Hi, everyone!
Anne datang lagi dengan lanjutan Ephemeral. Kesannya cerita ini akan hanya datang ketika tidak ditunggu. Hehehe.. Maaf, wifi rumah mati dan baru nyala sekarang. Di kampus nggak pernah sempat untuk ngurus fanfic. Apalagi Anne lagi mau mulai KKN minggu depan. Jadi.. dipastikan lanjutan dari fic ini akan tersendat lagi, ya. I'm so sorry. Tapi Anne akan usahakan untuk segera update. Semoga bisa.
terima kasih yang telah kasih feedback ke fic ini. Walaupun nggak banyak, Anne harap fic Ephemeral cukup menghibur kalian semua. Amin...
Langsung saja deh kalau begitu.. yang penasaran ada apa dengan Albus di kisah selanjutnya ini.. langsung di baca!
Happy reading!
Satu meja kabinet panjang terisi penuh dengan botol-botol ramuan. Beberapa kaleng bubuk berkilau dengan tulisan rune kuno dijajar rapi. Semuanya bersanding dengan tabung-tabung plastik berisi biji pahit dari salah satu rumah sakit Muggle. Semua itu lebih menarik perhatian siapa pun yang masuk ke sana.
Kamar Albus Severus Potter, masih sama seperti dulu. Kesan anak-anak yang sangat kuat belum sempat berubah seiring pertambahan usianya. Pajangan pesawat terbang dan robot-robot pahlawan. Komik-komik superhero favoritnya tertumpuk pada dua sekat sebuah meja belajar. Tidak terurus kembali terganti dengan semua barang-barang penunjang hidupnya.
Satu jendela yang ada di sana tak pernah terbuka. Dilapis terali besi pada bagian dalamnya karena satu alasan paling masuk akal. Keselamat. Tempat isolasi pertama dalam rumah keluarga Potter. Pemasangannya pun teriring derai air mata dari seorang Ginny Potter. Ibu kandung Albus sendiri. Ia berdiri tepat di belakang tubuh ayahnya saat itu. Dibantu oleh sang suami, terali besi itu terpasang kurang lebih empat tahun lalu. Setelah hampir saja Albus terjatuh dari lantai dua kamarnya. Ginnylah saksinya. Ia menjadi satu dari mereka yang sepakat kamar Albus harus dijaga secara sihir maupun non-sihir dengan terali itu.
"Good morning, Albus. Ini Mummy—"
Albus tidak bergerak dalam tidurnya. Masih terlelap meski terlihat kulit dahinya terus menggerut berkumpul di pusat. Ginny tahu jika putranya tidak bisa tidur semalaman. Karena hingga pagi ini Albus tidak bisa berkutik ketika ia harus dibangunkan. Masih tetap tertidur.
Bisikan Ginny masih sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Hanya saja ditambah sedikit guncangan pelan di pundak Albus untuk sedikit memaksa anak itu sadar. Ia tidak kuasa membangunkan putra termudanya itu, meski pun untuk minum ramuan. Albus sangat sulit untuk tidur jika ia sedang kalut memikirkan sesuatu. Dan ketika ia bisa terlelap, sungguh kasihan jika ia harus dibangunkan.
Ginny mengusap rambut Albus dari dahi ke belakang. Sudah sangat panjang dari terakhir ia dan Harry berusaha bersama memotong rambut Albus lima bulan yang lalu. "Albus masih tampan. Anak Mummy tampan kok, huh." Bisiknya untuk menguatkan dirinya sendiri—sebenarnya.
"Ekh—hm—"
"Hey, sudah bangun rupanya."
Erangan Albus samar-samar mengiringi manik hijau netranya terbuka. Masih kosong tanpa fokus yang pasti meski wajah ibunya tepat berada di hadapannya. Ginny mengulas senyum indahnya pagi ini. Berhasil. Albus terbangun.
"Kau ingat hari ini hari spesial apa, Al?" tanya Ginny membantu Albus tenang terlebih dahulu sebelum diangkat untuk setengah berbaring. Albus bisa sering kesakitan pada kepalanya jika langsung bangkit sesaat setelah bangun tidur. "Kau ingat, kan? Mungkin semalaman sudah kau pikirkan sampai kau kesiangan bangun sekarang." Ujar Ginny sambil tersenyum.
Ingatan Albus tiap hari akan dilatih dengan cara-cara ringan. Membisikkan memori jangka pendeknya. Tentang hari ini, tentang Hogwarts.
"Ho—ho—wars—"
"Hogwarts benar, Hogwarts, Albus." Ginny sempat mengecup pipi Albus sebelum kembali mendekatkan bibirnya ke telinga Albus lantas berkata, "ini tanggal 1 September. Kita akan ke Kings Cross pagi ini."
Ada senyuman muncul dari bibir Albus. Terulas rasa bahagia dari ekspresinya pagi ini. Albus akan terus menunggu waktu itu tiba. Saat ia akan pergi bersekolah di sana. Sejak kecil bahkan sebelum ia mendapat petaka itu. Albus sangat ingin merasakan atmosfer sekolah sihir terbaik di Inggris sana. Hingga kini, satu-satunya memori terkuat yang selalu ada di kepalanya adalah Hogwarts dengan segala keajaibannya. Tempat yang sangat ingin Albus datangi. Namun mengingat usianya yang belum cukup untuk pergi, Albus sangat ingin tahu bagaimana kereta legendaris yang akan membawa anak-anak Hogwarts pergi ke sekolah.
Hogwarts Exspress. Ia harus melihatnya lebih awal.
Koneksi memori baru diterima oleh Albus. Benar, pagi ini akan ada anggota keluarganya yang berangkat ke Hogwarts. Semalam ia diberi pengertian jika tidak ada larangan untuk Albus ikut mengantarnya nanti meski penolakan besar-besaran datang dari JamesYa, Albus akan ikut mengantar sang kakak, James Sirius Potter, hingga ke peron 9 ¾ di tahun pertamanya.
"Ya-mmie—"
"James, benar sekali. Dia sudah siap-siap di kamarnya. Sebentar lagi kita sarapan dulu di bawah baru nanti kita berangkat bersama. Lily juga sedang bersiap-siap, Al."
Sudah cukup siang untuk sarapan sebenarnya. Tapi khusus untuk hari ini, Ginny membiarkan keluarganya lebih sibuk untuk mempersiapkan keberangkat James ke Hogwarts di tahun pertamanya. Karena berhubung Albus membutuhkan banyak bantuan untuk bersiap-siap, Harry mengambil alih pekerjaan dapur untuk menyiapkan sarapan mereka semua pagi ini.
Pelan-pelan, Albus dibangunkan untuk diajak masuk ke kamar mandi. Ginny dan Albus harus keluar kamar terlebih dulu untuk ke kamar mandi di lantai dua sana. Dari arah dapur, Harry melihat istri dan putranya tampak beriringan masuk ke pintu kamar mandi. Samar-samar ia pun mendengar Ginny terus memberi semangat pada Albus agar cepat bersiap-siap untuk ikut ke Kings Cross.
James, yang telah duduk di bangkunya di ruang makan melihat ayahnya tersenyum kecil sambil memperhatikan arah lantai dua. Saat ia mengikuti arah pandang sang ayah barulah ia tahu objek perhatian itu kembali datang dari adiknya. Untuk kesekian kalinya.
"Jangan bilang Albus akan tetap ikut kita hari ini, Dad. Aku sudah bilang, kan, kalau Al—" kesimpulan James ketika melihat Albus benar-benar mandi dan anggukan kepala ayahnya menjawab semuanya. Rambut Albus basah setelah keluar dari kamar mandi di dekat kamarnya. Semua sudah terjadi.
Harry tersenyum singkat kepada James. "Ya, Al sudah lama sekali ingin pergi ke Kings Cross. Apalagi melihat Hogwarts Express—"
"Tapi dia tidak bisa melihat jelas. Telinganya juga tidak peka dengan suara. Apalagi sikapnya seperti orang gil—"
"James!" Hardik Harry cepat bersamaan dengan knop kompor yang ia matikan kasar, "jaga bicaramu!"
"Bukan aku saja yang bilang kalau dia—semua orang di luar sana mengatakan Albus gila, Dad!"
"Albus sakit. Sakit, James. Jadi jangan pernah ulangi kata-katamu tadi. Kalau Mummy sampai mendengarmu bicara seperti itu, Mum pasti tidak akan segan untuk menghukummu, James. Sekarang kau diam dan habiskan sarapanmu. Kau tak mau terlambat kereta di hari pertamamu ke Hogwarts, kan?"
James tak mengubris ayahnya yang terus marah karena ia menyebut adiknya sendiri dengan sebutan yang tidak pantas. "Kalau pun nanti aku terlambat juga pasti gara-gara dia." Gumam James lebih pelan. Bahkan ia sama sekali tidak sudi melihat sekelilingnya. Ditambah ketika suara-suara muncul dari arah tangga. Suara ibu dan erangan tak jelas dari adik laki-lakinya.
"Pelan-pelan turunnya, sayang. Pegangan tembok."
"Eh—Mummy, kacamata Albus ketinggalan, nih!"
Rupanya Lily pun turut serta turun dari tangga bersama mereka. Lily dengan sabar membawakan kacamata Albus dan menunggu kakaknya itu diantar duduk untuk sarapan bersama di lantai bawah. Lain dengan James, Lily sangat sayang dengan Albus meski kondisi sang kakak kedua tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Hanya Lily yang terkadang menyempatkan waktu untuk masuk ke dalam kamar Albus dan mengajaknya berbincang sesuka hatinya. Meski Lily tahu kakaknya tidak banyak merespon pembicaraannya.
"Kau akan sedikit lebih jelas kalau memakai ini—"
Lily mengaitkan gagang kacamata itu di masing-masing telinga Albus. Melihatnya dari sisi kanan dan kiri untuk membenarkan posisi bantalan kacamata terpasang pas di tengah tulang hidung mancungnya. Lily tersenyum puas membuat kakaknya senang.
"Pas, kau makin terlihat tampan, Al. Dan makin mirip dengan Dad." Singgung Lily.
"Tentu saja," suara berat seorang pria tiba-tiba terdengar ikut menyahut. Datang dari arah pintu masuk dengan blazer bludru coklat tua dan sweeter santai di lapisan dalam. Wanita berambut coklat berombak ikut berjalan di belakangnya. Mereka membawa sebuah kantung yang mengeluarkan bau roti panggang.
Sedikit terlambat dari yang mereka janjikan sendiri. Ron dan Hermione paling tidak sudah menunjukkan batang hidungnya untuk ikut mengantar sang putra baptis di tahun pertamanya ke Hogwarts. Bagi mereka, hari ini adalah moment spesial untuk James dan harus dirayakan.
Ron memeluk Lily, kemudian menghampiri James memberi dukungan semangat dan diakhiri dengan memberi kecupan di kepala Albus sebagai salam selamat pagi. Ron melambaikan tangannya pada Harry agar dibawakan satu piring makanan karena ia sendiri belum makan. Tentu saja terkesan benar-benar tidak sopan.
"Bisa tidak saat kau datang tidak minta makan denganku?" tanya Harry sambil menyodorkan semangkuk sereal dan satu kotak kecil susu. "Tinggal ini. Roti panggang dan sosisnya di makan anak-anak. Kalau kau tak mau, aku bisa kembalikan lagi—atau makan kue yang bawa tadi."
"Eits, tak masalah. Yang penting ada serat dari sereal dan protein dari susu." Kata Ron sambil menuang susu kotaknya dalam mangkuk sereal pemberian Harry.
"Bicaramu sudah seperti Hermione, Ron. Bedanya kalau Hermione cerdas. Sedangkan dirimu itu sok cerdas." Goda Ginny turut menggundang gelak tawa semua orang.
Ginny pun ikut duduk tak jauh dari Ron untuk membantu Albus makan. Sejak tadi Albus hanya terlihat duduk sambil memegang botol air mineral. Kepalanya tertunduk dengan pandangan kosong. Mengeluarkan suara pun tidak. Itulah yang membuat Ginny langsung bertindak untuk membantu Albus menyantap bubur oat khusus dengan taburan kacang almond yang telah dibuat Harry.
Melihat gelagat yang aneh, selepas memeluk Lily, Hermione mendekat ke arah Albus untuk mengucapkan salam dan memeriksa keadaannya. Sekilas yang dapat diperhatikan Hermione adalah wajah Albus yang memang terlihat pucat.
"Badannya berkeringat, Ginny." Hermione memeluk kepala Albus untuk memberi kecupan singkat di pelipis kanannya. Tangan Hermione sempat menyentuh dahi Albus, merasakan jika suhu badan keponakannya sedang tidak baik. "Hangat." Katanya.
"Semalaman mungkin Al tidak tidur. Dia berbaring sama dengan terakhir aku menemaninya tadi malam. Tadi saja ia masih tidur saat akan aku bangunkan. Tidak seperti biasanya."
Hermione memeriksa kembali wajah Albus yang terus tanpa ekspresi dan respon mencolok ketika diminta untuk memakan suapan buburnya dari sang ibu. "Ayo, Albus. Makan dulu buburnya. Sebentar lagi kita—upss, sorry, Al!"
Botol digenggam Albus terjatuh tepat di sisi Hermione yang memeluknya. Lantai mulai basah dengan aliran air dari dalam botol yang tidak tertutup rapat. Albus terdengar mengerang pelan merasakan tangannya tak menggenggam apapun. Sigap Ginny menarik Albus agar berdiri dari kursi makan agar menjauhi genangan air.
"Maafkan Auntie, sayang. Tadi botolmu tak sengaja tersenggol—"
"Sepertinya tidak, Auntie." Ujar James sejenak menenangkan kepanikan Hermione. ia juga benci tiap kali orang-orang harus mengalah merasa bersalah pada Albus meski pun itu bukan kesalahannya melainkan Albus. "Al menjatuhkan sendiri botolnya." Geramnya mengatakan yang sejujurnya.
Ron dan Harry bersama-sama menarik bangku agar lebih menepi untuk membersihkan air yang membasahi tepat di bawah meja. Hanya dengan tongkat mereka bisa membuat air itu hilang dan lantai mulai kering.
"Sudah, mungkin tadi tersenggol badan Auntie Mione, kan, James. Jadi Albus tidak tahu—"
"Tapi aku melihatnya, Uncle Ron. Tangan Al—"
"Cukup, James." Bentak Harry mulai emosi karena James terus menyudutkan adiknya. "Hanya botol yang tumpah. Sudahlah. Kasihan adikmu air minumnya—"
Bruk! Tubuh Albus limbung ke belakang.
"Albus!"
"Bloody hell, Ginny!"
Tubuh Albus tiba-tiba ambruk terhuyuk kebelakang. Beruntung Ginny yang sempat meminta Albus berdiri untuk menghindari air masih berdiri tepat di belakangnya. Tidak sampai ikut terjatuh ke lantai, Ginny menyangga tubuh kejang putranya dengan menumpu tangan kirinya di tembok. Hingga perlahan pertahanan kekuatan Ginny melemah untuk mengimbangi badan Albus hingga berselonjor ke lantai.
Badan Albus kaku. Kejang dan erangan-erangan kencang seolah menahan rasa sakit dan tekanan di sekujur tubuhnya begitu kuat.
"Gin—pindah, pijat tangannya!" Harry spontan menarik kepala dan pundak Albus untuk berpindah dalam rengkuhan tangan. Sementara ia melindungi kepala dan bagian atas badan Albus agar tenang, Ginny memijat tangan-tangan Albus yang terus kaku dan menghentak kesegala arah. Sedangkan Ron menjaga agar kaki Albus tak menjejak liar hingga melukai dirinya sendiri.
"Ambilkan serbet itu, Lily!" minta Harry untuk segera digulung dan dijejalkan di mulut Albus menjaga jika Albus spontan menggigit lidahnya sendiri.
Lily dan Hermione segera saling membantu menyingkirkan meja dan vas bunga agar tak terkena goncangan badan Albus. Sambil menangis Lily ikut melihat sang kakak dari jarak cukup jauh. Ia hapal jika Albus sudah mulai kejang seperti para Muggle kerasukan roh yang pernah ia lihat di televisi, ia harus menjauh. Membiarkan orangtuanya menangani sang kakak hingga tenang dan tertidur. Namun setiap itu terjadi, ia pasti tak kuasa untuk tidak menangis. Lily takut dengan keadaan kakaknya yang terlihat begitu kesakitan.
"Dipindahkan atau tidak? Badannya bisa makin kesakitan kalau di lantai. Ke atas sofa—"
"Tidak perlu, Mione. Biar di sini dulu. Kalau sudah tenang baru kita angkat ke atas." Dengan terengah-engah Harry tetap menjaga kepala Albus agar tetap aman dari tembok atau benda-benda lain yang bisa melukainya. Sesekali Harry berbicara di telinga Albus. Memanggil nama putranya atau memintanya untuk tenang.
"Menangis, Al. Tak apa—ayo, nak. Kuat.. Albus kuat!" bisik Harry. Membiarkan Albus terus berteriak dengan suara tertahan dan menjaga mulut putranya agar terbuka. Menghentak-hentakkan badannya dari ujung kepala hingga ujung kaki seolah ia sedang di ikat oleh sesuatu yang kasat mata.
Namun semua itu hanya reaksi dari kejang otot di seluruh tubuhnya hingga tak terkendali. Hampir empat tahun sudah Harry mengalami hari-hari dengan gejala epilepsi Albus demikian. Penyakit yang muncul setelah tragedi itu. Mereka semua bisa sering menandai ciri-ciri jika itu akan terjadi. Ketika Albus kelelahan, susah makan, atau terlambat mengkonsumsi ramuannya. Meskipun sebenarnya kejang yang dialami Albus juga bisa tidak terdeteksi sebelumnya. Anak itu langsung jatuh, terkapar di mana tempat ia terakhir berpijak lantas kejang hingga tak sadarkan diri.
Sering-sering Harry dan Ginny tak bisa melepas Albus sendirian meski itu di kamarnya. Bahkan, teknologi pemantau pun sampai terpasang di sudut kamar Albus untuk terus dapat dipantau mereka dimanapun berada. Untuk apa lagi jika tidak tentang keselamatan Albus sendiri.
Hampir pukul setengah sebelas siang tapi Albus belum kunjung membaik. James lupa jika ia harus segera berangkat jika tidak ingin terlambat. Jarak rumahnya dengan Kings Cross cukup jauh sehingga tidak ada waktu untuk terus di rumah.. atau ia akan terlambat.
"Oh.. aku harus berangkat—Mum, Dad—"
"Ekem!"
Panggilan James malah terdahului oleh erangan Albus. Adiknya makin kuat terus mengejang dan menendang apapun jika Ron tak ada memegangi kakinya.
"Mum—"
"James, kau tak lihat adikmu sekarang seperti apa! Kejangnya bahkan tak berhenti-berhenti. Merlin!" Ginny menangis dan hanya bisa marah ketika James mengingatkannya untuk segera berangkat.
Tidak ada yang mempedulikan James meskipun ia terus memohon. "Tapi—" James lelah tak diperhatikan. Semua orang sibuk memikirkan kondisi Albus, bukan dirinya yang harusnya diberikan semangat karena akan berangkat ke Hogwarts. "Ini tahun pertamaku." Suaranya memelas. Ia kecewa.
Sangat kecewa.
"James, Auntie antar ke stasiun, ya. Albus mungkin akan dibawa ke St Mungo melihat kondisinya benar-benar drop—"
"Kalau memang Auntie lebih peduli pada Al, aku bisa berangkat sendiri!"
James menarik kasar dua koper besar dan satu sangkar burung hantunya menuju pintu keluar. Yang ada di kepalanya hanya segera mencari taksi dan pergi sendiri ke Kings Cross. Tanpa keluarganya.
Hermione mengambil alih koper James dan membawanya masuk ke mobilnya. "Tidak, James. Ini tahun pertamamu, tahun spesial. Jadi—"
"Tidak ada tahun spesial, Auntie. Semuanya hancur karena DIA!"
"James, please!" Itu adalah tanggung jawab Hermione juga. James adalah putra baptisnya.
Sepanjang perjalanan, Hermione tahu bagaimana hati putra baptisnya. Di samping bangku kemudinya Hermione terus memperhatikan James yang memalingkan muka ke arah jendela. Meremas tangannya menahan emosi yang bisa saja meledak. James menangis dalam diam memandangi jalanan London yang mulai padat. Terus ia merutuki kebencian yang akhirnya tumbuh dan berkembang besar pada seseorang yang telah menghancurkan hari spesialnya.
"Aku benci padamu, Al. Aku benci!" James kecewa.
Sampai di depan peron 9 3/4 , James memaksa untuk ditinggalkan sendiri. Hermione tak mau begitu saja membiarkan James sendirian di hari pertamanya menuju Hogwarts. Hermione percaya dengan keberanian James, tapi dengan emosi yang sedang kacau seperti itu.. Hermione tahu kehadirannya amat sangat dibutuhkan.
Tangan James bergetar meremas besi pegangan trolinya. Menatap dinding peron ajaib yang sudah ia bayangkan jauh-jauh hari untuk melewatinya. Bersama ayah ibunya, di sisi kanan dan kirinya menjadi penguat. Mengantarnya untuk menembus dinding itu bersama-sama. Setia menemaninya hingga keretanya bergerak menjauh. Hanya saja, kenyataannya kini membuat James tak sudi untuk masuk.
Ia takut.
"Ayo," Hermione menyentuh pundak James pelan. Meminta sedikit ruang untuk ia menggenggam besi troli di sisi kanan James. "Pengan kuat-kuat. Kita bersama-sama masuk. Tutup matamu jika gugup."
Dengan beriring airmata yang tak bisa lagi ia tahan, James mendorong trolinya kencang. Menembus susunan bata yang membentuk peron ajaib di hadapannya. Melupakan semua realita jika momen spesialnya hari ini harus ia jalani sendiri.. bersama ibu baptisya seorang.
"Jangan nakal. Jadilah murid Hogwarts yang baik. Jangan lupa kirim surat untuk Mum dan Dad di rumah, ya." Hanya kata-kata seperti itulah yang bisa Hermione sampaikan sebelum James naik ke kereta. Ditutup dengan menghapus airmata di ujung mata James lantas memberi kecupan selamat jalan di dahinya. "Auntie sangat menyayangimu, James. Hati-hati!"
"Thanks," jawab James singkat.
Semua berjalan begitu cepat. James duduk di satu kompartemen dengan Fred Jr, Frank, dan Louis yang baru ditemuinya di kereta. Terus terdiam bersandar pada kaca jendela memikirkan Albus yang kini telah mendapat perawatan di salah satu ruangan intensif St. Mungo bersama ayah-ibunya, Lily, dan sang paman yang seharusnya ikut mengantarkannya lalu melambaikan tangan sebagai ucapan selamat jalan seperti para pengantar dari siswa yang lain.
Jauh bermil-mil dari Hogwarts Express yang terus menjauh, Albus, terbaring kesakitan berselimut cahaya-cahaya sihir dari para healer yang bertindak cepat. Membantunya dari kontraksi liar otot-otot tubuhnya yang makin tak terkendali. Hingga satu jam bergelut dengan mantera terkuat, ramuan dosis tinggi, teriakan kencang Albus sendiri, dan kekalutan dari beberapa orang yang setia menemaninya di luar sana.. keajaiban pun datang.
Salah seorang healer melihat perubahan energi tubuh Albus yang bergerak mendekati garis normal. Harry, Ginny, Lily dan juga Ron mengucapkan segala syukur yang tak terhingga. Albus baru saja melewati titik terparah selama lima tahun terakhirnya dengan begitu baik. Epilepsi yang datang pagi ini jauh lebih parah namun semua itu mengakhiri suatu perjuangan panjang. Berakhir dengan suatu keajaiban.
Fungsi otak Albus bekerja normal kembali.
Namun tanpa mereka sadari, di tengah kebahagian itu keluar setitik airmata yang lolos dari ujung mata kiri Albus. Ia masih sadar. Bahkan jauh dari sekadar sadar. Ia merasakan perubahan dirinya sendiri. Ditengah rasa sakit yang masih melekat ditubuhnya itu, Albus mengingat Hogwarts, Kings Cross, kereta, dan James.
"James—" kata pertama yang bisa ia ucapkan dengan jelas setelah lima tahun berlalu. Nama itu. Nama kakaknya yang keluar dengan rasa bersalah begitu dalam.
"So—rry."
TBC
#
Chapter ini udah jadi jauh-jauh hari setelah lebaran. Bahkan di cerita saat Albus kejang itu adalah moment kaget luar biasa Anne waktu lebaran hari pertama. Pas main ke rumah salah satu nenek, salah satu keluarga Anne anaknya tiba-tiba kejang. Step. Ibu Anne sampai ketakutan gara-gara dikira anak itu marah sama ibu Anne setelah teh di botolnya tumpah pas dipegang. Ibu aku kira gara-gara itu, mirip Hermione lah. Eh kata Bibi aku (ibunya anak itu) emang udah biasa kejang. Tiap kecapekan. Kasihan banget loh. Semuanya sampai ikut panik. Aduhh.. jadilah itu keinget dan jadilah chapter ini.
Kritik saran silakan tulis di kolom review, ya. Anne sangat tunggu respon kalian. Maaf kalau masih menemukan typo. Anne mohon maaf. Sampai jumpa di chapter 3. Doain KKN Anne lancar dan cepat nulis lagi. Amin.
Thanks,
Anne xoxo
