Summary : –hanya berisi torehan kisah Obi sang kesatria istana dan seorang gadis yang ditemuinya di sudut kota Wistant. | "Namamu?" "Obi, seorang pengantar pesan dari Pangeran kedua kerajaan Clarines." "Namaku…"
.
.
.
Please Enjoy to Read!
.
.
.
CHAPTER 34 – The Depth Beetween (2)
Author's POV
"Grace-sama!" Shun berlari dengan nafas terengah-engah, disusul dengan Kiki yang berada di belakangnya dengan langkah sama lelahnya.
"Lari!"
Shun berhenti. Secara reflek Kiki menarik pedangnya, menaruh dirinya di hadapan Shun sebagai perisai. "Apa-apaan ini?"
Di hadapan mereka adalah bangkai kapal The Flying Dutchmann yang sudah mereka cari selama ini, tidak salah lagi, Kiki yakin itu. Dan di sisi lain, beberapa meter jauhnya, Grace sudah dikepung dengan orang-orang berjubah aneh yang berkerumun bagaikan lalat.
'Siapa mereka?'
TRANGG–
'Tidak bisa … kita kalah jumlah–'
Pedang saling bersahutan, tendangan bertemu. Kiki mundur beberapa langkah dan mendekat pada Shun.
"Kau harus pergi! Lari!"
Dengan bibir yang bergetar hebat, lutut yang sejujurnya sudah tidak lagi bisa digerakkan, Shun mengangguk dan berlari dengan cepat. Ia harus pergi! Ia harus selamat!
Tapi … kenapa? 'Kenapa aku selalu kabur? Kenapa aku selalu menjadi yang berlari?'
PIUITT–
TRANGG–
Kiki sudah hampir terpojok ketika suara siulan asing terdengar dari bagian lain pelabuhan, disusul dengan pertukaran pedang terakhir dan seluruh penyerangnya–orang-orang aneh dengan jubah kemerahan yang janggal itu–mundur satu per satu dan tidak lagi bertukar serangan dengan Kiki dan Grace.
Shun jatuh terduduk. "M-Mereka mundur?"
.
.
Realm for The Hearts
Story & OC'sNakashima Aya
Akagami no Shirayukihime © Akizuki Sorata
[There's no profit we gain from this fanfiction]
Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.
Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Obi x OC
.
.
'Jika perhitunganku benar, harusnya saat ini–'
DUARR–
Seringai bergerak naik pada bibir sang gadis, untaian merah muda pucatnya kini terlihat sedikit lebih tidak beraturan daripada normalnya.
"A-Apa ini?!"
"APA YANG TERJADI?"
"O-OY!"
BRAKK–
"Ojou-chan!" pintu ruang kendali dibuka dan rekan kerjanya kini berada tepat di bibir pintu tersebut. Leva menoleh dan memasang ekspresi bingung, tentu saja hanya sebuah topeng. "A-Apa yang sedang terjadi?"
Getaran demi getaran terasa semakin keras dan Leva kini tidak lagi memasang wajah topengnya, ia benar-benar menahan panik dan merutuki Obi dalam hati. Ini keterlaluan.
"Apa ini … gempa?"
Bingo. Ya. Inilah yang Levanthine incar. Bukan tanpa alasan ia mengirim Obi dan Mario ke tempat bahan ledakan itu berada. Mereka butuh alasan untuk bisa keluar dari sini, semuanya, bukan hanya ia dan Aroha. Semua orang di bawah sini memiliki hak yang sama untuk pergi, memiliki hak yang sama untuk tidak terikat di tempat ini. Monosoaria mungkin bukan daratan yang dekat dengan aktivitas gunung atau apapun, namun bukan berarti pulau ini tidak pernah mengalami gempa. Dan sedikit ledakan saja, bisa membuat efek getaran yang cukup untuk membuat semua orang yakin bahwa ada gempa di tempat ini. "Ini buruk. Getarannya cukup besar."
Leva mengangguk. "Kita harus buka lift nya."
BDARR–
Getaran Kedua. Ekspresi enggan memang tercetak pada wajah pemuda di ambang pintu itu, namun pemuda itu tidak bodoh untuk mengorbankan puluhan nyawa di tempat ini hanya karena ketakutan akan apa yang membuat mereka tidak pernah bisa keluar.
"Lift? Kau tau lift ini mengarah kemana?"
Leva menggeleng, lagi-lagi bermain peran. "Setidaknya kita tidak diam saja dan menunggu terkubur hidup-hidup di dalam sini."
BLUARR–
Kini, langit-langit berbatu itu mulai terlihat rapuh dan debu berkeliaran di sana-sini. Obi benar-benar melakukan semuanya dengan extra. Leva menggeleng memikirkan bagaimana ekspresi pemuda itu nanti jika mereka bertemu kembali. Mengingat bagaimana awalnya ia sangat menolak rencana ini dengan alasan ia tidak akan mau terpisah dari Leva. Dasar overprotektif, batinnya. Suara ramai dari bagian luar membuat fokusnya kembali pada apa yang tengah ia kerjakan, ketika gadis itu menoleh ke bawah–melalui jendela besar ruang kontrol–ia bisa melihat sosok gadis berambut ikal itu sudah dengan cepat mengumpulkan semua orang di tengah ruangan besar penuh batu-batu aneh yang awalnya Leva kira tidak memiliki value.
"Sepertinya semua berkumpul." Pemuda di sandingnya kembali bersua. Menoleh pada Levanthine yang kini entah kenapa terlihat begitu tenang dengan raut wajah yang tidak mampu ia tebak. "Ya. Aku akan sampaikan pada mereka semua. Kita akan buka lift nya."
Sembari menggigit bagian bawah bibirnya, ia menarik nafas, dan mengangguk.
Gadis dengan surai merah muda pucat itu kini berlari keluar dari ruangan, membiarkan pintu ruang kontrol yang seharusnya selalu tertutup rapat, kini terbuka lebar-lebar. Segera setelah ia menemukan helaian ikal milik Aroha, gadis itu memacu langkah kakinya lebih dan lebih cepat. Tidak boleh ada waktu yang disia-siakan. Ia tidak tahu seberapa cepat reaksi siapapun yang disebut chou itu akan situasi ini, terutama dengan bagaimana flashy cara mereka untuk kabur dari tempat ini. Dan memikirkan kemungkinan Sam juga terlibat, membuatnya ingin cepat-cepat keluar dari tempat ini.
Lucu. Mengingat alasan awal ia pergi kemari adalah karena Sam. Namun, pada akhirnya, ia malah enggan untuk bertemu dengan sang mantan pengawal. Lebih tepatnya Leva takut. Ia begitu takut untuk mengetahui bagaimana keadaan pria itu sekarang, bagaimana tatapan matanya pada Leva nanti jika mereka bertukar kontak.
Leva begitu takut akan bayangan-bayangan buruk yang kini mulai menutup kenangan dan pemikiran indah pada hubungan mereka dahulunya. Sam adalah satu-satunya orang yang tetap berada di sisinya setelah kejadian buruk yang menimpa keluarganya. Hanya Samuel yang tersisa. Tidak orang tuanya, tidak keluarganya, tidak seluruh pelayannya. Semua hilang, dan meninggalkan dirinya hanya seorang diri. Karena itulah ketidak-hadiran Sam memberi warna yang sangat buruk pada dirinya. Terlebih dengan bagaimana pria itu berkhianat kepada orang yang sudah menyelamatkan hidup Leva, Izana.
"Aku tidak boleh goyah." Ia berbisik pada dirinya sendiri.
Segera setelah Aroha bisa melihat Levanthine berada pada jarak pandang mata, ia langsung berlari menghampirinya. Kantung mata terlihat jelas pada wajah kurus gadis yang lebih muda itu.
"Bagaimana sekarang?"
Detak jantungnya masih memompa cepat, adrenalin masih mengalir deras, namun kini bayang-bayang masa lalu sudah tidak lagi terbesit di otaknya. Tidak dengan sebagaimana jelasnya apa yang harus ia lakukan sekarang. "Kita akan keluar dari sini. Katakan pada semuanya bahwa aku akan membuka elevator, dan kita semua, semuanya akan keluar."
Aroha mengangguk, dengan sigap ia menyebarkan berita bahwa goncangan ini kemungkinan bisa menjadi gempa besar dan pihak atas akan membukakan pintu untuk mereka. Dan tentu saja, separuh dari isi ruangan itu kini terdiam, dan Leva tahu kenapa. Walaupun tuan puteri itu tidak mengetahui seberapa jauh ketakutan ditanamkan oleh chou kepada orang-orang yang bekerja di dalam sini, ia bisa melihat dari raut muka mereka bahwa apapun yang terjadi ada rasa takut di sana. Ada rasa canggung yang membuat mereka enggan untuk mengikuti Leva dan Aroha, untuk pergi dari tempat ini.
'Apa yang pernah pasukan gila itu perlihatkan pada orang-orang yang kabur dari tempat ini sehingga mereka begitu takut untuk sekedar pergi?'
BLARR–
KRRTTT–
"Naik!" Ia bisa mendengar suara pria yang berganti shift dengannya itu di ambang pintu elevator, dan mungkin, melihat orang yang familiar bertindak, mereka memilih untuk menyelamatkan diri dan berlomba untuk naik ke tunggangan itu.
Kelompok pertama, kedua, ketiga, dan sampai terakhir semua berhasil naik menuju lorong ruang kendali, dan tidak jauh dari sana adalah tangga dan lorong gelap yang Leva temukan bersama Obi, tempat mereka masuk ke dalam sini.
Hatinya berdetak kencang, ada rasa resah yang sudah lama tidak Leva rasakan. Rasa ganjil yang selama ini tidak lagi hadir karena Obi selalu ada di sisinya.
'Tenang saja, ia pasti kembali. Ia pasti kembali ke sisiku.'
GREPP–
"Kita akan keluar dari sini, Leva-san!" Gadis itu merasakan pergelangan tangannya dicekal erat oleh pemilik surai ikal. Aroha menatap lurus pada manik keabuan milik sang gadis, lalu mengangguk. Ia akan keluar dari sini, ia tidak akan lagi mau diperlakukan seperti orang rendahan di dalam tempat itu. Tidak lagi.
DRAP–DRAPP–
Langkahnya semakin cepat, lebar. Semakin naik mereka ke permukaan, semakin besar rasa takut dan debaran pada tiap-tiap detak jantung semua orang dalam kelompok besar itu. Ia tidak yakin, apakah ia sudah benar melakukan ini, apakah ia tidak akan terjebak masalah lain, apakah semua akan baik-baik saja. Jujur, Levanthine tidak yakin. Namun yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah maju, terus melangkah, dan tidak lagi melihat ke belakang.
Karena seperti yang Obi bilang. Levanthine bersinar ketika ia melihat ke depan, dan ia tidak akan lagi menyerah.
"B-Bagaimana ini?"
"Jalan buntu."
"A-Apa yang harus kita lakukan?"
Aroha menarik Leva dan menerobos ke bagian depan kelompok, lalu mendapati sebuah tembok besar menghalangi mereka. Tembok itu … Leva tahu apa itu. Itu pintu geser yang ditemukan Obi beberapa saat lalu.
"Bagaimana ini?"
Leva mulai menyentuh bagian kanan, kiri, atas, bawah, tiap-tiap inci dari pintu tertutup itu. Cahaya temaram dan suara bising dari kumpulan orang di belakangnya tidak memberi jalan keluar, justru membuatnya semakin terdesak, kacau, tidak mampu berpikir.
'Kau harus tenang, Leva. Ingat ketenangan adalah kekuatanmu.'
Lagi, kedua tangannya terus menginspeksi, namun nihil, tidak ada apa-apa. Ada yang salah, ada yang tidak sesuai perhitungannya.
"Chou begitu tidak ingin ada orang yang kabur dari sini … kalau begitu …."
"Mereka tidak akan memberikan celah." Aroha menjawab, tanpa sadar memberi Leva jawaban untuk pertanyaannya.
Benar sekali. Sejak awal kunci ini tidak terbuka dari dalam, tidak bisa dan tidak akan pernah bisa. Sial. Sial. Sial. Apa yang harus Leva lakukan?
"A-Apakah kita akan mati terkubur di dalam sini?!"
"K-Kita harus k-kembali! Sebelum Chou m-menemukan kita!"
"AYO KEMBALI SAJA!"
"LEVA-SAN!"
DEGG–
DEGG–
DEGG–
Keringat dingin mengalir melalui punggungnya, tangannya. Rasa bersalah menjalar bersamaan dengan detak jantungnya yang kini tidak lagi karena rasa resah, namun takut, ia begitu takut akan kenyataan bahwa rencananya akan berujung dalam kegagalan dan menyebabkan celaka pada orang-orang yang sudah ia bawa sejauh ini. Chou tidak boleh tahu bahwa mereka kabur, chou tidak boleh menyusul mereka, chou tidak boleh menggapai mereka.
KLIK–
SREKKK–
Seberkas cahaya keluar bersamaan dengan suara gesekan pintu di belakang punggungnya, jantungnya terus memompa, menunggu siapa yang akan ia temui di balik pintu itu.
"Yo, bagaimana kabarmu, Majime-chan?"
Dan sang surai brokoli itu ada di sana.
"Mario-san!"
Ia tidak mampu berkata apapun. Tidak ada kalimat yang bisa keluar dari mulutnya. Tenggorokannya begitu tercekat hingga di titik ia bahkan merasa lemas dari ujung kepala hingga ujung kaki. Adrenalin yang awalnya memacu deras kini beralih pada rasa lega yang membuncah, ia tidak salah langkah. Rencananya tidak gagal.
Mengikuti seisi kelompok yang mulai berlari–tanpa memedulikan ruangan aneh penuh rak buku yang mereka singgahi dalam beberapa detik–Aroha kembali menarik lengan Leva dan menuntunnya maju. Menaiki satu demi satu anak tangga dengan cepat dan membawa sang gadis semakin dekat menuju berkas cahaya matahari yang ada di luar sana.
PASTT–
'Ini … cahaya matahari … matahari asli–'
Ketika ia keluar dari pintu aneh di bawah tanah itu, Aroha masih dengan kedua tangan mencekal erat pinggang sang tuan puteri, kini akhirnya bisa lagi merasakan siraman cahaya matahari. Hangat dan menyenangkan, membuatnya merasa nyaman. Leva mulai bernafas lega dan kembali mendapat kesadaran akan dirinya sendiri seketika ia merasakan kakinya memijak tanah yang lebih tinggi, dan ketika kedua netranya melirik ke sekeliling ia bisa melihat wajah-wajah bahagia di sekelilingnya.
Wajah yang merasa dunia berputar ke arah yang lebih baik untuk mereka.
Ini aneh. Leva bukanlah orang yang melankolis, pun ia memiliki rasa keadilan yang tinggi yang membuatnya begitu selfless akan rasa ingin menolong orang lain. Leva bukan pribadi yang seperti itu. Namun, melihat wajah yang begitu cerah di hadapannya ini, siapa yang tidak ingin menitikkan air mata?
Ia hampir tidak menyadari langkah kaki yang mendekat, sedang ia terlalu sibuk menata hati dan emosinya yang hampir tumpah ruah, dan suara itu yang lagi-lagi menyadarkannya.
"Sukses?"
"Seperti yang kau bilang, pintu itu harus dibuka dari sisi luar. Majime-chan benar-benar dalam bahaya jika kau tidak menyadarinya."
'A-A-Ahh–'
Suara itu. Tawa itu.
Leva menoleh. Berjalan cepat mendekati sumber suara, lebih cepat, dan lebih cepat hingga ia setengah berlari. Tidak lagi ia mengindahkan suara Aroha yang memanggilnya karena melepaskan pegangan tangan. Ia harus melihatnya, Leva harus merasakannya, sebelum ia bisa merasa tenang, Leva harus merasakan pemuda itu.
GREPP–
"Ap–Him–O-Ojou?"
Kedua tangannya melingkar pada pinggang sang pemuda, dan ia mengubur wajahnya dalam-dalam pada punggung tegap pemilik gelar pengirim pesan pangeran kedua itu. Dan lagi lagi, Leva mulai bisa merasakan kedua matanya mengabur, pipinya menghangat, dan detak jantungnya bisa kembali pada hitungan yang normal.
"Tidak apa-apa, aku disini, semua baik-baik saja."
Senyum terlukis di sana. Tangan kanannya bergerak maju dan menyelimuti kedua tangan kecil sang gadis yang melingkar di pinggangnya. Ia mulai merasakan dingin yang awalnya begitu kentara pada permukaan kulit sang gadis kini mulai terasa pudar, walaupun demikian, tidak satu detik pun pemuda itu berpikir untuk melepas genggaman yang sudah tekunci di sana.
Mario berdehem, ini yang mereka sebut tidak ada apa-apa? Bahkan orang luar sepertinya pun tahu bahwa kedua orang itu saling menggenggam hati satu sama lain.
"H-Hime, ehem, Leva ap–"
"Lama sekali. Kau." Rasa hangat menyeruak ketika Obi akhirnya mendengar suara sang gadis bergaung di belakang tubuhnya. Ah, sial, Obi ingin melihat wajahnya sekarang juga.
"Ahaha, maafkan keterlambatan saya." Leva benci ketika Obi beralih pada gaya bicaranya yang formal, karena caranya berbicara pada Leva yang seperti itu membuat Leva merasa lemah, membuatnya ingin menjadi egois dan memiliki Obi hanya untuk dirinya.
Karena itulah Leva menarik dirinya. Sudah cukup. Ia tidak boleh masuk terlalu jauh. Tidak pada orang yang hatinya bukanlah milik Leva.
"Kalau begitu sekarang, apa yang harus kita lakukan?"
Mario menatap netra kaca gadis itu dan memberinya sinyal untuk menepi, keluar dari kelompok besar yang sedang merayakan hari kebebasan mereka.
Keduanya menepi di bawah pohon besar, tidak begitu jauh dari lingkaran namun cukup jauh untuk mereka berbicara secara privasi. Obi yang hampir saja mengikuti Leva seperti anak ayam, terpaksa untuk melakukan tugas jaganya setelah Leva menendang pantatnya keras-keras. "Kita tidak bisa terus-terusan berada di wilayah terbuka seperti ini. Kita harus bertindak."
"Berapa lama perkiraanmu sampai para chou itu menemukan kita?"
Pria itu menarik rambutnya ke belakang, menahan beban tubuhnya dengan satu kaki bertumpu pada pohon di belakang. "Tidak lama lagi. Namun setidaknya kita menghilangkan semua barang bukti, toh aku tidak yakin tempat itu masih terlihat mumpuni. Kita mungkin saja tidak merobohkannya, tapi tetap saja terlihat seperti kapal pecah."
Leva menarik bibirnya. "Kerja bagus."
"Aku tidak tahu siapa orang yang bisa membantumu atau siapapun itu yang kau kirim surat sejak kemarin malam, namun aku yakin setidaknya saat ini kita harus pergi jauh-jauh dari tempat ini. Sejauh mungkin selagi masih ada waktu."
Langit yang begitu cerah di atas sana seakan ikut merayakan keberhasilan rencana Leva. Gadis itu menarik dirinya, kini berada tepat di hadapan Mario dan memunggungi seluruh lingkaran di lahan luas di belakang. "Tempat paling aman tidak selalu yang terjauh, Mario-san. Terkadang … kau hanya harus melihat kemungkinan terdekat."
Netranya bergerak sekeliling, dan lagi-lagi warna keabuan itu terkunci pada bangunan tidak-lebih-rendah-dari-lima-puluh-kaki yang sempat menjadi tempatnya tidur dan menatap malam. Ya. Benar sekali. Kabur bukanlah pilihan. Dan Leva sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menghabisi seluruh kebusukan chou ini dalam satu langkah permainan catur. Ia tidak akan lagi bermain petak umpet dengan orang-orang sialan itu.
Leva tidak akan lagi sembunyi. Selagi semua pion sudah berada di tempatnya.
.
.
.
Di sisi lain daratan Monosoaria, suara musik klasik mengalun senada dengan langkah demi langkah tarian pada bagian tengah lantai dansa. Sang gadis bersurai cerah itu menenggak habis isi cangkirnya sebelum beranjak kembali menemui tamu pestanya. Beberapa wajah familiar yang selalu dan tak henti mengurai pujian pada sang gadis, dan beberapa wajah lain yang menyembunyikan rasa getir pada hatinya di balik senyum palsu.
"Lady Ariana memang adalah kebanggaan Monosoaria."
Lagi-lagi gadis itu harus beranjak dari satu orang menuju orang lain, satu ekspresi pada ekspresi lain, sampai ia bisa kembali duduk di hadapan sang penguasa tertinggi Monosoaria.
"Anda memanggil saya, Duchess?"
"Kau tidak akan beristirahat jika tidak aku minta duduk di sebelahku, bukan?"
Ariana tersenyum, puas. "Saya benar-benar tidak bisa menyembunyikan apapun dari anda."
Gesture tangannya seolah menjadi penanda bagi pelayan di sekitar untuk langsung menyajikan minuman hangat bagi sang pemilik brand Ariana's Scent. Gaunnya yang senada dengan warna bibirnya yang begitu segar membuat kecantikan terpancar hebat dari wajah sang wanita muda.
"Jadi, dimana adikmu? Aku tidak melihat pewaris Barlent sejak tadi."
Ariana menurunkan gelasnya, membuang muka. "A-Ah … Shun … t-tidak bisa hadir."
Air mata menetes dari sudut matanya dan membuat sang duchess langsung beranjak duduk di samping gadis itu. "Oh, Ariana-ku yang malang, mari kita buat pesta ini begitu meriah hingga adikmu merasa menyesal sudah melewatkan perayaan ini untuk perkumpulan faksi bodohnya itu."
DEGG–
Lagi. Ia merasakan lagi rasa janggal tiap kali ia menyadari hal-hal yang dahulunya tidak ia gubris pada diri sang wanita yang lebih tua. Sejak kapan wanita itu tahu bahwa Shun adalah anggota faksi? Kenapa baru sekarang … Ariana sadar bahwa caranya membicarakan adiknya selalu begitu … merendahkan?
Kedua tangan menyambut Ariana yang menangis tersedu-sedu. Namun kalimat singkat dari sang lawan bicara itu membuat Ariana yakin, sangat yakin bahwa ia tidak salah memilih sisi, sangat yakin bahwa adiknya tidak salah membukakan jalan untuk keluarga Barlent.
DRAP–
DRAPP–
"Duchess." Pelayan pribadi sang wanita dengan gaun merah mencoloknya itu berlari mendekat, rasa jengkel sedikit naik ke permukaan kala pria tua itu mengganggu waktunya dengan sang gadis muda.
"Sebentar, Ariana sayang. Aku akan segera kembali."
Keduanya terlihat terlibat pada percakapan serius ketika sang duchess kembali memutar bola matanya dan menghardik.
"Aku tidak punya waktu untuk mengurus hal itu, biarkan chou yang mengurus semuanya. Kalau mereka bahkan tidak bisa melakukan hal seperti itu saja, mereka tidak layak untuk menjadi orang-orangku."
Kedua iris menajam. Semenjak orang-orang daratan utama sampai kemari segala hal terasa begitu runyam.
'Awas saja kalian para anak-anak Wisteria. Aku tidak akan diam saja.'
Rosaline bersumpah ia akan menemukan sang tuan puteri yang menghilangkan jejaknya itu dan menyeret perempuan tidak tahu diri itu ke penjara. Lihat saja nanti.
.
.
.
tbc
