Shingeki no Kyojin (c) Isayama Hajime

( no profit gained from this fanfiction )

Alternative Universe! Erwin x Hanji

Warning : mature content alert!


.

note : Halo, ini saya Ichimacchan! Buat para pembaca setia yang mantengin fanfic saya (kalau ada), cuma memberi tau bahwa saya ganti username dari Ichimacchan menjadi @worstawsome (yang sekarang) xixixi. Saya juga mempublish fanfiksi di wattpad, kindly reach me there at @worstawsome (penname sama dengan ffn) karena kemungkinan saya akan mulai membuat fanfiksi non-anime alias full orisinil dari saya hwhw

Demikian sekilas info yang disampaikan, selamat membaca ~

.


Belakangan ini, Erwin getol pulang cepat. Biasanya jam 10 atau 12 baru pulang, bau alkohol atau bumbu karaage di bibir jika minta ciuman, atau bahkan diantar Levi yang membopong tubuh bongsor kepayahan.

Namun belakangan ini, jam 7 malam pria itu sudah duduk patuh di meja makan, tersenyum hangat sambil memegang peralatan makannya. Ketika membuka pintu dan melantunkan tadaima, sosoknya segera merangkul wajah Hanji, mengecup kening, mencuri kecup bibir, lalu berbisik; aku sayang Hanji. Sungguh bukan Erwin sekali. Jika ditanya; kok pulang cepat? Jawabannya akan selalu sama; pekerjaanku sudah selesai, dan Hanji tidak bisa bertanya lagi. Maka dengan kikuk wanita itu mulai berkutat di dapur, alih-alih memikirkan mau masak apa, ia malah memikirkan kerasukan apa suaminya.

Makin hari rasanya makin seram. Pernah pada suatu malam Hanji menyengajakan membuat kare kelewat asin, setelah ia memisahkan semangkuk kare normal untuk dirinya dan sepanci kare asin untuk Erwin. Hasilnya? Suaminya itu makan lahap, senyumnya tidak kunjung luntur, kayuh pinggulnya di kasur makin melembut, dan Hanji tidak lagi feeling good. Besoknya, Erwin mengeluh; sayang, tenggorokanku sakit. Seketika Hanji teringat sepanci kare asin yang ludes diborong Erwin, dalam hati mendiagnosis dini; wah, amandel ini. Sehari itu suaminya tidak masuk kerja, masuk ruang pemeriksaan di rumah sakit. Hasil menunjukkan Erwin cuma terkena radang ringan, ia dibekali beberapa tablet sakit tenggorokan.

Ingin sekali ia bertanya pada Levi kenapa suaminya jadi seperti itu. Tapi ia tidak sempat, mau belanja diantar, berangkat ke laboratorium diantar, ngobrol dengan Nanaba di warung kopi langganan diantar, pulang kerja ia dikirimi taksi berikut supirnya, bahkan membeli komik BL pun Hanji diantar. Mau bertemu Levi kapan, coba? Apalagi si cebol itu pelit kata, tidak mau ngomong banyak-banyak kalau cuma lewat panggilan. Inginnya bicara berdua; ditraktir kopi pahit dan biskuit hambar, lalu disogok dengan foto-foto Petra saat masih perawan.

Kemarin, ketika Hanji hendak membeli tinta printer yang habis dengan motor bututnya, Erwin marah-marah. Tidak boleh, pakai mobil saja, kuantar! –sentaknya, sambil mengeluarkan mobil dari garasi dengan alis tebal berkerut tidak santai. Padahal, biasanya, suaminya itu sekadar bertanya; mau kemana? Naik apa? Berapa lama? –sudah, begitu saja. Bonus ciuman dan grepe-grepe di dada, setelahnya Hanji dapat membelah jalan dengan sawney motor bututnya lalu pulang dan menemukan Erwin sibuk di depan laptopnya. Sekarang? Baru melangkah masuk halaman saja, suaminya itu sudah menjulang beberapa langkah di depannya, memeluk kencang-kencang, lalu merangkul pinggangnya sambil mengajak masuk rumah.

Ini adalah fenomena kemajuan Erwin sebagai suami. Bukan berarti Erwin yang sebelumnya itu buruk, tidak. Mau bagaimanapun Erwin, Hanji tidak masalah, ia tetap cinta. Erwin yang sebelum ini adalah Erwin yang santai, tidak mengurusi Hanji sampai ke detail-detail, tidak pulang cepat, tidak marah-marah karena hal sepele seperti Hanji mau beli tinta printer sendirian, dan yang paling meresahkan; suaminya tidak lagi ngh di ranjang.

Sambil memikirkan itu, ditatapnya Erwin yang telanjang bulat, tidur. Hanji tarik selimut sebelum ia menambah ronde sendirian, memutuskan untuk fokus nonton wajahnya saja. Uh, sudah ada kerutan ternyata. Ditelusurinya garis kerut halus di sekitar mata, berpindah pada hidung mancung yang mengeluarkan napas hangat, naik pada alis-alis super tebal, lalu berakhir di bibir penuhnya. Bibir biasa-biasa saja, tidak berwarna merah menggoda atau bentuknya seksi seperti aktor-aktor cantik di luar sana, tapi bibir itulah yang mengeluarkan suara husky kesukaannya, yang mengirim Hanji ke nirwana, menghantarkan listrik pada tiap jengkal badannya, membisikkan kata-kata binal di kupingnya, nghh, Hanji gemas.

Makin lama ia menatapi kerutan itu, makin kuat kesimpulan di kepalanya; Erwin lemah syahwat. Suaminya memang masih mantap, masih. Orang yang dicinta memang selalu mantap. Tapi tidak semantap sebelum-sebelumnya, tidak intens atau menegangkan seperti saat pakai blindfold, sabuk celana atau tali-tali, Erwin yang ini lebih suka bermain amatir. Foreplay nya akan sangat detail, begitu hati-hati, tidak lupa banyak bisikan cinta di kuping. Hanji senang, kok. Bahagia malah, karena merasa makin dicintai. Tapi tetap saja rasanya kurang, ia datang tapi tidak sepenuhnya terbang.

Kembali fokus ke wajah, disisirnya rambut pirang suaminya itu lembut. Aah, betapa sayang Hanji pada batangan satu ini. Makin sini Erwin semakin berhasil merasuk pada dirinya; menjadi satu dengannya, menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan, Hanji yakin ia akan gila jika sampai pria itu meninggalkannya. Tanpa sadar bibirnya berucap; daisuki, disusul dua netra berwarna biru nyalak menyala di tengah temaramnya lampu kamar, dan Hanji terkesiap.

Erwin bangun.

"mhm." Erwin menjawab. "daisuki." Balasnya, beringsut turun untuk menyamankan kepala di dada wanitanya.

"belakangan ini kau kenapa?" Hanji bertanya tanpa mempertimbangkan. Tanya saja, ketimbang ia dimakan penasaran dan praduga tidak jelas.

"apanya yang kenapa?" Erwin bertanya balik, suaranya tidak jelas, sibuk menggesekkan wajah di belah dada. "kare minggu kemarin sangat asin." tambahnya, disusul jilatan basah yang membuat Hanji gemetar.

"mmh." erangnya pelan. "sengaja." Hanji mengaku. "aku ingin tahu kau kenapa."

Erwin semakin turun tenggelam. Hanji meremat bantal kuat ketika kaki-kakinya dibuka dan sebuah kepala menyusup di tengah-tengahnya. " – ah, Win!" ia memekik. "aku belum selesai bicara!"

Hanji menyingkap selimut, wajahnya mendidih menemukan suaminya itu sedang apa disana. Sialan, mereka sudah banyak kali melakukannya tapi Hanji tidak pernah bisa untuk tidak malu di hadapan suaminya. Dan Erwin yang paham betul malah giat menyengajakan diri, kepalang senang menonton istrinya blushing.

"kenapa sayang." Erwin bangkit, pura-pura manyun. "mau bahas apa?"

Hanji membalas cepat; "mau bahas kau yang sering pulang cepat, overprotective, tidak memperbolehkanku naik sawney, tidak protes kari asin, rajin bilang daisuki."

"memangnya kenapa?" lagi-lagi Erwin balik bertanya. "kau tidak suka?"

"suka, suka." Hanji memijit pelipis. Namun tidak melawan ketika suaminya itu naik, menindih, mencumbu kuping dan pelipis. "maksudku, apa kau ingin sesuatu? Atau mencoba melakukan sesuatu?"

"ah, berisik." Erwin mengeluh manja. "bilang saja ingin lagi."

Mendengar ini, Hanji yang hendak mendesah mendadak geram. Disikutnya dada sang suami, disingkirkannya tubuh bongsor itu hingga terguling ke bawah, empunya mengaduh sementara Hanji menarik selimut sampai kepala.

Erwin bangkit, emosi. Rambut pirangnya tidak keruan. Dadanya nyeri. "Hanji!"

"tidak usah minta mantap mantap kalau kau tidak lagi mantap!"

"hah?"

"sudahlah, tidur saja Erwin. Besok aku harus membawa sawney ke bengkel."

"perhatian sekali kalau nyangkut onderdil sawney, giliran onderdil suami, dianggurin."

Hanji menurunkan selimut sampai bahu, mengintip suaminya yang masih berdiri dengan onderdil yang juga berdiri. Meh. Onderdil katanya. Hanji ingin tertawa tapi malu juga. Baru ia sadari; suaminya besar juga.

"lagipula kenapa kau merajuk begini? Biasanya juga tidak banyak basa-basi."

Hanji mengedipkan mata. Lah, benar juga. Tidak biasanya mereka debat hal tidak penting begini. Mereka jarang ribut, kecuali jika Hanji terlalu fokus mengurus sawney. Biasanya juga ia tidak terlalu ambil pusing mengenai fenomena sepele, tapi kenapa ia mendadak jadi pemerhati?

Hanji duduk. Memikirkan pertanyaan-pertanyaan tadi.

"kenapa duduk?" Erwin bertanya datar.

Hanji menoleh. "benar, kita kenapa?"

"kita tidak apa-apa." Erwin beringsut ke atas kasur. Menuntun Hanji untuk kembali berbaring. "kita cuma butuh ronde lagi." tambahnya, sedikit tertawa lalu mencumbu bibir yang manyun.

"kau ternyata yang mau lagi." Hanji menyindir.

"kalau sudah begini mau bagaimana lagi?" balas Erwin, netra birunya melirik genit pada belah kaki.

"sudah ya." kening Hanji dikecup beberapa kali. "besok saja tanyanya, akan kujawab." ]

.


" penyebabnya hanya dua; sawney, dan rekan kerjamu yang meresahkan, Moblit."


.

.

.

.

.

.

.


Iya, menurut saya ini tidak nyambung. Entah bagaimana alur yang maksudnya komedi malah diselesaikan secara paksa gini. Sebenernya saya pribadi lebih ship Erwin sama Levi, tapi gatau kenapa malah bikin sama Hanji mulu wkwkwkkw

.

Vielen Dank, tchüß!

ore