan Puteri. Jika kau tidak menemukan jalan keluar, maka dobrak dan buatlah jalan yang lain."

Ketika ia mendongak, senyum penuh ketulusan dari Mitsuhide ada di sana, dan ia tidak merasa ini akan berlebihan jika ia berkata pemandangan itu telah membuka matanya. Benar. Jika kau berada di sebuah jalan buntu, yang harus kau lakukan adalah kembali, kembali dan mencari jalan lain. Sampai kau menemukan jalan keluarnya.

Zen tersenyum, sosok angkuh Leva tergambar dalam benaknya. Gadis itu akan benar-benar besar kepala jika ia tahu bahwa perkataannya, ideologinya, kalimatnya, adalah hal yang membuat Zen mampu berdiri tegak sekali lagi.

Mereka berdua bahkan tidak sadar, bahwa keduanya berpegang pada kalimat satu sama lain. Bahwa mereka berdua akan terus berada di punggung satu sama lain, dan saling melindungi dalam diam.

"Saa, Heika." Grace sedikit berteriak, dan pemuda itu menoleh. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?"

Surainya yang berkilau karna keringat, terlihat semakin cerah dengan pantulan matahari senja yang tepat berada di belakang kepala. Netranya menatap tajam, lurus, seakan tujuannya sudah jelas. Ia bukanlah ahli siasat seperti adiknya, bukan pula seseorang yang bisa membuat orang lain tunduk hanya dengan tatapan mata seperti kakaknya. Ia hanyalah Zen, sang pangeran kedua, Zen Wisteria. Dan ia akan melakukan ini semua dengan caranya sendiri.

.

.

.

3 hari yang lalu–
Kediaman Viscount Barlent–

"MANA BOCAH SIALAN ITU?!" Shun berlari masuk menuju kamarnya ketika sang kakak menghadang ayahnya, sang Viscount, untuk masuk dan menghajar bocah itu saat ini juga.

"A-Ayah–sudah cukup–" gadis dengan surai pirang tajam itu mencekal pergelangan tangan ayahnya. Ayahnya mungkin bukan orang yang kasar, namun ketika ia sedang dalam keadaan mabuk tidak ada yang tau apa yang bisa dilakukannya. "Lagipula Shun hanya berada di tempat dan waktu yang tidak tepat. D-Dan itupun karena aku yang memintanya membelikan ornament rambut kupu-kupu yang sedang ramai itu."

"TETAP SAJA!" Viscount Barlent menghempas genggaman itu keras-keras. "TERTANGKAP OLEH ANGGOTA FAKSI BIADAB ITU?! BAGAIMANA BISA PEWARIS VISCOUNT SERENDAH ITU?!"

Walaupun dari dalam kamar dan kini meringkup di balik selimut, Shun tetap bisa mendengar semua itu. Namun kini, jauh di dalam hatinya bukan itu yang ia pikirkan. Bukan kemarahan ayahnya, atau permintaan kakak perempuannya yang tidak bisa ia penuhi, atau bagaimana ibunya menangis di balik pintu ruang istirahatnya karena ia baru saja mendapati anak laki-lakinya tidur di balik jeruji besi.

Tidak ada yang tahu, tidak ada satupun anggota rumah ini yang tahu apa yang begitu membebani pikiran bocah itu. Demi Tuhan ia bahkan baru saja melewati coming of age beberapa musim yang lalu, ia masih memiliki sisa-sisa sifat anak kecil dalam dirinya dan kini sudah berapa banyak hal buruk yang terus terjadi belakangan ini?

Dari hilangnya teman masa kecilnya hingga menjadi penyebab tuan puteri satu-satunya kerajaan Clarines tertangkap dan membusuk di penjara. Kepalanya bisa pecah jika ia terus-menerus mengemban beban itu seorang diri.

KLAKK–

Ia mendongak, mendapati wajah ayu kakaknya di daun pintu, tersenyum lemah padanya. Dan bahkan tanpa bisa ia tahan, bibirnya bergetar. "A-Ane-sama–"

"S-Shun?! Kau menangis?"

Ya. Biar saja, hanya hari ini saja. Shun akan menangis di pelukan kakak perempuannya seperti ia pada usia lima. Karena besok, di pagi hari, ia akan kembali menjadi pewaris Viscount dan maju menghadap ayahnya dengan tatapan yang lurus ke depan.

Karena ada seseorang yang harus ia selamatkan. Ada nyawa lain yang bisa saja menghilang jika ia terus diam saja. Dan hal ini harus dimulai dengan ia menggerakkan ayahnya, kakaknya, dan faksi budaya yang selama ini selalu ada di sekitarnya.

.

.

.

To be continued