Hi, everyone!

Anne akhirnya muncul lagi untuk melanjutkan Ephemeral yang tertunda. Setelah berhasil menyelesaikan tugas KKN di desa yang jauhhhh sekali dari rumah selama satu bulan, (yang mana Anne susah banget buat nulis di sana) kali ini Anne bisa dengan cukup lega menyelesaikan chapter 3 sampai di depan kalian semua. Hahaha.. semoga para pembaca Anne yang sudah lama menunggu fic ini lanjut bisa paham ya yang namanya Kuliah Kerja Nyata itu susahnya kayak apa. Hemm.. Udah ya, yang penting sekarang adalah kalian bisa baca lagi, yeeee...

Tapi sebelumnya, Anne balas-balas review yang sudah masuk, ya.

HapherGxx : aduhh makasih, ya. Siap.. lanjut baca terus, ya! Thanks :)

Mrs. X : penasaran? Ikuti terus kisahnya, ya!

Naryssa : James terpaksa jadi egois karena kondisi adiknya.. namanya juga masih anak-anak, sering ngerasa iri dan belum bisa bedaain mana baik buruknya. Ikuti terus ceritanya, ya

Yovanka Amelia : iri sesama saudara udah wajar, aku juga begitu kok. Tapi mungkin kebanyakan yang ngerasa kakak-kakak aku. Soalnya aku anak terakhir. Thanks ya

Baiklah, sekiranya sudah cukup balas-balasnya, kali ini Anne langsungkan saja. Agak panjang ya chapter ini dibanding biasanya. Jadi Anne persilakan!

Happy reading!


Aku tadi tidak melihat ada Harry Potter di peron? Benar tidak?"

Aku juga. Berarti memang tidak ada. Aku malah sempat berpapasan dengan Hermione Granger. Astaga dia cantik sekali—"

Lalu kenapa? Bukannya putra pertamanya masuk Hogwarts tahun ini?"

Iya juga. Tapi—ah, yang diberita itu mungkin masalahnya.. Harry Potter kan, punya seorang putra lagi yang sedikit—kurang waras."

A,h yang itu.. aku sudah melihatnya juga saat kebetulan di St. Mungo. Dia berteriak-teriak seperti orang gila!"

Anak seperti itu kan, mempermalukan saja. Mungkin keluarga Potter malu jika harus membawanya ikut kemari."

Dan suara-suara sumbang tentang keluarga Potter terus bersahutan. Terdengar jelas oleh telinga James dari balik pembatas kompartemen kereta yang ia tempati. Hingga suara lain kembali berkata jauh lebih menyakitkan.

Begitulah kalau orang terkenal kemudian punya—aib. Kasihan. Malunya satu keluarga."

Sebagai sepupu terdekat James, Fred Jr merasakan kekacauan pada diri James hari ini. Mungkin karena memang suara-suara dari kompartemen sebelah terus mengobrol tentang keanehan yang disadari banyak orang. Tentu saja, hari ini semua penyihir tahu jika putra pertama Potter akan masuk di tahun pertamanya. Daily Prophet sudah sempat memuat berita itu ketika James dan Harry tertangkap awak berita datang ke toko Olivander untuk membeli tongkat. Sehingga banyak penyihir berspekulasi mereka akan bertemu dengan sang pahlawan di peron 9 awal September ini. Namun nyatanya, tidak ada satu keluarga Potter yang datang selain James sendiri yang akan berangkat.

"Lupakan saja, Jamesie. Yang mereka bicarakan itu—"

"Semuanya benar."

Potong James masih tak ingin melepaskan pandangannya ke luar jendela. Sungai-sungai di luar sana terlihat begitu luas dengan hutan-hutan pinus yang lebat. James sudah sangat jauh dari rumahnya sekarang. Berpisah dari keluarganya yang tidak ada satu pun yang ikut mengantarkannya hari ini. Terlepas dari kebaikan Bibinya yang telah bersedia mengantarnya hingga masuk ke kereta. Sementara keluarga intinya tidak. Sama sekali tidak.

Duduk di sebelah Fred Jr, Louis, hanya memilih tak mau ikut berbicara. James benar-benar kacau. Akan sangat sulit jika sudah diajak bicara dan masuk terlalu jauh tentang masalah internal keluarnya.

"Fred, jangan bercanda." Pesan Louis.

"James. Tenanglah, mereka hanya belum tahu apa yang sebenarnya terjadi di keluargamu. Uncle Harry sudah dikenal luas oleh banyak masyarakat sihir di Inggris ini. Mereka akan tetap menghargai ayahmu dan juga keluargamu lepas dengan bagaimana keadaan Albus sekarang."

Sontak James melihat ke arah Fred Jr yang terus saja berkutbah tentang masalah keluarganya. "Kau tahu apa, Fred?" suara James dingin sekali. Louis menepuk dahinya seolah berkata, 'apa kataku, Fred!'

"Aku peduli padamu, James. Aku hanya ingin kau berkonstrasilah saja dengan Hogwarts dan biarkan Albus dijaga oleh orangtuamu."

Hanya itu saja yang sebenarnya harus James ingat. Di dunia ini ia pun harus berjuang untuk hidupnya juga. Jika ia mampu untuk kuat, masalah seperti kondisi adiknya itu tidak akan jadi beban berat. Ini tahun pertamanya. James tidak mau menjadi pecundang karena terus mendengar ocehan banyak penyihir tentang keluarganya. Dan yang perlu digarisbawahi, tentang adiknya yang kurang waras.

"Setidaknya kau punya masalah sendiri nanti ketika kastil Hogwarts telah kita tapaki bersama-sama." Fred Jr menepuk tiga kali pundak James penuh keyakinan. Cerita panjang mereka akan segera dimulai di Hogwarts.

Benar kata sepupunya itu, James kuat dengan segala ujiannya. Dalam hati ia tegaskan sekali lagi, "kau akan jadi hebat, James. Tidak seperti adik laki-lakimu itu." Batin James terus menggema di dunia sadarnya.


Inilah Albus sekarang. Matanya terbuka dengan kesadaran hingga mencapai sembilan puluh persen. Salah seorang healer memberinya satu mantera khusus yang diarahkan ke puncak ubun-ubunnya. Bergerak turun menyentuh kesepuluh jari kaki. Menjelma bagai angin, berdesir tipis mengiringi helaan napas yang samar-samar keluar dari hidung dan mulut Albus. Perubahan mulai terlihat khususnya pada kemampuan bicara. Albus pelan-pelan mencoba bersuara dengan lumayan jelas seperti menyebut namanya.. atau menyebut nama kakaknya, James.

"Merlin, terima kasih!"

Tidak ada rasa syukur paling nikmat siang ini untuk keluarga Potter selain melihat kesadaran Albus. Ginny memeluk suaminya hampir lemas. Putra yang selama ini ia rawat dengan penuh penjagaan ketat telah berhasil sembuh. Ia paham bagaimana Albus pada setiap harinya. Namun kali ini ia melihat perubahan itu terang-terangan. Albus tampak lebih segar dari biasanya meski ia masih membutuhkan pantauan sihir medis yang intensif.

"Ini benar-benar keajaiban. Syaraf-syaraf Albus dapat berfungsi baik setelah lepas dari reaksi epilepsinya. Bahkan tiga mantera pendeteksi kami sudah menunjukkan Albus benar-benar mengalami kemajuan, Mr. Potter."

"Benarkah, Albus benar-benar—"

"Sadar. Hanya saja mungkin kesembuhannya belum seratus persen. Putra anda membutuhkan perawatan sementara di sini agar dapat kami pantau dengan baik. Sebentar lagi anda sudah bisa memesan kamar rawat untuknya, Sir. Bisa segera diurus di bagian administrasi."

Thank you," ucap Harry sambil memperhatikan putranya sudah mulai membuka matanya dengan fokus yang jelas, yaitu ibunya yang sedang memeluknya sambil menangis.

Melihatnya Harry tak kuasa untuk hanya diam di posisinya. Tangan kiri Harry ikut membelai rambut hitam putranya. Sambil tak henti untuk terus bersyukur. Hingga ia sendiri melupakan jika Ron masih ada bersamanya di ruangan itu.

Ron menepuk pundak Harry memberikan selamat. Bagaimana tidak Albus sendiri adalah keponakannya juga. "Jaga Albus di sini dengan Ginny, Harry. Aku yang akan membantu mengurus administrasi rawat inapnya. Kau mau Albus ditempatkan di mana? Akan aku daftarkan." Usulan Ron terdengar sangat amat membantu bagi Harry.

"Maaf jika tidak merepotkanmu, Ron. Ambil kamar rawat terbaik dengan privasi yang paling aman untuk Al. Sekali lagi terima kasih, Ron. Aku serahkan urusan ini padamu, ya."

"Tentu. Aku sangat senang dengan kemajuan kondisi Albus. Selamat, Harry. Aku turut bahagia. Ah—kalau kau tak keberatan, akan aku kabari semua keluarga kita tentang kondisi Al. Kalau perlu anak-anak di Hogwrats pun—"

"Ah, terima kasih, Ron. Tapi untuk anak-anak—aku rasa tidak perlu dulu. Mereka mungkin masih dalam perjalanan. Lagi pula aku takut mengganggu mereka di hari pertama nanti."

Harry menyebut tentang hari pertama. Sementara tidak semua anak-anak keluarga besar Wesley menempuh tahun pertamanya jika tidak James, Fred Jr, atau Louis. Ron tahu jika maksud Harry adalah tentang James. Dengan penuh kesadaran, Ron memberi kuasa Harry untuk mengabarkan secara personal dengan putra pertamanya.

"Astaga aku paham, Harry. Kalau begitu aku keluar dulu, ya. Sampaikan salamku untuk Al."

Dan tinggallah kini Albus ditemani oleh ayah dan ibunya.

"Albus, sayang." Panggil Ginny dengan berbisik di telinga kanan putranya itu. "Ini Mummy, sayang!"

Ja—mmiee! Man-a— Jamie—"

Hanya itu yang terus Albus utarakan dengan mata entah berfokus pada apa. Badannya tidak banyak bergerak. Cukup kepalanya hanya berusaha berfokus pada suara-suara yang tidak henti memanggil. Telinga Albus terlalu sukar untuk menerima banyak-banyak suara setelah sekian tahun indera pendengarannya hanya sekadar sunyi.

"Ma—" Albus kenal itu suara ibunya. Jelas sekali sebab sang pemilik suara terus berbisik di telinganya. "Ma—" ulang Albus terus tanpa melepas pandangannya pada salah satu sudut ruang pemeriksaannya. Sebuah vas bunga di salah satu meja aluminium penuh dengan tongkat-tongkat khusus dan botol-botol ramuan.

Sedetik kemudian, Harry memberanikan diri menyentuh kepala Albus. Mendekatkannya untuk sekadar mengecup dahi bocah malangnya. Tanpa sadar, Harry menitikkan airmata yang sejak tadi ia tahan. Mengalir dengan sengaja menyentuh rambut hitam tak terawat Albus. Dalam hati ia berjanji akan membuat Albus kembali seperti dulu.

Putranya sudah sehat.

"Kau mendengar kami, Son?"

Harry melepas pelukannya memberi jeda Albus agar bersedia memandang sosok pria yang ia panggil Daddy. "Ini Daddy, Albus. Kau mengenal Daddy, kan, Nak?" Harry bertanya seolah putranya tidak mengenalnya begitu lama.

"Daddy—? Daddy—takut—ta—kut—"

"Iya, nak. Kau aman di sini. Jangan takut!"

Dipeluknya tubuh Albus seolah tak ingin melepasnya. Entah mengapa ketika Albus mulai mengutarakan ketakutannya itu, ingatan Harry kembali bergerak pada beberapa tahun silam. Ketika tragedi yang merenggut kejiwaan putranya hingga berada di bawah ambang normal. Harry tak pernah berhenti untuk menyalahkan dirinya sendiri. Jika bukan karena dirinya, Albus tak akan pernah bisa seperti itu.

Baru setelah Harry mengambil posisi duduk di bangku dengan tangan belum lepas dari sang putra, Albus menoleh. Mengamati wajah ayahnya dengan sudut-sudut mata memicing tak jelas. Benar, Harry tahu putranya itu memang membutuhkan kacamata seperti dirinya. Hanya saja, kacamata milik Albus entah di mana.

"Harry, aku lupa kacamata Al ada di mana. Seingatku kacamatanya terjatuh saat ia kejang tadi."

Terjatuh di lantai ruang makan. Baik Harry dan Ginny menebak jika kacamata Albus tertinggal di area ruang makan. Tidak ada yang sempat menyadari ketika Albus di bawa menuju St. Mungo kacamatanya tidak terbawa. Ada kemungkinan dari posisi terjatuh itulah kacamata Albus tertinggal. Bahkan posisi terakhir kacamata itu berada tidak ada yang tahu.

"Biar, nanti kita beli lagi, ya. Untuk sekarang—" Harry tiba-tiba melepas kacamatanya sendiri lantas mengarahkan tongkatnya sambil merapal sebuah mantera.

Sulur-sulur cahaya hijau kekuningan memancar semakin menyebar keseluruhan permukaan kacamata bulatnya. Ginny terkesima dengan perubahan kedua lensa yang tampak lebih menipis. Meskipun tidak berubah bentuk, sekilas ada yang berbeda dengan kacamata itu.

"Kau merubah kekuatan lensanya?" tanya Ginny. Suaminya kini tidak berkacamata. "Bagaimana dengan dirimu nanti?"

"Albus harus melihat kita dengan jelas dulu, Gin. Ini untuk sementara. Nanti aku akan pulang sebentar untuk mengambil kacamatanya. Atau kalau perlu, Albus periksa di sini lagi sekalian mengatur kekuatan lensa kacamatanya yang lebih cocok. Aku yakin tidak hanya kondisi tubuhnya saja yang lebih baik, begitu juga dengan kemampuan penglihatannya sekarang. Anak kita sudah sehat, Ginny."

Kacamata Harry kebesaran di wajah Albus. Posisi kacamata itu turun, menumpu pada ujung hidungnya. Sehingga perlu disangga dengan bantuan tanggan jika ingin pas di depan mata. "Jelas, Al?" tanya Ginny turut membantu membenarkan posisi kacamata itu. Pada sudut senja menjelang petang, Albus tak ubahnya sosok yang kembali segar setelah tertidur lama.

"Iya, ya—a," ucapan Albus terus terbata-bata. Fokus matanya mulai berubah-ubah pada beberapa objek yang ada di hadapannya. Ia pun kini mampu merespon panggilan hingga langsung menatap lawan bicaranya meski terbatas.

Lengan Albus bergerak naik. Ingin meraih pergelangan tangan lain yang ada paling dekat dengannya. Sang ibu—Ginny Potter sadar jika lengan kirinya ingin diraih dengan susah payah. "Al, kemarilah." Panggilnya. Albus tidak lagi menolak jika ia sentuh. Bahkan kali ini, Albus sendiri yang ingin menyentuhnya.

"Ma—"

"Iya, sayang. Katakan, kau mau apa sekarang?"

Sementara Harry memilih menunggu reaksi dan balasan Albus. Terakhir Albus mengutarakan permintaannya sendiri adalah ketika usianya tidak lebih dari lima tahun. Saat itu Albus ingin dibelikan robot berwujud naga dengan sisik hijau di sekitar badannya. Tapi untuk saat ini, ketika usianya sudah sepuluh tahun, Harry dan Ginny tidak tahu apa yang diinginkan oleh putra mereka.

"James.. James—James mana?"

Albus menginginkan James. Bukan mainan atau hal kanak-kanak lain yang sempat dijelaskan oleh healer. Sebagaimana yang diketahui, Albus kehilangan lima tahun masa pertumbuhan anak-anaknya. Meski memorinya masih merekam jelas apa yang sudah ia lalui sepanjang lima tahun sebelumnya, sistem pemikiran dan motorik Albus hanya baru berkembang saat usianya lima tahun. Lantas kemudian ia sakit. Para healer menghawatirkan jika meskipun Albus telah sehat, kondisi Albus masihlah sama seperti halnya anak yang baru masuk sekolah tingkat kanak-kanak. Albus belum pernah tahu bagaimana menulis, membaca, atau berhitung dengan baik.

Ginny mendesah pelan, tebakannya tentang mainan dan hadiah berupa makanan lenyap sudah setelah Albus hanya menginginkan kakaknya ada di sana. "Kau mau James?" tanyanya ulang.

"Yeah. Ke Hogwarts. Sekarang."

"Tapi," Harry melirik ke arah Ginny meminta pertolongan. Ia bingung akan menjawab apa. "Ini sudah sore, Al. James mungkin sebentar lagi sudah sampai di Hogwarts—em.. James sudah berangkat saat kami membawamu kemari."

"Sudah. Hm. OK."

Seraut rasa kecewa muncul di wajah Albus. Ia menunduk sambil meremas jari-jari tangannya seolah harapan yang selama ini ia tunggu-tunggu telah lewat begitu saja tanpa ia ketahui. Di pikiran Albus kini hanyalah tidak ada lagi kereta dengan asap tebal yang menuju ke Hogwarts.

"Saat James pulang, kita akan menjemputnya ke peron. Ya, yang penting sekarang kau harus sehat dulu, Al. Mummy dan Daddy akan selalu menjagamu. Kau tidak perlu takut lagi."

Keheningan terasa detik itu juga. Albus hanya diam dan begitu juga Harry serta Ginny. Tidak ada perbincangan antara mereka. Beberapa menit selepas itu datanglah dua orang healer yang membawa troli berisi ramuan dan peralatan pemeriksaan sihir.

Healer bernama Judy yang telah lama menangani perkembangan kondisi Albus mempersilakan asistennya untuk menyiapkan peralatan yang sekiranya dibutuhkan untuk pemeriksaan kali ini. Sementara itu, Healer Judy sesekali mengajak berbincang Harry dan Ginny dengan Albus sebagai topik utamanya.

"Tidak serumit biasanya. Kali ini pemeriksaannya hanya pemeriksaan suka-suka. Tinggal kau sebutkan apa yang kau rasakan sekarang, itulah yang akan aku periksa. Mengerti, Al?"

Albus mulai terhibur sampai ia pun ikut tertawa. Sudah lama ia tak merasa sebebas itu. "Ya, silakan periksa saja. Aku sehat, kok. Hanya—" tangannya menyentuh area kakinya yang tertutup selimut, "seperti kesemutan." Ungkap Albus menunjukkan kedua kakinya.

"OK. Kita periksa dulu kakimu."

Healer Judy memberi mantera-mantera dan gerakan ayunan tongkat berpola pada sekitar lutut dan telapak kaki Albus. Ada dua cahaya yang berbeda warna keluar kemudian kembali memudar dan berbaur pada sekitar lutut sebelah kiri Albus. Saat itulah ekspresi wajah Healer Judy menyaratkan pertanda tidak baik. Dan Harry menyadari itu.

"Ada apa, Madam? Kaki Al baik-baik saja, kan?" tanya Harry berbisik.

"Baik," jawab Healer Judy tegas, "namun, memang ada sedikit gangguan di lutut kirinya, sir." Berusaha tidak membuat Albus khawatir, ia mengalihkan pandangannya ke Albus dengan menyunggingkan senyuman lantas berkata, "kaki kirimu masih manja, Al. Itulah yang menyebabkan kau merasa kesemutan. Nanti biarkan Healer Danny yang menangani kakimu yang ini. Dia sangat ahli masalah kaki-kaki yang manja."

"Tapi aku tidak manja, kok, Madam. Harus jadi anak yang mandiri. Aku sebentar lagi kan ke Hogwarts " Tukas Albus belaga kuat.

"Hebat. Itu baru pasien favoritku."

Healer dan pasien itu pun dengan semangat saling beradu tos dan tertawa bersama. Sampai beberapa pemeriksaan selesai, Albus tak hentinya dibuat tersenyum oleh ulah lucu Healer Judy dan asistennya. Setelah dirasa cukup, Healer Judy dan sang asisten pamit untuk kembali. Namun sebelumnya, mereka sempat ditahan oleh Ginny yang rupanya turut merasakan hal yang tidak wajar.

Ginny tidak berpanjanglebar. Ia langsung saja bertanya tentang nama healer yang sempat disebut oleh Healer Judy beberapa menit lalu. Ginny sendiri belum pernah tahu siapa Healer Danny yang dimaksudkan akan menangani kaki Albus.

"Beliau adalah healer yang sangat berkompeten di bidang kesehatan tulang dan syaraf motorik. Saya—menemukan sesuatu yang tidak beres di kaki kiri Albus. Saya hanya ingin memastikan jika tebakan saya ini salah pada healer yang lebih paham masalah ini." Healer Judy berusaha menempatkan dirinya lebih terbuka pada Ginny. Bertahun-tahun ia telah menangani anak Ginny sehingga membuatnya nyaman jika harus berterus terang pada wanita itu. Apalagi jika sudah menyangkut tentang kondisi kesehatan Albus.

"Madam," Ginny mengatur napasnya sejenak sebelum melanjutkan pertanyaannya, "apa masalah yang ada di kaki Albus? Katakanlah, apa yang anda takutkan. Jangan membuat saya takut dengan ketakutan yang saya tidak ketahui. Saya mohon—"

"Kaki kiri Albus lumpuh."


Tidak ada yang bisa didengar oleh Albus tentang apa yang dibicarakan ibunya dengan Healer Judy di balik tirai. Meski jarak mereka tidak begitu jauh. Begitu juga tirai yang tipis, sangat jelas dirasa jika mereka berdua menggunakan mantera kedap suara agar perbincangan itu tidak bisa didengar oleh orang lain. Bahkan sampai ibunya mengantar sampai keluar dari ruangan. Sebenarnya, itulah yang membuat Albus makin merasa tak nyaman. Pembicaraan penting di belakangnya, Albus tak pernah tahu.

"Al, kau mau sesuatu?"

Suara ayahnya memecah keheningan di antara mereka. Albus sadar jika ayahnya masih tak menggunakan kacamata sejak alat bantu melihatnya beralih ia pakai. Itu juga mengapa hanya ibunya yang mengantar Healer Judy dan asistennya sampai keluar dari ruang periksa Albus.

"Pakai saja kacamatanya, Dad. Aku tak apa. Kau pasti tersiksa tanpa kacamata ini." Ujar Albus sambil sesekali memperbaiki posisi kacamata di area hidungnya.

Harry memberi usapan pelan di kepala Albus lantas berkata, "tidak apa-apa. Kata Uncle Ron tadi, Auntie Hermione akan datang kemari sekalian membawa kacamatamu. Mungkin Lily juga akan ikut—"

Dan sepersekian detik kemudian yang baru saja disebut akhirnya datang. Derap langkah dengan celotehan nyaring seorang anak perempuan menyeruak masuk dengan terburu-buru. Ia berteriak, "ALBUS!" dengan mulut ternganga pada akhirnya bersama sosok wanita dewasa lain yang muncul di belakangnya.

"Itu dia." Dengan cepat Harry membri kode pada Lily untuk segera masuk. Ditemani Hermione, Lily sudah tak pandang apapun lantas menyerbu ranjang Albus dan memeluk sang kakak dengan sangat erat.

"Aku tahu kau pasti sembuh, Al." Ungkapnya.

Thanks, Lily. Kau—makin besar saja dan cerewet."

Semua orang dibuat tertawa dengan kesan Albus pada Lily. Meski demikian, Lily benar-benar tak masalah sudah dikatakan cerewet. Karena dirinya pun mengakui itu. "Tapi aku tak secerewet Mum kok, Al. Aku masih dalam batas wajar." Bisik Lily pada telinga Albus. "Apalagi kalau sudah menyuruhku mengerjakan pekerjaan rumah. Rasanya aku ingin segera ke Hogwarts, Al—"

"Lily, biarkan kakakmu istirahat, sayang!" Hermione peringatkan Lily. Sementara itu dirinya sendiri sedang mengajak Harry berbincang tentang kacamata Albus yang ia temukan di bawah meja makan dengan keadaan salah satu gagangnya patah.

"Tapi aku sudah memperbaikinya dengan mantera, Harry. Tak masalah."

Saat Harry bertukar kacamata dengan Albus, dari arah pintu keluar Ginny dan Ron yang siap dengan beberapa petugas St. Mungo yang mengabarkan kamar rawat Albus telah siap. "Jika berkenan, kami bisa langsung mengantar ke ruangan yang baru sesuai pilihan Mr. Weasley sebelumya, sir."

"Tentu, langsung saja itu lebih baik. Silakan."

Salah seorang petugas St. Mungo kemudian menyerahkan sebuah papan berselip perkamen berisi persetujuan ada Harry. para perkamen tersebut tertulis lokasi dan nama ruangan yang dipilihkan Ron pada bagian administrasi rumah sakit sihir itu. Ada di lantai empat dengan fasilitas dan keamanan terbaik. Harry benar-benar sepakat dengan pilihan Ron.

Saking seriusnya membaca rincian perkamen itu, Harry tak sadar ranjang Albus sudah digerakkan menjauh dari ruangan. Hanya saja salah satu roda ranjangnya terselip sesuatu hingga sulit untuk digerakkan.

"Biar saya bantu." Tawar Harry ikut menarik roda belakang ranjang yang sudah cukup berkarat. Karena kesusahan, perkamen tersebut diletakkan di ranjang bersama Albus yang diminta berbaring selama menuju ruangan yang baru.

Sepanjang perjalanan di lorong-lorong St. Mungo, Albus hanya sempat melihat langit-langit dan jajaran lilin melayang di sudut-sudut tiang. Hanya sesekali Albus melihat ekspresi orang-orang yang mengantarkannya atau beberapa penyihir yang tidak sengaja berpapasan dengan iring-iringannya. Pandangan mereka seolah tertarik dengan kehadiran dirinya dan tentu saja keluarganya. Apalagi para penyihir itu tahu jika ada ayahnya yang turut mengantarkannya.

Sesekali teriakan dan bisik-bisik tak jelas dari penyihir-penyihir itu tertangkap di telinga Albus. Namun tidak untuk seorang anak berambut pirang yang tiba-tiba mengejar ranjangnya yang terus bergerak dan menyerahkan sebuah perkamen.

"Ini jatuh dari ranjangmu." Ucapnya.

Thanks," balas Albus sambil menerima perkamen ayahnya itu. Ia tatap wajah pucat anak yang kira-kira berusia sama dengannya tadi. Rambut pirangnya sedikit panjang meski tersisir rapi dan badannya terlihat cukup tinggi.

Dengan senyuman dan anggukan kecil, ia pun berbisik pelan sebelum berhenti mengejar ranjang Albus, "semoga cepat sembuh." Sahutnya sebelum benar-benar membiarkan Albus berlalu.

Entah mengapa, ketika doa itu diucapkan padanya, Albus merasakan dirinya seolah hidup kembali. Tidak pernah ada orang lain—yang tidak pernah ia kenal dengan jelas, tiba-tiba memberi semangat untuknya seperti itu. Di saat semua penyihir hanya menatapnya sinis, ketakutan, dan berbicara aneh di belakangnya.. anak itu berbeda.

TBC


#

Hem, James kayaknya benar-benar benci banget sama Albus. Tapi kasihan nggak tuh si Albus. Walaupun sudah dibilang sehat, kondisi Albus yang sekarang nggak bisa dengan mudah langsung seperti anak-anak normal pada umumnya. Lima tahun masa-masa berat di hidup Albus itu seolah harus diulang lagi mulai awal. Dan.. siapa anak yang dilihat Albus saat di lorong St. Mungo? Ada yang bisa tebak nggak nih?

Jawabannya ada di chapter 4 nanti, ya. Jangan lupa tulis review, fav, atau follow fic ini. Maaf kalau masih ada typo. Sampai jumpa di chapter baru mendatang. Anne sangat seneng banget bisa kembali nulis lagi.

Thanks,

Anne xoxo