Hi, everyone!
Kalian kangen Anne nggak, sih?! Hehehe kalau Anne kangen banget! *nggak peres loh*
Sebenarnya sih, ya, untuk sekadar update itu Anne bisa diatur. Anne itu bisa selesai nulis satu chapter cuma 4 jam. Selesai. Soalnya udah biasa juga ikutan lomba nulis yang langsung spontan nulis sekali teng! langsung selesai. Tapi masalahnya, nggak ada yang namanya mulus-mulus aja tiap update di ffn. Salah satunya kendala koneksi internet.
Anne nggak paham kok bisa begini. Beberapa hari lalu chapter ini udah siap up. Tapi website FFN nggak bisa dibuka. Ya Anne kira sinyal wifi Anne yang masalah. Tapi, waktu Anne buka Wattpad lanjar jaya. Nah.. salah apa coba? Baru malam ini kepikiran buat buka lewat browser Mozilla (awalnya pakai Crome). Dan tara! Akhirnya bisa. Kok bisa ya? -_-
Yang paham masalah ini tolong jelaskan ke Anne, ya! Hehehe..
Ya sudahlah, yang penting sekarang Anne udah bisa update lagi. Tapi seperti biasa Anne akan balas review yang masuk dulu. Mari disimak!
ekspuulsoh : Terima kasih ucapannya.. thanks juga kamu udah suka sama fic ini.. typonya masih bisa dimengerti kan? *ngeles banget* Scorbus hemmmm. Ikuti terus kisahnya :)
HapherGxx : hehehe.. kayaknya udah panjang deh.. tapi masih kurang panjang? Takut yang lain bosen baca yang panjang-panjang soalnya. Hehehe :)
Yovanka Amelia : idul Adha kurban nggak nih? Anne juga ke rumah nenek soalnya lagi kurban. Ngurus daging seharian waktu itu hehehe.. bener banget itu Scorpius.. ikuti terus kisahnya, ya! :)
Nina : wow! kamu juga 28 Agustus ultahnya? Happy birthday buat kamu juga, ya! Kita samaan, nih! Mungkin cuma umurnya aja yang beda hehehe atau mungkin sama? Hahaha thanks ya :)
Karena hanya segitu yang review (banyak silent readersnya sih) jadi Anne cepet balesnya! Siap ya buat baca chapter 5?! Langsung aja, yuk!
Happy reading!
Seorang pria berjubah mendekatinya. Datang dari balik pohon dengan tatapan tajam. Senyuman di wajahnya memang ada, hanya saja itu dingin sekali. Raut mukanya tidak menunjukkan bahwa ia memiliki pribadi yang bersahabat. Auranya bahkan tidak baik. Albus lihat di sekelilingnya sepi. Mereka semua sedang berkumpul pada sudut lain. Begitu juga ayahnya. Sedangkan ia hanya sendiri untuk melepas bosan dengan melihat kaktus-kaktus kecil yang di tanam di sana. Menarik bagi Albus, tapi ia tak yakin pria itu juga tertarik dengan kaktus kecil itu seperti dirinya.
Sampai pria itu semakin dekat. Mengeluarkan sebuah tongkat lantas berkata, "kau anak si Potter, huh? Nikmati apa yang telah diperbuat ayahmu pada kelompok kami—Crucio!"
"No.. pergi! Pergi! Daddy—Da—no!"
"Albus, Albus! Bangun, nak!"
"Jangan—"
"Hey, it's OK. Tenangkan dirimu. Bangun, sayang! Albus, ini Mummy, sayang!"
Dan sesaat kemudian, teriakan ketakutan itu pun berganti dengan suara sesak yang dengan perlahan menyadarkan Albus dari mimpinya. Matanya terbuka lantas baru ia sadari itu semua hanya mimpi. Ketakutan yang selama bertahun-tahun ia rasakan sendiri. Hingga puncaknya, pagi ini ia kembali merasakan ketakutan itu lagi. Begitu jelas dan sakit yang sama kembali terasa. Dada Albus sontak nyeri. Seperti mantera itu kembali ia terima.
Albus tidak bisa berkata banyak saat rasa sakit itu mulai menguasai area dada dan ulu hatinya. Nyeri hingga udara tak mampu untuk sekali saja ia hirup. Dengan segera Harry memanggil bantuan medis sihir dengan mengacungkan tongkatnya pada salah satu lubang sihir berukuran kecil di belakang ranjang Albus.
Tidak lama kemudian, dua orang healer pria datang dan dengan cepat memberikan tambahan mantera pada sekujur badan Albus.
"Tolong genggam masing-masing telapak tangannya,sir. Anda juga, Mam, bantu putra anda mengatur napasnya pelan-pelan." Pinta sang healer jaga. Ia dan rekannya masih saling membantu memadukan beberapa mantera medis.
Hanya sekitar sepuluh menit hingga Albus tenang, pertolongan mantera itu selesai. Albus kembali di rebahkan dengan nyaman pada posisi sandaran kepala sedikit dinaikan. "Hanya syok," ujar Antonio, healer berambut coklat itu.
"Usahakan agar segera mengatur napas ketika mengalami hal seperti ini lagi. Dan beristirahat sejenak sekitar dua puluh menit sebelum kembali beraktifitas." Lanjutnya.
"Oh, Merlin. Terima kasih atas bantuannya." Kata Harry merasakan kelegaan sebab Albus tak mengalami masalah serius. Tidak lama kemudian, ujung kemeja Harry terasa di tarik pelan. Albus memanggilnya.
Tidak ada kata-kata yang bisa diucapkan oleh Albus. Matanya menyipit dan menggerakkan kepalanya pelan berusaha mengingatkan sesuatu. Harry paham apa maksudnya. Ada penolakan dari Harry, sebenarnya ia sendiri tidak mau mengungkit masalah itu. Tapi keinginan Albus sudah sangat besar.
"Dan.. em sorry—bagaimana dengan kepulangan Albus hari ini?" tanya Harry sembari melihat ke arah Ginny yang memberinya anggukan pelan. Albus berganti memberi isyarat permohonan pada ibunya kali ini.
Antonio sesekali mengecek papan data yang ada di tangan sang asisten. Meminta untuk memeriksa sesuatu dengan seksama. Beberapa kali ia mengangguk sebelum menjawab, "dari data kesehatan terakhirnya, Madam Judy sudah memberi ijin untuk kepulangan hari ini. Tapi, kami mohon maaf, sir. Mungkin setelah ini perlu dilakukan pengecekan ulang tentang kondisi Albus dari hasil pemeriksaan kami ini. Mungkin akan ada pengarahan tambahan dan keputusannya akan disampaikan langsung oleh Madam Judy. Begitu, sir. Ada yang bisa kami bantu lagi—"
"Aku mohon, sir. Aku sudah seminggu di sini. Aku sudah sehat. Aku hanya—ingin pulang." Pinta Albus bersungguh-sungguh. Remasan jari ibunya terasa menguat ketika ia mengatakan itu.
Di sisinya Ginny sudah menyeka air matanya dan memberi kecupan hangat di dahi berkeringat Albus. "terima kasih atas bantuannya. Kami akan menunggu keputusan Madam Judy." Sambung Ginny dengan suara serak. Tak kuasa ia untuk berbicara terlalu panjang lagi. Cukup anggukkan ketika kedua healer berpamitan keluar diantar oleh sang suami.
Memang, beberapa hari lalu Madam Judy telah memberi janji pada Albus untuk diperbolehkan pulang jika pemeriksaan kesehatannya mengalami kenaikan hingga beberapa persen. Kehadiran Scorpius hari itu secara ajaib memberi dampak positif pada diri Albus.
Ia punya teman. Sebuah penyemangat baru untuk Albus.
Selalu ada kenyamanan ketika Albus mengingat tentang Scorpius. Bagaimana anak berambut pirang itu dengan berani melompat ke balkon lain agar dekat dengannya. Penampilan yang tampak seolah Scorpius anak yang dingin ternyata itu berbeda. Scorpius begitu menyenangkan. Cara bicaranya dengan Albus seolah mereka telah lama bersahabat. Padahal, hanya pagi itu saja ketika mereka untuk pertama kali dapat saling bercengkrama lalu berpisah kemudian.
Hingga satu minggu berlalu, Scorpius benar-benar tak ada lagi muncul di balkon setiap paginya. Digantikan oleh sepucuk surat yang selalu datang diantar oleh seekor burung hantu berwarna coklat muda berpola hitam pada bulunya. Enam kali surat Scorpius sudah Albus terima setiap pagi ia duduk di balkon kamar rawatnya. Enam kali pula Albus tidak pernah untuk membalas surat-surat itu.
Ia tidak tahu apa isi surat-surat tulisan tangan Scorpius. Albus tidak bisa membaca.
Satu persatu surat yang datang ketika pagi hari itu hanya bisa ia buka. Melihat baris-baris tulisan di surat Scorpius yang semakin hari semakin sedikit isinya. Lalu.. menyimpannya. Menyembunyikannya dari orang-orang yang menjenguknya. Menyimpannya seolah surat-surat itu adalah jimat kekuatannya. Albus yakin, jika Scorpius akan selalu mendoakannya untuk sembuh. Tidak ada surat-surat yang absen datang setiap paginya. Bahkan pagi ini pun ia dapatkan suratnya lagi. Kembali pula Albus hanya bisa melihat goresan kata-kata Scorpius yang tidak bisa ia mengerti apa isinya. Yang bisa Albus ketahui adalah semakin lama isi surat yang Scorpius kirimkan untuknya hanya berisi sedikit sekali kalimat.
Sejak Madam Judy mengatakan jika ia boleh pulang, Albus begitu senang sebab ia akan kembali ke kamarnya. Ia bisa menyimpan surat-surat itu dan mencoba belajar untuk membaca. Ia tidak boleh terus seperti itu. semangat Albus perlahan bangkit, jika ia mengingat tentang Hogwarts. Tentang asrama-asrama di sana yang pernah Scorpius ikut ceritakan meski singkat. Gryffindor yang selalu dibanggakan James dan keluarganya, atau bahkan Slytherin, yang dibenci banyak orang di keluarganya namun menurut Scorpius asrama itu tidaklah seburuk yang keluarganya pikirkan.
Banyak yang harus Albus ketahui tentang dunianya. Banyak. Banyak sekali.
"Kalau nanti Madam Judy benar-benar membolehkan kamu pulang, Grandma, Grandpa, para Uncle dan Auntiemu sudah mempersiapkan pesta untuk kepulanganmu, sayang. Kita berharap semoga kamu bisa pulang hari ini." Tutur Ginny telah merelakan segalanya demi Albus bahagia hari ini. Begitu juga Harry.
Mereka sebenarnya tidak begitu yakin untuk membawa pulang Albus ke rumah. Albus masih sering mereka dapati mengerang kesakitan ketika tidur. Napas yang terengah ketika ia sedikit saja kelelahan tertawa, atau seperti pagi ini—Albus berteriak ketakutan karena mimpi buruk hingga badannya bergetar hebat dan hampir kehilangan napasnya.
"Yeah, aku yakin aku sudah sehat, Mum. Dad." Kata Albus dengan senyuman mengembang di bibirnya yang kering dan pucat.
"Kau yakin, son?" tanya Harry turut duduk di ranjang, "apa yang kau rasakan sekarang, Al?"
"Sedikit lelah." Jawab Albus singkat. Sangat jelas jika ia kelelahan setelah pemberian mantera tadi.
"Perutmu?" tanya Ginny spontan. Ia langsung teringat karena Albus sempat memakan kue beras yang dibawa ibunya.
"Baik." Balas Albus singkat.
"Baiklah bagaimana dengan kepala—"
"Dad," potong Albus cepat sebelum Harry cepat berganti pertanyaan Ginny padanya, "I'm OK. Mum, aku sungguh baik-baik saja. Aku hanya—ingin pulang."
Hanya itu yang sangat amat diinginkan oleh Albus. Terlalu lama ia jauh dari rumah yang ia tinggali sejak lahir itu. Banyak hari yang terlewat begitu saja tanpa bisa ia nikmati. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk sakit.. atau menurut banyak orang menjadi kurang waras. Ya, Albus tahu tentang yang dialaminya tahun-tahun lalu.
Adiknya, Lily, adalah informan paling baik hati yang ada di keluarganya. Bungsu keluarga Potter itu bersedia menceritakan semua hal yang terjadi di luar sana. Ketika Albus sakit dan munculnya perkataan para penyihir yang menilai negatif tentang dirinya. Hanya Lily yang rutin datang ke St. Mungo setelah ia pulang dari sekolah. Masih menggunakan seragam dan hanya ditutupi dengan jaket hangat, Lily biasanya akan tinggal di St. Mungo sementara waktu hingga sore atau malam tiba. Sebelum ia diajak pulang ke the Burrow oleh Molly dan Arthur, Lily akan banyak mengisi waktunya di ruang rawat Albus dengan mengerjakan PR sekolahnya atau sekadar berbincang dengan kakaknya tentang sekolah atau kegiatan keseharianya.
Untuk sementara waktu Lily dititipkan di the Burrow. Lily mengaku kesepian ketika harus tinggal di sana. Apalagi jika ia memiliki tugas dari sekolahnya.
"Aku senang kamu boleh pulang, Al. Itu artinya aku juga akan pulang ke rumah. Lama-lama dengan Grandpa dan Grandma di the Burrow susah juga. Mereka tidak tahu banyak hal setiap aku tanya tentang PRku. Jadinya, aku harus tanya Dad, Mum, atau aku harus menelepon Auntie Mione kalau sudah benar-benar susah. Hanya mereka yang bisa membantuku—setelah James berangkat ke Hogwarts." Cerita Lily ketika ia datang berkunjung siang ini sepulang dari sekolah untuk membantu kepulangan Albus.
Mendengar penuturan Lily seolah Albus merasa gagal menjadi kakak untuk adiknya. Ia tidak bisa membantu apapun dengan keadaannya yang sekarang. "Sorry, Lils. Aku tidak bisa membantu mengerjakan PRmu. Bahkan untuk mengeja namaku saja aku tak bisa—"
"Ow—aku tidak bermaksud seperti itu, Al. Sungguh, aku hanya—"
"Tak apa, Lils. Aku memang tidak bisa apa-apa. Aku sekarang susah berjalan, aku tidak bisa kemana-mana. Masih sama seperti dulu. Hanya saja.. sekarang aku tidak akan berteriak-teriak seperti orang kerasukan lagi seperti dulu. Benar, kan—" Albus berbicara sambil tertawa ketika menceritakan itu di depan adiknya. Sementara itu Lily hanya bisa tertunduk. Menyesali dirinya yang tanpa sadar mengungkit topik pembicaraan yang sangat sensitif bagi Albus. Hingga membuatnya harus melihat kakaknya sendiri menertawakan nasib dirinya yang sungguh malang.
Hati adik mana yang tidak sakit. Memiliki kakak yang harus menderita sepanjang hidupnya.
"Al—" Lily meraih tangan kurus Albus lantas menggenggamnya, "aku benci melihatmu sakit." Bisiknya begitu lirih. Genangan air mata membuat matanya berkaca-kaca.
"Hey, aku baik-baik saja. Aku sudah sembuh sekarang, Lily. Kamu tidak perlu takut."
"Ya, aku tahu. Kau jauh lebih baik sekarang. Karena aku tahu kau baik-baik saja."
Albus tersenyum senang. Lily paling sering menemaninya bahkan ketika masih sakit dulu. Lily sangat berani untuk mendekat sekalipun Albus saat itu sedang tidak terkendali. Berbeda dengan Rose, sepupu terdekatnya itu tidak lagi tampak mengunjunginya sejak tragedi itu terjadi. Hanya Lily, yang selalu memberinya rasa nyaman jika ia tidak akan pernah merasa sendirian.
"Aku akan lakukan apapun sebisaku untuk membantumu. Kau hanya perlu cerita dan aku akan berusaha membantumu, Al." Begitu yang diharapkan Lily selama ini. "Itulah gunanya saudara." Tanpa perlu ia katakan, bertahun-tahun lamanya ia telah melakukan itu dengan ikhlas untuk Albus.
"Thanks, begitu juga kamu, Lily. Jangan malu untuk meminta bantuanku." Albus melirik ke arah tas ransel Lily yang digunakan untuk sekolah. "Yeah—mungkin saja ada PRmu yang bisa aku bantu—walaupun sepertinya memang tidak mungkin bisa—"
"No, tidak perlu. PR hari ini hanya berlatih membuat surat untuk tem—"
"Surat?
"Yeah, memangnya ada apa, Al? Aku harus menulis surat untuk salah satu teman terbaik di kelas. Nah, kalau aku mendapat surat dari salah satu temanku nanti, aku wajib membalasnya juga. Dari situ aku akan dapat poin. Ini sunggung mengasyikkan, Al. Kalau aku mendapat surat yang banyak, itu artinya aku punya banyak teman yang senang bersahabat denganku."
Mendengar itu Albus teringat dengan satu bandel surat yang ia kumpulkan sejak beberapa hari lalu. "So—kalau aku mendapatkan surat, apa aku juga harus membalasnya?" tanya Albus mencoba sedikit menyangkutkan tentang dirinya.
"Tentu. Karena menurut Ms. Astrid, membalas surat adalah bukti kita menghargai perhatian orang lain. Sekaligus menjalin hubungan baik pula dengan orang yang menulis surat untuk kita."
"Menghargai?" Albus menari napas menyadari kesalahannya. Ia mulai sadar bisa jadi itulah alasan mengapa surat Scorpius setiap hari semakin pendek. Apakah dia marah, Albus tidak tahu.
Beberapa kali Albus berpikir tentang surat itu. Membuat gelagat anehnya dapat terbaca oleh adik perempuannya yang baru berusia delapan tahun itu. "Kamu punya masalah, Al? Ceritakan saja." Lily menoleh ke sekitar ruangan rawat Albus. Ayah dan ibunya tidak ada di tempat setelah mendapat panggilan dari healer dan pihak administrasi rumah sakit. Hanya ada pamannya Ron dan bibinya Angelina.
"Jangan bilang siapa-siapa, huh."
"Kamu dapat surat?"
Albus menggangguk. "Tolong bantu aku membalasnya." Ia mengeluarkan surat-surat yang sengaja ia sembunyikan dibalik selimut. Lily terbelalak tak percaya. Ia terima beberapa surat milik Albus seolah ia tak pernah melihat surat sebelumnya.
"Wow!" begitu reaksi Lily.
"Serahkan semuanya padaku. Aku akan membantumu membalas surat-surat ini." Lanjutnya bersemangat.
Setelah banyak pertimbangan, serta beberapa wejangan Madam Judy untuk Harry dan Ginny dalam menangani beberapa keluhan Albus yang masih sering dirasa, hari ini Albus dapat diperbolehkan pulang dengan kewajiban cek up ulang setiap dua minggu sekali ke St. Mungo.
Semua persiapan untuk pulang telah selesai. Bahkan acara penyambutan di rumah keluarga Potter pun telah rampung. Hanya saja masih ada satu masalah.
"Mereka semua tahu hari ini Al akan pulang." Teriak Angelina yang baru saja keluar memeriksa jalur lantai bawah untuk mereka pulang nanti. "Hampir tidak ada celah untuk masuk ke jalur floo dari lobby."
"Aku yakin ada yang bermulut lebih di sini. Pasti penyihir-penyihir berkamera itu berhasil menyuap pihak St. Mungo untuk mendapat informasi tentang Albus. Bloody hell!"
"Ron, tenanglah." Ajak Harry untuk mencari cara agar mereka bisa pulang dengan aman.
Bersama para petugas dan healer Judy, akhirnya Albus tetap di bawa turun untuk masuk ke jalur kepulangan di lantai bawah St. Mungo. Beberapa cara sempat dibicarakan bersama. Sampai a]akhirnya diputuskan untuk membawa Albus dengan cara digendong. Menghadapi masa dari para reporter sihir tidaklah mudah dengan kondisi Albus seperti itu.
"Mum—" panggil Albus mulai ketakutan sejak pamannya terlihat begitu kesal.
"Tenanglah. Semua akan baik-baik saja, sweetheart." Bisik Ginny yang sebenarnya juga ketakutan.
Akhirnya, sebagai yang akan dilindungi, Albus digendong oleh Harry. Berjalan dengan dikawal Ron di posisi depan. Sementara Ginny berjaga di samping dekat posisi kepala Albus. Sedangkan Angelina dan Lily berjalan di belakang punggung Harry untuk berjaga-jaga.
Sesampainya mereka di lantai terbawah St. Mungo, benar apa yang telah dikatakan oleh Angelina. Lebih dari dua puluh reporter berkumpul untuk bersiap pengabadikan momen kepulangan putra Potter yang diketahui memiliki gangguan dengan jiwanya itu.
"Kau siap, Al? Tutup matamu kalau kau gugup." Bisik Harry memberi peringatan pada Albus di gendongannya. Dengan sangat paham Albus memutar kepalanya untuk bersembunyi. Menenggelamkan wajahnya pada dada bidang ayahnya.
Albus sempurna tidak bisa melihat apapun di depannya. Yang ia rasakan hanya ayahnya terus berjalan dan suara panggilan para penyihir yang terus meneriaki nama Potter.
"Bagaimana kondisi Albus saat ini, Mr. Potter?"
"Bagaimana keadaan kesehatannya?
"Apa Albus benar-benar sehat, Sir?"
"Mrs. Potter. Tolong beri konfirmasi apakah setelah pulang nanti masih harus datang ke St. Mungo?
"Masih ada pengobatan lain untuk kondisi mentalnya—"
"Apakah Albus masih sering berteriak?"
"Benarkah ia makin parah?"
"Satu pertanyaan lagi—"
Dan segala macam pertanyaan yang sangat jelas untuk Albus bisa mendengarnya. Sangat amat jelas. Semua penyihir masih menganggapnya gila. Albus bukanlah seperti dulu lagi. Kini ia dapat mengerti bagaimana perasaannya ketika semua orang menilainya bak anak yang sakit mental.
Albus malu.
Ia tidak bisa lagi menahan rasa sakit hatinya dengan semua pertanyaan-pertanyaan itu. Bahkan Albus kini tersadar seberapa sakit pula perasaan kedua orangtuanya, kakak, adik, dan seluruh keluarganya ketika mereka semua terus diserang oleh pertanyaan tentang kondisi dirinya. Anak dengan sakit jiwa. Sakit mental. Aib bagi keluarga.
Harry merasakan badan Albus bergetar menahan tangis. Lelehan air mata Albus yang hangat turut Harry rasakan di dadanya yang mulai basah. Ya, Albus tentu mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Jika tidak, Harry tidak akan mendengar bahwa Albus sekarang terus menggumamkan kata-kata, "aku tidak gila.. aku gila," sepanjang ia membawa Albus menuju jalur kepulangan St. Mungo.
"Tidak. Kau anak hebat, Albus! Anak yang hebat!" bisik Harry dengan linangan air mata. Sebuah ungkapan kesedihan seorang ayah.
TBC
#
Huh, Anne akhirnya! Chapter 5 selesai.
Kadang tidap nulis fic ini Anne kasihan juga sama nasib si Albus. Miris banget. Reporternya juga pada lemes banget mulut-mulutnya. Tapi ya.. namanya juga cerita. Hehehe.. ^_^
So, bagaimana menurut kalian, nih? Apa sih isi surat yang ditulis Scorpius buat Albus? Terus, si Scorpius marah nggak sih surat-suratnya nggak pernah dapat balasan dari Albus? Dan bagaimana kisah Albus ketika pulang nanti? Apa dia akan tenang? Atau tambah dapat masalah?
Yang penasaran, kembalilah bersabar untuk chapter selanjutnya.
Maaf kalau masih ada typo. Anne tunggu reviewnya dan lain-lainnya ya!
Sampai jumpa lagi!
Thanks,
Anne xoxo
