Hi, everyone!

Seneng banget sebenarnya untuk tiba-tiba muncul setelah lama nggak ada kabar. Tapi itu tadi, lama banget nggak posting fic lagi. Mau bagaimana lagi. Masa-masa paling berat nih lagi Anne jalanin. Ya, yang udah pernah ngerasain atau pas ini lagi jalanin skripsi, pasti tahu rasanya. Sedih banget!

Mohon maaf banget, ya. Anne nggak lupa kok sama fic ini. Tapi Anne sadar karena lama nggak update, fic ini jadi terbengkalai dan bahkan bagi teman-teman pembaca mungkin kehilangan feelnya. Huft.. kalau Anne periksa trafficnya, memang ada pertambahan. Tapi.. nggak banyak. Anne sadar banget! So, Anne binggung mau nulis apa lagi.

Yang pasti, Anne akan tetap lanjut fic ini dan tamatin seperti rencana konsep awal Anne tulis fic ini. Semoga masih ada yang berkenan membacanya, ya! (yang lupa bisa balik baca chapter sebelumya).

Mungkin langsung saja, ya. Happy reading!


Albus mengusap kusen kayu jendela kamarnya. Tralis besi masih terpasang kuat di sana. Saksi jika merekalah garda pelindung untuk pemilik kamar itu. Albus tidak tahu, mengapa nasib buruk itu harus ia yang menanggung. Semakin lama ia rasakan bahwa dirinya memang bukanlah siapa-siapa. Manusia lemah yang pernah separuh perjalanan hidupnya terkurung di kamar itu.

Tumpukan surat dari Scorpius runtuh di posisi surat ke lima. Sudah terlalu banyak surat yang telah ia terima. Sebanyak itu pula hari demi hari persahabatannya dengan Scorpius terlewati hanya sebatas bermediakan sepucuk surat. Albus tahu dirinya tidak bisa berbuat banyak. Sering merasa bersalah jika surat balasannya kepada Scorpius hanya berupa beberapa kata saja. Barulah jika Lily ikut membantu, satu halaman kertas suratnya dapat penuh.

Dia bukan sahabat yang baik. Bukan Scorpius, melainkan Albus sendiri dengan tindakannya. Tidak seperti itu sosok sahabat yang sebenarnya. Albus patut malu dan sadar diri. Pantas jika James tampak tidak suka dengannya. Ia lemah, tidak bisa apa-apa. Bahkan untuk membahagiakan sahabatnya saja ia tak mampu.

"Maafkan aku," ucap Albus.

Ibu jarinya menggosok pelan tulisan nama Scorpius. Hanya itu yang mampu ia lakukan. Tidak ada yang salah memiliki sahabat. Albus ingin memiliki sahabat seperti Ayahnya dulu. Melegenda dengan persahabatan tiga sekawannya. Golden trio. Siapa yang tidak tahu mereka. Sejarah telah mereka ukir bersama. Begitu indah hingga Albus iri.

Apa salah ia memilih Scorpius? Albus menyukai sikap anak itu. Bukan karena hanya Scorpiuslah yang mau bersamanya. Karena memang ketulusan itu Scorpius miliki. Untuk Albus.

Hanya ketika pagi itu.. tidak pernah Albus bayangkan jika Scorpius dianggap pilihan yang salah.

"Anak Voldemort itu? Bagaimana bisa anak itu mengenal Al? Harry, kau harus menjaga putramu!"

Jelas sekali Ron menyebut nama terkutuk itu sebagai seseorang yang berhubungan erat dengan Scorpius. Voldemort telah lama mati. Dikalahkan oleh Ayahnya sendiri bahkan semua buku sejarah sihir mencatat tanggalnya. Hanya Albus belum sedikit pun mengerti. Apa salahnya untuk memiliki sahabat? Bersama Scorpius?

"Albus?"

Harry telah siap dengan piamanya. "Kau masih belum tidur juga. Kenapa?" tanyanya selepas mendudukkan diri di ranjang putranya.

"Em—" Albus memikirkan alasan terlogis secepatnya. Ia pandangi rerumputan hijau yang kini gelap di halaman samping rumahnya. Hanya dari jendela kamarnya itu, Albus mendapatkan ketenangan ketika sendiri di kamarnya.

"Kau selalu suka di dekat jendela. Daddy memperhatikan itu sejak dulu, loh."

"Dad benar. Kira-kira memang begitu. Jendela lebih menakjubkan, Dad. Aku bisa melihat apapun lewat jendela dan masih tetap merasa aman karena aku terus berada di dalam."

Albus mengusap teralisnya penuh kasih sayang. Terasa dingin dan kokoh tak mau bergerak. "Jendela mana pun aku suka. Karena dibalik jendela pasti ada kejutan yang berbeda-beda. Dunia yang berbeda." ungkapnya.

Sendiri pun Harry mengerti. Sejak Albus sakit memang jendelalah tempat Albus selalu merasa tenang. Bahkan dulu ia sering menemukan Albus tertidur di dekat jendela yang masih terbuka. Satu-satunya akses yang bisa Albus nikmati dari kurungan sebatas tembok di kamar yang terus menahannya.

Harry menangkap sesuatu yang dalam dari tatapan Albus ke arah luar jendela. "Besok pagi sebelum kerja, Dad bisa lepaskan tralis itu—"

"Tidak perlu, Dad. Biarkan tetap seperti ini." Albus menggenggam tangan kiri Harry dan mengusapnya. "Agar aku selalu ingat, bahwa aku akan selalu aman berada di sini. Tidak akan terjadi apa-apa padaku."

Harry hanya bisa terdiam. Tidak mampu berkata-kata lebih. Karena jika ia paksa melanjutkan masalah itu, air matanya bisa tumpah seketika. Harry beranjak segera dari atas ranjang untuk menarik perlahan kursi roda Albus. Harry berancang-ancang mengangkat tubuh Albus. Merebahkan ke atas ranjang agar cepat beristirahat.

"Sudah saatnya kau tidur, young man. Dan nikmati keamanan di balik selimutmu."

"Ini yang aku tunggu sejak tadi, Dad. Thanks."

Selimut tebal bermotif senada dengan ranjang Albus dinaikkan Harry hingga ke bagian dada. Memberi kehangatan tambahan dari angin malam yang terus menderu masuk melalui jendela yang belum tertutup. Sama seperti mata Albus yang masih enggan untuk terpejam.

"Dad," panggil Albus.

"Hem."

"Bagaimana ceritanya dulu Mum dan Dad pertama kali bertemu?"

Harry tersenyum memperhatikan wajah pucat Albus sesaat setelah pertanyaan itu terucapkan. Pertanyaan yang menurut Harry terkesan polos sekali. "Di peron 9 ¾, Al. Saat Dad akan berangkat ke Hogwarts untuk pertama kalinya. Kemudian di the Burrow saat Dad pertama kali mampir ke sana bersama Uncle Ron, Uncle George, dan mendiang Uncle Fredmu. Saat itu kami masih sangat kecil. Kami berteman dekat." Cerita Harry singkat.

"Akhirnya jatuh cinta lalu menikah."

"Sampai kami memiliki tiga buah hati yang sangat hebat-hebat. Salah satunya yang sedang ada di depan Dad ini." Harry mengecup dahi Albus singkat. Hangat.

Albus menarik napas dalam. Dirinya ingin seperti itu.

"Suatu saat nanti, apa aku akan menikah?"

Ada jeda dua kali tarikan napas Harry sebelum menjawabnya, "semua orang memiliki jalan takdirnya masing-masing, Al. Tidak ada yang tahu itu bahkan diri kita sendiri." Jawab Harry sekenannya. Ia tidak mau mengungkapkan apa ketakutan yang tiba-tiba melintas di kepalanya.

"Aku ingin menikah saat dewasa nanti. Melewati perjalanan hidup seperti Dad hingga menemukan seseorang yang mau mencintaiku dengan tulus. Seperti Mum."

"Ya," Harry mengangguk pelan. Matanya panas.

"Aku tidak tahu sebatas apa waktu yang bisa aku lalui. Tapi bagaimana pun juga.. aku ingin merasakan ada yang menyayangiku.. dan aku menyayanginya. Itu tidak salah kan, Dad?" Albus merasakan dadanya mulai sesak.

"Benar, tidak ada yang salah untuk menyayangi siapa pun. Kami semua menyayangimu, Al." Bisik Harry dengan satu titik airmata lolos di ujung matanya. "Dan akan selalu seperti itu. Karena itu tugas manusia. Saling menyayangi."

"Meskipun orang lain memandangnya berbeda? Tidak ada yang salah, kan, untuk menyayanginya?"

"Al—" Harry merasa Albus telah terlalu jauh. Albus terdiam dengan senyuman mengembang di wajah piasnya.

Harry tahu kemana arah pembicaraan mereka kini. Cepat-cepat Harry bangkit berniat menyudahi semuanya. "Badanmu hangat. Kau terlalu lama berdiri di depan jendela. Angin malam tidak baik untuk kesehatanmu, nak. Dad siapkan dulu ramuan untuk menurunkan demammu, ya—"

"Yang aku butuhkan sekarang adalah kebahagiaan, Dad. Untuk saat ini.. aku ingin ada yang menyayangiku dengan tulus.. begitu pula sebaliknya.. dengan pilihanku sendiri." Kata-kata Albus menghentikan langkah Harry. Pria tiga puluh tahunan itu tidak berani untuk kembali menatap putranya. "Tidak ada yang salah, bukan.. untuk menyayangi siapapun itu."

Harry menarik napas dalam-dalam, mengatur sega emosi yang sontak naik hingga ke ubun-ubunnya. Menghela dan menerima pesan sederhana dari Albus. "Ya," Harry seperti berbisik, "tidak ada yang salah, nak. Tidak ada yang salah."


Albus demam hingga tiga hari. Panasnya tinggi hingga Ginny tidak bisa jauh-jauh dari Albus. Tengah malam di hari Kamis, Albus dibawa ke St. Mungo. Tidak ada yang salah ketika pemeriksaan. Hingga satu diagnosa Healer yang menyebutkan tentang mental Albus.

"Dia terlalu banyak pikiran. Ada yang mengganggu psikisnya saat ini."

Penuturan Healer langsung memutar ingatan Ginny pada putra sulungnya. Sejak James memandang hina persahabatan diam-diam Albus dan Scorpius. Kondisi Albus benar-benar turun dan menyiksa tubuhnya.

"Aku harus beri hukuman pada James—"

"Apa maksudmu?"

Harry menarik lengan Ginny untuk tidak mengijinkannya keluar dari ruang rawat Albus. "James harus diberi pelajaran untuk menjaga mulutnya, Harry." Protes Ginny. Ia masih ingin membela kondisi Albus.

"Tapi bukan seperti ini caranya." Keras Harry berbicara, Ginny mulai menyerah, "kita bisa selesaikan semuanya dengan baik. James tetap akan kita hukum. Serahkan padaku, Gin."

Ya, Ginny berharap ia tidak akan membuang tenaga untuk memarahi James di saat seperti ini.


Pria pirang berjalan tegap meski pandangan beberapa pegawai kementerian di sekeliling tempat itu sesekali memandangnya tajam. Lalu berbisik dan menunjuk tak berprikemanusiaan seolah Draco Malfoy, adalah pesakitan paling hina di komunitas mereka. Ia tak peduli dengan pandangan itu. Keperluannya datang ke Kementerian hari ini hanya untuk mengurus surat-surat legalitas benda-benda sihir baru yang ia kelola melalui perusahaannya. Ia apit dokumen bermap logo Kementerian Sihir Inggris sembari berjalan menuju pintu lift.

Dia ingin pulang.

"Saya rasa cukup untuk laporan di sektor delapan ini." Harry berjalan tergesa bersama seorang pria muda berseragam Auror di samping kirinya. "Bisa lanjutkan untuk kepemeriksaan tim Auror di—astaga, maaf. Silakann—"

Harry tidak sengaja menabrak seseorang. Segeralah ia meminta maaf karena mengerti jika salahnya tidak memperhatikan jalannya.

"Kau—Ah, silakan lebih dulu." Draco tidak sadar jika ia tertabrak oleh Harry.

"No, maksud saya—" Harry tertegun melihat siapa pria dewasa yang baru saja tidak sengaja bertubrukan dengannya. Draco pun dengan terpaksa membalas tatapan Harry meski sempat terputus ketika pria muda berseragam Auror meminta Harry melanjutkan arahannya.

"Ah, Hans, tolong kau buat rekap sementara laporan pemeriksaannya terlebih dulu. Setengah jam lagi serahkan ke ruangan saya, akan segera saya koreksi. Rupanya saya ada janji dengan seorang tamu."

Penjelasan Harry tersebut sontak menarik perhatian Draco. Ia merasa jika tamu Harry adalah dirinya. "Bisa ikut saya ke ruangan?" Pinta Harry sopan. Ia menunjukkannya pada Draco.

"Em—saya tidak ada urusan dengan Auror hari ini, jadi—"

"Saya mohon dengan sangat, Mr. Malfoy. Jika Anda tidak ingin menyesal nantinya."

Ancaman macam apa itu, batin Draco marah. Terlebih sosok yang selalu membayanginya sejak masih kanak-kanak itu mulai memancingnya masuk dalam situasi tidak menyenangkan. Draco tetap diam sementara Auror muda itu dengan hormat meminta ijin berlalu pergi. Tingggallah mereka berdua. Pintu lift telah tertutup. Mereka menuju salah satu lantai tempat kantor Harry berada.


"Aku pikir ini sungguh sebuah kebanggaan dapat diundang masuk ke ruang kepala Auror." Draco terdiam sejenak. Matanya mengamati ruang kerja Harry yang bergaya model klasik. Ia perhatikan nama Harry tercantum di plakat hitam pualam bertengger di mejanya.

Harry sama sekali tidak tersenyum menanggapi guyonan Draco. Ia lebih dulu mengambil posisi di sofa tunggal tempatnya biasa menjamu para tamunya. Lantas mempersilakan Draco duduk di sofa panjang tidak jauh dari posisinya sekarang.

"Well," Draco berusaha menyamankan duduknya, "segera katakan apa maumu, Potter. Jangan buat aku tunduk hormat seperti para anak buahmu itu—"

"Aku tidak butuh kau hormati, Malfoy. Aku hanya ingin kesediaanmu membiarkan mereka berteman."

Draco mencerna baik-baik penjelasan Harry. Berteman, istilah tabu yang hanya beberapa persen Draco yakini kebenarannya. Ia tidak pernah memiliki teman seperti yang ia inginkan. Lalu, tiba-tiba saja Harry mengajaknya berbincang tentang suatu pertemanan.

"Scorpius Hyperion Malfoy. Begitu nama yang tercatat di data Kementerian sebagai putra seorang Draco Ma—"

"Jangan pernah membawa-bawa putraku, Potter!" tali jubah seragam Harry dengan kuat Draco remas. Sedikit naik hingga dagu Harry mau tidak mau terangkat akibat seragan tiba-tiba itu. Draco akan amat sangat sensitif jika tiba-tiba saja ada yang menyangkut nama putranya.

"Kau mulai ikut terbawa para penyihir itu rupanya.. Aku tidak peduli kau siapa. Jika kau berani—kau lihat saja nanti." Draco mengancam.

Dengan perlahan Harry jauhkan tangan Draco dari tubuhnya. "Kau terlihat sayang sekali padanya. Benar begitu?" Harry membiarkan Draco menenangkan napasnya terlebih dahulu. Secara perlahan, Draco melepaskan genggamannya dari Harry. Ia menunduk tak menjawab.

"Aku pun begitu." Jawab Harry yakin. "Aku sangat menyayangi ketiga anakku."

"Aku akan lakukan apa pun untuk Scorpius. Jadi, aku tidak akan segan-segan berbuat lebih untuk memastikan putraku baik-baik saja."

"Ya, tentu. Karena itu memang yang harus dilakukan seorang ayah seperti kita. Bukan begitu, Draco?"

Draco, Harry menyebut namanya. Entah mengapa di mata Draco, Harry sangat berbeda. Pandangan mata itu seolah Harry menyimpan permasalahan besar. Dan bersamanya saat ini, sekiranya permasalahan itu akan segera ia utarakan.

"Kau ingin melakukan apa pada putramu? Dia sangat membutuhkan banyak perhatianmu, bukan?"

"Tentu yang terbaik. Untuk putraku, Albus, dan putramu, Scorpius. Tentu kau tahu apa yang akhir ini diam-diam dilakukan Scorpius. Jika kau memang ayah yang baik dan selalu ada untuknya."

Ingatan Draco berputar kembali. Kerap kali ia temukan Scorpius lebih bahagia, murah senyum, dan sering tersenyum. Astoria pernah bercerita padanya tentang segala perubahan itu. Salah satunya adalah kebiasaan Scorpius sering terjaga hingga tengah malam di kamarnya.

"Ia sering tertarik dengan berita-berita tentang keluargamu. Tentang—perkembangan putramu, astaga—" Draco tidak percaya, semua begitu masuk akal.

"Seperti yang sempat aku katakan tadi. Diam-diam, mereka berteman baik. Mungkin kondisi putraku, Al, tidak lagi sebuah rahasia. Semua penyihir tahu bagaimana keadaanya. Tapi semenjak ia mulai pulih, kondisinya tetap sama. Namun, berbeda dengan beberapa waktu ke belakang. Albus berubah. Ia kembali memiliki semangat hidupnya karena anak yang kini aku tahu bernama Scopius Malfoy."

Harry berdiri menuju meja kerjanya. secarik kertas usang ia keluarkan dari dalam lacinya.

"Ini," tunjuk Harry ke hadapan Draco, "ini untuk Scorpius."

Draco menerima kertas kusut itu dari Harry. Melihat coretan tak rapi tertulis di atasnya. Meski tak jelas, Draco bisa membacanya.

Aku sakit. Aku ingin bertemu denganmu.. lagi. Scorpius.

"Aku temukan itu di tempat sampah ruang rawat Albus di St. Mungo. Seumur hidupnya ia baru saja berlatih menulis. Semua itu ia lakukan untuk mempertahankan persahabatannya dengan Scopius. Tapi karena satu hal, membuatnya tiba-tiba drop. Kesehatannya menurun drastis. Ada yang sakit di diri Albus yang mana healer terhebat pun tidak mampu menyembuhkannya. Aku tidak tahu harus berbuat apa sampai aku temukan surat yang kini berada di tanganmu."

Albus membuat surat itu susah payah dengan kemampuannya menulis yang sangat terbatas. Namun harus ia buang ketika bayang-bayang ucapan James menghantuinya.

"Pertemuan kita kali ini bukan untuk membuka masa lalu kita. Rival, musul, lawan, pertentangan—terserah apapun istilahnya. Kita di sini duduk sebagai seorang ayah. Jika kau ingin melakukan apapun untuk putramu, aku juga akan melakukannya sama seperti prinsipmu."

Draco melipat surat Albus. Menggenggamnya dengan tangan bergetar. Meski masih menunduk, ia tetap mendengar semua penjelasan Harry dengan seksama.

"Aku tidak tahu peranku kali ini sebagai apa. Aku harus melakukan apa, aku tak tahu. Namun saat aku lihat putraku ikut terbawa dengan permasalahan besarmu, aku tidak segan-segan untuk ikut campur juga."

"Aku mohon dengan sangat," Harry menegakkan duduknya. Mempertahankan air mata lebih banyak yang kini telah membasahi area pipinya. "Demi mereka."


Ron mengemasi mantel hangatnya untuk bersiap pulang. Sudah semakin sore. Ia tak enak dengan George yang harus ia tinggal sendiri mengurus toko. Sebelum keluar, ia kembali menghadap Albus yang terbaring di ranjang rumah sakit sambil menunjuk satu gelas berisi cairan putih. Masih cukup banyak. Susu itu hanya berkurang sedikit.

"Susu itu harus manis. Kalau tidak, bau sapinya masih terasa. Itu menjijikkan."

"Tapi susu buatanmu sering terlalu manis, Uncle. Coba lagi, ya!"

Ron mendengus gusar. Susu yang ia buat adalah susu terenak yang pernah ia buat. Dicampur gula dan madu sekaligus. Hingga pekat rasa manisnya susah hilang di lidah. Namun sayangnya Albus sering menolaknya.

"Kau, sih," bisik Ron kesal pada Ginny, "kebiasaan beri makanan hambar ke anak dan suamimu."

"Bukan hambar. Tapi menjaga konsumsi gula berlebih, Ron. Terlalu manis, tidak baik untuk kesehatan. Ingat umur." Pesan Ginny sembari membantu mengantungi makanan ringan para penyihir yang menjenguk untuk dibawa pulang Ron. Terlalu banyak menumpuk di ruang rawat Albus sedangkan tidak ada yang bisa menghabiskannya.

Dengan senang hati, Ron menerima pemberian adik perempuannya itu. "Terima kasih, ya. Aku harus kembali ke toko." Dipeluknya singkat Ginny sebagai salam perpisahan.

"Aku juga terima kasih. Tak masalah. Sebentar lagi Harry juga kembali dari Kementerian. Sampaikan salamku untuk Hermione, Rosie, dan Hugo."

"OK, bye. Cepat sembuh, Al. Cepatlah keluar dari sini. Kamar ini membosankan."

Kata-kata terakhir Ron rupanya dibenarkan oleh Albus. "Benar-benar kamar yang membosankan." Gumamnya pasrah.

Ginny tahu putranya mengeluhkan masalah itu. Setiap hari yang ada hanya dirinya dan sesekali para teman dan keluarga datang untuk menjenguk. Harry hanya ada ikut menjaga di sore hingga keesokan paginya. Pekerjaannya di Kementerian masih cukup sering membuatnya pontang-panting menyelesaikannya.

"Kalau kau mau sesuatu yang bisa menghiburmu, katakan saja, Al." Dengan lembut Ginny usap rambut hitam Albus, "Mum bisa bawakan ponsel dari rumah, kau bisa bermain games atau menonton kartun, atau—"

"Tidak perlu, Mum. Aku hanya ingin ditemani saja." pinta Albus. Tangannya menggenggam erat tangan sang ibu seolah menyalurkan kekuatan baru untuk tetap tegar.

Hanya mereka berdua, sampai suara pintu berderit dan keluarlah Harry masih memakai setelan jas tanpa jubah Aurornya. "Apalagi ditemani ini," serunya mengalihkan perhatian Ginny dan Albus bersamaan.

"Ayo, masuk." Harry terdengar memerintah dengan sangat lembut pada sosok di balik pintu.

Seorang anak berambut pirang muncul. Memeluk sebuah buku tidak terlalu tebal di depan dadanya sambil tersenyum.

"Hai, Albus." Scorpius masih berdiri di bibir pintu. "Aku sudah datang. Kau mau mendengar cerita dari bukuku?"

"Scorp? Ya, tentu." Albus berbinar.

TBC


#

Hem.. Albus dan Scorpius bersatu kembali!

Oh, ya, bagi teman-teman pembaca sekalian, meski Anne jarang (atau lebih tepatnya lama nggak muncul), Anne mulai aktif di Wattpad. Banyak fic Anne yang publish di sana dan ADA EXTRA PART yang nggak Anne post di FFN. Jadi yang penasaran apa saja, langsung ke Wattpad dengan nama author Sifah & Annelies (at SifahNur). Jadi, yang masih kangen baca fic lama Anne dan pengen tahu kisah tambahannya, bisa datang ke Wattpad Anne, ya.

Anne tunggu reviewnya! Sampai jumpa di chapter 9!

Thanks.

Anne xoxo