Hi, everyone!
Lama sekali nggak update, nih. Maaf, ya. Banyak sekali urusan yang menghalangi Anne nulis ini. Huh, jadi kesannya Anne nggak bersungguh-sungguh buat nulis ini.. tapi enggak kok. Anne masih semangat ngelanjut tulisan ini. Anne masih sering mikirin bagaimana jalan cerita Ephemeral dimanapun. Bahkan juga sempat nyicil nulis. Alhasil kayak gini nih. Chapter ini panjangggggg bingit. Nggak kayak biasanya. Jadi Anne harap chapter ini jadi chapter rapelan gara-gara ketunda lama. Sebulanan, ya. Aduhhh.. Sekali lagi maaf banget, ya!
Anne balas review dulu.
ekspuulsoh : yang menguras air matanya bertahap, ya. Ada saatnya nanti aku bikin kamu ngehabisin tisu. Hehehe.. Anne nggak mau bikin sport jantung. Santai aja. nikmati ceritanya. Ini nih yang panjang... Moga betah, ya! Thanks :)
hikachaan21 : thanks ya udah suka. Mungkin chapter depan akan mulai hubungan Albus dan Scorpius aku tampilkan di sini. Jai ikuti terus, ya. :)
Yovanka Amelia : hubungan James dan Albus juga akan makin naik emosinya. nanti. Tunggu aja. Thanks ya supportnya :)
Nina : lahir 2006? Astagahhh *nengok KTP sendiri* Scorpius dan surat-suratnya akan hadir chapter mendatang. Bukan chapter ini. Sabar, ya. Kita ketemu dulu masalahnya si Daddy Harry. Thanks banget :)
fitrinurani : Wow.. sabar ya.. bakal kejawab semua pertanyaanmu sepanjang perjalanan cerita fic ini. So, ikuti terus. Thank you banget, ya. Nggak masalah. Asalkan ada yang baca fic punyaku, aku udah seneng banget. Thanks :)
Baiklah, akan ada masalah kali ini.. yang akan dialami Harry. Ada apa itu? Mari baca sekarang.
Happy reading!
Suara deru mesin mobil semakin jelas dari arah ruang tamu rumah keluarga Potter. Sore ini Albus ditemani Lily mulai belajar membaca. Buku-buku bergambar milik Albus semasa kecil dulu dijadikan Lily sebagai media mengajar sang kakak membaca. Sudah hampir tiga hari sudah Lily membantu Albus untuk melatih kemampuan membaca kakaknya. Salah satu penyemangat Albus untuk semua itu adalah surat-surat dari Scorpius.
"Dad sepertinya sudah pulang." Lily melihat ke arah jendela untuk memastikan kebenaran dugaannya.
"Yeah, sayang sekali kita tidak bisa membalas surat ini sekarang," cepat-cepat Lily memasukkan lipatan perkamen di tangannya ke dalam saku blaser-rajut-buatan-Molly yang kini dikenakan Albus, "Scorpius pasti sudah paham kalau kita selalu membalas suratnya tiap malam, bukan." Ungkap Lily sembari tidak lupa merapikan alat tulis di atas meja.
"Hm, mungkin kapan-kapan saja kita membalasnya lebih awal. Terkadang aku kasihan dia harus menunggu surat dari kita hingga larut malam. Semuanya karena aku tidak sepintar kamu, Lils—"
Raut wajah Albus berubah sendu. Ia kecewa dengan dirinya sendiri yang harus diam-diam menulis balasan surat untuk Scorpius setiap malam. Usaha Lily akan dimulai ketika malam hari. Lily akan menyelinap ke kamar Albus di antara jam sepuluh hingga sebelas malam—di saat semua orang dipastikan telah tertidur. Sebab, di jam-jam itulah, Auriga, burung milik Scorpius akan datang ke kamar Albus untuk menunggu surat balasan siap di sampaikan. Albus tidak mempunyai burung hantu sendiri. Alhasil melalui diskusi surat, Scorpius menyetujui jika Auriga yang ditugaskannya untuk menjemput surat balasan itu.
Setiap malam, Lily dan Albus akan membaca surat kiriman Scorpius bersama. Kemudian dengan bantuan Lily, Albus akan dibimbing menulis balasannya dengan tangannya sendiri. Albus belum bisa untuk membaca dan menulis secepat Lily. Sehingga ketika membalas surat Scorpius akan mengandalkan Lily sebagai guru. Biasanya Lily akan coba menuliskannya terlebih dulu di kertas kemudian Albus akan menyalinnya untuk lebih cepat. Mereka harus cepat sebelum ayah atau ibunya mengetahui kebiasaan mereka setiap malam.
Tidak ada yang tahu tentang hubungan perteman Albus dengan Scorpius Malfoy.
"Kamu bicara apa, Al. Hey, dengarkan aku. Kamu sudah berusaha sebaik mungkin. Belajar membaca dan menulis tidak bisa langsung cepat. Butuh waktu. Dan satu lagi.. aku hanya membantu. Semua ini kamu yang mengerjakan. Bukan begitu?" kata Lily dengan senyuman mengembang. Lily jauh terlihat cantik dan mirip Ginny, begitu pendapat Albus.
Di hadapan adiknya Albus mengangguk paham. Ia sudah berusaha keras untuk semua itu. "Lebih cepat kau mengajariku, lebih cepat pula aku bisa membalas surat-surat dari Scorpius dengan usahaku sendiri. Benar-benar sendirian." Tekat Albus.
"I'm home! Hai—"
"Selamat datang, Daddy."
Lily terlebih dulu memeluk ayahnya yang baru masuk. Hari ini Harry berangkat ke tempat bekerjanya dengan mobil, tidak dengan perapian di rumah seperti biasa. Mobilnya diparkirkan di area parkir dekat stasiun bawah tanah. Tujuannya bukan untuk naik kereta, melainkan masuk ke salah satu gedung untuk melewati jalur toilet menuju Kementerian. Sebenarnya Harry memiliki akses khusus dari Kementerian untuk pimpinan departemen seperti dirinya. Tanpa mengantre seperti melewati jalur toilet berjorok-jorok ria bersama para pegawai Kementerian dari segala departemen. Namun itu terlalu jauh karena harus menaiki kereta menuju stasiun lain. Harry pun tidak masalah melewati jalur mana saja. Toh ia memang jarang berangkat dengan cara itu.
Jika sudah memilih cara itu, Harry akan punya tujuan lain selain berangkat bekerja. Kali ini tujuan lainnya adalah untuk membeli sesuatu.
"Kamu membantu Albus belajar membaca lagi, sayang?"
Lily menggangguk semangat, "tentu. Aku ingin Albus pandai membaca sepertiku. Albus suka dengan buku. Mangkanya aku akan buat dia makin suka dengan buku, Dad—caranya dengan Albus belajar membaca. Lalu—ah, tunggu sebentar.. apa yang kau bawa itu, Dad?" Tunjuk Lily pada satu barang bawaan ayahnya yang tidak biasa.
Perhatiannya teralihkan.
Lily dekati benda berlapis kardus cukup tebal yang disandarkan Harry di tembok dekat tiang pengait mantel. Tidak begitu berat, tapi cukup kokoh. Pandangan Lily kembali tertuju pada sang ayah. Meminta penjelasan tentang benda yang ia pegang sekarang.
"Mungkin kau harus bertanya langsung pada pemiliknya, sayang." Harry lantas memberi isyarat pada Albus. Menunjuk putranya dengan gerakan kepala pelan.
"Itu—oh God, kau mendapatkannya, Dad?"
"Yeah, pesan pagi ini dan sore tadi sudah bisa Dad ambil." Harry menghampiri Albus lantas mengecup dahi putranya.
Albus mengangguk. Disentuhnya pipi Harry kemudian berbisik, "thank you so much, Dad. Aku janji aku akan belajar berjalan. Aku pasti bisa berjalan seperti dulu lagi. Atau bahkan—"
Lily membantu Albus membuka pembungkus tongkat kruk, alat bantu berjalan permintaan Albus. Ia memintanya dua hari lalu, dan hari ini Harry telah berhasil mengabulkannya. Kebahagiaan Albus memuncak ketika ia ditawari untuk mencobanya. Albus melihat bagaimana Lily bahkan tidak henti-hentinya kagum pada alat bantu berjalan itu. Sesaat kemudian Harry mengulurkan tangannya sebagai bantuan. Dibimbinglah putranya untuk berdiri dan mulai menyangga tubuh dengan benda itu.
"Lama-lama kalau tidak aku gerakan, kaki kananku juga akan susah untuk digerakkan. Lily, kau mau membantuku, kan?" tawar Albus pada Lily yang menyingkirkan kursi roda Albus lebih menepi.
Mengangguk semangat, dengan senang hati Lily terima tawaran Albus tersebut tanpa banyak berpikir. "Serahkan padaku." Lily melakukan hormat singkat di depan Albus lantas berganti ke ayahnya.
"Asal jangan lama-lama, ya." Suara Ginny membuat mereka menoleh ke arah area makan. Di sana Ginny telah berdiri dengan apron merah masih terpasang di badannya. "Jangan terlalu lelah, sayang. Sebentar lagi kita makan malam. Jadi jangan bertingkah yang aneh-aneh."
"Ok, Mummy!" Seru Albus dan Lily bersamaan.
Sembari mengambil tas kerjanya lagi dari atas sofa, Harry berniat untuk memberi kecupan selamat sore untuk Ginny sebelum ia menuju kamarnya. Baru beberapa langkah ia berjalan tiba-tiba saja Harry merasa sesuatu yang berat ia rasakan di kepalanya. Beruntung saja Ginny tidak sempat melihatnya hampir terhuyung.
Harry menghampiri Ginny dengan hadiah ciuman pada bibirnya. "Selamat sore, Mrs. Potter—"
"Cepat sekali kau membelikan benda itu untuk Al, Harry," potong Ginny setelah kecupan kedua Harry di bibirnya terlepas.
Harry hanya tersenyum pada Ginny lantas menjawab, "ketika Albus membuka mulutnya, lalu keluar keinginan yang mana aku sanggup mewujudkannya—tidak ada waktu lagi untuk sekadar menundanya, Gin." Jawab Harry sebagaimana tindakannya kini. Albus menjadi segala-galanya bagi Harry. Seolah ia sedang menjaga kaca. Kaca yang amat sangat tipis hingga setitik kesalahan dapat membuatnya hancur. Harry tidak mau itu semua terjadi. Tidak ada hal menakutkan seperti lima tahun yang lalu. Tekad Harry adalah menutup kenangan itu dan menjaganya agar tidak pernah kembali untuk terjadi.
Harry segera berlalu naik untuk menyudahi perbincangan tentang alat bantu berjalan Albus itu bersama Ginny. Sampai ia kembali bersuara untuk memberi tahu tentang rencananya esok hari.
"Oh, ya. Bantu aku mengemasi beberapa potong seragam dan pakaian resmiku untuk besok, ya. Besok pagi sekali aku ada tugas rapat ke Devon. Malam ini aku harus menyiapkan data-datanya. Aku takut tidak sempat, Gin."
Pada anak tangga ke enam Harry berhenti. Ginny sepertinya berpikir sesuatu tentang informasi mendadaknya tersebut.
"Devon? Pagi jam berapa? Mendadak sekali—" Ginny tidak tahu jika esok suaminya akan ada tugas keluar London.
"Sekitar jam 5 pagi. Aku dan yang lainnya dari Kementerian naik kereta untuk ke sana. Aku harus monitoring dan mengevaluasi langsung para Auror. Rekruitmen anggota baru. Bukankah aku sudah bilang jauh-jauh hari Auror sedang membuka lowongan anggota kan, Gin?"
Ginny mengangguk paham dengan sesekali melihat keadaan panci sup yang ia panaskan. "Aku tahu kau akhir-akhir ini sibuk keluar masuk Kementerian dengan tumpukan dokumen yang kau jadikan 'oleh-oleh' itu—" kata-kata istrinya membuat Harry tertawa. Ginny bicara seolah tidak ada jeda di telinga Harry. Ia tahu benar jika Ginny akhirnya berbicara mirip kereta api yang terus tanpa putus, wanita itu sedang dalam puncak-puncaknya khawatir.
"Tapi ini kau ke Devon. Itu jauh, sayang!"
"Hanya empat jam naik kereta."
"Lebih. Jangan kira aku tak pernah ke sana naik kereta, huh." Protes Ginny. Khawatir berlebihan muncul tiba-tiba di benaknya. "Hati-hati, Harry!" tambahnya.
"Tentu. Ini hanya ke Devon. Hanya rapat.. tidak juga penyerangan. Aku langsung pulang sorenya—ah, kalau urusanku sudah selesai. Akan aku usahakan langsung pulang."
Harry tidak lagi berdiri di tengah tangga menuju lantai dua. Ia kembali turun menghampiri Ginny untuk menggenggam tangannya. Meyakinkan sebagai sosok suami yang dapat dipegang janjinya.
"Aku tidak bisa meninggalkan kalian di rumah terlalu lama. Apalagi Albus harus dibantu naik turun tangga, kan." Ujar Harry pelan. Terkadang suara Harry jauh terdengar menenangkan ketika ia sedang mencoba memberi pendekatan pada Ginny. "Selama aku tidak di rumah, biarkan Albus istirahat di kamar tamu yang di lantai bawah. Jangan menggendongnya naik atau pakai mantera. Bahaya. Aku akan hubungi Ron kalau perlu untuk menjaga kalian besok—"
"Tidak perlu," Ginny menahan Harry, "kau terus menghawatirkan kami di saat kau sendiri perlu kami khawatirkan! Aku mengkhawatirkanmu, Harry. Lihat, sekarang kau pucat sekali. Aku takut kamu kelelahan."
Orang yang sedang dikhawatirkan hanya bisa tersenyum. Memandangi wajah Ginny yang begitu ketakutan. "Aku tidak apa-apa, Ginny. Percayalah, tadi di luar panas sekali. London sedang ramai-ramainya. Banyak Muggle!" Harry berusaha bercanda meski kepalanya kembali terasa pusing.
"Harry!" protes Ginny. Ketika ia serius tiba-tiba Harry menanggapinya dengan candaan. Ginny tidak suka. "Kamu itu—"
"I love you, Ginny. Kamu wanita luar biasa. Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku. Tapi aku mohon, tetap jadilah Ginny yang aku kenal. Wanita kuat. Jangan cengeng seperti ini, huh."
"Ta—tapi—"
Harry membawa Ginny ke dalam pelukannya. Menyembunyikan isakan dari bibir Ginny yang tidak lagi bisa ia tahan. Harry memutar badannya menutupi arah Albus dan Lily sedang bersama. Jangan sampai mereka melihat ibunya begitu lemah. Menangis seperti itu.
"Kuatlah, Ginevra. Karena jika kita kuat, anak-anak akan kuat. Keluarga ini akan kuat." Harry menarik napas dalam memberi jeda. Pelukannya semakin erat ke tubuh Ginny. Melupakan jika kini badannya sangat berkeringat dan Ginny bau masakan.
"Janji, huh!" Pinta Harry.
"Ya. Tapi—" Ginny merenggangkan pelukan Harry lantas berkata, "kau mandi dulu langsung kembali turun. Kita makan malam bersama. Jangan telat makan. Ingat, badanmu sudah bukan remaja lagi—"
Harry hanya terkikik malu sambil menggaruk kepalanya.
Setelah makan malam, Harry tidak banyak beraktifitas dengan anak-anaknya. Lily mulai menanyakan pada Ginny mengapa ayahnya tidak ikut bergabung dengannya dan sang kakak untuk menonton TV bersama.
"Tidak seperti biasanya. Dad Langsung naik setelah makan malam, Mummy?" Tanya Lily diikuti anggukan kepala Albus.
Membawa beberapa pakaian bersih dari tempat mencuci, Ginny sempatkan memberi pengertian pada kedua anaknya. "Besok Daddy ada tugas ke Devon. Itu tadi sebabnya Daddy tidak bis—"
Sosok Harry terlihat keluar dari ruang kerjanya di lantai dua sambil berlari. Menutup mulutnya dengan telapak tangan kanan menuju kamar mandi di sudut area lantai dua. Selanjutnya, terdengar suara Harry sedang berusaha mengeluarkan isi perutnya.
"Astaga, Harry—" teriak Ginny langsung bergegas naik dan membiarkan pakaian bersih keluarganya diletakkan sembarangan di atas meja. "Lily, tolong pakaiannya, nak!" sambil menunjuk ke arah meja.
Albus hanya bisa menyaksikan ibunya bergegas menuju kamar mandi sedangkan adiknya memungut beberapa potong pakaian yang terjatuh. Tidak bisa terlihat dari tempatnya duduk kini. Ayahnya muntah di sana. Sejak ayahnya itu datang dari kerja, sebenarnya Albus menyadari ada yang tidak beres di diri ayahnya.
"Tidak biasanya Dad sakit. Bahkan setahuku Dad tidak pernah sakit." Keluh Lily.
"Wajah Dad sudah pucat sejak tadi. Aku melihatnya."
Akhirnya Albus dan Lily hanya bisa pasrah meski muncul gerutuan-gerutuan tidak terima. Bagaimana pun juga Harry adalah ayah mereka.
Rapat tidak bisa ditunda sesampainya Harry di Devon. Badannya terasa begitu lemas tepat saat ia diminta masuk perapian stasiun kereta untuk langsung ke kantor keamanan sihir wilayah Devon. Meski dengan kondisi seperti itu Harry tetap menjalankan tugasnya untuk memimpin rapat. Ia hanya sempat meminta air minum untuk menenangkan diri. Apapun sudah tidak lagi sempat di sana. Sudah semakin siang karena perjalanan kereta Harry dan timnya sempat tertundadari London. Sehingga untuk melakukan peregangan pun setelah perjalanan lama sampai tidak ada waktu.
Apa boleh buat itu risikonya.
"Transfigurasi, strategi gerilya, dan olah mantr—agh!" suara Harry tertahan.
Beberapa Auror dari distrik utama Devon yang mengikuti rapat dibuat terkejut dengan erangan dari Harry. Hari ini mereka melakukan rapat akhir sebelum mengadakan uji kelayakan pada calon Auror baru dari wilayah sekitar Devon dan Dorset. Sudah berjalan beberapa hari semua Auror dari dua wilayah itu disibukkan dengan persiapan mereka. Puncaknya adalah hari ini ketika Harry sebagai pimpinan Auror dari pusat Kementerian Sihir Inggirs mengadakan rapat evaluasi. Mengurus segala hal yang membutuhkan dirinya sebagai penanggung jawab segala macam urusan tim elit keamanan Kementerian Sihir Inggris.
Berbagai macam rapat, pertemuan dengan beberapa pimpinan departemen, permintaan ijin dengan kementerian, hingga memberi sosialisasi ke Hogwarts sampai memberi pelatihan dasar pun telah ia jalani. Tanpa melupakan kewajibannya di rumah, bersama Ginny, merawat putranya yang harus tetap mendapatkan pengawasan ketat.
Liam memandang Harry khawatir. Sejak pagi ia melihat Harry sampai di Kementerian sebelum ke stasiun, keanehan jelas nampak dari bahasa tubuhnya. Harry pucat. Ketika berjalan pun ia sering lemas dan susah berkonsentrasi. "Kau baik-baik saja, Harry?" Liam berbisik. Tidak ingin Auror yang lain mendengarnya berbahasa tidak formil pada pimpinan mereka. Liam sangat akrab dengan Harry bahkan hingga di luar urusan pekerjaan. Tidak jarang Liam berkunjung ke rumah Harry sambil membawa anak istrinya juga.
"Aku baik-baik saja, Liam." Balas Harry ikut berbisik. Tangannya sejenak menyangga bagian pelipis dan mengutarakan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja.
"Kau mau minum lagi?"
Cepat-cepat Harry menolak. Air yang terakhir ia minum malah meninggalkan rasa mual yang hebat di perutnya. Reaksi yang biasa ia rasakan ketika sesuatu terjadi masalah pada kesehatannya—yang mulai sering ia rasakan seiring bertambahnya usia.
"Sorry, kita lanjutkan lagi—" Harry meminta semua anggota untuk kembali siap. Kembali ia berusaha kuat.
Rapat kembali dilanjutkan dengan pembahasan tim bentukan baru untuk akhir perekrutan nanti. Dengan segera Harry beri penjelasan dan pengarahan apa saja yang harus disiapkan para anggotanya nanti. Sampai Harry rasa ia membutuhkan penjelasan lebih rinci dengan memberi gambaran di papan tulis. Tepat saat ia berniat untuk bangkit, seolah gaya gravitasi di tubuhnya semakin kuat.
Kaki Harry gemetar. Keringat dingin mengucur deras di dahi tempat bekas luka legendarisnya berada. Hingga semua terasa semakin berat. Gelap.
Albus membersihkan bekas kulit jeruk dari atas meja makan sembari bermain kuncup-kuncup bunga segar yang ibunya beli pagi ini. Ada lima batang bunga mawar di letakkan pada pot kaca tinggi berisi air. Ketika Albus melihat satu persatu bunga itu ia mendapati satu tangkai yang terlihat tidak segar. Tidak semerah empat bunga yang lain.
"Padahal ini yang paling terlihat kuat batangnya." Bisik Albus.
Ron mengambil semua kulit jeruk itu untuk segera dibuang. Ia juga menyempatkan kembali ke dapur untuk mengambil buah-buahan lain milik Albus. Ron belum puas memakan dua buah jeruk sendirian.
Hari ini Ron datang untuk ikut menjaga keluarga Potter. Harry mengiriminya surat malam hari sebelum ia berangkat ke Devon. Ginny tidak tahu jika Harry menyempatkan untuk meminta bantuan Ron menggantikan dirinya menjaga istri dan anak-anaknya. Begitu juga Ron yang diberi kepercayaan oleh Harry. Sampai Ron datang dan menjelaskan semuanya.
"Masih sempat-sempatnya Daddymu itu memintaku datang ke sini untuk menjaga kalian, Albus. Bahkan aku sudah disediakan dua botol cola ukuran besar dan kue-kueini. Bloody hell, kalau pun dia tidak meminta aku sekalipun, pasti akan senang hati aku menjaga kalian di sini. Tanpa perlu ada ini semua. Ya walaupun ada ini juga lebih baik, sih."
Dari ujung meja makan panjang tempat Albus menikmati bunga-bunganya, Ginny memberi peringatan keras agar tidak sekaligus menghabiskan makanan yang disediakan Harry untuk Ron. "Hanya itu yang ada untukmu, Ron. Kalau kau habiskan sekarang, nanti tidak ada lagi yang seperti itu." teriak Ginny di tengah mengerjakan naskah Prophet yang sedang ia baca. Ginny masih aktif bekerja sebagai editor olahraga di koran sihir terbesar Inggris itu.
"Aku tahu. Besok-besok sediakan yang banyak, ya. Tidak baik juga terlalu mengurangi gula, Gin. Hermione saja sekarang suka sekali mengunyah toffe. Padahal kau tahu sendiri bahkan orangtuanya itu dokter gigi. Dia tidak takut."
"Tutup mulutmu, Ron. Kau hobi sekali membela sesuatu yang keliru," ujar Ginny. Samar-samar ia mendengar suara getar dari benda persegi panjang di atas meja.
"Uncle—ponselmu bunyi!" panggil Albus.
"Em—" Ron mendekati meja makan kembali untuk mengecek ponselnya, "Hermione? Tumben telepon."
Ron mengambil posisi sedikit menjauh. Ia berdiri di dekat pintu belakang. Tidak banyak bicara hanya ekspresinya yang terkesan tidak enak. Melihat Ginny sesekali sambil bertanya pada suara Hermione di ponselnya, "bagaimana sekarang?" dahi Ron berkerut dan wajahnya memerah.
"Bloody hell, apa bisa langsung dipulangkan? Di bawa ke London?" sambung Ron dilanjut melihat cepat jam tangannya lantas kembali berkata, "sebentar lagi kita langsung ke sana, Mione.. baiklah, kau urus keperluan di sana. Aku segera menyusul dengan Ginny."
Mendengar namanya disebut, Ginny meletakkan penanya untuk langsung beralih memperhatikan Ron. "Ada apa dengan Hermione, Ron?" tanya Ginny membuat Albus ikut penasaran. Pamannya kini tidak lagi mempedulikan makanan melainkan bergegas mengambil jaket dan menghampirinya di kursi roda.
"Bukan Hermione, Ginny." Ron membuka kuncian kursi roda Albus. Memundurkannya menjauhi meja. membantu Albus memakaikan jaket lantas berkata pada Albus, "tapi Harry."
"Harry? Ma—maksudmu? Jangan bercanda, Ron—"
"Harry pingsan, Ginny. Sekarang dia akan dibawa ke St. Mungo dari rumah sakit sihir Devon melalui jalur cepat floo darurat antar-wilayah. Di sana kekurangan ahli medis untuk menangani Harry—agh, aku tidak tahu banyak. Hermione sudah mengurus kedatangan Harry di Mungo. Kita harus segera ke sana sekarang."
"Oh, Merlin! Benar, kan! Harry sudah tidak sehat sejak semalam, Ron—"
Tangan Ginny bergetar. Ginny berlari menuju tiang gantungan. Meraih cepat salah satu pakaian yang ada di sana lantas mengenakan jaket hangat itu untuk segera masuk ke perapian. Albus menggenggam tangan ibunya yang terus diremas-remas menghilangkan rasa gugupnya. Ron menepikan kursi rodanya lebih dekat dengan Ginny.
"Mummy, Daddy pasti kuat, kan?"
Dilihatnya Albus dengan segala macam bayangan hal-hal buruk tentang keadaan Harry kini, mengumpul di kepalanya hingga sesak dan nyeri luar biasa. Albus memberi Ginny senyuman terbaiknya. Begitu mirip dengan Harry, begitu manis seperti Harry.
"Ya," Ginny mengangguk. Setidaknya kini ia akan berusaha tenang bersama putranya. Ini bukan hal pertama ia harus khawatir karena ulah Harry. Dengan semua itu hatinya pasti telah terlatih. "Daddy orang yang kuat, sayang." Tegasnya.
Perjalanan dengan floo seperti biasa datang secepat kapan mata bisa berkedip. Ginny, Ron, bersama Albus dihadapkan dengan area kedatangan rumah sakit sihir St. Mungo. Area utama itu dipenuhi dengan kerumunan beberapa healer dan pasien-pasien yang memang memiliki kepentingan dengan tempat itu. Semua berjalan biasa saja. kecuali salah satu sudut pintu ruang-healer-jaga dekat dengan ruang darurat yang berada paling dekat dengan jalur kedatangan.
Di sana berdiri Hermione dan Kingsley. Mereka sedang berbincang dengan dua orang healer bermimik wajah serius begitu menyimak penjelasan dari mereka. Tidak jelas apa yang dibicarakan. Dari penglihatan Ginny, Kingsley sedang menerangkan sesuatu.
"Hermione! Ah, minister—" Ginny berlari lebih dulu lantas mendapat pelukan dari Hermione. Hormat singkat ia turut sampaikan kepada Kingsley.
"Ginny, tenang. Kita masih menunggu kedatangan mereka sebentar lagi." Suara Kingsley menyambut lebih dulu dengan informasi yang baru ia terima. "Pihak St. Mungo sudah mulai memantau Harry dan yang mendampinginya kemari. Kira-kira lima menit lagi mereka sampai." Tutur Kingsley.
Hermione menoleh ke arah Ron sejenak kemudian Albus. Ia beri sedikit senyuman pada anak itu sebagai tanda peduli. "Kami tidak dapat informasi jelas. Liam hanya sempat menyampaikan pada pihak Kementerian jika Harry pingsan saat memimpin rapat akhir dan belum kunjung sadar. Karena alasan keselamatan, pihak wilayah Devon merujuk Harry langsung dibawa ke St. Mungo."
Kedua wanita itu saling berpelukan. Ginny menumpahkan tangisnya di pundak Hermione sembari terus bergumam, "bagaimana keadaan Harry, Hermione? Semalam aku sudah larang dia berangkat tapi dia tak mau. Sekarang dia—"
"Sabar, Gin." Ron mengeratan pegangannya di pundak Albus. Berharap ia sekaligus bisa untuk menguatkan keponakannya. "Kita tunggu saja. Semoga Harry tidak apa-ap—"
Desingan kuat pada jalur khusus kedatangan St. Mungo mengalihkan perhatian para penyihir di sana. Tim healer yang sempat mendapat pengarahan dari kepala healer dari St. Mungo dan juga Kingsley bergegas mendekat. Menyiapkan tongkat khusus penyembuh dengan mantera kombinasi yang siap diaktifkan.
"Harry!" teriak Ginny
Empat orang berjubah biru hitam serta dua yang lain berpakaian seragam Auror muncul selepas kabut kehijauan perlahan surut. Mereka mengelilingi brangkar berangka kokoh dengan seseorang terbaring di atasnya. Pucat dengan mulut sedikit terbuka akibat selang putih yang menyusup di sela-sela bibirnya. Belum lagi selang-selang lebih kecil yang lain ikut menyumbat kedua lubang hidupnya sekaligus.
"Beri tambahan dua mantera penetral suhu! Pernapasan mulai stabil."
"Suplay energi dari nadi tangan sebelah kiri! Cepat!"
Mendengar satu persatu instruksi tersebut, beberapa healer St. Mungo tercepat mendekat segera melakukan tugas mereka pada sang pasien. Harry Potter terlihat sungguh mengkhawatirkan sesampainya ia di sana. Mengenakan piama rumah sakit sihir Devon, Harry tampak tidak sadarkan diri selama ia didorong menuju koridor rumah sakit.
"Mohon salah satu bisa ikut kami mengurus rujukan penanganan Mr. Potter, sir," seorang healer St. Mungo didampingi seorang healer dari rumah sakit sihir Devon memberi informasi pada Liam.
"Baik." Liam mengangguk paham, "kau urus dengan pihak St. Mungo, Dani. Aku akan menemui keluarga Mr. Potter dulu."
"Baik, sir."
Beberapa pengunjung St. Mungo terperangah dengan siapa yang baru saja lewat bersama banyak tim healer di sekelilingnya. Berbagai spekulasi para penyihir yang iba dengan keadaan Harry mulai mengalihkan perhatiannya pada Ginny yang berusaha mengejar brankar yang dipakai Harry. Namun sayang ia ditahan untuk ikut.
"Liam! Apa yang terjadi dengan Harry? Kenapa bisa seperti ini?" tanya Ginny dengan tangisan yang terdengar mengurangi kejelasan berbicaranya.
Liam melipat kembali jubah Auror bernama Potter yang selama perjalanan terus ia bawa. "Mohon maaf, Ginny. Harry pingsan saat rapat dan belum sadar hingga sampai di sini." Kata Liam mengiring Ginny untuk duduk di depan ruang penanganan intensif tempat Harry pertama kali diperiksa di St. Mungo.
"Belum sadar? Berapa lama?" tanya Kingsley dengansuara beratnya. Posisinya lebih dekat dengan Albus sekarang.
Liam melihat ke arah pintu ruang penanganan sejenak. Rasa khawatirnya kembali tinggi ketika mengingat bagaimana sosok kuat seperti Harry dapat dengan jelas melemah ketika bersamanya beberapa jam lalu. "Harry pingsan ketika baru saja berdiri untuk menulis di papan tulis. Kira-kira saat siang tadi, sir." Liam mulai bercerita.
"Awalnya Harry memang sudah sangat terlihat lemah. Aku sempat memberinya minum karena dia benar-benar mengaku kelelahan dan kehausan selepas perjalanan kereta. Tidak banyak yang ia minum, bahkan selanjutnya ia menolak air yang aku berikan lagi. Harry mengaku mual. Itu saja. Sampai akhirnya pingsan dan yeah—"
Ron menggeleng, "bloody hell, tapi kenapa sampai lama sekali Harry pingsan? Dan lihat sendiri kan kalau—apa saja yang tadi diberikan healer-healer itu di badan Harry? Sampai-sampai mulut, hidung, bahkan mantera-mantera memenuhi badannya." Ron mulai ikut duduk mendampingi Hermione.
"Saat kami membawa ke rumah sakit sihir Devon, Harry sudah demam. Panasnya makin tinggi dan dia tidak sadar-sadar. Demi keselamatan Harry pihak rumah sakit memutuskan untuk dikirim kemari. Sayangnya saat dalam perjalanan panas tubuh Harry semakin tinggi. Aku melihatnya sendiri kalau tubuhnya sampai kejang. Napasnya sesak dan berkeringat dingin. Para healer memberi mantera-mantera itu dan membantu pernapasan Harry dari hidung dan juga mulut sekaligus dengan selang-selang itu. Aku juga tidak tahu bagaimana kondisi Harry yang sebenarnya. Belum ada pemeriksaan lanjut selama di Devon. Harry diberi pertolongan mantera-mantera yang tidak aku ketahui." Ujar Liam masih mengendalikan rasa cemas di tubuhnya.
"Astaga." Pekik Hermione takut. "Harry jarang sekali sakit. Tapi melihat tadi rasanya Harry begitu kesakitan. Bukankah Harry punya riwayat anemia kan, Gin?" Ia peluk tubuh Ginny meski wanita itu pun merasakannya juga. Bahkan jauh lebih besar. Ginny hanya mengangguk mengingat suaminya memang punya keluhan kurang darah dan tekanan darah rendah sekaligus. Tidak banyak yang bisa mereka lakukan selain menunggu para healer itu keluar dan menjelaskan semuanya.
Kekalutan juga dirasakan Albus. Liam sempat menghampirinya. Menyerahkan jubah seragam Auror Harry di atas pangkuan Albus.
"Hi, Albus. Kamu benar-benar sudah sehat. Daddy bercerita banyak tentangmu. Dia sangat sayang sekali padamu."
Albus menggangguk, "Daddy merawatku dengan baik, Uncle. Dad banyak membantuku setiap aku membutuhkannya. Sampai—Daddy harus sakit seperti ini." Rasa bersalah Albus muncul. Semua itu terjadi seolah akibat dari dirinya yang harus terus diurus.
"Bagaimana tidak Daddy bisa seperti ini kalau tidak gara-gara aku, Uncle."
"Ayahmu tidak akan kalah hanya karena sakit merawatmu, Al. Kamu belum tahu kekuatan besar apa yang tersimpan di dirinya. Ayahmu adalah Harry Potter. Salah satu penyihir terhebat yang pernah aku kenal di dunia ini. Bahkan penyihir lain pun juga mengakui kehebatan ayahmu."
"Ya, aku tahu, Uncle." Ungkap Albus tidak henti mengusap jubah sang ayah.
Aroma tubuh Harry masih tercium di jubah Auror itu. Albus genggam nama Potter yang tercetak di sana. Menggumamkan harapan tentang sebuah kesembuhan, kebahagian, dan cinta kepada sosok hebat yang tidak pernah bisa ia lupakan seumur hidupnya. Albus tidak tahu apa yang bisa ia perbuat dengan kondisi seperti ini.
Tidak beberapa kemudian, pintu ruang penanganan intensif terbuka. Healer kepala yang sempat berbicara dengan Kingsley keluar lebih awal. Lantas menepi untuk membiarkan healer yang lain keluar sembari mendorong Harry—yang masih terbaring di atas brangkar. Didorong keluar untuk masuk ke ruangan lain.
"Mr. Potter telah kami pindahkan ke ruang rawat sesuai administrasi yang telah dipenuhi oleh Mrs. Weasley, Minister." Ujar Healer Ken melapor pada Kingsley, salah satu penyembuh senior berbakat yang dimiliki St. Mungo. Tarikan napas panjangnya memberi kesan jika baru saja sesuatu yang genting telah berhasil ia lewati.
Baru saja Kingsley mengucapkan terima kasih, Ginny bergegas menanyakan kondisi Harry paska pemeriksaan.
"Apakah anemia suami saya penyebabnya, sir?" tanya Ginny coba mengutarakan ketakutannya.
"Bisa dikatakan itu adalah salah satunya, Mrs. Potter. Ketika pemeriksaan tadi kami temukan pula tekanan darah yang turun di bawah normal. Bersamaan dengan kondisi tubuh Mr. Potter yang kelelahan hingga demam yang dialaminya."
"Tapi—" Liam mencoba bersuara, "aku melihat Mr. Potter kejang selama perjalanan tadi. Apa itu berbahaya?"
Tidak bisa dipungkiri Liam sangat ketakutan ketika melihat dengan mata kepalanya sendiri Harry harus mendapat penanganan serius dari para healer ketika badannya bergerak-gerak tidak normal.
"Beruntung healer yang ikut dalam perjalanan sempat memberi tambahan energi di beberapa titik syaraf, nadi, dan pacuan oksigen di sistem pernapasannya. Tubuh Mr. Potter tidak kuat menahan demam tinggi yang ekstrim. Dan—" Healer Ken sedikit merendahkan nada bicaranya.
Masih ada satu hal lain yang ingin ia sampaikan.
"Mr. Potter mengalami tekanan besar. Psikisnya ikut menjadi faktor utama bagaimana konsidi tubuh Mr. Potter dapat turun drastis hingga seperti ini. Saya mohon untuk beberapa minggu ini jangan beri Mr. Potter tekanan apapun yang membuat beliau banyak berpikir. Beri rasa nyaman dan ketenangan untuk beristirahat." Jelasnya. Healer Ken berpamitan ke ruangannya dan memberi saran jika dapat menghubungi dirinya jika terjadi masalah dengan Harry.
Semua orang dengan jelas mendengar penuturan dari Healer Ken. Kaki Ginny lemas. Sebagai seorang istri ia merasa lalai menjaga suaminya sendiri. "Kenapa aku bahkan tidak peka dengan tekanan yang Harry derita? Harry tidak pernah mengeluh padaku, Hermione, di saat aku banyak menuntutnya ini itu untuk keluarga kami—"
"Ginny, please! Jangan seperti ini. Kau tidak perlu merasa bersalah karena tidak selamanya ini semua kesalahanmu sebagai seorang istri." Hermione mendudukkan Ginny kembali. Ia takut bisa saja Ginny pingsan terlalu emosional.
Tidak jauh dari posisi mereka kini, sepasang penyihir berumur datang dengan membawa ketakutan yang sama. Molly dan Arthur sampai lantas menghambur memeluk Ginny yang tengah menangis.
"Mum—Harry—"
"Ginny, dear! Tenang, nak. Hermione benar. Tidak seharusnya kamu seperti ini." Kata Molly.
Ginny menggeleng enggan menerima penuturan ibunya.
"Harry kuat untukmu, untuk anak-anak. Begitu juga kau telah berusaha kuat untuknya dan anak-anak kalian. Dengarkan aku, Ginny. Kalian adalah suami istri. Permasalahan apapun akan diselesaikan berdua. Jadikan pelajaran bahwa tidak selamanya beban itu dibawa Harry seorang diri atau kau seorang diri. Kalian tim dalam rumah tangga kalian."
Arthur menyalami Kingsley dan Liam lantas sejenak berbincang. Ron pun turut mendekat ketika ia ingat jika Lily, Rose, dan Huga sudah saatnya untuk pulang dari sekolah.
"Jemput mereka, Ron. Ajak ke the Burrow lebih dulu. Lebih baik jangan dulu di ajak kemari. Harry juga butuh istirahat. Usahakan anak-anak tetap berada dalam pengawasanmu." Pinta Arthur mendapat persetujuan Ginny.
"Tolong jaga Lily, Ron. Albus juga. Sayang kau pulang dengan Uncle Ron—"
"No," Albus menolak. Sebelum ia diminta ikut, Albus terang-terangan menolaknya, "aku ingin menemani Dad juga, Mum. Aku mohon! Aku ingin menemani Daddy seperti Dad menemaniku."
Perkara pemindahan rumah sakit Harry telah selesai. Tanggungan perawatan Harry sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kementerian. Bisa dibilang Harry adalah aset. Manusia paling berjasa atas perang sihir lalu. Tidak ada yang ingin kehilangan Harry. Oleh sebab itulah semua perawatan terbaik akan dilakukan demi kesembuhannya.
Harry ditempatkan di ruang rawat kelas unggul di St. Mungo. Tidak jauh beda dengan tempat rawat Albus setiap dirawat di sana. Setelah berjam-jam kondisi Harry dipantau intensif, barulah sepenuhnya Harry dibiarkan istirahat demi kepulihan kondisi tubuhnya.
"Sementara ini semua sudah selesai. Hanya tinggal beberapa tahapan akhir yang akan segera tim selesaikan. Ya, walaupun tanpa Harry."
"Apa boleh buat. Mohon bantuannya, Liam. Kita tidak bisa melimpahkan tugas-tugas itu pada Harry."
Liam dan Ron berbincang di sofa sudut ruang rawat Harry. Hanya dua laki-laki itu yang tersisa menemani Harry hingga malam tiba. Hermione kembali pulang setelah Ron kembali setelah menjemput anak-anak. Sementara Liam belum kunjung pulang. Hanya Dani yang langsung ia perintahkan kembali ke Kementerian untuk menyerahkan laporan kondisi Harry.
Ginny tetap duduk di kursi sisi ranjang Harry. Menggenggam tangan suaminya bahkan sejak ia sampai di sana. Belum ada tanda-tanda Harry sadar hingga malam datang. Hanya sesekali jari jemarinya bergerak. "Bangun, Harry. Aku mohon." Bisik Ginny. Ketiga kalinya ia kecup punggung tangan Harry. Mengusap, mengecup berulang kali.
"Bangun. Aku mohon, sayang—"
"Hoo—ke—"
"Harry?" Ginny menegakkan punggung seketika. Harry bersuara.
"Gi—Ginny—"
Bukannya memanggil healer, Ginny sontak memeluk kepala Harry dan mengecup bibir kering suaminya. Disitu Ron dan Liam mendekat.
"Tarik napas pelan-pelan, Harry. Hembuskan pelan-pelan. Oke—" Bisik Ron menuntun Harry. Selang elastis berdiameter kecil di hidung Harry dibenarkan posisinya oleh Liam. Harry kini berusaha bergerak lebih leluasa.
Gusar, Harry menyentuh pipi Ginny sambil tersenyum. "Cantik." Ucapnya singkat.
"Bloody hell, masih sempatnya kau merayu dengan kondisi seperti ini, Potter!" pekik Ron melihat kelakuan adik iparnya yang sok romantis.
"Harry—maafkan aku—aku tidak bisa merawatmu—"
"Hei, aku baik-baik saja. Lihat," Harry berhenti sejenak untuk menarik napas, "aku hanya—"
"Anemia, tekanan darah rendah, demam tinggi, dehidrasi akut, dan yang sekarang kau rasakan—sesak napas." Ron mulai sebal bukan main. Seseorang yang baru saja sadar dari sekarat bisa-bisanya tersenyum gembira seperti itu.
Tiga penyihir berseragam Auror tiba-tiba saja datang. Memberi hormat pada Liam sebelum dipersilakan menengok Harry yang terbaring di atas ranjang.
"Kalian baru sampai atau sudah dari tadi? Maaf aku merusak rapat kita."
Harry berusaha bangkit untuk setengah berbaring. Dengan bantuan Liam, sebagian ranjang Harry ditinggikan memberi kenyaman pada Harry ketika berbincang.
"Istirahatlah, Mr. Potter. Benar kami baru sampai. Semuanya sudah selesai. Arahan anda tadi sudah kami laksanakan. Tinggal penyempurnaan saat pelaksanaannya saja. Anda tidak perlu khawatir."
Auror muda bernama Shane menuturkannya dengan jelas. "Kami tidak ingin membuat anda khawatir, sir. Mungkin tidak akan sesempurna jika anda ikut terlibat. Tapi kami akan berusaha keras melaksanakan perintah dengan sebaik-baiknya." Lanjut Sam, anggota Auror yang lain.
"Aku sungguh meminta maaf atas kejadian ini. Kalian harus pontang panting mengurus semuanya."
Sebagai kepala yang memimpin para Auror itu, Harry benar-benar merasa beban tanggung jawab yang besar. Ia tidak hanya sekadar memerintah saja tanpa perlu turun tangan. Sebagian besar tugas Auror di Kementerian sihir Inggris tidak akan lepas dari campur tangan dirinya sendiri. Sehingga pada saat ia harus meninggalkan beban tugas itu, Harry merasakan suatu kehilangan yang besar.
"Liam, aku serahkan semuanya padamu dan anggota yang lain. Tetap laporkan apapun padaku jika terjadi masalah dan butuh bantuanku."
"Baik. Asalkan anda juga tetap menjaga kesehatan, sir." Liam berusaha bersikap formil di depan para Auror yang lain. "Kami pamit dulu."
Liam dan anggota Auror yang lain berpamitan meninggalkan ruang rawat Harry. Tinggallah ia bersama Ginny, Ron, dan Albus—yang tertidur di atas sofa panjang. Harry baru saja menyadari itu.
"I—itu Albus—" Harry khawatir ketika mendapati Albus meringkuk menghadap sandaran sofa. Tidak mengenakanbantal, hanya tubuhnya dipasang selimut yang menjuntai hingga ke lantai.
"Dia di sini?" lanjutnya.
"Albus tidak mau pulang. Dia mau menemanimu sejak kau sampai di sini, Harry. Sedangkan Lily aku larang kemari sampai kau benar-benar bisa untuk dikunjungi."
Harry menggeleng tak percaya putranya sekolot itu. "Albus butuh istirahat. Sudah lama dia tertidur di sana? Sudah kau pesankan ranjang tambahan untuknya—kau juga, Gin. Kau harus istirahat."
"Sudah, Harry. Aku pesankan ekstra ranjang untuk Ginny dan Albus. Aku bisa tidur di mana saja." Ron menghela napas berat. beberapa kali ia sudah melapor memesan ranjang tambahan namun tidak kunjung datang. Sampai Albus harus tidur terlebih dulu di atas sofa yang jelas tidak akan nyaman untuknya.
"Al tertidur setelah meminum ramuannya." Jelas Ginny.
Tiba-tiba saja Harry bergerak menepi dan menyingkap selimunya agar memudahkan bergerak. "Hey, kau mau apa, Harry?" tanya Ginny. Harry suka melakukan hal-hal tidak terduga meski sakit.
"Em—tolong, Ron. Gendong Albus kemari. Tidurkan di sini."
Harry memberi ruang di sisi ranjangnya yang luas untuk ditempati Albus. Tahu apa maksud permintaan Harry, Ron menggendong tubuh Albus yang sedang tertidur untuk dibaringkan di satu ranjang yang sama dengan Harry.
"Biarkan, Gin. Sementara.. sampai ranjang tambahannya datang. Kasihan dia. Al butuh tempat yang nyaman. Badannya masih belum kuat." Suaranya dipelankan saat Albus telah dibaringkan di sisinya.
Selimut yang tersingkap kembali dipasangkan ke atas tubuh Albus. "Kasihan Al. Dia harus ikut menderita gara-gara aku." ungkap Harry.
"Harry, dia anak yang kuat. Dia bisa bertahan untuk menungguimu sejak tadi. Dia ingin sekali menemanimu sampai sadar. Tapi gara-gara dia minum ramuannya, Albus menyerah dengan kantuknya. Bloody hell—"
Ron menjelaskan bagaimana tadi Albus berusaha keras untuk sadar saat reaksi ramuan mulai bekerja. Albus mengantuk dan harus ditidurkan di atas sofa. "Kalian itu sama-sama keras kepalanya." Lanjut Ginny.
"Tentu saja. Aku kan ayahnya." Ujar Harry dengan raut muka penuh kesombongan.
"Masih saja suka bercanda saat seperti ini." Ginny menahan sesenggukan di mulutnya. Menggenggam tangan Harry hingga pundaknya bergetar menahan tangis. Mendengar itu semua Ron merasa perlu untuk keluar. Memberi privasi bagi Ginny dan Harry untuk saling bicara.
"Aku akan datangi lagi pihak yang bertanggung jawab dengan ranjang di sini. Kurang ajar, makan gaji buta apa mereka. Kerja lelet!" gerutu Ron sambil keluar dari kamar.
Pintu kembali tertutup. Di sanalah akhirnya Ginny menangis.
"Hus, Gin. Dengarkan aku. Hey, aku mau bertanya. Lihat aku!"
Harry menaikkan dagu Ginny dengan tangannya. "Siapa ibu anak ini?" tanya Harry sembari menujuk Albus di sisinya.
"A—aku." jawab Ginny terbata.
"Lalu.. siapa istriku?" tanya Harry lagi. Kali ini nada bicara Harry sangat terkesan tegas.
"A—"
"Dia adalah wanita kuat yang selama ini aku kenal sepanjang usiaku." Potong Harry membuat Ginny terhenyak. Harry benar-benar tidak bercanda. "Dia sudah pernah mengalami hal yang jauh lebih berat daripada ini. Artinya—"
Harry usap air mata yang terus mengalir dari kedua mata Ginny. Membuat kedua belah pipi wanita itu makin menghangat. "Aku tidak suka air mata kesedihan ini turun dari wanita yang aku cintai. Karena disitu membuatku merasa sakit. Kuat, Ginevra! Aku tidak akan meninggalkanmu seperti ini. Membuat kalian semua merasakan kesakitan yang aku perbuat."
Isakan Ginny berubah jadi raungan. Ia tidak tahan untuk terus menyimpan ketakutannya sendirian. Rasa sakitnya sendirian dan membiarkan jadi luka. Harry telah berjuang untuk dirinya, untuk Albus, untuk James dan Lily.. untuk keluarga kecil mereka. Tekanan yang sama seolah mengalir di diri Ginny. Ia kini seorang ibu, seorang istri. Ia tidak boleh lemah dan menyerah begitu saja saat semuanya berjuang untuk keluarga yang mereka bina bersama.
"Aku janji, Gin. Aku janji."
"Harry!"
Kehidupan bukan serta merta tentang kebahagian dan kesedihan—atau lawan kata lain yang ikut mewarnai hari-hari sebuah kehidupan manusia. makna lain yang tidak akan pernah bisa mereka lupakan atau dihancurkan. Cinta. Kuatlah untuk cinta.
TBC
#
Harry nggak akan selemah itu, ya! Mohon doanya suapa Harry sehat.. dan Anne juga sehat, hehehe :)
Akan ada kisah Albus dan Scorpius.. serta surat-surat mereka di chapter mendatang. Ada apa? penasaran?
Ikuti terus kisahnya. Maaf kalau masih banyak typo. Sampai jumpa di chapter mendatang. terima kasih untuk yang sudah follow, favorit, dan review. Anne seneng banget loh. Tinggalkan review seperti biasa agar Anne merasa tulisan ini memang menjadi hiburan kalian, readers yang kece-kece! Sampai jumpa. Anne sayang kalian semua! :)
Thanks,
Anne xoxo
