Hi, everyone!
Anne kayak mati suri, ya! Lamaaaaa banget nggak idup-idup ini fic. hehehe... sorry bgt! Anne udah semester 7, banyak banget tugas yang munculnya kayak cucian. Bersih ada lagi, bersih ada lagi. Begitu terus. Belum lagi disibukin PPL ngajar di sekolah, belum lagi juga ngurus skripsi yang bakal menghantui semester depan. Hah! Capek lahir batin! T_T
Dan berhubung Anne lagi ada waktu anteng, kali ini Anne lanjutin fic Ephemeral yang kayaknya mulai ditinggal pembaca.. syedih deh..
Tapi gk masalah... Anne tetap semangat ngelanjut fic ini meski banyak cobaan yang menghadang.
Yups, Anne datang lagi dengan chapter 7. Yang (kayaknya bener) lupa sama cerita sebelumnya bisa baca lagi, ya! Hehehe... dan yang masih inget sama ceritanya dan pengen tahu kelanjutannya, bisa langsung baca ya!
Happy reading!
Scorpius menutup kembali lembar perkamen kosong di atas meja belajarnya. Hampir dua hari Albus tidak membalas surat-suratnya. Auriga hanya sempat dikirim. Namun tidak membawa apa-apa ketika kembali. Alhasil, Scorpius mulai merasa khawatir mengapa Albus tidak lagi ada kabar meski membalasnya sekadar ucapan 'hai'.
"Ada apa, ya? Apa dia sakit lagi?"
Gumaman Scorpius terdengar oleh sosok wanita tinggi dengan jaket hangat melekat di tubuhnya. Astoria memperhatikan kelakuan aneh putranya sejak pagi. Hingga sore ini juga, Scorpius sering didapati berbicara sendiri sambil berpikir keras. Melamun sendirian.
"Kau sedang memikirkan apa, nak?"
Astoria mendekat. Scorpius baru selesai mengambil air minum. "Kau sedang memikirkan sesuatu?" tanyanya. Mendorong badan Scorpius agar minum dengan posisi duduk. Sedangkan Scorpius yang sempat minum sambil bersandar di tembok langsung tersenyum malu tertangkap basah oleh ibunya.
"Nothing." Jawabnya.
"Jangan bohong." Astoria tidak terima.
Anak laki-laki itu mendesah sebal. Ia tak pernah bisa lolos jika menyembunyikan sesuatu dari ibunya sendiri. "Mum membaca pikiranku lagi? Itu lancang, Mum." Protesnya. Astoria hanya bisa terkikik melihat ekspresi Scorpius begitu kesal padanya.
"Tidak kok. Mum tahu itu salah satu perbuatan tidak baik. Diam-diam membaca pikiran orang lain walaupun itu mudah bagi Mum." Ujar Asroria. Dia tepuk sisi kursi panjang di dekat perapian. Kursi malas favoritnya jauh terasa nyaman ketika Scorpius dengan manjanya ikut bergelayut di tubuhnya.
Dahi Scorpius dikecup singkat oleh Astoria. Dari sisi mana pun ia melihat Scorpius selalu terlihat wajah Draco di sana. "Mummy yang mengandungmu selama tujuh bulan—karena prematur, sampai kau lahir dan besar Mummy yang mengurus. Jadi Mummy tahu betul siapa kau, sayang. Bahkan Daddymu juga. Mummy paham bagaimana kebiasaannya menyembunyikan masalah. Seperti kamu, Scorp."
"Tapi, apa baik kita menyembunyikan masalah sendirian, Mummy?"
Scorpius tumbuh sebagai anak yang cerdas. Banyak hal ia pelajari sendiri di rumah. Lingkungannya tercipta terbatas hanya dari Malfoy Manor saja. Ia tidaklah seperti anak-anak yang lain. Menyandang nama keluarga besar Malfoy menuntut Scorpius harus bersikap mandiri. Ia tidak membutuhkan lingkungan luar. Hanya sebatas membuka jendela, menatapnya keluar, lantas menutupnya kembali. Serta tidak lupa menikmati ribuan buku di perpustakaan pribadi keluarga. Sebagai mata lain Scorpius untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dibalik pagar tinggi rumahnya. Melupakan segala masalah di luar sana yang akan terus menghantuinya.
"Masalah bukan untuk dipermasalahkan, sayang. Disimpan atau dilupakan. Tapi diselesaikan. Saat bisa saling berbicara, Mummy rasa itu sudah cukup untuk membagi tekanan yang sedang dirasakan. Asalkan kau menemukan orang yang tepat untuk berbagi keluh kesah."
"Seperti sahabat?"
"Ya. Sahabat yang bisa saling mengerti satu sama lain. Merasa kenyamanan dan—kau punya sahabat, Scorpius?"
Astoria langsung berpusat pada inti pertanyaan putranya. Ia tidak pernah tahu Scorpius memiliki teman dekat. Lalu sekarang tiba-tiba saja Scorpius seolah menanyakan masalah sahabat pada dirinya.
"Bicaralah, nak. Siapa dia?"
"Nothing, Mum. Bukan apa-apa. Aku hanya—" Scorpius melihat tumpukan koran yang baru saja sampai sore ini. Ia beralih cepat meraih satu eksemplar Daily Prophet terbitan kedua di hari ini yang memuat berita terbaru hingga soreini tiba.
MASIH DI RAWAT, PEMBUKAAN SELEKSI AUROR MINUS SANG PIMPINAN
Scorpius tidak tertarik sama sekali dengan topik besar Prophet yang memuat salah satu makhluk sihir ilegal yang baru saja masuk ke Inggris. Melainkan berita sampiran yang tercetak tidak terlalu besar di sudut kanan bawa koran sihir itu.
"Mr. Potter sakit?" tanya Scorpius terkejut.
Astoria menoleh ke arah Scorpius. "Kau baru mengetahuinya? Kau tidak membaca Prophet kemarin?" tanyanya. Sudah hampir tiba waktu Draco pulang dari kerja. Dan dia belum sempat menyiapkan makanan untuk suaminya itu.
"No, aku—lupa." Begitu jawaban Scorpius. Matanya masih terus mengamati jajaran tulisan di rubrik terbaru mengenai kesehatan Harry Potter.
"Merlin, karena memang kau akhir-akhir ini suka berdiam di kamar." Astoria meletakkan guci kecil yang baru ia bersihkan. "Kalau tidak salah, Mr. Potter jatuh sakit ketika ada urusan pekerjaan di Devon. Langsung di bawa kembali ke Inggris karena cukup parah. Entahlah. Mum belum membaca kabarnya hari ini. Kira-kira sakit apa, ya? Kasihan."
Astoria memilih segera menuju dapur untuk menyiapkan beberapa makanan untuk mereka. membiarkan Scorpius tertunduk fokus pada bacaannya.
Scorpius membawa korannya kembali ke kursi malas dekat perapian. Memilih membacanya sendirian. Demi mencari tahu, apakah ada Albus ikut termuat dalam berita itu. "Setidaknya aku bisa tahu alasan Albus tidak membalas suratku karena masalah ini." Batinnya.
Kementerian Sihir Inggris—Ratusan calon anggota Auror siap diseleksi hari ini. Pagi tadi pembukaan seleksi tahap awal telah dibuka. Liam Rowald (34), ketua panita pelaksana memberikan sambutannya sekaligus membuka salah satu tahap krusial dalam pemilihan calon anggota tim elit sihir itu. Ia menggantikan sang kepala divisi Auror, Harry Potter (35), yang tengah mendapatkan perawatan instensif penyakit dalam setelah ditemukan tidak sadarkan diri ketika memimpin rapat di wilayah Devon.
Rowald turut menyampaikan kesediaan para calon Auror untuk mendoakan pimpinan tertinggi tim Auror itu untuk diberi kesehatan. "Mr. Potter telah berusaha keras untuk mengurus seleksi anggota Auror tahun ini." Ungkapnya. Rowald kembali menuturkan kondisi terakhir dari Harry Potter setelah semalaman ia menghuni kamar kelas unggul di rumah sakit sihir St. Mungo.
"Hanya tinggal pemulihan. Semuanya telah membaik, hanya saja Mr. Potter masih harus mendapat perawatan karena kondisi tubuhnya yang sempat sangat drop." Ungkapnya.
Seperti yang dikabarkan sebelumnya, Harry Potter harus dipulangkan ke Inggris untuk mendapatkan perawatan lebih intensif setelah kehilangan kesadaran ketika memimpin rapat. Hasil pemeriksaan yang dilakukan pihak St. Mungo mengungkapkan jika ayah dari tiga orang anak itu mengalami kekurangan darah, dehidrasi akut, demam tinggi, hingga tekanan darah yang menurun.
Banyak spekulasi bermunculan jika penyebab kesehatan seorang Harry Potter yang dikenal sangat kuat sampai menurun diakibatkan oleh dirinya sibuk merawat putranya, Albus Potter (10) yang baru saja sembuh. Ditambah kesibukan sebagai kepala Auror dengan segudang pekerjaan.
"Mr. Potter juga manusia biasa." ungkap Rowald menutup.
Scorpius meletakkan korannya di atas pangkuan. Tidak percaya jika salah satu penyihir idolanya tengah dirawat di rumah sakit. "Kasihan sekali, Mummy. Aku tak pernah tahu tentang Mr. Potter sakit bahkan hingga dirawat di St. Mungo." Katanya lirih namun masih bisa didengar oleh ibunya.
"Yeah, pasti kondisi Mr. Potter turun karena kesibukannya yang banyak sekali. Ingat, kan, terakhir dia juga sibuk merawat putranya—Albus, yang sudah membaik, bukan?"
"Ya, dia sudah membaik. Hanya banyak yang belum mengetahui saja kalau dia benar-benar sudah sehat—maksudku.. kelihatannya memang dia sudah sehat. Iya, sudah sehat."
Gugup, Scorpius memilih membawa korannya naik menuju kamarnya. Tinggallah Astoria, tersenyum simpul memandang punggung kecil putra tunggalnya. Cara berjalannya seperti Draco. Mereka mirip, tapi Astoria berharap apa yang sedang disembunyikan Albus berbeda dengan sang Ayah.
"Tidak ada yang salah tentang sebuah persahabatan, Nak. Begitu juga persahabatanmu dengan Albus."
Astoria mengetahuinya.
Masing-masing tangan kanan mereka tengah menggenggam satu butir pil. Harry dan Albus berada di tempat yang terpisah. Harry di ranjang utama sementara Albus duduk di kursi rodanya dekat ranjang tambahan. Di antara mereka berdiri Ginny. Sambil melipat tangannya di depan dada sembari menatap marah dua laki-laki yang ia sayangi.
"Susah sekali, sih, kalian? Ayo, telan!"
"Tapi—"
"Tidak ada tapi-tapian. Harry, jadi contoh yang baik! Minum duluan."
Charlie baru saja datang ke Inggris semalam. Banyak oleh-oleh ia bawa untuk keluarganya. Salah satu oleh-oleh spesial yang ia bawa adalah pil berkhasiat dari naga Yunani yang bisa mempercepat penyembuhan seseorang yang sakit. Bentuknya lebih kecil dari pil biasa. Warnanya kuning transparan dan berbau sangat amis. Bahkan ketika ditelan, rasa anyir mirip darah akan terasa menyengat di tenggorokkan. Itu berlangsung bahkan bisa sampai berjam-jam.
Khasiatnya, tidak bisa diragukan lagi. Baik Harry atau Albus yang pertama kali mencobanya langsung merasakan reaksi baik di tubuh mereka. Harry lebih bertenaga dan tekanan darahnya berangsur normal kembali bahkan semakin stabil. Albus ikut merasakannya juga jika tubuhnya tidak sering nyeri kembali. Hanya saja, keluhan akan rasa pil itu amat sangat menggangu.
Semakin lama Harry menunda menelan jatah pilnya matanya Ginny semakin terbuka lebar. Menatap tajam suaminya yang mulai membandel.
"Ginny, aku mohon. Kemarin kan sudah—"
"Ini untuk kebaikanmu, sayang. Jadi telanlah."
Lembut sekali Ginny meminta . Dengan cara itu, hati Harry seperti disentuh oleh bidadari. Susah sekali untuk menolaknya jika Ginny seolah berubah dari wajah macan betina menjadi rupa ilama yang sedang kasmaran.
Dalam hitungan ketiga, dengan paksaan Ginny untuk terakhir kalinya.. Harry berhasil menelan pilnya. Ginny ikut meringis. Segelas air putih tandas diminum Harry. Beradasarkan pengalaman sebelumnya, Ginny telah bersiap-siap membawa baskom kecil jika Harry mulai merasakan reaksi pil itu.
Enam detik berlalu. Harry mulai mengulum bibirnya dan— "oh my God! Ginny—"
"Oh, kasihannya suamiku!"
Reaksi umum setelah meminum pil itu adalah mual hingga muntah dari rasa yang ditimbulkan. Susah payah baskom pemberian Ginny coba Harry rengkuh untuk menampung muntahannya.
"Mum, aku minum di luar saja. Aku jadi makin mual duluan sebelum meminumnya gara-gara melihat Dad." Kata Albus meminta ijin keluar dari ruang rawat ayahnya.
"Oh, OK, sayang. Jangan jauh-jauh, ya! Langsung di minum. Mummy urus Daddymu dulu."
Lama ia sudah bisa mengendalikan kursi rodanya dengan baik. Albus mendorong dua roda di sisi kanan dan kirinya untuk maju menuju pintu.
"Akhirnya." Albus berhasil keluar. Lorong-lorong lantai kelas unggul di St. Mungo tidak begitu ramai hari ini. Alhasil Albus bisa cukup bebas berjalan-jalan di sepanjang lorong dengan satu dua healer terdengar menyapanya ramah. Benar sekali, siapa yang tidak kenal Albus. Beberapa bulan ini ia yang jadi bulan-bulanan berita.
Sudut lengang terdekat dengan kamar rawat Harry berada di ujung lorong. Jendela besar yang mengarah ke danau St. Mungo. Ada ide bagus ketika ia menikmati luasnya danau dengan pil yang masih ada di genggamannya.
"I'm sorry, Mum— rasa pil ini sangat mengerikan."
"Jangan dibuang!"
Albus berhenti mengayunkan tangannya. Celaka besar niatnya ketahuan. Tapi itu bukan suara ibunya.
"Sudah hampir setahun Mummy mengkonsumsi pil itu juga. Aku sendiri yang menyiapkannya setiap kali ia ingin meminumnya." Scorpius mulai mendekat. Ia telah berdiri di belakang kursi roda Albus. Jaraknya tidak terlalu jauh. Semilir angin dari jendela besar St. Mungo membuat rambut pirangnya bergerak-gerak. Setelan baju hangat hitam dengan krah tinggi menutupi leher, Scorpius membius perhatian Albus.
Scorpius mengeluarkan satu sachet selai berry ke hadapan Albus setelah salah satu ujungnya ia gigit untuk merobeknya. "Ini," tawar Scorpius. "Ini akan menetralkan rasa mengerikan dari pil itu."
"Selai?"
"Ini yang paling ampuh dibandingkan madu, gula, perasan daun mint, atau keju sekalipun." Tutur Scorpius penuh percaya diri.
Albus menerima selai pemberian Scorpius dengan hati-hati. Matanya kembali memperhatikan Scorpius. "Kau sudah mencoba semuanya?" tanyanya.
"Yups, dan selai berry yang paling hebat. Manis dan asam dari selai ini jauh lebih kuat dari anyir pil air mata naga Yunani."
"Ap—apa?" ia baru sadar jika pil yang ia minum adalah air mata dari seekor naga.
"Sudahlah, minum saja. Benda itu akan membuatmu lebih baik."
Terlebih dulu Albus membasahi tenggorongannya dengan air yang sejak awal diberikan ibunya. Dengan hati-hati selanjutnya pil kecil itu ia masukkan mulut. Dibantu oleh dorongan air, sebutir pil di mulutnya berhasil ia telan. Scorpius mengangguk senang.
"Astaga—" Albus berusaha menutup mulutnya.
"Ayo cepat makan selainya, Albus!"
Hanya sekitar satu sendok makan selai berry yang diberikan Scorpius. Sudah sangat cukup untuk ia sesap dan nikmati ke seluruh permukaan rongga mulutnya. Manis dan asam, tiba-tiba saja menjadi dewa penolong untuk deritanya dengan pil itu.
"Kau benar. Rasanya seperti menghilang begitu saja."
"Senang rasanya bisa melihatmu tersenyum. Aku harap kau bisa mengkonsumsi pil itu cukup satu kali sehari. Supaya kau kembali sehat. Dan kita bisa—"
"Albus!" Lily, berlari cepat menghampiri kakaknya tanpa menyadari seseorang tengah berdiri tak jauh dari dirinya. "Sorry—"
Merasa tidak enak dengan Scorpius, Albus meminta Lily menghadap Scorpius untuk dikenalkan. Tapi Scorpius lebih dulu menganalnya. "Lily yang mengabariku tentang kondisimu. Kebetulan sekali Mum sedang ada jadwal periksa. Itulah mengapa aku bisa ada di sini sekarang. Aku ingin menemuimu. Meminta maaf jika selama ini aku selalu mengajakmu berkirim surat padahal—"
"Tidak apa-apa. Malah karena kau aku sekarang bisa menulis. Walaupun belum begitu lancar."
Lily memberi ruang pada Albus dan Scorpius untuk berdua. Rencananya berhasil. Surat-surat yang dikirim Scorpius selama Albus ikut tinggal di rumah sakit diam-diam ia balas. Menceritakan semua hal tentang Albus pada Scorpius. Berharap jika keduanya bisa sama-sama terbuka dan bersahabat selakyaknya persahabatan orang-orang di luar sana.
"Aku ingin membantumu, Albus." Scorpius mengulurkan tangannya. Menunggu balasan jabatan tangan yang ia nanti sejak pertemuan pertama mereka dulu. "Sebagai seorang sahabat."
Jabatan hangat dari tangan keduanya jadi saksi persahabatan benarlah nyata. Tidak lagi sebatas surat yang harus terbang dari jendela kamar mereka masing-masing. Begitu juga sepasang mata yang jadi saksi. Menatap mereka bersama dengan pandangan tak suka.
"Sekali memalukan tetap memalukan."
"Aku yakin Dad pasti terbantu dengan ini."
"Tentu, kita akan membantu Dad dengan selaimu—"
Pintu ruang rawat Harry dibuka perlahan oleh Albus. Dirinya masuk terlebih dulu sambil menunjukkan selai di tangannya. "Aku punya penawar rasa mual—nya."
Beberapa sosok baru tengah hadir di tengah-tengah ruang rawat Harry. Neville, masih mengenakan jubah profesornya berdiri di dekat pintu. Begitu juga seorang lagi yang tengah duduk di ranjang Harry.
"James." Panggil Albus spontan.
"Akhirnya kau kembali, Al. Lihat, siapa yang datang!"
Neville terlebih dulu memeluk Albus memberi salah di saat Lily lebih dulu menghambur ke pelukan James. Ia sudah sangat rindu setelah hari keberangkatan James ke Hogwarts lalu tidak sempat ia mengantar.
Dibalasnya pelukan Neville pada ayah baptisnya. Berbisik pelan jika ia pun turut merindukannya. "Aku mengantarkan James kemari setelah mendapat ijin dari Profesor McGonagall. Sekalian menengok keadaanmu, nak. Sudah membaik sekarang?" tanya Neville ikut merundukkan dirinya menyamakan Albus yang duduk di kursi roda.
"Aku baik-baik saja. Thanks."
Ginny menghampiri Albus untuk mencairkan suasana tegang antara kedua putranya. Ia lebih dulu sadar jika James dan Albus tidak saling berbicara tapi saling melempar pandangan. James seolah menekan Albus dengan tatapan tak bersahabatnya.
"Em, kau tadi bilang apa, Al? Kau punya penawar rasa mual untuk Dad?" Ginny mengusap kepala Albus ke belakang. Menarik perhatian agar lepas dari bayang-bayang James. Waktunya tidak tepat untuk keduanya disatukan dalam satu ruangan.
Albus menunjukkan selai berry yang ia bawa. "Bisa menghilangkan rasa mual setelah minum pil tadi." Tutur Al pelan.
"Benar. Al sudah membuktikannya tadi. Makanlah, Dad. Ini sangat membantu." Lily meraih paksa selai di tangan Albus untuk diserahkan langsung pada ayahnya. Albus masih menunduk sambil mencuri pandang ke arah James.
Harry menerima satu cup berisi selai berry dan sendok kecil dari sisa bekal Lily. Wajah Harry memucat karena terlalu lama menahan mual. Albus tidak bercerita tentang dari mana asal ide selai berry itu ia dapat. Albus hanya tetap diam.
Sedikit tidak yakin, Harry akhirnya mencoba sesendok selai selepas Lily mengambil alih kembali selai itu dari tangannya. "Buka mulutmu, Daddy. Aku suapi, ya!" bujuk Lily.
Harry pasrah menerima suapan sesendok selai dari Lily. Melumatkannya di mulut lantas menelannya. Hal ajaib tiba-tiba terjadi. "Di label kemasannya tidak ada aturan memakan selai setelah meminum pilnya? Astaga, perutku tidak melilit lagi. Kau hebat, Al. Kau bisa tahu cara menghilangkan rasa mualnya," ujar Harry memberi apresiasi.
"Kalau tidak ada anak berambut pirang itu juga pasti dia tak tahu apa-apa." Sambung James.
"James!" protes Ginny. James mulai mencari masalah. "Jaga bicaramu. Al hanya ingin membantu."
James beranjak dari duduknya untuk mengambil kembali tas ranselnya. Mengemasi beberapa kertas dan memasukkannya kembali. "Tidak perlu dibanggakan karena itu bukan usahanya sendiri. Dia tahu dari orang lain. Bukan karena hasil kerja kerasnya." James tak suka.
"Anak berambut pirang?" tanya Harry mencoba mereda emosi
"Dia teman Albus, Daddy." Balas Lily.
Harry dan Ginny terdengar bahagia. "Ini sebuah kemajuan. Kau sudah punya teman, Al? Siapa?" balasan reaksi Neville sama senangnya dengan Harry-Ginny.
"Teman? Merlin, memalukan sekali."
James berlalu setelah mengatakan itu. Memeluk ayahnya, Lily, dan Ibunya sebelum mendekat ke arah pintu. Di sana posisi Albus berada. Betapa terkejutnya Albus saat James mengatakan persahabatannya memalukan. Tapi Albus tetap diam. ia hanya berani menatap sorot mata coklat kakaknya yang begitu enggan melihatnya layaknya seorang saudara kandung. Albus menilai pandangan James padanya seolah James sedang melihat hal paling menjijikkan.
"Dia anak baik." Balas Albus mulai tersulut emosinya. Kakaknya sendiri telah menjelekkan Scorpius.
"Demi Dumbledor. Oh iya, maklum saja, terlalu banyak mengigau selama bertahun-tahun sampai tak tahu apa-apa. Bahkan isu besar seperti itu saja tidak tahu. Kasihan." James melempar pandangannya segera pada sosok Neville. "Waktuku sudah habis, kan? Ayo kita kembali ke Hogwarts, Uncle Neville. Aku tidak mau terlambat ke Hogwarts lagi gara-gara orang yang sama. Sampai jumpa, semuanya!"
James membuka pintu tanpa menoleh ke belakang kembali. Namun setelah satu langkah ia keluar, James kembali. "Semoga nama baik keluarga Potter tidak semakin tercemar gara-gara anak pirang itu." tambahnya lantas berlalu pergi. Neville berpamitan singkat pada Harry dan Ginny untuk segera menyusul James.
Tinggallah Albus bersama ketiga orang keluarganya. Ia menjadi bahan perhatian. Tidak hanya tatapan ayah, ibu dan adiknya saja, melainkan pertanyaan singkat dari seorang Hary Potter.
"Siapa temanmu itu, Nak?"
Ada jeda cukup lama membuat Albus berpikir. Tidak ada yang salah dengan nama itu. Albus hanya tidak ingin persahabatannya yang baru saja dimulai harus mendapat masalah besar jika ia menceritakannya pada keluarga.
"Jawab Daddy, Albus!" pinta Harry sekali lagi.
"Namanya," Albus tertahan. Sekali lagi ia menarik napas, ia tekatkan untuk menyebut nama itu.
"Scorpius Malfoy."
TBC
#
Wow... rasanya ngelanjut fic ini itu sesuatu banget.. kayak ada jeda di kepala yang seolah bikin Anne ngelupain fic ini langsung diingetin lagi kalau fic ini ada.. bingung ngegambarinnya. Benar-benar mati suri gara-gara kebanyakan tugas.
Kedepannya, Anne masih belum tahu fic ini selesai chapter berapa. Tapi Anne akan usahakan cerita mulai jelas konfliknya sejak chapter ini up. Bakalan ada konflik-konflik lain di chapter-chapter mendatang. Anne tunggu review kalian, ya! Selamat datang kembali ke dunia fanfiction Anne. Maaf kalau lama banget hiatusnya.
Sampai jumpa di chapter 8!
Thanks,
Anne xoxo
