Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"

.

.

.

Please Enjoy to Read!

.

.

.

CHAPTER 33 – The Depth Between

Author's POV

"Master, sudah saatnya."

Tidak ada yang lebih membuatnya berdebar daripada menyaksikan seluruh pionnya bergerak dengan baik. Seringai muncul di wajahnya yang penuh dengan bekas luka. Jubah gelap itu kini sudah terbuka, tergantikan dengan pakaian resmi kerajaan dan sebuah pedang panjang yang bertengger di bagian kanan tubuh. Iris keabuan dan surainya yang merah menyala menambah kesan buas pada dirinya.

Sudah waktunya ia berpindah ke rencana selanjutnya. Dan malam ini adalah waktunya.

"Ya. Sudah saatnya chou muncul ke permukaan."

Sinar rembulan malam itu begitu terang, menusuk ke dalam tubuh seakan ia berusaha menelan gemerlap bintang yang bertabur bagai hiasan pada kue ulang tahun. Malam ini adalah saksinya, saksi dimana balas dendam yang sudah ia kubur sejak lama akan dimulai dan kini, tidak akan ada yang bisa menghentikannya, bahkan sang raja dunia sekalipun.

"Persiapkan dirimu, Wisteria."

.

.

Realm for The Hearts

Story & OC'sNakashima Aya

Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata

[There's no profit we gain from this fanfiction]

Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.

Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC

.

.

"Apa-apaan kalian? Jelaskan semuanya!"

Suara pria itu menggema pada seisi lorong yang kosong ini, dan ketika ia menoleh, Aroha sudah jatuh terduduk dengan air mata mengalir pada kedua pipi. Ia tidak pernah berharap lebih, terutama setelah terkurung di tempat ini selama beberapa tahun lamanya, ia tidak pernah berharap untuk bisa pulang dan menemukan ayahnya dalam keadaan baik-baik saja. Namun, mendengar secara langsung membuat pertahanan yang sudah ia buat hancur berkeping-keping.

Sejujurnya, Leva tidak ingin memainkan kartu ini, ia tidak suka menggunakan hati manusia sebagai bahan permainan. Namun, jika Leva ingin menemukan jalan keluar dari masalah ini, ia harus melakukannya.

"Rohan…" ia berhenti sejenak, "-san." Dan memutuskan menambahkan suffix di akhir. "Ia sampai akhir terus memperjuangkanmu. Sampai akhir ia terus berkata bahwa ia harus menemukan puterinya."

Ia tidak berbohong, tidak ada dusta dalam kalimatnya.

"A-Apa yang d-dikatakan ayah … p-pada saat terakhirnya?" Levanthine tersenyum, kini berjongkok di hadapan Aroha. "Hiduplah dengan baik, seperti Arohaku."

Bayangan pria tua itu kini terbesit di benaknya. Ketika mereka bertemu di penjara, hari-hari yang ia habiskan untuk mencari tahu siapa itu Rohan. Hingga momen-momen dimana ia menghabiskan buku-bukunya di samping tempat tidur sang ayah. Semuanya menumpuk dan membuat emosi membuncah dalam dirinya.

Tangannya terulur ke depan. "Aroha Seria, ayo kita keluar dari sini."

Seakan tanpa pertahanan, kini tangisnya pecah. Ia akan keluar dari sini. Kali ini, ia benar-benar akan keluar dari sini. Karena kini ia merasa langit biru tidak lagi jauh untuk dijangkau, kini ia merasa bahwa tanah di atas sana benar-benar bisa dipijak.

"Hai!"

Air mata itu tidak berhenti. Namun hatinya sudah menaruh janji dan ia yakin untuk pergi.

.

.

.

Mario bukanlah orang yang lemah, bahkan dari beberapa pekerja tingkat dua, ia mungkin termasuk yang paling kuat. Namun kini, ia benar-benar harus menahan rasa malunya dan duduk tenang dengan kedua tangan menyilang di depan dada–atau pemuda bermata kucing itu akan menjadikannya santapan binatang malam.

"Jadi, kalian kemari untuk membawa Aroha?"

Levanthine mengangguk. "Ya. Aku adalah agen yang disewa Tuan Rohan untuk mencari puterinya, dan pemuda di belakangku ini adalah … ehem … pengawal pribadiku."

"Heeh, orang-orang daratan utama bahkan memiliki pekerjaan aneh seperti ini ya." Sembari menunggu Aroha merasa tenang, kini mereka kembali ke tempat pemandian (dimana tidak akan ada yang curiga jika ada orang di sana pada malam hari seperti ini.)

Mario adalah salah satu dari beberapa orang yang bekerja di sini diluar keterpaksaan. Ia menerima pekerjaan melalui jalur dunia bawah dan memang mengetahui bahwa pekerjaan ini bukan pekerjaan yang legal. Namun, berapa kalipun Leva menanyakan padanya siapa boss nya, ia tidak akan menjawab. Lebih tepatnya ia memang tidak tahu jawabannya.

"Sudah kubilang berapa kalipun, Majime-chan, aku benar-benar tidak tahu siapa pemilik tempat ini."

Ia pernah beranggapan bahwa pemilik tempat ini kemungkinan besar memang adalah bangsawan berada, atau bahkan pemilik kekuasaan daerah ini sendiri, namun tentu saja sebagai orang yang membenci Duke sebelumnya, ia tidak mau berprasangka buruk pada Duke Ellen.

Berbeda dengan Leva dan Obi yang hanya mengetahui bagian luar pekerjaan ini. Mario, Aroha, dan beberapa orang lain yang dibawa secara paksa dari daratan utama merupakan mereka yang bekerja di balik pintu berat. Mereka mengetahui sisi-sisi tergelap gua bawah tanah ini. Dan Mario tidak akan berbohong ketika ia berkata ia sendiri merasa jijik karena menyanggupi pekerjaan seperti ini.

Pekerjaan yang melibatkan perbudakan dan penyalahgunaan kewenangan secara illegal. Pekerjaan yang membuatnya lagi-lagi mempertanyakan sisi kemanusiaannya.

Pertama kali ia merasa pekerjaan ini tidak sekedar tambang illegal adalah ketika ia bertemu dengan Aroha. Seorang gadis yang terlihat ringkih dan tidak memiliki tenaga untuk melakukan pekerjaan berat, namun tetap tersenyum dan menganggap seluruh hal dalam sisi positif. Aroha adalah orang yang menyadarkan Mario bahwa pekerjaan ini bukan sekedar mengambil batu berharga, namun juga mengambilkan kebebasan manusia. Seberharga itulah Aroha di mata Mario. Dan jika ada seseorang yang mengatakan bahwa ia bisa membawa Aroha keluar dari sini, maka ia tidak akan segan untuk menawarkan tangan dan membuang jauh kemanusiaannya.

"Tidak bisa. Kalian tidak akan bisa keluar begitu saja. Tidak dengan chou yang berada di belakang semua ini."

"Chou?" Lagi. Lagi-lagi nama itu muncul ke permukaan. Dan Obi tidak menyukainya. Terutama karena setiap kata itu keluar ia bisa merasakan tatapan nanar pada diri Levanthine dan tubuhnya bergetar hebat.

"Ya. Aku mungkin tidak tahu siapa yang memiliki pertambangan ini. Namun aku tahu jelas bahwa orang yang merekrutku memperkenalkan dirinya sebagai utusan chou. Dan asal kalian tahu, mereka yang berusaha kabur tidak pernah berakhir dengan baik."

Chou, chou, chou. Nama yang terus keluar dan selalu ia dengar beberapa saat belakangan ini. Ada apa dengan orang-orang ini? Siapa mereka? Hal terakhir yang Leva tahu ialah mereka merupakan orang yang berdiri di belakang faksi abdi Tuhan. Apa itu artinya tambang ini berhubungan dengan faksi tersebut? Namun, lagi-lagi bukankah memang sejak awal mereka adalah tawanan dari faksi tersebut? Jika tambang ini berhubungan dengan penguasa, maka tidak mungkin mereka yang awalnya merupakan tahanan faksi menjadi bagian dari pekerjaan kotor Duke dan Duchess.

'Atau mungkin faksi abdi Tuhan memang bekerja di bawah keluarga Monosoaria?'

Ya. Pasti itu. Tidak ada hal lain yang lebih masuk akal selain hal itu. Tapi, bagaimana bisa mantan pengawalnya itu, Sam, memiliki afiliasi dengan chou?

"Kami–Aku punya cara sendiri." Posisi mereka memang sudah berbeda, namun majime-chan tetaplah majime-chan, dan ia tersenyum. "Jadi bagaimana, apa yang akan kau lakukan?"

"Kita tidak akan keluar dari sini, Mario-san. Kita akan menghancurkan tempat ini." Obi melirik, seringai khas Leva ada di sana, dan ia bersiul. Nonanya itu, pasti sudah memikirkan sesuatu di dalam otaknya. Dan lagi-lagi, seluruh orang yang ada di dalam ruangan itu harus bersiap untuk terjun bebas ke dalam rencana sang gadis yang selalu, dan selalu, seperti putaran roller coaster.

Leva sejak awal tidak pernah memperkirakan ini. Ia memang curiga, dengan topografi yang seperti ini, kemungkinan daratan Monosoaria memiliki hasil bumi batu berlian atau emas adalah hampir sama dengan nol. Pembicaraannya dengan Aroha dan Mario membuatnya sadar apa yang ada di balik batu tersebut.

Bahan baku bubuk mesiu, dan dalam jumlah yang tidak sedikit pula. Sedikit percikan dan benda berwarna hitam itu akan meledak. Gadis itu, lebih dari apapun, tidak bisa membiarkan ini begitu saja. Ada satu hal yang terbesit di otaknya semenjak ia mendengar apa yang dihasilkan pertambangan ini. Biasanya pertambangan alat perang akan digunakan secara eksklusif untuk kerajaan, jika pun ada perdagangan maka diwajibkan melalui kerajaan. Karena bagaimanapun juga, Clarines bukanlah daerah yang memiliki sejarah buruk akan perang. Clarines adalah kerajaan yang damai, dan menolak peperangan. Maka hanya ada satu hal yang masuk akal, penjualan hasil tambang ini dilakukan secara illegal dan dijual ke kerajaan tetangga.

Dan itu buruk. Sangat buruk. Kerajaan lain akan punya alasan untuk menjegal Clarines dengan alasan penjualan alat perang. Namun dengan ini, Leva punya alasan untuk menurunkan royal decree. Ia punya alasan, ya, namun dengan keberadaan Zen di daratan yang sama maka pemuda itulah yang harus menurunkan titah royal, terutama dengan posisinya sebagai pengawas Monosoaria.

Dengan bantuan Mario, Obi berhasil mengirimkan surat melalui burung pengirim surat Clarines kepada Zen, dan dengan begitu maka Zen akan bertindak cepat untuk menurunkan perintah penyelidikan atas properti tanah Monosoaria dan penutupan pelabuhan untuk mencegah pemilik tambang ini kabur dari tempatnya. Selanjutnya tinggal bagaimana Leva bisa menggerakkan rencananya dengan baik.

Atau semua ini akan sia-sia.

"Baiklah. Aku tidak terlalu mempercayai kalian, terutama kau, anak muda." Mario menunjuk Obi yang malah melempar cengiran khasnya. "Namun, aku akan melakukan semua sesuai rencana."

Mereka membagi tim menjadi dua, dan setelah menghabiskan semalaman memutar otak dan saling melempar pertanyaan. Hari ini, pagi ini, mereka akan menjalankan rencananya. Mario, yang merupakan pengawas sektor satu atau sektor tempat Leva dan Obi bekerja, bisa dengan mudah menyelipkan Obi bersamanya dan masuk ke dalam sektor dua. Sementara Aroha, akan bersembunyi dan membaur di antara pekerja sektor satu bersama Leva sampai sinyal dari Obi dan Mario dikirimkan.

'Pada akhirnya hasil akhir nanti tergantung bagaimana orang-orang di sekitar ini akan mempercayaiku.'

.

.

.

"Jadi, kau hanya penjaganya? Bertepuk sebelah tangan rupanya."

Obi hampir tersedak. Ia memang sudah berpengalaman dengan cinta bertepuk sebelah tangan, terutama mengingat orang yang ia sukai adalah sosok yang memiliki hati tuannya, namun untuk Leva, keadaannya bukanlah seperti itu.

Leva bukan orang yang bisa ia pikirkan dengan tidak senonoh seperti itu.

"Lihat dirimu sendiri. Kau dan Aroha juga seperti itu 'kan?"

Sekarang Mario yang tersedak, hampir tersandung pula. "Dasar gila! Aku dan Aroha tidak seperti itu."

Tatapannya melunak, seakan ada sesuatu yang merasuk di dalam otaknya dan memanggil memori lama yang sudah terkubur. "Aroha … aku menganggapnya seperti adikku sendiri. Ia seperti seorang adik yang harus kulindungi."

"Him–Ojou … dan aku tidak seperti itu."

'Aku bahkan tidak ada di radarnya.'

Mario mengangkat alisnya, "Padahal akting kalian sangat meyakinkan." Dan Obi hanya tertawa renyah mendengarnya. Tentu saja, apapun yang diinginkan tuan puterinya, apapun itu, Obi akan mewujudkannya, setidak mungkin apapun itu.

Jalanan semakin menyempit ketika Obi terpaksa harus mundur dan berjalan di belakang Mario, lorong yang tak lagi lebar itu memberi kesan buruk pada diri Obi. Ia merasa buruk, aneh, dan tidak tenang. Obi jadi penasaran, sejak kapan ia jadi merasa selalu tidak tenang jika Leva tidak ada di sampingnya?

Ia mengulum bibirnya. Sial. Obi tahu, ia tahu apa yang kini mungkin sedang ia rasakan. Namun, siapa Obi? Ia tidak berhak untuk merengkuh bahkan satu titik pun afeksi untuk sang empunya surai pucat.

Tidak dengan dirinya yang seperti ini.

"Kita sudah sampai."

Mario menoleh, memberi sinyal pada Obi untuk berjalan mendekat padanya. Kini pria itu menyingkir perlahan, memperlihatkan gudang hasil tambang pada Obi yang menggigit bibirnya dengan kedua netra membelalak hebat.

Sekarang ia tahu kenapa jarak dari pintu berat itu ke tempat ini begitu jauh, dan kenapa pintu itu tertutup rapat-rapat.

Tumpukan batu-batu dan karung yang menggunung besar. Jika saja terjadi sedikit kecelakaan dan seluruh tumpukan itu meledak, Obi tidak yakin mereka yang ada di dalam sini akan selamat kembali ke daratan.

"Daya ledaknya tidak seberapa. Toh ini hanya bahan bakunya. Untuk membuat senjata yang sebenarnya diperlukan pengolahan lebih lanjut, sayangnya, untuk Clarines yang sekarang ini, teknologi kita tidak akan sanggup."

'Ha ha, persetan dengan senjata api, Aruji lebih suka pedang daripada hal seperti itu.'

"Senjata api ya…."

Benda seperti itu merupakan hal yang terhitung langka, terutama di Clarines. Penggunaan meriam dan senjata api adalah hal yang cukup tabu di hadapan keluarga kerajaan, terutama dengan bagaimana Clarines mengklaim dirinya sebagai negara damai, anti peperangan. Namun, beribu kilometer jauhnya, di seberang pulau, terdapat satu negara yang konon tidak pernah berhenti berkonflik. Perang. Perebutan tahta.

Dan Obi tidak akan terkejut jika di negara seperti itu industri dan teknologi persenjataan perang tentu saja lebih maju.

"Sekarang, tinggal kita lakukan seperti keinginan Majime-chan–"

.

.

.

KLOTAK–KLOTAKK–

Di balik tirai berwarna merah muda itu, di dalam kereta kuda yang terlihat mewah dengan warna putih yang gemerlap tanpa noda, semua orang tahu bahwa sang Duchess ada di dalam sana. Mungkin mengerutkan wajahnya dengan bunga mawar di tangan atau sekedar memainkan kipasnya tanpa tujuan yang jelas.

Duchess Rosaline Monosoaria, bunga keindahan daratan Monosoaria yang tersohor, adalah pemilik surai pirang cerah dan warna mata semerah darah.

Dan kini, kereta kuda berhenti tepat di depat halaman besar yang penuh dengan hiasan bunga mawar di sana-sini serta tatanan meja yang begitu gemerlap. Di tengah-tengah kericuhan tersebut, Ariana Barlent dengan balutan gaun biru muda cerah sedang mengatur penempatan hiasan bunga dengan sibuk. Surainya yang senada dengan milik sang duchess–lebih cerah beberapa garis warna–kini digelung dengan indah agar tidak menutupi kerutan pada bagian leher milik gaun indah sang gadis.

"Kau terlihat sibuk sekali, Ariana."

Gadis itu menoleh, mendapati wanita dengan surai senada itu kini membuka kedua tangannya lebar-lebar untuk menyambut Ariana masuk ke dalam sana.

"Salam kepada Yang Mulia Duchess Monosoaria." Ia membungkukkan badannya dengan gaya khas bangsawan sebelum berlari untuk menerima undangan pelukan dari Rosaline.

"Maaf sudah membuat anda keluar dari istana di waktu seperti ini."

Rosaline membuka kipas bulunya, "Nonsense, ini adalah persiapan pesta perayaanmu, tentu saja aku akan membantu seluruh persiapannya."

Memang sudah bukan rahasia lagi bagi seluruh warga Monosoaria bahwa isteri pejabat tertinggi itu memiliki ketertarikan khusus pada puteri pertama keluarga Barlent. Entah hal ini dikarenakan perangai sang gadis yang tidak ubahnya seakan keturunan langsung Rosaline, atau memang karena Ariana adalah seorang pembicara yang ulung sehingga mampu dengan mudah menarik hati sang duchess. Namun apapun alasannya, Rosaline memang benar-benar menyukai gadis itu.

"Kalau begitu, kau sudah memilih gaun yang akan kau pakai untuk pesta perayaan besok? Atau kita harus menggunakan baju yang senada, dear?" Rosaline merangkul sang gadis dengan satu tangan. Namun kini, Ariana tidak lagi merasakan hangat pada tiap sentuhan Rosaline, tidak setelah ia menemukan keraguan pada setiap laku sang duchess yang tidak lagi terlihat noble di matanya.

'Aku sudah melakukan sebisaku, Shun. Sekarang semua kuserahkan padamu.'

Ariana Barlent, kakak perempuan dari Shun Barlent. Kini mempertaruhkan seluruh posisinya di pergaulan kelas atas hanya dengan mempertanyakan perilaku sang otoritas nomor dua di seluruh daratan Monosoaria. Karena jika ia salah, jika saja Shun salah, jika keluarganya salah, maka dunianya akan hancur. Semuanya, akan hancur.

Ariana, bunga pergaulan kelas atas Monosoaria, sekarang sedang berjalan di atas tali tipis yang bisa putus kapan saja.

.

.

.

tbc