Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"
.
.
.
Please Enjoy to Read!
.
.
.
CHAPTER 32 – PASSAWAY
Author's POV
BRUAKK–
"Dimana gadis itu?!" sang madam dengan histeris membanting gelas kaca dalam genggaman, membuat pelayan muda di sampingnya hampir memekik. Helaian emas miliknya yang seharusnya terlihat indah kini justru memberi kesan mengancam.
"Kami masih belum menemukannya, Duchess." Pria bertopeng itu membungkuk, bahkan tidak bergeming sedikitpun kala sang wanita melemparkan gelas tepat ke dinding di belakangnya.
"Aku tidak mau tahu, kalian harus menemukannya sekarang juga! Apa gunanya nama chou jika kalian tidak mampu menemukan hanya satu orang gadis saja?!"
Rosaline sudah tidak lagi menutupi rasa marah dalam dirinya dengan senyum palsu dan kain transparan. Toh ia ingin semua orang di dalam ruangan itu tahu bahwa ia kecewa. Semenjak gadis bernama Levanthine itu datang ke daratan ini semua menjadi kacau dan bahkan kini gadis itu menghilang, tidak mampu ia lacak keberadaannya.
Akan baik jika nantinya ia menemukan gadis itu dalam keadaan tidak bernyawa, namun kini, dalam posisi ia tidak mengetahui dimana gadis itu adalah hal yang sangat rawan, membahayakan. Bagaimana jika gadis itu menemukan rahasianya? Bagaimana jika ternyata ia sudah kembali ke Wistal dan melaporkan pada raja muda sialan itu? Tidak. Tidak boleh. Semua yang ada di Monosoaria adalah miliknya. Milik Duchess Rosaline Monosoaria seorang.
"Kau akan kupenggal jika tidak ada lagi kabar baik dalam sisa hari ini."
"Tentu, Your Grace."
.
.
Realm for The Hearts
Story & OC's Nakashima Aya
Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata
[There's no profit we gain from this fanfiction]
Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.
Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC
.
.
"Ah–Ojou-chan, sudah waktunya ya." Leva mengangguk, sembari menutup kembali pintu geser di belakang tubuhnya. Pria muda itu adalah satu-satunya orang yang jam kerjanya bersinggungan dengan Leva, dan hanya di waktu-waktu seperti inilah ia tidak sendirian di dalam menara kontrol.
Pria itu adalah salah satu anggota 'fallen nobles' yang namanya sudah dilupakan karena mereka kehilangan kekuasaan dan harta material. Namun, karena andil besar ibunya yang masih memiliki darah kental kebangsawanan, pria itu masih bisa mengenyam pendidikan yang cukup bahkan sempat pergi ke daratan utama Wistal untuk mencari peruntungan pekerjaan. Sampai suatu hari, seseorang menawarinya pekerjaan, dan membuatnya berakhir di lubang terkutuk ini.
"Aku tidak kesini secara cuma-cuma, ojou-chan. Aku berada di sini karena keterpaksaan. Dan aku yakin, aku bukan satu-satunya."
Leva tidak bodoh. Ia tahu apa maksud pria itu. Ia tahu apa yang pria itu ingin sampaikan pada Leva. Dan kini ia tahu mengapa ada buku terkutuk bertuliskan nama-nama orang yang hilang itu di sini. Dan yang harus Leva lakukan kini hanyalah memastikannya.
Kedua netra berkilat cepat, mencari-cari dari panel kaca, menyusuri sosok berbadan tegap dengan surai gelap yang ia kenali. Dan lagi, selalu, ketika ia melihat sosoknya, ia merasa tenang. Ketika ia melihat senyum dan tawa yang keluar dari sana, ia tahu apa yang harus ia lakukan.
'Ah, aku benar-benar sudah gila.' Leva sudah gila, karena ia tidak tahu lagi apa yang bisa ia lakukan jika sosok Obi tidak ada di sisinya. Ia tidak bisa membayangkan jika sosok yang ada di sampingnya bukanlah pemuda itu, bukan Obi.
.
.
.
TAP–TAPP–
Walau sudah selembut apapun ia bergerak, langkah kakinya masih bisa terdengar di seluruh koridor yang sepi itu. Dan walaupun wajahnya masih tetap stoic, debaran jantung tidak akan membohongi. Levanthine Wisteria sedang dalam usaha diam-diamnya untuk menemui Obi, dengan pakaian cokelat sederhana seperti yang dipakai seluruh pekerja di tempat ini, gadis itu melenggang dari koridor ke koridor. Satu hal yang ia syukuri dari pakaian mengerikan ini adalah ia jadi bisa mengenakan celana, karena jujur saja, berjalan dan berlari dengan rok gaun berenda bukanlah gayanya.
Levanthine sudah beberapa hari terus berada di sini, dan kini ia sudah menghafal baik sleuruh lekukan demi lekukan, posisi para penjaga, jam-jam yang aman untuk bergerak, Levanthine sudah sangat menghafal pola tersebut. Bahkan tidak hanya sekali dua kali gadis itu terus mengulang adegan kaburnya di dalam otaknya. Satu hal yang tidak bisa ia prediksi adalah pergerakan Obi, tapi ia tidak peduli, toh Leva sudah menaruh seratus persen kepercayaannya pada sang pemuda bercodet.
Tap–Tap–Tapp–
SRAKK–
'Sial!' Leva hampir tidak bisa bereaksi ketika ia menemui dirinya ditarik keras dari sisi berlawanan dan mendapati tangan membekap mulutnya dengan cekat. Leva hampir saja menggigit sembari melayangkan tendangan ke belakang ketika ia menyadari aroma familiar itu.
"Shh–aku hampir merasa diikuti, Hime-sama."
Oh, lututnya melemas dan helaan nafas lega keluar dari bibir. Ada satu hal yang harus Leva pastikan saat ini, namun melihat dari keadaan, jika hal-hal yang tidak diinginkan terjadi maka prioritasnya adalah keluar dari sini–dan ia yakin Obi juga berpikir hal yang sama. Tempat ini mungkin sekilas tidak seperti tempat yang aneh, namun apapun itu, tetap saja tambang ini illegal dan hal itu saja sudah cukup bagi Leva untuk membawa masalah ini ke meja pengadilan. Tambang batu yang tidak pernah tercatat di administrasi kerajaan, sudah pasti tidak masuk ke dalam pembayaran upeti dan itu artinya seluruh penghasilan masuk ke dalam kantung penguasa wilayah. Padahal hanya batu, batu konyol yang bahkan Leva tidak bisa perkirakan harganya di pasaran.
Duke dan Duchess Monosoaria. Leva tidak begitu mengenali keduanya, namun entah kenapa mereka berdua terdengar seperti pasangan yang mengerikan. Seperti kombinasi puzzle yang cocok dan saling terkait. Kesampingkan sang duke, hanya menghadapi pasangannya saja Leva sudah hampir banjir keringat.
"Ada yang perlu aku pastikan, Obi."
Obi melepaskan genggamannya pada pundak Leva, membiarkan gadis itu melangkah mundur sejenak dan menatap lurus pada tatapan penuh kekokohan di sana. "Tapi aku butuh kau untuk setuju denganku. Jika kau merasa ini terlalu berbahaya, kita bisa mencari jalan keluar."
Obi menggigit bibir, menahan diri untuk berbicara, menunggu Leva selesai. "Aku ingin kau yang memilih. Kita keluar, atau kita masuk lebih dalam."
Namun, dengan kerlipan iris keabuan itu, bagaimana mungkin Obi bisa menolak? Bagaimana mungkin Obi bisa mengatakan tidak di saat gadis itu penuh dengan rasa percaya diri yang membuncah?
Ketika keduanya masuk ke dalam bilik mandi, tidak ada yang terlalu curiga. Bahkan pria aneh yang membawa mereka kemari malah dengan senang hati mengatakan akan memberi waktu dan alibi untuk Obi.
Well, Obi tahu bahwa skenario mereka adalah pasangan dimabuk cinta yang kabur dari rumah namun ini sungguh sudah keterlaluan. Leva mungkin tidak menyadarinya, namun pria itu mau menutupi mereka karena ia yakin Obi dan Leva akan melakukan hal yang biasa pasangan lakukan di dalam kamar mandi.
Dan ini, sungguh membuat Obi tidak waras. Wajahnya merah bukan karena uap panas dari dalam kolam air, namun karena wajah gadis itu yang begitu dekat dengannya. Terkadang Obi jadi merasa bahwa Leva bahkan tidak melihatnya sebagai seorang pria barang sedikitpun.
"Obi!"
Ia terkesiap, mundur beberapa langkah ke belakang sebelum leva kembali menarik pergelangan tangannya mendekat. "Serius, apa yang membuatmu begitu risau? Kita tidak akan tertangkap."
'Bukan itu, dasar tidak peka.'
"Kau mendengarku, 'kan?" Yah, Obi sudah paham secara garis besarnya. Tentang bagaimana teman kerja Leva adalah orang dari daratan utama dan bagaimana ia dipaksa bekerja di tempat ini dengan cara yang tidak wajar. Dan itu artinya, bukan tidak mungkin bahwa orang-orang yang hilang itu ada di sini. Terutama dengan hal-hal ganjil yang mereka temukan selama di tempat ini.
Yang tidak ia suka adalah kenyataan bahwa selama Obi bekerja membanting tulang dengan tidak tenang itu, Leva malah berdua dengan seorang lelaki yang tidak ia kenal di dalam menara sempit konyol itu. Lagipula bagaimana bisa gadis itu tidak mengeluarkan aura waspada sedikitpun?
"Obi!"
"Y-Ya?!"
Ah, Leva bisa gila. Padahal mereka harusnya bergerak cepat namun kini Obi malah terlihat sangat tidak fokus dan berpikiran yang tidak perlu.
Obi menggaruk kepalanya dengan tidak sabar, "jadi kita hanya perlu untuk menemukan atau memastikan apakah semua ini benar?"
Leva mengangguk keras. Mereka harus menemukannya dengan cepat, atau tidak sama sekali. "Kau tahu sesuatu?"
"Hmm," Obi kini berjongkok, menyesuaikan tinggi tubuhnya dengan posisi Leva yang sekarang.
"Tapi berjanjilah satu hal padaku, Hime-sama." Obi berhenti, menatap iris keabuan gadis itu sangat dalam. "Kali ini anda harus berhenti ketika saya meminta. Anda harus keluar ketika saya berkata sudah cukup."
Leva hampir tersedak air liurnya sendiri. Ini keterlaluan, tatapan itu keterlaluan. "Y-Ya." Obi mundur dan tersenyum, cukup puas dengan jawaban nonanya. "Ada satu ruangan yang tidak boleh kumasuki, apapun alasannya. Tempat kami menaruh karung-karung berisi batu itu. Aku hanya boleh menaruh tepat di depan pintu, dan orang dari dalam yang akan mengambilnya."
Bibir tertarik ke atas, Leva menyahut. "Haruskah kita mulai dari sana?" Ah, ini dia. Ini yang membuat Obi semakin dan semakin jatuh ke dalam pesona gadis itu.
.
.
.
"Z-Zen, kau yakin?"
Mitushide mencicit, mengikuti langkah cepat tuan nya yang lagi-lagi bertindak tanpa berpikir. Bukan, lebih tepatnya memang Zen selalu bertindak secara impulsif, mendobrak, dan berterus terang.
"Sudah sampai sini kita tidak mungkin mundur, bodoh." Iris Zen berkilat, kendati ia berkata demikian sejujurnya jauh di dalam hati ia juga merasa resah. Takut jika pilihannya ini salah.
"YANG MULIA PANGERAN ZEN WISTERIA DARI WISTAL MEMASUKI RUANGAN."
'Ah, Zen sudah gila.'
KRIEKK–
Pintu terbuka, menampilkan ruangan bercorak emas–yang Mitsuhide yakini memang seluruhnya terbalut emas–dengan singgasana tunggal di tengah ruangan, sang duke duduk di sana.
"Selamat datang di Monosoaria, Yang Mulia."
'Padahal kita sudah susah payah meminta Grace-san untuk menghapuskan jejak perjalanan dan lihatlah apa yang dilakukan pangeran bodoh ini–mengumumkan kedatangannya di seluruh daratan Monosoaria.'
Mitsuhide tidak bisa menahan kegugupan dalam dirinya, berbanding terbalik dengan itu Zen malah berjalan masuk dengan angkuh; menggenggam gagang pedang dengan tangan kiri sehingga hampir terlihat seperti ia sedang berkacak pinggang.
"Oh, mana sopan santunku, tidak selayaknya seorang pelayan untuk duduk di singgasana ketika Tuan nya berdiri, bukan?"
DEGG–
Zen menelan ludah, ini akan menyulitkan. "Jadi, apa yang diperlukan orang nomor dua Clarines di sini? Wahai pangeran Wisteria."
Di sisi lain, Grace dan Kiki kini berjalan menyusuri pelabuhan, membawa serta burung pengantar pesan–berjaga-jaga jika mereka perlu menghubungi Zen–sembari membuka kedua mata dan telinga.
"Ojou-chan, menurutmu apa yang membuat kita berada di sini sekarang?" Kiki menengadah, cahaya matahari tepat di atas kepala, menusuk dengan tajam memasuki indera penglihatannya. Surai pucat miliknya berkilat, mengikuti hembusan angin yang begitu pekat dengan bau air laut.
"Menjaga markas?"
Grace tertawa, "Kita akan berburu, ojou-chan. Berburu."
Gadis itu merasa dahinya mengkerut, ia paham bahwa dirinya selama ini memang bukanlah tipe pemikir, namun di antara keseluruhan bawahan Zen, Kiki merasa ia adalah satu-satunya yang paling menggunakan otak dan otot secara seimbang. Namun, kini ia benar-benar tidak paham model sarkasme apa yang tengah dilakukan Grace saat ini.
Well, itu bukan sarkasme bahkan.
"Kau ingat aku pernah mengatakan bahwa aku di sini sebagai perwakilan dewan pelabuhan bukan?" Grace menyemburkan asap rokok di depan wajah Kiki, gadis itu mendengus. "Ya, Nona. Aku di sini bukan hanya untuk mengantarkan Yang Mulia Zen, namun juga untuk kepentinganku sendiri."
"Lalu?"
Kiki diam, Grace hanya mengeluarkan senyum penuh makna. Dan Kiki pun memahami semuanya.
"Flying Dutchmann–"
Puntung rokok dibuang, diinjak, seringai kini tertancap di sana. "Kita akan berburu kapal terkutuk itu, sayang. Berdoa saja semoga hidungku ini bisa mencium bau busuk kapal itu dari pelabuhan ini."
.
.
.
"Disini, Hime-sama."
Kedua tangan masih saling terpaut, Obi bisa merasakan genggaman Leva mengencang, dan ia tahu rasa tidak nyaman ada di sana.
Kendati demikian, netranya tidak bergeming barang sedikitpun. Pintu besar itu terlihat berat dan akan mengeluarkan bunyi yang menyebalkan jika keduanya memaksa untuk membukanya–dan menyebabkan mereka tertangkap dengan memalukan tanpa pernah bisa membuka tabir rahasia di tempat ini–gigi tanpa sadar sudah menggigit keras bibir bagian dalam. Frustasi.
"Kita … tidak mungkin bisa mendobraknya, iya kan?"
Obi terkikik. Tidak sering ia bisa melihat Leva kehabisan akal seperti ini, dan itu cukup menggemaskan di matanya.
"Selalu ada opsi untuk kabur, Leva-hime."
Leva mendengus. "Tidak. Kau tidak suka jika aku mundur bukan? Kau tidak akan suka jika aku memutuskan untuk menyerah begitu saja."
'Karena aku hanya akan terlihat di matamu ketika aku berusaha keras.'
"A-Ahahaha … ya … benar juga." Terkadang Obi tidak habis pikir, bagaimana bisa gadis itu menelusuk jauh ke dalam pikirannya seakan itu bukan apa-apa?
"Kita harus cari cara lain. Atau tempat lain." Atau keluar dari sini.
"Apa yang kalian lakukan di sini?"
DEGG–
Jubah itu, surai hijau itu. Ah sial, pikir Obi. Ia kira si brokoli itu tidak akan mengikutinya sampai kemari. Rasa penasaran laki-laki itu mulai kelihatan kurang ajar dan tidak lucu lagi sekarang.
"Woah, kau benar-benar penguntit."
Dari balik tudung jubah itu Leva bisa melihat sorot mata kebingungan dari sana. "Aku tidak mengira kalian akan mengendus seperti ini."
Leva sudah mengira sejak awal bahwa posisi pria itu pasti berada satu kasta lebih tinggi dari pekerjaan Leva dan Obi sekarang; meskipun ia bersikukuh tidak mengakui siapa pemilik tempat ini. Ia hanya bekerja seperti mereka.
'Ha ha, bekerja apanya, ini sih sudah namanya perbudakan.' Tangan kanan bergerak menarik perlahan pergelangan tangan sang gadis, memposisikan gadis itu agar berdiri di belakangnya. Ia sudah mengira bahwa hal ini tidak akan mudah, seharusnya ia bersikukuh mereka keluar saja dan segera bergabung dengan tuannya. Seharusnya saja–jika Obi tidak luluh dengan tatapan Leva yang selalu penuh kepercaya dirian.
Pintu besi berkarat yang tidak bisa dibuka di belakang tubuh. Dan musuh tepat di depan mata. Well, Obi bisa memilih jalan keluarnya dengan cepat, toh musuhnya hanya satu dan ia yakin bisa menandinginya.
"Aku tidak bisa membiarkan kalian berada di sini."
"Nonaku juga seharusnya tidak berada di sini, ha ha." Obi berkelakar. Toh memang ia bermaksud demikian. Leva, seorang puteri satu-satunya Clarines, bekerja di tambang? Jika Izana tahu, ia pasti akan menjadikan Obi sebagai umpan memancing ikan.
Pria itu menghentakkan kakinya, kedua tangan terlipat di depan dada. "Kalian benar-benar tidak seharusnya berada di sini."
"Obi–"
"Sebentar, Hime-sama." Lagak Obi sudah seakan ia bisa menghancurkan dinding gua bawah tanah ini dan membawa Leva pergi begitu saja. Tapi toh sikapnya yang congkak inilah yang membuat Leva merasa situasi ini tidak mengerikan.
"Maaf, bos. Tapi kita harus segera keluar dari sini."
Tangan kanan melepas pegangan pada sang gadis dan pemuda itu bersiap menyerang musuhnya. Kaki kiri melakukan tendangan berputar, namun musuh di hadapannya dengan cekatan menghindari serangan dari Obi. "Heeh, tidak buruk juga."
Ia melompat ke belakang, memberi sedikit jarak sejenak sebelum kembali menerjang lawannya dan melakukan serangan beruntun. Tendang, pukul, hindar. Obi baru saja berhasil membuat pria itu terjatuh dengan memberikan serangan pada kaki kiri ketika ia mendengar teriakan lain dari arah berlawanan.
"M-MARIO-SAN?!"
Reflek, ketiga orang tersebut menoleh. Levanthine bukanlah tipe orang yang mudah percaya bahwa dunia berpihak padanya, bahwa takdir itu benar adanya. Namun, saat ini ia merasa bahwa semesta memang sedang berada pada pihak yang sama.
Surai ikal itu, warna pucat itu.
"Aroha … Seria?"
Seakan waktu berhenti. Keempat orang dalam ruangan itu saling terdiam. Memproses apa yang tengah terjadi. Tidak lama hingga Mario, pria dengan jubah dan surai kehijauan itu menyadari bahwa Leva–majime-chan biasa ia sebut–mengenali keberadaan Aroha dan langsung bergerak menerjang gadis itu.
Dan tidak butuh waktu lama bagi Obi untuk langsung mendekat pada nonanya dan menendang dengan kuat perut Mario ketika pemuda itu merasa Leva berada dalam bahaya.
"Lawanmu itu aku."
Nada bicara itu penuh rasa kesal dan membentak. Dan Leva kini sudah mulai terbiasa dengan sisi Obi yang seperti ini. Sisi Obi yang keluar ketika orang yang seharusnya ia lindungi berada dalam bahaya. Sisi yang bahkan membuat Levanthine bergidik memikirkan kemungkinan yang akan terjadi jika Obi dibiarkan seperti itu.
"Mario-san!" Aroha, dengan surai ikalnya yang kini terpotong pendek sebahu, berlari mendekati Mario. Bukan berarti Obi menyerangnya dengan kekuatan penuh, hanya saja emosinya sedang tidak terkontrol dan ia tidak mau main-main lagi.
"Kita keluar dari sini."
"T-Tunggu!"
"Tidak. Kita keluar sekarang juga." Obi menarik pergelangan tangan Leva dengan kuat, tidak lagi mau mendengarkan kelakar apapun yang keluar dari bibir Leva. "Anda berjanji. Anda berjanji bahwa ketika saya mengatakan kita harus berhenti, maka anda akan berhenti."
Leva terdiam. Ia memang mengatakan demikian. Namun–
Sorot matanya kini melirik pada Aroha yang berjarak beberapa kaki dari tempatnya kini berdiri. Tidak mungkin 'kan aku akan membiarkan hal ini terselip dari tanganku?
Ia menarik pergelangan tangannya yang dicekal erat oleh Obi, lalu menyelipkan jemarinya dan menautkan pada jemari kasar pemuda itu. Sedikit demi sedikit, Obi mulai merasa tenang. "Lihat siapa yang ada di hadapanmu."
Mengeratkan tautan pada jemari Leva, Obi menoleh, kedua mata membelalak cepat karena ia melihat warna dan wajah familiar pada gadis yang kini berjongkok di hadapan Mario. Wajah yang sama dengan pencuri sialan yang tempo hari membuat tuan puterinya kesusahan. Dan orang yang sudah mereka cari selama ini.
"Aroha Seria." Aroha berjengit, sedikit terkejut, ia menoleh dan mendapati seorang gadis seusia dengannya kini sedang menatapnya dengan tajam.
Ada sesuatu yang menuntut dari tatapan gadis itu dan ia tidak tahu mengapa. "S-Siapa?"
Menyadari bahwa ia tidak bisa terus meringkuk kesakitan, Mario beranjak dari rasa sakit yang melandanya di bagian perut dan memposisikan diri di hadapan Aroha. Levanthine tidak tahu apa hubungan mereka, dan apa yang sedang terjadi saat ini, tapi yang pasti ia perlu memperoleh kepercayaan dari gadis ikal itu. Dan satu-satunya cara hanyalah dengan ini.
"Aku mengenal ayahmu."
"A-Ayah?" Darahnya berdesir, detak jantungnya kini tidak beraturan. "A-Anda berasal dari daratan utama?" Sosok gadis dengan surai merah muda pucat itu begitu royal, bahkan hingga tanpa sadar Aroha kini menggunakan bahasa formal padanya.
"Aku adalah orang yang membawa wasiat terakhir dari ayahmu."
"Wasiat terakhir?"
Obi mengernyit, tautan pada jemari semakin dieratkan. "Maafkan aku, namun Rohan sudah meninggal. Dan aku di sini, untuk membawamu kembali ke Wistal."
Suasana ruang gerak tempat tersebut kini berputar pada arah yang tidak lagi jelas. Aroha terdiam. Ia tidak tahu apa yang tengah terjadi, ayahnya … sudah meninggal? Ia harus kembali ke Wistal? Apa-apaan ini? Dan siapa gadis itu?
Mario menggigit bibirnya. Mereka, yang mengaku pasangan dimabuk cinta itu adalah orang daratan utama?
"Apa-apaan kalian? Jelaskan semuanya!"
.
.
.
tbc
