Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"
.
.
.
Please Enjoy to Read!
.
.
.
CHAPTER 31 – ONE FIRST STEP
Author's POV
A drastic situation needs a drastic measure. Itu adalah satu kutipan dari buku favorit sang Duke, A Life Procedure of The Man in Crown. Sebuah karya fiksi yang sering ia baca sejak kecil, hingga kini.
Pagi ini ia bahkan belum sempat memakan sarapannya dengan benar ketika Perdana Menteri dan beberapa bawahannya meminta adanya pertemuan darurat. Dan pria itu bahkan tidak mencoba menyembunyikan rasa kesalnya ketika ia duduk di mimbar besar itu sembari menatap satu-per-satu bangsawan di dalam aula pertemuan dengan cukup tajam.
"G-Grand D-Duke–" Jemarinya menyentuh, berputar pada gelas Wine di genggaman. Bibir tertarik ke atas dengan sarkastis mendengar cicitan menyedihkan perdana menterinya. Kenapa juga ia harus memiliki perdana menteri yang terdengar lemah seperti ini?
Namun toh, itu adalah kesepakatan. Dan ia adalah pria yang memegang janjinya. Sebuah kesepakatan dari orang-orang yang dulu membantunya agar bisa sampai di posisi ini. Mereka dari faksi bangsawan kelas atas yang sudah menjadi pendukungnya sejak perebutan tahta Grand Duchy antara ia dan kakak tirinya. Sehingga walaupun sekesal apapun pagi hari ini, ia tidak akan menolak diadakannya pertemuan. Tidak jika faksi memintanya. Terutama dengan apa yang terjadi di Monosoaria saat ini, dan apa yang pasti akan dibahas oleh para pria tua di bawah kakinya itu.
Pangeran Zen dari Wistal menginjakkan kakinya di Monosoaria.
Duke Ellen terkekeh. Well, lagipula apa yang bisa dilakukan oleh bocah ingusan itu? Ia hanya harus menariknya keluar dengan kekuasaannya. Karena di sini pemuda itu tidak punya kuasa apa-apa, sang pangeran hanyalah nomor dua dari sang Grand Duke.
.
.
Realm for The Hearts
Story & OC's Nakashima Aya
Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata
[There's no profit we gain from this fanfiction]
Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.
Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC
.
.
Viscount Barlent terdiam, kedua netra menatap jauh dari jendela besar di ruang kerjanya, kerutan di wajahnya terlihat jelas dengan ekspresi wajahnya yang muram. Anak keduanya baru saja keluar dari ruangan ini, setelah membawa sebuah topik yang kini sangat meresahkan dirinya.
Demi Tuhan, keluarganya hanyalah sebuah keluarga bangsawan menengah dengan kemampuan berdagang turun-temurun. Tidak sekalipun ia berpikir untuk mengikuti alur politik Monosoaria–bahkan ketika kebanyakan partner dagangnya memilih untuk mendukung faksi budaya secara terang-terangan–dan mengotori tangannya dengan dalih keadilan berpolitik. Namun, justru anaknya lah yang kini jatuh terjerumus di dalam lingkaran setan itu.
Dan sang Viscount tidak mungkin bisa diam-diam saja lebih lama lagi.
Ia menghela nafas, memanggil butler pribadinya, dan berkata. "Panggil Ariana sekarang juga, katakan untuk segera menghadap kepadaku."
"Ya, Tuan."
Ariana Barlent, empat tahun lebih tua daripada adik laki-lakinya yang manis Shun Barlent, adalah bunga pergaulan sosial kaum bangsawan Monosoaria. Kendati ia adalah keturunan Barlent yang lebih tua dan berbakat, ia menolak posisi pewaris dan memilih untuk terjun ke medan perdagangan bersama ayahnya. Dan dari situlah jejak langkahnya pada tangga kaum sosial naik satu langkah demi satu langkah. Hingga ia berada di posisi dirinya yang sekarang.
Pemilik butik gaun festival dan juga pencetus brand parfum Ariana's Scent–yang sudah dijual hingga ke daratan utama Clarines. Seorang nona muda yang bahkan kekuasaannya di ranah sosial sudah setara dengan seorang Knight.
Rambut pirang ikal dan bibir tipis yang merona, sama dan serupa dengan milik sang Duchess. Membuatnya menjadi anak kesayangan wanita dengan peringkat paling tinggi di seluruh daratan Grand Duchy. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Duchess Rosaline memiliki keterikatan dengan gadis belia itu, dan sudah menjadi momok bahwa jika saja anak laki-laki pasangan Monosoaria itu kembali dari Tanbarun, mungkin pernikahan politik antar keduanya akan terjadi.
Satu dan dua hal, inilah yang juga menjadi pertimbangan sang Viscount untuk tidak condong ke faksi politik manapun di pulau ini. Baik faksi budaya maupun faksi abdi Tuhan.
"Papa? Aku sudah datang." Dress biru dengan ikat rambut senada mewarnai attire pagi gadis itu. Kepalanya menilik kecil dari balik pintu sebelum sang ayah memberi isyarat agar gadis itu masuk.
"Duduklah."
Bahkan tanpa ayahnya mengatakan, Ariana sudah tahu ada sesuatu yang membebani pikiran pria tua itu. "Apa Shun sudah berbicara padamu?"
Ya. Tentu saja, belum. Shun hanya menangis semalaman, dan membuatnya harus tidur di samping bocah itu karena setiap ia bergerak, Shun akan menariknya keras-keras kembali.
"Ini pertama kalinya," tangan kanan bergerak menyentuh dahi, "pertama kalinya bocah ingusan itu meminta sesuatu padaku."
Dan bukan permintaan yang mudah pula, haha. Ariana tidak serta-merta langsung menjawab, malah cenderung memberi ruang agar pria yang lebih tua itu bisa menata kalimatnya–dan menyelesaikan pembicaraan ini–walaupun ada satu dua patah kata yang sudah gatal ingin ia keluarkan dari bibirnya.
"Aku ingin kau mencari tahu mengenai sesuatu, apapun itu, tentang keberadaan tahanan dari faksi budaya." Ia menghela nafas, jika ia melanjutkan hal ini maka tidak ada kata kembali. Kedua netranya memaku tepat pada garis wajah tegas putrinya, dan ia tersenyum, ia bisa mengandalkan gadis itu. Ia selalu bisa. "Terutama seorang gadis dengan surai merah muda pucat dan warna mata abu-abu pekat. Dengan nama Levanthine Wisteria."
Toh, mungkin ini sudah waktunya keluarga Berlant untuk mengambil langkah pertama mereka, keluar dari zona aman, dan bergerak.
.
.
.
Tinggal satu langkah lagi. Shun Barlent hanya tinggal satu langkah lebih jauh dari kantor pengawalan khusus distrik pelabuhan. Namun demi tuhan, ia merasa seluruh keberaniannya sudah menguap karena pertemuan dengan ayahnya pagi-pagi buta tadi.
"Yosh!" Kedua tangan menggenggam erat, dada dibusungkan ke depan, dan kini ia melangkah mantap. Namun ketika hampir saja tangannya meraih kenop, pintu itu sudah terbuka lebih dulu–menampilkan seorang pria muda dengan surai aneh berwarna biru. Hampir saja. Hampir saja Shun terjerembab ke belakang dan jatuh dengan pantat lebih dulu, jika saja pria dengan tampang seperti beruang jinak itu tidak menangkapnya.
"Woah–kau tidak apa?"
"Y-Ya!" Tangannya bergetar cepat, ia bahkan tidak tahu siapa pria itu namun tensi kegugupan dalam dirinya membuat kalimat tabu itu akhirnya keluar dari bibir. "P-P-Pertemukan aku dengan P-Pangeran Z-Zen dari W-Wistal!"
Mitsuhide berkedip. Satu kali. Dua kali. Dan selanjutnya secara sengaja tangannya memukul keras bagian belakang kepala Shun, membuat pemuda naas itu jatuh tak sadarkan diri.
BRUKK–
KRIEKK–
Ketika ia sadar, ia bisa merasakan kedua tangan dan kakinya diikat erat pada kursi yang kini menyangga tubuhnya, dan bahkan sebelum ia membuka matanya ia bisa tahu bahwa keadaannya sedang tidak dalam keadaan baik.
Oh, sial, sial, sial, sial. Hanya itu yang bisa ia dengar terucap di dalam hatinya. Detik demi detik berlalu hingga akhirnya bocah itu merasakan detak jantungnya mulai stabil dan ia memberanikan diri untuk membuka kedua kelopak matanya. Dan kini bocah itu, Shun, bisa melihat dengan jelas tatapan awas pada ketiga orang di hadapannya. Seorang gadis yang terlihat tidak lebih tua daripada kakak perempuannya, pria yang tadi menemuinya di ambang pintu, dan surai silver itu.
'Pangeran Zen dari Wistal!'
"Siapa yang mengirimmu kemari?!" Nada bicara itu tegas dan menuntut, dalam cara yang berbeda dengan Levanthine, namun tetap sama menuntutnya.
Siapa yang mengirimnya kemari….
Tidak ada. Ia datang dengan kesadaran dalam dirinya sendiri. Setelah meminta kakaknya untuk mencari informasi tentang hal-hal mengenai apapun tentang faksi agama yang bisa ia dapat di jamuan pergaulan kelas atas. Jika pun ia mewakili seseorang, ia mungkin mewakili nama keluarganya, atau mungkin sedikit mewakili faksi budaya.
Well, atau orang lain? Netranya yang sejak awal menolak bertemu dan merasa takut itu, kini tertarik ke atas. Degupan jantung masih ada, namun kini Shun merasa dirinya lebih tenang.
"A-Aku–YANG MENGIRIMKU ADALAH YANG MULIA TUAN PUTERI LEVANTHINE DARI WISTANT!"
Ia bahkan tidak sadar ketika nada bicaranya naik dan ia kini berteriak. Dan semakin kacau ketika kini ketiga orang di hadapannya sudah terlihat begitu tidak percaya.
"L-Leva?!"
Tidak butuh waktu lama untuk Zen akhirnya meminta Mitsuhide melepas ikatan pada bocah brunette di hadapannya itu dan membuat anak laki-laki yang terlihat penakut tersebut mengeluarkan seluruh kalimat di dalam kepalanya kepalanya. Zen benar-benar tidak percaya bahwa apa yang dikatakan bocah itu justru jauh lebih informatif daripada pertemuan tiga pihak beberapa waktu lalu.
Shun menceritakan semuanya. Dari sejak awal bagaimana temannya di faksi budaya pergi mengirimkan surat, hingga ia menghilang dan kini ia ketahui ternyata telah meregang nyawa. Sampai pada titik dimana ia bertemu Leva dan meminta perlindungan pada gadis itu, dan berakhir pada kejadian di penjara–ketika akhirnya mereka terpisah dan Shun tidak tahu lagi apa yang terjadi pada Levanthine.
"Ternyata pengkhianat itu benar tidak berbohong." Zen mengacak rambutnya frustasi akan kalimat Kiki, dan lebih buruknya lagi itu artinya Leva benar berada di tangan faksi agama. Harapannya sekarang tinggal satu, hanya satu hal ini yang harus Zen pastikan. Pangeran muda itu membenarkan posisi duduknya, lalu mendekatkan kepala pada lawan bicaranya dan menegaskan.
"Aku hanya perlu tau satu hal, apa ada orang lain yang bersamanya, yang tetap bersamanya sampai kau berpisah dengan Leva?"
Shun mengernyit, lalu kedua mata membelalak karena ia baru saja mengingat detil kecil itu. "Ya! Ada! Seorang lelaki tinggi dengan bola mata seperti kucing."
Dan ketiga orang dewasa dalam ruangan itu menghela nafas lega, merasa lebih baik, sekaligus merutuki bagaimana bisa Obi bahkan tidak menyebut nama Leva barang secara implisit pun di dalam surat yang ia kirimkan.
KRIETT–
Mereka hampir saja terlonjak ketika mendengar pintu dibuka dan Grace berada di balik sana, mengeluarkan cengiran khasnya dengan kacamata dan rambut kuncirnya yang acak-acakan.
"HAHA, kita benar-benar sudah dibodohi gadis itu, bukan begitu, Yang Mulia?" Zen kembali duduk dengan kaki kanan bersila di atas kaki kirinya, wajahnya sudah terlihat kesal bercampur tidak habis pikir.
"Lagipula anak muda," kini Grace menghadap Shun, menutup pintu di hadapannya perlahan, "apakah kalian ditangkap karena 'memang' tertangkap, atau karena alasan lain?"
"Ah–" Shun membuka mulutnya, "Hime-sama mengatakan 'percaya padaku' dan menahan penjaganya untuk tidak membawanya kabur."
Benar juga, Shun bergumam. Mereka tidak pernah benar-benar tertangkap, Levanthine dengan sengaja membuat mereka ditangkap. Kini ia melihat senyum pada masing-masing bibir setiap orang di dalam ruangan ini, seakan mereka setuju pada satu hal. "Benar, Leva-hime tidak akan semudah itu tertangkap." Mitsuhide mengawali.
"Dasar gadis gila." Zen menimpali.
"Setidaknya ia punya Obi di sebelahnya." Kiki tertawa, disambut hangat oleh Grace. "Kita semua tahu bahwa tuan puteri kecil kita bukan gadis kecil biasa. Percayalah padanya, Yang Mulia, dan kita lakukan sisanya dengan cara kita."
Shun terperangah. Aneh. Ia kesini untuk meminta mereka menyelamatkan sang tuan puteri, tapi justru entah kenapa, mereka semua malah terlihat … lega? Seakan tidak akan ada hal yang salah terjadi. Mereka semua, keempat orang itu, percaya pada Levanthine dengan sepenuh hati, dan mereka yakin bahwa gadis itu tidak akan jatuh ke jalan yang salah.
"Baiklah, saatnya kembali ke pembicaraan yang serius." Grace menaruh beban tubuhnya pada pintu di balik tubuh. Dan ketika atmosfir ruangan berubah ke sudut yang lebih serius, bahkan Shun ikut menegang karenanya. "Benar adanya bahwa Leva-hime sempat berada di tempat ini hingga beberapa hari sebelum kedatangan kita. Dan penjaga yang bertugas menemaninya juga mengonfirmasi keberadaan bocah mata kucing itu di sekitar Hime-sama untuk beberapa hari terakhir gadis itu terlihat."
Tangan kanan terangkat ke atas, sebuah surat yang sudah terbuka berada di sana. "Ini adalah undangan minum teh dari Duchess untuk Yang Mulia Levanthine di hari terakhir Tuan Puteri terlihat berada di sekitar pelabuhan. Aku tidak tahu ada apa di balik ini, yang pasti Leva-hime tidak kembali untuk bermalam di tempat ini setelah ia bertemu sang Duchess."
Duchess Rosaline?
Benaknya beredar kepada cerita-cerita kakaknya di malam-malam ketika pemuda itu tidak bisa tidur cepat, tentang bagaimana sang otoritas tertinggi Monosoaria itu begitu memiliki kesenangan kepada kakaknya.
"Ini akan menyusahkan, Zen." Ya, sekali lagi, Zen setuju dengan perkataan Kiki. Ini sama saja dengan ia harus mempertanyakan sang Duke itu sendiri.
Kedua tangan mengepal, Shun memberanikan diri untuk angkat bicara. "B-Bisakah aku mengatakan sesuatu?"
Benar. Jika itu untuk menyelamatkan Tuan Puteri Levanthine, maka ia tidak akan segan untuk meminta bantuan siapapun itu. Toh, ia sudah meminta kakak dan ayahnya untuk terjun ke medan yang sama.
.
.
.
Obi sedang tidak dalam mood yang baik, dan Leva tahu itu. Bahkan dari jarak keduanya yang tidak kurang dari seratus meter, Leva tahu itu.
'Toh sejak tadi pria itu menggunakan terlalu banyak tenaganya dan terkesan terburu-buru.' Gumam Leva di dalam pikirannya sendiri, ia juga sedikit kesepian, bagaimanapun juga pekerjaannya membuat ia hampir terus-menerus sendiri di dalam menara kontrol.
Dan jika Leva tidak salah menghitung waktu, setidaknya ia sudah berada di sini selama dua hingga tiga hari. Tanpa menemukan apapun yang bisa membantu, dan semakin lama ini semakin membuang waktunya yang berharga. Kedua alis berkerut tajam sembari tubuh tertarik ke belakang–bersandar pada bantalan kursi. Apa langkah yang harus ia ambil sekarang, hm? Leva bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
KREKK–
Bunyi derit pintu membuat gadis itu terlonjak, dan pria tua yang akan menggantikan shiftnya kini ada di bibir pintu. "A-Ah, Ojou-chan, turunlah, waktunya makan."
Leva mengangguk. Dan bertukar posisi dengan pria itu, tanpa pernah saling tahu nama masing-masing. Namun, Leva bisa tahu dari gerak-geriknya bahwa pria itu setidaknya sempat mengenyam pendidikan tinggi, dari cara berbicaranya yang terkesan intelektual dan bagaimana ia ditempatkan di posisi ini, sama seperti Leva. Mereka dipilih karena mereka bermain dengan otak.
Ketika Leva sampai di cafeteria besar itu, dengan cepat sang gadis mengambil porsi makan siangnya dan mengedarkan pandangan–mencari sosok jangkung Obi dari dalam kerumunan–dan bingo! Pemuda itu ada di sana dengan dua sosok lelaki lain, salah satunya adalah pria berjubah yang membawa mereka ke sini, kini sudah menanggalkan jubahnya dan memperlihatkan bekas luka besar tepat di hidung.
"Yo, Majime-chan!" Secepat kilat Obi menoleh ke sekeliling, dan menemukan untaian merah muda itu berjalan menuju meja tempatnya duduk, membawa satu nampan penuh berisi makanan, dan sungguh Obi menahan diri untuk tidak berlari ke sana dan membawakan nampan yang terlihat berat dalam genggaman tangan kecilnya. Walaupun dalam hati ia merutuki dirinya karena membiarkan seorang tuan puteri melayani dirinya sendiri seperti rakyat jelata.
Mencapai meja panjang yang kosong di sisi kanan ruangan, Leva langsung mengambil tempat duduk di sebelah Obi dan merapat pada pemuda itu, lalu merasa tenang, hangat, dan ia tidak lagi kesepian. "Jadi, bagaimana menara kontrol, Majime-chan?"
Leva tidak pernah tidak kesal tiap ia mendengar panggilan itu, Leva bukanlah orang yang seserius itu, walau mungkin ia tidak suka memperlihatkan emosinya. "Tidak buruk." Namun, ia tetap menjawab, kini sembari memakan sup dalam genggaman.
"HAHAHA, kau harus tahu bahwa pacarmu ini tidak sedikitpun menarik pandangan dari menara kontrol sejak dia di sini. Aku bahkan yakin jika kau tidak kemari hari ini, ia akan masuk ke barak tidur wanita dan menculikmu nanti malam, HAHAHAHA."
"P-Paca–"
"Apa boleh buat, lagipula kita kabur bukan untuk dipisahkan seperti ini." Leva menenggak minumannya dengan tenang, tidak terlihat ada ragu sedikitpun dalam nada bicaranya.
"Masalah kaum sosial atas ya? Orang tua?" Obi menoleh pada pria di depannya. "Ya. Mereka menentang hubungan kita." Lalu pada Leva yang menyambut omongan ngawur pria itu dengan jawaban sama ngawurnya.
"Hubungan seorang mercenary pelabuhan dengan nona bangsawan. Wah. Aku benar-benar tidak menyangka akan menemukan yang seperti ini di sini."
"Aku hampir saja menyerah dan mengiyakan permintaan perjodohan dari orang tuaku, namun dia tiba-tiba datang ke kamarku dan mengatakan akan menculikku, membawaku kabur agar kita bisa bersama."
"U-UHUK–UHUKK–" Obi hampir saja menyemburkan isi mulutnya. Dan sekali lagi, lawan bicaranya itu tertawa lepas. "Tidak perlu malu-malu, boy. Cinta memang membuatmu melakukan hal-hal gila."
Obi bisa gila jika hal ini terus dibahas, maksudnya, harga dirinya benar-benar dijatuhkan. "Lalu bagaimana kalian bisa berakhir di penjara itu? Maksudku, bukankah kalian bermaksud kabur?"
Leva menutup makan siangnya dengan meletakkan kedua alat makan secara menyilang, mengelap mulutnya dengan sapu tangan dan menghela nafas, memberi kesan lebih agar pria itu lebih mempercayainya. Tangan kanan meraih pergelangan tangan kiri Obi yang menumpu dagunya, menariknya perlahan turun dan mengaitkan jemarinya pada jari-jari panjang sang pemuda. Dan sungguh, Obi benar-benar menahan nafasnya sekarang.
'Sial, dadaku berdegup tidak karuan.'
"Kita hanya ingin menghabiskan malam terakhir kita di Monosoaria dengan bermain di pasar malam, namun…"
Leva membuang muka, seakan ia sedang merenung dan bersedih. Dan seperti yang sudah direncanakan pria itu mulai memberikan simpatinya. "Kalian benar-benar tidak beruntung. Maafkan aku."
Jika saja pria itu bisa melihat seringai tipis yang tertutup untaian pucat itu. Namun kini, meja makan jatuh dalam keheningan masing-masing.
Obi bisa merasakan Leva menarik tangannya, dan ia hampir saja merasakan dingin di sana sebelum ia kembali menyadari apa yang gadis itu lakukan. Levanthine menggoreskan pesan di telapak tangan pemuda itu.
Jam malam. Keluar. Bilik mandi.
Obi tersenyum. Akhirnya mereka bisa keluar dari tempat menyebalkan ini. Tempat dimana Obi tidak bisa di samping Leva sebanyak yang ia mau.
.
.
.
tbc.
