Hi, everyone!
Anne datang lagi di saat malam takbiran, karena besok Idul Adha. Yups, setelah Anne pertimbangkan, sebenarnya Anne mau update besok pas tanggal 1 September, tapi berhubung besok Anne mau ke rumah nenek yang bakal sibuk ngurus si sapi yang mau disembelih, Anne takut nggak pas aja momennya. So, Anne putuskan publish hari ini.
Baiklah, seperti biasa Anne akan balas review dulu!
ekspuulsoh : tahan air matanya, belum saatnya, ya! Hehehe.. ikuti terus, ya! Thank you!
Yovanka Amelia : hubungan kakak adek yang sering ada masalah pasti gitu. Ada rasa nggak enaknya kalau berantem terus. Hayo siapa anak pirang itu? Lihat di chapter ini, ya. Thanks :)
HapherGxx : yeayyy udah di update, nih! Bener gk ya si Scorpie? Yuk di baca chapter ini! Thanks, ya! :)
Altherae : wah nebak Scopius juga, nih! Bener gk ya? hehehe dibaca aja chapter ini! Thanks :)
Walaupun yang review dikit tapi Anne bahagia ada lebih dari ratusan yang udah baca fic ini. Salam dari Anne, wahai para silent readers! :)
Anne baik nih, soalnya Anne baru ulang tahun Senin lalu :)
Udah ah, langsung saja, ya!
Happy reading!
Kalau tidak salah melihatnya, Scorpius Malfoy, tahu jika anak yang lewat tadi adalah putra dari Harry Potter. Pahlawan sihir Inggris yang sering ia baca di perpustakaan rumahnya. Ia benar-benar yakin setelah iring-iringan brangkar pasien dengan anak laki-laki yang terbaring di sana itu— didorong menjauh dan menghilang di tikungan lorong menuju jalur-lintas-lantai St. Mungo. Satu-satunya jalur spesial yang akan menghubungkan ke lantai 4, tempat ruangan-ruangan kelas unggul. Ia sendiri baru keluar dari sana. Sekilas memang tidak aneh bagi Scorpius. Namun seingatnya, sosok Albus Severus yang kerap digosipkan gila itu berbeda dengan yang ia temui tadi.
"Dia tampak sehat, meski pucat. Kasihan, kenapa dia dibilang gila?" Ungkapnya prihatin.
Dari pertemuan singkat itu, akhirnya suatu ide yang tidak pernah terpikirkan oleh Scorpius tiba-tiba saja terlintas di kepalanya. Ia penasaran dengan bagaimana banyak penyihir di luar sana menyebut anak itu gila. Dari beberapa artikel dan pembahasan tentang Albus Severus di banyak surat kabar sihir, Scorpius dapat menarik kesimpulan sederhana jika Albus sebenarnya tidak gila.
"Merlin, Scorpius. Ternyata kamu di sini?"
Seorang pria dewasa dengan rambut pirang yang sama terdengar khawatir memanggil dari arah yang berlawanan. Di tangannya sebuah kantong kertas berlogo salah satu kedai di area kafetaria St. Mungo ia jinjing tinggi agar Scorpius dapat melihatnya dengan jelas. Pesanan makanannya sudah dibelikan.
"Daddy sudah bilang, kan, kalau tunggu di kamar Mum. Biar Dad yang carikan makan malam untuk kita. Ada banyak penyihir di sini. Lalu Mummy sekarang bagaimana? Sendirian?"
Draco Malfoy, kerap kali dibuat sebal dengan kelakuan putra sematawayangnya. Scorpius kerap kali bertindak di luar pengawasannya. Dunia sihir bagi Draco—dan keluarga Malfoy tidak sebersahabat ketika pada masanya. Sekarang, meski dunia sihir Inggris jauh lebih damai, namun tidak dengan Malfoy dan semua keturunannya. Semua penyihir akan memandang sebelah mata keluarga mantan Pelahap Maut itu. Tidak ada kesan baik meski kini—Draco berusaha keras untuk memperbaiki masa lalu kelamnya. Bersama Scorpius, dunia yang baru itu adalah dunianya kini. Putranya berhak hidup dengan kedamaian tanpa ada pembenci seperi hidupnya.
Draco merendahkan posisi badannya agar sejajar dengan tinggi Scorpius. Putranya tampak menyesal dengan perbuatannya meninggalkan sang ibu sendiri di ruang rawat. Draco pun merasa dirinya sudah bersikap berlebihan pada Scorpius.
Dengan pelan ia belai rambut putra kebanggaannya itu lantas berkata, "maafkan Daddy, Scorp. Kamu harus paham bagaimana posisi Dad sekarang. Mummy sakit dan semua penyihir memandang kita—"
"Aku tak peduli itu." Scorpius menangkup kedua sisi wajah Draco dengan pandangan penuh harap. Ia ingin mengungkapkan rasa kesendiriannya selama ini.
"Scorpius—"
"Daddy sudah berubah. Daddy orang baik. Mummy orang baik. Aku juga tidak nakal. Aku—aku hanya," pandangan Scorpius beralih ke arah jalur-lintas-lantai. Iring-iringan pengantar Albus sudah menghilang di sana. Ia terlambat untuk ikut. Rencananya untuk mencari ruang rawat Albus akan sedikit sulit nanti. Tapi setidaknya, ia akan cukup dimudahkan sebab ibunya juga sedang di rawat pada area lantai empat.
Scorpius merasakan jika Albus sedang merasakan kondisi yang sama. Tanpa teman, dan ia harus bisa menjadikannya teman.
"Aku hanya ingin punya teman. Aku tidak mau sendirian, Daddy."
"Oh, kemarilah, Scorp."
Jendela kamar rawat Albus diketuk-ketuk oleh paruh seekor burung hantu berwarna abu-abu. Namanya Rowman. Burung hantu milik James. Tugas pertamanya tersampaikan dengan baik malam ini. Ia datang dengan surat terikat di kakinya.
"Surat dari James," kata Ginny sembari membuka gulungan perkamen kecil dengan pesan singkat di dalamnya.
"Masuk mana dia, sayang?" Harry masih membantu merapikan posisi selimut Albus. Sudah cukup malam dan reaksi mengantuk dari ramuan yang terakhir diminum Albus sudah mulai bekerja.
Wajah Ginny tampak bahagia sembari menyembunyikan tulisan James dari Harry. "Coba tebak." Godanya.
"Em—Gryffindor?" diraihnya surat dari tangan Ginny lalu membacanya yang mana hasil yang ia lihat sangat tepat dengan tebakannya semula. "I knew it!" lanjut Harry.
"Hogwarts akan punya generasi Marauder yang baru, sayang. Siap-siap kau akan sering mendapat surat panggilan dari McGonagall." Ginny benar-benar menggoda Harry yang masih serius membaca ulang surat pertama James dari Hogwarts. Sementara itu, Ginny beralih membantu Albus untuk menata posisi bantal agar Albus semakin nyaman untuk tidur.
"Jamie—"
"Ya, James sudah selesai di seleksi. Dia masuk Gryffindor, Al. Itu adalah asrama yang sangat diinginkan James bahkan sejak kecil."
Albus ikut tersenyum. Waktu ia masih kecil dulu, ia ingat jika James memang sering menyebut Gryffindor sebagai asrama masa depannya ketika berangkat ke Hogwarts. Belum lagi ketika banyak pernak-pernik Gryffindor yang dibelikan ayah ibunya untuk James sejak bayi. Secara tidak langsung, masuk asrama Gryffindor itu juga menjadi harapan besar ayah ibunya. Mereka berdua datang dari asrama yang sama. Gryffindor juga. Jadi akan sangat membanggakan jika anggota keluarga besar Potter-Weasley masuk di Gryffindor.
"Aku juga ingin masuk Gryffindor. Nanti—saat aku ke Hogwarts. Satu tahun lagi, kan, Mummy?"
Pertanyaan Albus sontak membuat Harry dan Ginny terdiam. Hogwarts, Albus menginginkan itu lagi. "Aku sudah sangat sembuh saat waktunya nanti aku berangkat. Aku tidak mau masuk Slytherin, aku mau masuk Gryffindor. Sepeti Jamie, Daddy, Mummy, uncle Ron, auntie Mione, Grandpa—" Albus terus menyebut nama-nama anggota keluarganya yang berasal dari asrama Gryffindor.
Satu persatu Albus sebut hingga kesadarannya mulai menghilang. Albus terlelap.
"Harry—" panggil Ginny selepas mengecup dahi Albus tanda selamat tidur. Kekuatan matanya kini tak lagi setegar tadi. Sesak rasa di dadanya mulai berontak. "Kita harus berkata apa pada Albus? Kalau seandainya—" Ginny berbailk untuk menghadap suaminya. Ia tidak ingin menunjukkan wajah lemahnya di hadapan Albus meski anak itu sedang tertidur pulas.
"Tidak ada satu pun asrama yang akan ia masuki. Apalagi Hogwarts?" lanjutnya.
"Gin, sudah cukup. Biarkan Albus bahagia terlebih dulu. Jangan buat ia makin tertekan dengan mengetahui keadaannya sekarang."
"Tapi," Ginny menarik napasnya dalam-dalam seolah tak mau mengulang kembali kenyataan pahit beberapa waktu lalu. Ketika hasil pemeriksaan dari Healer Judy diungkap jelas padanya.
"Kaki kiri Albus lumpuh seumur hidupnya. Syarafnya tak lagi sebaik dulu. Bahkan jauh lebih buruk dibandingkan ketika ia sakit. Dan.. waktunya di dunia ini... Merlin.. bahkan untuk melihat Hogwarts Express tahun depan pun itu mustahil untuknya, Harry! Kau ingat Madam Judy berkata apapada kita.. Aku tidak mau merusak kebahagiaan putra kita!"
"Pstt—tenangkan dirimu, Ginny. Aku tahu.. aku tahu.. itulah mengapa kita harus selalu ada untuknya. Mulai detik ini juga, aku berjanji tidak akan membiarkan hari-hari Albus dipenuhi oleh kesedihan. Akan aku berikan apapun untuknya asal dia bahagia. Pegang janjiku, Ginny. Aku berjanji dengan nyawaku sendiri."
Tidak ada satupun orangtua yang mau membuat hidup anaknya menderita. Tidak ada keabadian di dunia ini. Tidak hanya pada Albus, baik tiap individu tidak akan pernah ada yang kekal. Hanya saja, mereka memiliki waktu. Ada yang mampu untuk terus bertahan, namun ada pula yang harus segera menyerah. Secepat pikiran manusia yang tidak ada seorang pun yang dapat menebaknya.
Hanya setelah membiarkan Albus tertidur, barulah Harry dan Ginny sejenak bisa membayar rasa lelah mereka hari itu dengan sedikit menikmati makan malam mereka yang harus tertunda hingga larut malam. Hanya menu sederhana yang sempat Molly bawa ketika berkunjung sore setelah Albus dipindah ke ruangan baru.
"Harry, resep yang terakhir diberi oleh asisten Madam Judy tadi sudah ditebus?"
"Astaga, aku lupa, Gin."
Harry bergegas mencari lipatan kecil di atas meja. Tepat di bawah parsel buah-buahan pemberian Luna yang sempat berkunjung. Dalam potongan resep itu tertulis tiga nama ramuan untuk Albus. Meski digunakan esok pagi, setidaknya Harry harus mendapatkan ramuan-ramuan itu secepatnya agar mudah jika dibutuhkan sewaktu-waktu.
"Ini sudah sangat larut, semoga masih buka." Harry cepat-cepat meraih mantel hangatnya dari tiang gantungan. Sementara Ginny mengangguk kecil dan berpesan singkat agar suaminya itu berhati-hati. "Aku akan segera kembali setelah aku dapatkan ramuan-ramuan ini. Kau habiskan makanan malammu. Jangan sampai resep ramuan ini bertambah ramuan lambung untukmu karena kau benar-benar telat makan." Goda Harry mencoba mencairkan suasana. Sudah lama mereka tak bersendagurau berdua seperti itu.
"Aku berangkat! Love you—"
"Love you!" balas Ginny dengan mengecup singkat bibir Harry.
Letak apotek di wilayah pelayanan unggulan St. Mungo berada di pusat lantai empat. Salah satu apotek yang buka 24 jam dan terlengkap di sana memang menjadi tujuan utama bagi para healer untuk menambah suplai segala jenis ramuan mereka sebagai jaminan utama pemeriksaan pasien. Namun apotek itu pun dibuka untuk umum jika para penyihir lain di luar rumah sakit mau mencari ramuan langka bagi beberapa penyakit sihir serius yang tidak bisa dibuat sendiri di rumah. Alhasil, apotek milik St. Mungo ini tidak pernah sepi dengan pengunjung yang membutuhkan ramuan-ramuan secara mendadak.
Ketika Harry sampai hanya ada beberapa penyihir yang mengantre. Maklum saja, sudah hampir menginjak dini hari dan pastinya tidak banyak aktifitas pemeriksaan yang membutuhkan ramuan-ramuan secara cepat. Bahkan para penyihir yang berdiri mengantre pun tampak tenang dan tidak terburu-buru. Harry menebak jika penyihir-penyihir itu juga akan menebus ramuan untuk pemeriksaan esok pagi. Sama seperti dirinya.
Melihat ada salah satu sudut yang cukup sepi, Harry segera mendekat untuk menyerahkan resep Albus pada bagian ahli ramuan yang berjaga. Sampai tak sengaja ia hampir saja menabrak seseorang yang ternyata lebih dahulu mengambil posisi incarannya.
"Ups, sorry.. silakan lebih dulu, tidak apa-apa—ah, kau.. Ma-Malfoy?"
Pria tinggi berambut pirang yang berada lebih dulu di depannya adalah sosok yang sangat ia kenal sejak bertahun-tahun lalu. Draco Malfoy dengan jaket hitam tebalnya tetap kaku melihat Harry. sebuah pertemuan yang tidak terduga bagi keduanya.
"Kau—ada di sini juga?" tanya Harry benar-benar tak menyangka akan bertemu kembali dengan rival masa mudanya.
"Tentu, tapi tenanglah aku bukan ingin memata-matai aktifitas keluargamu di sini seperti para penyihir di luar sana. Aku juga punya urusan sendiri di sini."
Nada bicara Draco seolah tersendiri dengan pertanyaan Harry. Ia pikir Harry bertanya demikian seolah dirinya sama penasarannya dengan para penyihir yang termakan berita media tentang Albus tengah dirawat di St. Mungo. Tidak sedikit berita-berita buruk ikut muncul tentang kondisi Albus. Mulai dari Albus makin parah, Albus benar-benar mengalami gangguan jiwa, hingga berita heboh tentang Albus yang diberitakan meninggal dunia.
"Bukan begitu..maksudku, ya, tentu kau tidak akan seperti mereka semua—"
"Aku tidak suka ikut campur urusan orang lain, Potter."
Kekakuan pembicaraan mereka sempat terhentik ketika salah seorang ahli ramuan mempersilakan Harry memberikan resep miliknya dan memanggil Draco untuk mengambil ramuan miliknya. Draco meninggalkan Harry sejenak dan berkonsentrasi dengan petunjuk yang disapaikan oleh sang ahli ramuan.
Dari jarak yang tidak cukup jauh itu, Harry dapat mendengar bagaimana instruksi yang Draco dapat tentang cara memberikan ramuan-ramuan miliknya. "Untuk dua botol dengan tanda warna biru diberikan bersamaan masing-masing satu sendok makan sebelum tidur dan pada siang hari setelah makan. Sedangkan yang hijau hanya diberikan ketika istri anda merasakan sakit di dadanya saja. Ramuan ini diberikan sebanyak satu tutup botol ini saja, sir. Sarena ramuan ini cukup keras untuk kondisi jantung istri anda. Sudah jelas?"
Draco hanya mengangguk tanda memahami semua petunjuk itu. Setelah semua ramuan dimasukkan dalam satu kantung besar, Draco lantas segera berbalik dan bersiap keluar dari antrean. Namun Harry tiba-tiba kembali bersuara membuat langkahnya sempat tertahan.
"So, berita itu benar kalau—maaf, istrimu sedang sakit—"
"Tidak selamanya Prophet memuat berita omong kosong." Hanya itu yang dikatakan Draco. Ia menyempatkan untuk melihat Harry sebelum pergi menjauh. Tatapannya sendu, wajahnya terlihat kelelahan, dan bahasa tubuhnya yang menyiratkan makna jika ia pun sedang dalam keadaan yang tidak baik. Secara psikis lebih tepatnya.
"Semoga putramu cepat sembuh," pesan Draco singkat lantas pergi.
"Begitu juga istrimu." Harry berharap itu balasan yang baik.
"Mummy—"
"Hey, kau sudah bangun, sayang? Kamu mau sarapan dulu atau makan dulu? Tadi Daddy harus berangkat ke Kementerian saat kamu masih tertidur. Daddy tidak tega membangunkanmu. Dia ada pekerjaan yang—"
"Mum!"
Ginny sontak menahan kata-katanya. Sudah terlalu panjang ia bertanya ini itu pada Albus yang baru saja bangun. Sudah kebiasaan bagi Ginny jika ia selalu banyak bicara jika sudah perhatian dengan orang. Apalagi dengan keluarganya sendiri. Suami atau anak-anaknya. Albus adalah yang paling sering mendapat runtutan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Bagaimana pun juga, itu semua adalah bentuk perhatian Ginny sebagai ibu. Albus sangat memahami itu.
"I'm sorry, sweetheart! Katakan, kamu mau apa sekarang?" tanya Ginny.
Salah satu gorden jendela kaca yang merangkap pintu menuju balkon kamar rawatnya sudah terbuka. Cahaya matahari pagi banyak masuk melalui jendela itu. Dan sudut itulah yang membuat Albus penasaran.
"Aku ingin melihat taman dari sana. Boleh kan, Mum?"
Sejak sakit, Albus sering menjadikan jendela di kamarnya sebagai sudut favorit. Tempat yang membuatnya merasa tenang saat matanya sendiri dapat melihat berbagai hal di luar rumah. Sampai ia hampir terjatuh pun semua itu terjadi dari jendela. Ginny paham betul jika putranya itu suka sekali menyendiri di depan jendela. Tapi sejak kejadian Albus hampir terjatuh di jendela kamarnya hingga berujung pada pemasangan terali, muncul kekhawatiran itu di hati Ginny.
"Aku ingin keluar. Di balkon saja. Boleh, ya!"
Ginny mengecup pelan dahi Albus. Ia khawatir.
"Ini di lantai empat, sayang."
"Aku tahu, Mum. Tapi—aku sudah lama tidak menikmati suasana luar. Bukankah pemandangan di belakang St. Mungo sangat indah?" Diraihnya tangan Ginny untuk sekedar menunjukkan keseriusannya, Albus membelai punggung tangan sang ibu pelan memberi kenyamanan, "aku mohon." Pintanya.
Ginny sendirian pagi ini. Harry harus segera berangkat ke Kementerian karena banyak pekerjaan yang ia tinggalkan untuk menemani Albus. Sementara itu masih banyak barang-barang yang ada di ruangan baru Albus harus segera dirapikan. Kasihan Albus jika anak itu tetap berdiam diri di dalam kamar sambil menyaksikan ibunya sibuk sendiri. Albus akan menjadi makin tertekan dan merasa tak bisa berguna. Alhasil, Ginny menimbang-nimbang keinginan Albus yang ingin menikmati suasana pagi.
Toh, kaki Albus susah bergerak. Ia tak mungkin bisa ke mana-mana, batinnya.
Pihak St. Mungo telah memberi fasilitas penunjang aktifitas Albus. Misalnya kursi roda yang ditempatkan di kamar dan tiga tongkat berjalan dengan bentuk dan keguanaan yang berbeda-beda. Khanya kursi roda yang sekiranya cukup masuk akal untuk membantu Albus menuju balkon.
"Baiklah, Mum rasa kamu memang butuh udara segar. Tidak akan ada reporter di sana. Jadi kamu bisa sedikit bersantai. Tapi sebentar saja ya, sayang. Cukup di balkon ingat!"
"Cukup di balkon. Ingat!"
Dan Ginny pun dengan sekali ayun menarik secara sihir kursi roda yang masih terlipat untuk segera mendekat ke arah ranjang. Pelan-pelan ia papah Albus dengan mantera peringan untuk duduk di atas kursi roda.
"Kaki kiriku masih sulit digerakkan. Malah rasanya seperti mati rasa, Mum." Ungkap Albus setelah berhasil duduk. "Apa tidak apa-apa, Mummy?"
"Em—" Ginny bingung harus menjawab apa. Belum waktunya untuk ia bicara tentang kondisi kaki itu sekarang. Albus harus nyaman terlebih dulu. menikmati waktu-waktu pertamanya kembali normal. "Nanti bisa diperiksa lagi oleh Madam Judy. Kamu kan masih harus menjalani pengobatan di sini, Al. Kamu akan sembuh, sayang."
"Yeah, itu pasti!" Albus sangat optimis.
Balkon pada setiap kamar rawat kelas unggul di St. Mungo dibuat lebih besar dibandingkan ruangan lain. Serta pemandangan dari ketinggian yang tampak lebih indah jadi salah satu keunggulannya. Albus didorong pelan keluar dari jendela kaca dan tempatkan di sudut paling nyaman dari balkon tersebut.
Ginny memberikan kuncian pada roda-roda kursi Albus untuk mencegah pergerakannya. Sebelum meninggalkan Albus sendiri, Ginny akhirnya berpesan, "hati-hati. Tenangkan pikiranmu di sini, sayang. Jendela tetap Mum buka, kalau butuh apa-apa langsung berteriaklah. Mengerti?"
"Aku mengerti."
Tinggallah Albus sendirian di balkon ruang rawatnya. Pagi seperti ini udara terasa jauh lebih segar. Bertahun-tahun lamanya ia tak merasakan ketenangan seperti itu. Pandangannya sangat luas. Bukit dan danau di hadapannya memberi kesegaran pada seluruh persendian tubuhnya. Begitu tenang, begitu nyaman.
"Kalau saja pohon willow itu tidak ada, kamu pasti bisa melihat dermaga kecil di pinggiran danau itu."
Suara seseorang mengejutkan Albus. Ada di sebelah kanannya. Seorang anak laki-laki pirang tampak asik duduk menggantungkan kakinya di lantai balkon dua ruang dari tempat Albus.
"Kau, kan—"
"Iya, ini aku. Kita bertemu di lorong kemarin. Yeah dan ternyata kamar rawatmu ada di sana." Ungkapnya. Sesekali ia melihat ke dalam ruangnya sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan Albus.
"Kau sakit juga?" tanya Albus. Ia ikut memeriksa ke dalam ruangannya. Ibunya masih sibuk membereskan banyak barang-barang. Masih cukup aman jika ia berbincang sebentar dengan anak laki-laki itu.
Anak berambut pirang itu menggeleng pelan, "Mummy sakit. Ada gangguan di darahnya. Jantungnya sempat sakit jadilah aku di sini. Ikut menemaninya." Jelasnya.
"Oh, aku turut prihatin. Sorry—" Albus menunduk. Rasa menyesal mulai muncul.
"Tak apa. Bukankah kau juga sedang sakit? Tapi berita di luar sana terlalu berlebihan. Aku lihat kau tidak seperti orang gil—maksudku.. 'sakit pikiran'."
"'Sakit pikiran'?" Albus tak tahu apa maksudnya itu. namun sebelum terlalu jauh memikirkannya, ia dibuat syok dengan kelakuan anak laki-laki itu yang berani melompat ke balkon lain agar lebih dekat dengannya.
"Hey, hati-hati!" peringat Albus. Namun anak itu sampai dengan selamat dan duduk sangat dekat dengan Albus. "Kau masuk ke balkon ruangan penyihir lain. Bisa-bisa kau—"
Anak laki-laki pirang itu hanya terbahak, ia tunjuk ke arah jendela kaca balkon baru tepat di sisi kanan balkon ruangan Albus, "ruang rawat ini kosong. Kita terpisah satu ruangan. Terlalu jauh untuk kita berbincang." Katanya santai.
"Kau terluka?" Albus ketakutan. Dari ujung kepala hingga ujung kaki anak itu ia perhatikan dengan seksama. Memang tidak ada luka.
"Aku sudah biasa kabur dari ayahku. Kalau tidak seperti ini, aku tidak akan tahu lingkungan luar. Tinggal di Manor terlalu sepi. Sementara di luar.. lihatlah, seperti ini. Indah sekali! Sayang kalau tidak dinikmati."
Pemandangan alam yang sangat indah. Begitu yang dinikmati Scorpius Malfoy dan ingin sekali Albus turut merasakannya.
"Namaku Albus—"
"Severus Potter. Aku sudah tahu. Kamu anak kedua dari Harry dan Ginevra Potter, kan? Kamu punya kakak bernama James dan adik bernama Lily. Sama seperti nama kakek dan nenekmu."
"Ba—bagaimana kamu tahu?"
Scorpius terbahak lagi sambil meremas pinggiran besi balkon. Ia tak pernah menemui anak seumurnya selugu Albus. "Semua penyihir tahu siapa kamu, Albus. Bahkan aku yang tidak pernah keluar dari Manor. Banyak buku menulis tentang keluargamu. Tentang Ayahmu. Keluarga Potter! Aku sudah baca semuanya."
"Wow!"
Kekaguman itu membuat Albus makin merasa nyaman. Hingg pembicaraan mereka berujung pada tahap saling mengenal. Albus ingin tahu siapa anak itu.
"Scorpius Malfoy. Daddy kita dulu satu angkatan. Tapi beda asrama."
"Oh, ya. Bukan Gryffindor?"
Scorpius menggeleng tegas. "Slytherin. Dad ada di Slytherin, sama dengan Mum. Tapi Mum adik kelas Dad." Cerita Scorpius. Kakinya mengayun-ayun dengan santai.
"Aku—tidak mau masuk Slytherin. Slytherin asrama untuk murid-murid—em—"
"Tidak juga. Kau pasti berpikir Slytherin buruk, kan? Slytherin itu—Merlin, itu seperti suara Mum."
Scorpius berlari pada sudut lain agar lebih dekat dengan balkon ruang rawat ibunya. Meninggalkan Albus yang memang hanya bisa duduk di kursi rodanya saja. Tidak mampu kemana-mana. Tidak lama kemudian, Scorpius kembali mendekat.
"Mum sudah mulai terbangun. Aku rasa aku harus kembali." kata Scorpius seolah berpamitan.
Senyuman Scorpius mengembang sebagai salam perpisahan. Namun sebelum ia melangkah semakin jauh, Albus sempat memanggilnya, "hey," panggil Albus. Scorpius kembali berbailk.
"Apakah dulu Daddy kita berteman?" Albus melontarkan pertanyaan dengan nada tak yakin.
Begitu juga Scopius. Ia mengangkat kedua pundaknya tanda tak tahu. "Tapi kita bisa berteman. Kau mau.. friend?" tawaran yang begitu saja keluar dengan yakin dari mulut Scorpius.
"Yeah, teman."
"Baiklah, akan aku kirimi surat nanti. Sampai jumpa lagi, Albus—"
"Tapi—aku—" dan Scorpius pun menghilang.
Baru kali ini, teman—menjadi kata paling indah di kehidupan Albus. Setelah sekian lama ia dalam kondisi tak baik, sendiri, tanpa teman. Dengan kedatangan Scoprius, Albus tahu hidupnya akan lebih berwarna.
TBC
#
Hoho.. Pertemuan Potter dan Malfoy.
Kisah mereka masih panjang, ya. Dan besok 1 September. Tepatnya tanggal besok selain kita Idul Adha, Albus, Scorpius, dan Rose bakal berangkat ke Hogwarts. Wow... Jadi pengen berangkat juga ke Hogwarts. Hehehe..
Baiklah, akan segera Anne post chapter selanjutnya. Jadi doakan tidak ada masalah yang bikin Anne nunda-nunda fic ini. Masih awal, Anne belum munculkan konflik yang makin kompleks. Nanti, jadi yang penasaran ikuti terus kisahnya.
Maaf kalau masih ada typo, Anne tunggu reviewnya. Jangan lupa Fav, Follow, atau bagikan fic ini. Sampai jumpa di chapter 5, ya! :)
Thanks,
Anne xoxo
