Aku seorang korban. Menjadi korban membuatku jadi pusat perhatian. Selama perhatian yang didapat positif tak apa-apa. Seperti sekarang, petugas polisi, dokter dan suster yang bertugas merawatku sangat ramah dan lembut kepadaku. Aku menikmati ekstra puding yang mereka berikan untukku si korban cilik. Aku sudah menjalani pemeriksaan oleh Dokter. Pakaianku sudah diambil pihak polisi termasuk jepitan rambut bunga matahariku. Aku agak enggan sebenarnya soalnya jepitan itu kudapat dari Subaru dan diselipkan alat pelacak jejak olehnya namun petugas polisi itu berjanji aku akan mendapatkannya kembali.
Aku berhasil menyembunyikan kunci hitam yang kudapat dari Tatsuo dan memasukkannya ke kantong baju pasien yang kupakai.
Saat Papa dan Mama datang, aku menyambut mereka dengan senyuman riang diwajahku sembari menikmati pudingku seakan aku tidak habis diserang orang jahat saja. Luka-luka yang kudapatkan selama disekap Tatsuo sudah diperban oleh Dokter. Memang aku terlihat mengenaskan dengan adanya perban dikepala, kaki dan tangan. Tatsuo benar-benar mempersiapkan gedung horor untuk korbannya. Aku teringat saat aku berusaha lari darinya, aku main membuka pintu random untuk bersembunyi dan malah jatuh tersungkur ke tanah yang dipenuhi pecahan-pecahan kaca yang membuat sekujur tubuhku memar-memar dan luka-luka apalagi aku bertelanjang kaki.
Papa dan Mama berusaha menahan tangis saat melihat kondisiku. Melihatku tampak tegar, mungkin mereka jadi berusaha tegar juga. Sebenarnya aku bukan tegar, aku saat ini tak merasakan apa-apa. Entah apa karena obat penahan sakit yang diberikan dokter atau karena aku baru saja menyerap esensi shinigami. Aku melihat Takagi juga berada ditempat, sepertinya dia yang mengantar kedua orangtuaku ke rumah sakit dimana aku berada.
Menilik wajah pria itu saat menatapku dengan prihatin dan segan, aku menyadari dia merasa bersalah kepadaku karena gagal melindungiku. Padahal itu semua bukan salahnya soalnya Tatsuo memiliki cara curang untuk menculikku via kunci hitam ajaib itu. Setelah menenangkan Papa dan Mama bahwa aku baik-baik saja, mereka pun berbicara pada Dokter yang merawatku. Aku menoleh kepada Takagi yang terdiam memandangiku, pria itu terlihat hampir seperti mau menangis melihat kondisiku yang mengenaskan.
Aku memasang senyum secemerlang mungkin kepada Takagi. Aku memintanya mendekatiku. Aku menyerahkan pudingku kepadanya. Aku harap dia menyadari bahwa aku tak menyalahkannya atau membencinya. Takagi terlihat kaget dan terharu, pria itu malah melinangkan airmata dikedua pipinya sembari menggenggam erat puding pemberianku. Dia lalu meminta maaf kepadaku.
Papa dan Mama mengawasi kami berdua dengan prihatin. Apakah mereka berdua menyalahkan Takagi karena tak berhasil melindungiku? Aku harap tidak. Aku jadi tak enak juga apakah Takagi kena hukuman dari atasannya karena kegagalannya. Semoga saja tidak. Tapi aku tak bisa membelanya secara total jika aku hendak menyembunyikan keberadaan kunci hitam, bukan?
Berbicara soal kunci hitam, aku jadi teringat akan Amuro. Saat aku mencoba kunci itu, aku malah bertemu dengan Amuro dan orang itu menyadari keberadaanku. Detik ini mungkin dia masih mempertanyakan kewarasannya yang melihatku ditempat yang tidak seharusnya. Aku penasaran apa yang akan dilakukannya. Aku yakin dia tahu aku sudah selamat. Akankah dia mendatangiku dan menanyakan langsung soal itu? Mungkin tidak, mungkin dia akan menganggap dirinya berhalusinasi semata?
Kelelahan kembali menyelimutiku, aku pun berbaring kembali ke ranjang untuk tidur. Papa dan Mama berada disampingku. Salah satu membelai rambutku dengan lembut saat aku mulai memejamkan mataku lagi.
777
Aku perlahan membuka mataku. Aku tengah terbaring di tempat tidur dalam kamar rumah sakit.
Aku agak heran karena tidak ada siapapun didalam kamar. Biasanya jika aku mendapati diriku berakhir didalam rumah sakit, aku akan bangun mendapati Papa atau Mama berada disisiku tetapi kali ini mereka tidak ada ditempat. Aku menoleh menatap jendela dalam kamar, menatap senja merah yang menyelimuti langit. Perpaduan warna senja tersebut menyoroti kamar dimana aku berada, membuat tembok disekelilingku terkesan mistis.
Aku perlahan-lahan bangkit duduk di ranjang. Barulah aku menyadari bahwa pada meja lipat di ujung ranjang tergeletak manis sebuah apel merah. Dahiku mengkerut saat aku perlahan-lahan mempertanyakan siapa yang meletakkan sebiji buah apel disana. 'Pelit amat...' pikirku sembari mengeryitkan hidung.
Sebersit pikiran lain melintas dalam diriku mengenai keberadaan apel itu adalah sebagai semacam pertanda buruk. Apel membuatku teringat akan Ryuk, shinigami dalam Death Note. Berhubung aku baru saja menggunakan buku Death Note untuk pertama kalinya, apakah mungkin...? Aku mendesah dan mengangkat bahu dengan cuek seakan tak ingin berpaku terlalu lama akan pikiran yang paranoid itu.
Aku merasa seperti agak mati rasa dalam emosi-ku yang biasanya pasti akan panik jika memikirkan kemungkinan itu. Bagiku saat ini, itu hanya buah apel. Aku meraih apel itu yang kelihatan merah ranum bagaikan apel yang biasa digunakan untuk iklan.
Aku menoleh lagi ke arah jendela dan terbelalak saat aku melihat bayangan diriku di jendela, pasalnya kedua bola mataku berkilau kemerahan. Aku beranjak bangun dari ranjang dan mendekati jendela untuk mencermati kedua bola mataku. Dan benar saja, kedua bola mataku benar-benar berkilau kemerahan. Aku mengerjapkan kedua mataku berkali-kali untuk memastikannya namun warna bola mataku masih saja berkilau kemerahan. Keren.
Tiba-tiba aura dingin menyelimuti ruangan. Aku menoleh ke arah sosok yang perlahan-lahan membentuk wujud Yohan.
"Halo, Yohan, baik sekali kamu datang menjengukku..." tukasku sarkastis.
Yohan menatapku dengan datar. "Sepertinya kau berhasil menyambung nyawamu juga... Lama sekali kau menyelesaikannya..."
"No thanks to you." ejekku sembari melangkah duduk kembali ke ranjang. "Kau tahu kau seharusnya bisa menyelesaikan soal Tatsuo saat kau menemukanku dalam kandang, bukan?" tukasku dengan geram saat teringat bahwa orang ini meninggalkanku dalam kandang saat Tatsuo menangkapku pertama kali.
Yohan mengerutkan keningnya. "Aku tak tahu apa yang kau bicarakan."
Aku mendengus mendengar jawaban asalnya sebelum aku menyadari bahwa dia benar-benar tidak tahu kejadian yang kumaksud. Memang saat itu Tatsuo katanya menyuntikku berbagai macam obat untuk menyiksaku, apakah mungkin aku hanya melihat ilusi keberadaan Yohan saat itu?
Yohan memutar bola matanya. "Aku tak perlu melakukan apapun untukmu. Bersyukur saja aku masih menyelamatkan jiwamu waktu itu." ujarnya dengan dingin. "Dan kau sangat mengecewakan. Lama sekali kau menyelesaikan kasus orang itu. Orang itu bahkan membunuh orang-orang yang tidak seharusnya mati pada akhirnya. Karena kegagalanmu untuk meringkusnya secepat mungkin, aku jadi harus menambah surat kerja untuk orang-orang yang nasibnya diubah olehnya."
Jujur saja sama sekali tidak terlintas dalam pikiranku nasib beberapa korban terakhir Tatsuo yang dibunuhnya saat dia kabur dari pengawasan polisi, sama sekali tidak terpikir olehku bahwa orang-orang yang dibunuhnya saat itu adalah mereka yang tidak seharusnya mati. MO Tatsuo dulunya adalah membunuh orang sesuai tanggal kematian mereka. Aku rasa menjadi buronan membuat Tatsuo tak memiliki banyak pilihan dan memilih korbannya seadanya saja. Aku agak tertegun mendengar perkataan Yohan soal penambahan surat kerja, kenapa shinigami ini seperti tak memiliki simpati pada korban Tatsuo? Dia lebih seperti menganggap kematian mereka di tangan Tatsuo sebagai tambahan beban kerja baginya. Hal itu entah kenapa membuatku agak geram, kesal pada Yohan yang dingin dan pada diriku sendiri yang memang membiarkan kasus Tatsuo berlarut-larut terlalu lama.
"Oh, kasihan sekali kau..." ejekku lagi. Aku tak percaya bahwa aku malah jadi sinting dan mengejek shinigami itu. Apakah aku dalam pengaruh obat yang efeknya membuatku jadi berbicara sesuka hati? Namun entah kenapa aku tidak peduli.
"Jaga cara bicaramu." tegur Yohan kepadaku. "Kau hanya masih bisa hidup karena izin dariku. Kapanpun aku mau, aku bisa menarik jiwamu dan membuangmu ke tempat itu."
"Lakukan saja. Bukankah pada akhirnya kau memang akan melakukan hal itu padaku? Habis manis sepah dibuang. Kau sama sekali tidak menghargaiku dan selalu merendahkanku. Aku capek meladeni orang sepertimu." Aku tak tahu kenapa aku tak bisa berhenti berbicara yang memprovokasi orang itu. Bagaimana jika dia benar melakukannya?
Yohan terdiam memandangiku. "Kau sedang teler." ujarnya datar. Dia memiringkan kepalanya sedikit sembari memandangiku dalam-dalam. "Proses asimilasi akan esensi yang kau dapatkan masih berjalan."
Aku tertegun mendengarnya. Beneran nih? Aku teler? Akibat dari esensi shinigami yang kuserap? Mengingat rasanya saat aku menyerap esensi itu, aku bisa mempercayai bahwa aku sedang teler.
Yohan membalikkan badan untuk pergi.
"Hei!" panggilku lalu aku melempar buah apel ditanganku ke arahnya dan shinigami itu dengan sukses berhasil menangkapnya.
Yohan memandangi apel ditangannya dan menoleh ke arahku dengan agak heran.
"Untukmu..." ujarku sembari tersenyum kecil. "Kuharap kau tersedak saat memakannya."
Yohan perlahan menyeringai mendengarnya. "Thanks." Lalu sosok dia memudar dari hadapanku. Sesaat sebelum sosok dia memudar, aku melihatnya menggigit apel itu.
Aku tertegun agak lama memandang tempat dimana tadi Yohan berada. Perlahan-lahan aku tersenyum kecil. "Aku membuat shinigami makan apel..." Lalu aku tertawa cekikikan seperti orang bodoh saja. Jika saja aku bisa melakukan pose yang sama saat Light Yagami melemparkan apel kepada Ryuk yang berada diatas pohon...
Aku jadi kepikiran lagi siapakah sebenarnya yang meletakkan apel tersebut disini. Benarkah itu semacam pertanda? Apakah benar tidak apa-apa aku memberikannya kepada Yohan? Bagaimana jika apel itu mengandung racun? Tapi memangnya siapa yang akan memberi apel beracun kepadaku? Memangnya aku Snow White? Ah, sudahlah, jika beracun pun, Yohan ini yang memakannya. Shinigami tak mungkin mati karena racun bukan?
Aku menggeleng-gelengkan kepala karena pikiranku yang melenceng.
Pintu kamar terbuka dan Mama masuk kamar sembari tersenyum. Dia mengatakan ada yang datang menjengukku. Ran dan Sonoko masuk ke dalam kamar diikuti oleh Conan dan grup detektif cilik.
Aku tersenyum perlahan saat melihat mereka. "Oh, halo semuanya..."
Ayumi, Genta dan Mitsuhiko langsung menghambur mendekatiku dan menanyakan keadaanku dengan prihatin. Sementara Ran dan Sonoko berusaha tersenyum sembari menyembunyikan rasa terkejut mereka akan kondisiku. Aku menenangkan mereka bahwa aku tidak merasakan sakit apapun.
Aku baru menyadari Conan terlihat agak pucat saat melihatku dan anak itu tengah memandangiku lekat-lekat sebelum menggeleng-gelengkan kepalanya keras-keras. Aku melihat Ai pun menyadari kondisi anak itu dan menyentuhnya sembari menanyakan keadaannya.
Aku mengamati Conan sebelum mengalihkan perhatianku saat Ayumi menyentuhku untuk menarik perhatianku. Aku tersenyum kepada anak itu. Aku melirik ke arah Conan yang memandangiku dengan tajam. Kenapa lagi?
Tiba-tiba aku menyadari sesuatu. Aku mengambil smartphoneku yang diletakkan Mama di meja. Aku membuka kamera selfie untuk melihat bayangan diriku dan aku bisa bernafas lega saat melihat kedua bola mataku normal tidak berwarna merah. Tadinya kukira jangan-jangan Conan entah bagaimana melihat keanehan pada kedua bola mataku. Mengingat bahwa dia menyadari keberadaan Yohan sebelumnya, hal itu mungkin saja bukan?
Ah, aku bodoh, lupa lagi menanyakan ke Yohan soal kondisi Conan dan soal anak kecil yang memberikanku kunci hitam. Ugh!
Aku tersenyum kepada tamu-tamuku dan mengajak mereka foto bersama supaya tidak terlihat mencurigakan.
Ayumi, Genta dan Mitsuhiko sangat bersemangat untuk berfoto membuatku jadi tersenyum-senyum juga. Akhirnya Mama yang mengambil foto kami semua. Conan dan Ai terlihat agak ragu-ragu untuk berfoto bersama namun Ayumi menarik keduanya mendekat dengan paksa.
Aku melirik Conan namun anak itu kini tidak tengah memperhatikanku. Tadi dia kenapa begitu pucat saat melihatku jadinya? Masa dia benar-benar melihat kilauan mata shinigami-ku?
Ah, sudahlah, jika dia lihat pun, terus kenapa? Mungkin akhirnya dia bisa memutuskan sendiri apakah benar ingin terlibat denganku atau tidak.
Dipikir-pikir aku ini bagaimana seharusnya bertingkah? Apakah seharusnya aku lebih bersikap seakan trauma akibat insiden yang menimpaku? Apakah aku terlalu cuek saja saat ini? Ah, biarlah, hanya karena aku korban, bukan berarti aku harus jadi menutup diri, bukan?
777
Aku memandang suster yang baru saja masuk ke dalam kamarku untuk mengukur suhu tubuhku. Pasalnya nama diatas kepala suster itu adalah Kaito Kuroba. Sebenarnya aku ingin berbicara langsung kepadanya namun ada Mama di dalam kamar jadi tak leluasa untuk berbicara.
Aku menatap suster itu yang tetap terlihat tenang bahkan setelah menyadari tatapan mataku.
Akhirnya saat Mama pergi ke toilet, barulah aku bisa leluasa berbicara.
"Kak Kaito, kenapa kesini?" bisikku.
Kaito, bahkan tak lagi terkejut melihatku menyapanya dengan identitas dia yang sebenarnya saat dia sedang menyamar, menatapku dengan prihatin. "Aku khawatir padamu saat mendengar berita bahwa kau diculik orang jahat. Kenapa kau bisa sesial ini?" tukasnya.
Aku tak tahu harus jawab apa jadi aku cuma bisa nyengir seperti orang bodoh.
Kaito menghela nafas. "Aku sudah bicara dengan Akako tentangmu. Dia bersedia menemuimu."
Aku membelalakan mata dengan kaget. "Benarkah?"
Kaito mengeluarkan smartphonenya dan mengirimkan sebuah pesan yang langsung diterima olehku. "Aku mengirimkanmu alamat rumah orang itu. Berhati-hatilah dengan dia."
Aku menelan ludah dengan susah payah saat aku membuka pesan pada smartphoneku.
Kaito mengamatiku dengan seksama. "Jika kau mau, aku akan menemanimu menemui Akako."
Aku menatap dia sembari menghela nafas lega. "Terima kasih."
"Get well soon, kid." tukasnya sebelum menghilang dihadapanku dengan bom asap khasnya.
Dipangkuanku terdapat sebuah boneka beruang dan sekuntum bunga putih. Aku terkejut sebelum tersenyum pelan sembari mengambil bunga putih tersebut dan mencium aromanya. Aku lalu mengambil boneka tersebut dan memperhatikannya lekat-lekat.
"Terima kasih, KID." bisikku pelan.
777
"Apa maksudnya itu? Kau menuduh anakku membunuh orang itu?" seru Papa keras. "Eva hanyalah anak kecil! Mana mungkin dia bisa melawan orang dewasa sinting itu!"
Aku terbangun saat mendengar suara teriakan itu.
Aku mendengar Mama memukul Papa agar mengecilkan suaranya. Aku mendengar derap langkah kaki dan pintu kamar dibuka. Aku pun buru-buru menutup mata erat-erat.
Pintu kamar kembali ditutup dan aku mendengar derap langkah kaki menjauh. Aku langsung melompat keluar dari ranjang dan berusaha untuk mencuri dengar percakapan Papa dan Mama dengan...polisi?
Suara mereka tidak begitu terdengar jelas namun aku menangkap perkataan soal sidik jariku ditemukan pada lempengan tiang besi yang menembus tubuh Tatsuo dan pada pisau di TKP.
Aku terhenyak mendengarnya. Memang aku kalau tidak salah ingat ada memegang pisau namun aku tidak ingat menyentuh lempengan tiang besi.
Tiba-tiba sebuah penglihatan yang aneh merasuki diriku.
Dua tangan kecil menggenggam erat lempengan tiang besi dan menggerakkannya membuat pria itu menjerit kesakitan. Sebuah senyum dingin kecil menghias wajah kecil itu.
Aku tercekat. Tidak. Hal itu tidak pernah terjadi. Aku tak melakukan hal semacam itu. Iya, kan?
Aku buru-buru melangkah cepat menaiki ranjang saat aku mendengar suara derap langkah kaki. Untung aku berhasil berpura-pura tidur aman di ranjang namun pikiranku agak mumet memikirkan penglihatan yang kulihat tadi.
777
Mulutku membuka lebar dengan agak kaget saat melihat Subaru dan Amuro datang menjengukku bersamaan. Tumben.
Amuro kelihatan tidak senang. "Kami cuma kebetulan datang bersamaan."
Aku tersenyum kepada keduanya. "Terima kasih sudah datang untukku, Kak Subaru, Kak Amuro."
Keduanya tersenyum kepadaku. Subaru membawa sekeranjang buah apel yang membuatku tertegun karena teringat akan apel yang kemarin aku berikan pada Yohan. Perhatikanku teralihkan oleh Amuro yang menyuguhkan sup krim ayam hangat yang baunya lezat nian membuatku hampir meneteskan air liur.
Amuro langsung menyuruhku menyantap sup tersebut.
Aku dengan riang gembira mengucapkan selamat makan dan langsung menyantapnya. Aku memuji-muji Amuro akan masakannya yang lezat itu.
Subaru membantu Mama memotong apel sembari berbicara pelan. Mama lalu menawarkan potongan apel tersebut kepadaku, Amuro dan Subaru sendiri namun Subaru menolaknya.
Dengan adanya Mama aku jadi lega karena keduanya tak mungkin menanyakan tentang apa yang terjadi padaku.
Aku mengamati Amuro yang bersikap ramah seperti biasa, sama sekali tidak terlihat bahwa dia terganggu oleh keinginan untuk bertanya apapun kepadaku. Namun aku dikejutkan karena dia mengungkit rencana kami berdua yang sebelumnya untuk pergi bersama ke taman satwa.
"Tetapi, melihat keadaan Eva, mungkin sebaiknya dibatalkan saja dulu. Eva harus banyak istirahat, bukan?" tutur Amuro seperti sengaja memasang tampang sedikit kecewa. Mungkin kecewa karena jadi tak bisa menginterogasiku kali... Tetapi sepertinya sesuai perhitungan dia, aku langsung protes dan mengatakan aku sebentar lagi sudah boleh keluar rumah sakit dan luka-lukaku tidak seberapa parah jadi mungkin aku masih bisa pergi dengannya.
Amuro tersenyum kepadaku, menepuk kepalaku. "Prioritaskan kesehatanmu, Eva. Kita bisa atur ulang jadwalnya nanti." ujarnya.
Subaru mengamati kami berdua tanpa berkata-kata.
Amuro lalu berpamitan untuk pergi duluan dan Mama mengantarnya keluar sambil mengobrol, meninggalkanku dan Subaru berdua.
Subaru mengamatiku lagi. "Eva benar-benar suka sekali dengan Kak Amuro-mu itu..." tuturnya membuatku jadi malu sendiri.
Aku pun berusaha mengalihkan pembicaraan. "Kak Subaru, aku ingin minta tolong. Bisakah kau mendapatkan laporan investigasi polisi tentang kejadian yang menimpaku? Ataukah kau sudah mendapatkannya?"
Wajah orang itu berubah serius dan dia tidak memungkiri bahwa dia memang sudah mendapatkan laporan investigasinya. "Kenapa kau ingin mengetahui laporan investigasinya?"
Aku mengerutkan kening dengan perasaan terganggu. "Aku mendengar polisi berbicara dengan Papa dan Mama. Mereka mencurigai bahwa aku membunuh orang itu..." tuturku pelan. Aku mendesah. "Ya, memang aku rasa aku yang membunuhnya."
"Kau hanya melakukan yang harus kau lakukan untuk membela dirimu sendiri..." ujar Subaru tegas.
Aku menatapnya lekat-lekat. "Benarkah demikian? Setelah membaca laporannya, apakah Kak Subaru masih berpikir demikian?"
Orang itu tidak menjawabku.
Aku mendesah. "Aku hanya ingin tahu perkiraan polisi akan kejadian itu...karena..." Aku menelan ludah dengan susah payah saat aku teringat akan penglihatan yang kuterima waktu itu. "Sepertinya ingatanku akan hari itu agak berbeda kejadiannya..."
"Bisakah kau tuturkan apa yang kau ingat soal hari itu?"
Aku ragu-ragu untuk menuturkannya dan orang itu menyadarinya. Aku tak ingin berbohong kepadanya soal penggunaan Death Note tetapi aku tak siap untuk memberitahunya soal itu. Jadi aku berbohong bahwa aku tak begitu ingat jelas soal urutan kejadiannya.
"Benarkah mereka menemukan sidik jariku pada lempengan tiang besi dan pisau?" tanyaku. "Aku ingat memang ada mengambil pisau untuk mengancamnya sedikit namun aku sama sekali tidak ingat mendekatinya sedekat itu sampai menyentuh tiang besinya..."
"Tak perlu dipikirkan lagi, Eva. Kau melakukan yang harus kau lakukan untuk bertahan hidup." ujar Subaru tegas. Dia menepuk kepalaku.
"Kematian orang itu...kau tak perlu merasa bersalah karenanya..."
"Dan bagaimana jika aku bilang bahwa aku memang tidak merasakan bersalah atas kematiannya?" tantangku.
Subaru mengamatiku sesaat. "Itu tidak membuatmu jadi orang jahat...jika itu yang kau pikirkan. Dan wajar saja jika kau tak merasakan simpati kepadanya mengingat orang itu sudah dua kali menyiksamu. Ingat, Eva, kau adalah seorang penyintas, seorang yang selamat...dan tidak ada yang salah dalam soal itu, mengerti?"
Aku menatapnya sebelum mengangguk pelan.
777
Aku membuka mata dan mendapati diriku berada dalam kegelapan. Aku mengamati kegelapan disekelilingku sejauh mata memandang. Tiba-tiba aku menggigil kedinginan saat aku merasakan sebuah kehadiran dibelakangku namun aku tak berani membalikkan badan untuk menantang siapapun itu.
"Jadi, akhirnya kau menggunakan juga Death Note-ku..." Suara serak yang bernada dingin terdengar dari belakangku. "Belatung." tukasnya.
Aku menelan ludah, menarik nafas panjang sebelum memberanikan diri untuk menoleh ke belakang.
Sosok mengerikan shinigami bertubuh besar yang meringkuk mengerikan dihadapanku membuatku semakin kehilangan kata-kata.
Aku membulatkan tekadku dan berbuat bodoh. "Menurut peraturan, bukankah buku itu kini milikku karena aku sudah memakainya? Jadi, tinggalkan aku sendiri. Buku itu milikku sekarang."
Perkataanku membuatnya semakin marah. "Buku itu milikku! Bukan milikmu, dasar belatung sialan!" makinya. "Dasar pencuri! Aku akan mencarimu dan aku akan memakanmu hidup-hidup, belatung brengsek!"
Aku melangkah mundur dengan ketakutan namun makhluk itu mencengkram lenganklu kuat-kuat membuatku menjerit kesakitan.
Makhluk itu menggeram keras dan membuka mulutnya lalu menggigit lenganku kuat-kuat.
Rasa sakit yang amat sangat menyerang seluruh tubuhku dan aku meronta kesakitan. Aku melihat sekelilingku berusaha mencari benda apapun untuk memukul mundur makhluk itu. Aku merogoh saku bajuku dan langsung menghujam kunci hitam itu menusuk mata makhluk itu yang langsung melepasku dan berkoar kesakitan.
Sementara makhluk itu sibuk memakiku, aku langsung memungut kunci hitam yang dijatuhkannya dan segera berlari entah kemana.
"Belatung sialan! Aku akan menemukanmu! Lihat saja! Aku akan menyiksa jiwa dan ragamu!" erangnya.
Aku terus berlari tak tentu arah dan kehilangan keseimbanganku dan jatuh terjerembab.
Aku membuka mata dengan kaget. Nafasku tidak teratur dan jantungku berdebur keras. Aku merasakan rasa sakit pada lenganku dan aku langsung meraih lenganku untuk memeriksanya. Sebuah luka bekas gigitan mengerikan terlihat jelas pada lenganku, berdetak sekilas sebelum perlahan-lahan memudar dari kulitku namun rasa sakitnya masih terasa.
