Hi, everyone!
Setelah sekian lamaaa banget, Anne kembali menyentuh fanfiction lagi. Kangen banget! Dan akhir-akhir ini Anne kembali nulis fic pendek-pendek gegara baru beli buku HARRY POTTER AND THE CURSED CHILD versi terjemahan Bahasa Indonesia (padahal udah baca berulang kali yang versi Inggris, tetep aja beli yang terjemahan. Hehehe..) ada yang punya juga? Fic pendek-pendek itu belum sempat publish, sih. Entar deh, bakal Anne share.
Anne terlalu lama mendalami dunia cerpen serius. Lomba ini itu (yang di Jatim, ada yang sempat ikut peksimida tangkai lomba penulisan? Anne ada di sana, loh!). Jadi, daya imajinasi liar Anne di fanfic agak menurun. Dan aktifitas nulis online agak menurun juga. Huft.. berhubung sudah kelar semua itu dunia nulis bahasa yang sastranya nyellll.. sekarang Anne kembali. Berusaha untuk tetap bisa nulis fanfiction lagi seperti dulu.
Mohon dukungannya, semua! :)
OK, kali ini Anne mau lanjutin Ephemeral yang entah masih ada yang baca atau enggak, hiks... :(
Nggak masalah. Anne tetep mau nulis dan lanjutin cerita ini. Buat hiburan aja :)
Altherae, ekspuulsoh, HapherGxx, Yovanka Amelia, Nina, hikachaan21, fitrinuraini, Dark sagi5a, Racheiliyah Yuna, lathifahshinola... THANK YOU!
Kalian muncul di review dan menyemangati Anne apapun kondisinya.
dan...
Mari kita kembali membaca Ephemeral, semua!
Happy reading!
Mereka memilih menghabiskan hari di ayunan ganda halaman belakang rumah keluarga Potter. Sejak pagi Scorpius telah datang di kediaman Potter untuk menemani Albus. Berminggu-minggu setelah kepulangan dari St. Mungo, Scorpius makin sering datang untuk sekadar menemani Albus. Mengajaknya berbincang, bermain, atau belajar membaca dan menulis. Natal sebentar lagi. Rencanannya James akan pulang untuk pertama kalinya sejak ia berangkat dari Hogwarts September lalu. Albus mengaku bingung dengan perasaannya sendiri. Ia utarakan itu semua pada Scorpius setelah mereka tidak sengaja mengungkit tentang tradisi natal di keluarga masing-masing.
"Albus, kau seharusnya senang kakakmu pulang. Keluargamu pasti juga akan ramai. Tidak hanya Lily dan kau saja yang menemani Mummy dan Daddymu di rumah ini."
"Kau benar, tapi—"
Albus memperhatikan pintu belakang rumahnya. Di sana tampak ibu dan ayahnya yang sedang bercanda menggoda Lily sampai berteriak-teriak. Lily tidak suka acaranya merangkai pernak-pernik natal bersama sang ayah diganggu. Rupanya Ginny sedang menggoda Lily seolah anak perempuannya itu tidak boleh mengambil Harry dari dirinya. Beberapa kali Lily berteriak ketika Ginny diam-diam mencium pipi atau bibir Harry. Sembari mengiming-imingi Lily jika Ginny telah mendapatkan perhatian Harry dari gadis itu.
Scorpius ikut tertuju pada interaksi keluarga kecil di hadapannya. Memang ayahnya sering memperlakukan ibunya dengan sangat romantis. Tapi suasana hangat seperti itu terasa berbeda dibandingan bagaimana ayah dan ibu Albus begitu bahagia bersama anak-anak mereka. "Mungkin karena Mum dan Dad hanya memiliki aku saja. Jadi sepi, deh." Batinnya menyadari hal paling sederhana sebagai pembedanya.
"Akhir-akhir ini mereka tampak bahagia sekali. Aku senang melihatnya."
Tidak terasa bibir Albus tertarik menyunggingkan senyuman. "Mungkin baru kali ini senyum dan tawa lepas mereka kembali seperti dulu." ungkapnya lagi.
"Tentu saja mereka senang. Karena seseorang yang mereka sayangi sekarang telah kembali tersenyum seperti dulu. Sehat dan ceria."
"Itu semua berkat kau, Scorp. Bahkan yang aku tahu, hubungan Daddy kita bisa sedikit membaik. Yang aku dengar mereka dulu punya hubungan yang—ya, tidak seperti sahabat."
Berkat kebiasaan Scorpius bertandang ke rumah keluarga Potter, sering kali Draco pun acap kali mampir untuk menjemput Scorpius. Kalau sudah demikian, tidak nyaman jika Harry dan Draco untuk tidak bertegur sapa di depan anak-anak mereka.
"Syukurlah jika semuanya benar-benar membaik."
"Tapi tidak untuk James. Scorpius, dia.. tidak suka kalau aku—" Albus tiba-tiba terdiam. Ia tidak sanggup menceritakan semuanya pada Scorpius tentang alasan James membenci sahabatnya itu. Albus yakin jika rumor itu salah. Scorpius anak yang baik, tidak mungkin ia adalah keturunan dari sosok nista seperti Voldemort yang telah lama mati.
"James hanya satu dari sekian banyak penyihir yang—mempercayai rumor itu."
"Aku tidak!"
Pernyataan tegas Albus membuat Scorpius tertawa. Lucu sekali wajah serius Albus di matanya.
"Thanks. Kau memang baik, Albus. Aku janji, nanti ketika James pulang, aku tidak akan datang kemari. Setidaknya sampai.. tahun baru nanti." Scorpius menundukkan wajahnya. Rencana untuk merayakan natal bersama Albus pupus sudah. Ia lupa jika James akan kembali natal nanti. Dan paling tidak dia akan pulang beberapa hari sebelum natal tiba.
Diraihnya tangan Scorpius. Menggenggamnya sambil ikut merasakan kekecewaan yang dirasakan Scorpius bersama-sama. "Maafkan aku. Mungkin aku nanti yang akan ke rumahmu. Itu lebih baik jika akulah yang harus menjauhi James. Kita bisa bertukar kado natal." Tuturnya.
"Jangan!" sergah Scorpius. Mereka kembali memperhatikan Harry, Ginny, dan Lily di ayunan. Mereka saling berkejaran masih menggoda Lily. "Kau harus merayakan natal pertamamu dengan mereka. Apalagi ini moment indah saat kau sudah sehat."
Namun, penjelasan Scorpius itu rasanya tidak membuat Albus tergugah. Malah mengundang raut kekecewaan yang mendalam.
Saling berhadapan di ayunan, Scorpius coba menyerahkan sesuatu dari balik sakunya. Satu kotak kecil berwarna aquamarin yang terlihat masih sangat baru menggoda Albus untuk cepat-cepat membukanya.
"Baru aku beli di toko. Aku melihatnya dan tiba-tiba mengingatmu. Jadi aku membelinya untukmu. Sebenarnya ini untuk kado natalmu nanti. Tapi.. aku rasa ini waktu yang tepat. Bukalah!"
Albus membukanya perlahan. Hanya sebuah gantungan kunci berbandul jendela mirip jendela kastil Hogwarts. Jika diperhatikan bandul itu, suasana dibalik jendela dapat terlihat seperti suasana sebenarnya di tempat bandul itu dilihat.
"Hari ini cukup cerah. Jadi di jendela itu juga terlihat taman yang sedang disinari matahari. Nanti kalau sudah malam, jendela ini seolah memperlihatkan suasana halaman di malam hari pula. Jika hujan, dia ikut hujan. Jadi, meskipun kau ada di dalam ruangan tertutup, kau bisa melihat cuaca di luar dari bandul ini. Kata penjualnya begitu, dan aku sudah membuktikannya sendiri. Semalam, bandul jendela ini juga memperlihatkan langit yang gelap." Panjang lebar Albus dengarkan Scorpius memaparkan hadiahnya itu.
Tidak terasa hari semakin sore. Scorpius telah berjanji akan pulang tidak sampai senja. Dan keputusannya ia harus segera pulang. Albus pelan-pelan dibantu untuk kembali duduk di kursi rodanya. Bersama-sama tujuan keduanya adalah menuju lubang perapian, tempat Scorpius keluar masuk berkunjung ke rumah itu. Di sana, mereka mendapati Harry dan Ginny sedang merapikan hiasan pohon natal sementara Lily memasang label-label nama pada setiap kado.
Harry turun dari bangku tempatnya berpijak melihat kedatangan Scorpius. Bola-bola hias berwarna merah keemasan masih ia genggam tidak jadi dipasanga. Perhatian dirinya teralih pada Scorpius dan putranya.
"Thanks for coming, Scorp. Kami senang kau sering berkunjung kemari." Kata Harry.
"Sama-sama, Mr. Potter. Aku ikut senang bisa berbincang dengan Albus di sini."
Ginny menepuk pundak Scorpius senang sambil berkata, "anggap saja rumahmu sendiri, sebab kau sahabatnya Al. Natal nanti datanglah kemari." Ujarnya sambil tersenyum.
"Kami biasanya merayakan natal bersama sambil menikmati pie spesial buatan Mummy." Tambah Lily.
Begitu baik balasan keluarga Potter terhadap Scorpius. Anak berusia sepuluh tahun itu seketika merasa hangat. Perlakuan seperti itu tidak pernah ia dapatkan selain dari keluarganya sendiri, Malfoy. Sementara Potter bukanlah siapa-siapanya. Namun seolah menempatkannya pada posisi keluarga.
"Terima kasih atas undangannya. Tapi—" Scorpius mencari wajah Albus yang kini sedang tersenyum ke arahnya. Ia sedang memohon untuk Scorpius mau menerima undangan itu, "keluargaku berencana untuk menikmati natal di rumah. Mum kemarin bilang kalau ia juga akan memasakkan sesuatu untukku saat natal nanti. Mungkin kalian bisa berkunjung ke Manor." Tawar Scorpius dibalas anggukan pelan dari para Potter.
Dan Scorpius pun menghilang di perapian dengan jalur floo menuju Malfoy Manor.
Entah mengapa, jejak asap kepergian Scorpius mengingatkannya tentang waktu yang akan memisahkan mereka berdua. Akan ada waktu yang cukup panjang untuk tidak bertemu nanti. Tapi apa mau dikata. Lebih baik begitu daripada ketidaknyamanan terasa di keluarganya.
James datang. Ia dijemput di stasiun oleh Harry, Ginny, dan Lily. Sementara Albus, dia tinggal di rumah. menghindari awak media sihir yang masih mengejarnya. Belum lagi ia khawatir akan reaksi James. Mungkin jika ia ikut, pulang dalam satu mobil, di dalam sana bisa jadi neraka untuk Albus. Di rumah ia hanya ditemani Madam Vall, tetangga samping rumah keluarga Potter yang juga seorang penyihir.
Hingga suara deru mobil semakin dekat. Berlanjut pada suara pintu terbuka.
"Hi!"
Seru Madam Vall menyambut kedatangan para Potter itu kembali ke rumah. Harry menurunkan barang-barang James dari mobil untuk dibawa masuk. Sementara Ginny mengiring anak-anaknya masuk dan menemui Madam Vall.
"Terima kasih, Madam, sudah menjaga Al. Kami kembali secepat yang kami bisa, tapi—"
"Aku hafal kapan saja London macet, Mrs. Potter." Balas Madam Vall berusaha tidak masalah dengan keterlambatan kedatangan Ginny dan yang lainnya.
"Aku bisa antarkan ke stasiun, Madam." Tawar Harry begitu kembali.
"Tidak perlu. Aku sudah pesan taksi. Keretaku masih satu jam setengah lagi. Tidak masalah. Dan.. halo, James. Lama tak jumpa, kau semakin tampan saja. Sepetinya air Hogwarts cocok dengan kulitmu, hah?"
James tersenyum sambil memperbaiki jaketnya. "Not bad, hanya terkadang bau karena lubang kakus yang suka mampet. Anda tahu sendiri para hantu di sana suka usil dengan lubang kloset." Sambil tertawa.
"Merlin, kau bisa saja, James. OK, aku pulang dulu mau persiapan." Madam Vall berbalik sejenak menghampiri Albus seraya menempelkan telapak tangannya di dada anak itu. Ia berbisik pelan dan membuat Albus terangguk menanggapinya.
"Thanks, selamat natal, Madam."
"Selamat natal, Al. Sehat-sehat, ya!"
Harry menjabat tangan Madam Vall diikuti Lily dan James. Ginny yang bertugas terakhir untuk mengantar Madam Vall untuk keluar rumah sambil mengulang ucapan terima kasih dan maafnya.
"Aku akan bawakan oleh-oleh dari Norwich. Al bilang ia suka dengan labu. Kebetulan ada toko pie labu terkenal di dekat rumah putraku di sana. Dan.. oh, ya, Albus tadi terlihat sering sesak napas. Apa dia alergi sesuatu?"
Sontak Ginny sempat terkejut dan melihat ke dalam rumah. "Tapi tenang, aku sudah beri oksigen yang ada di kamarnya." Lanjut Madam Vall cepat.
"Ah, sekali lagi terima kasih. Benar. Sejak kondisinya membaik, Albus jadi lebih sensitif dengan segala macam hal. Ini musim dingin pertamanya setelah sembuh. Jadi, tubuhnya sedikit merasa tidak nyaman dengan udara dingin."
Di dalam rumah, Albus benar-benar kembali melihat kakaknya. James terpaku ketika ia ingin mengambil minum di dapur. Albus masih sibuk menyesap segelas teh hangat yang tadi dibuatkan oleh Madam Vall.
"Ah hai—" Albus menyapa James terbata, "teh?"
"Hi. Em," James sedikit berpikir melihat sekelilingnya, " aku hanya ingin air putih."
James segera menuju tempat gelas minum dan mencari air putih di teko besar dekat lemari pendingin. Namun air itu terasa jauh lebih dingin dari pikirannya. James ingin sesuatu yang hangat.
"Air dari kran juga terasa dingin. Kalau kau mau, bisa minum teh ini. Madam Vall membuatkannya untukku tadi."
Dorongan untuk menerima gelas dengan uap hangat mengepul di dalamnya begitu menggoda James. Ia hanya bisa terdiam di tempatnya. Sampai ia akhirnya meletakkan gelas kosongnya kembali dan meraih gelas teh Albus.
James menyesapnya sedikit. Lalu meneguknya. Dua kali tegukkan. Hangat sekali di badan James. Teh camomaile hangat memang enak dinikmati di saat dingin seperti ini. James ingin kembali menyesap teh Albus sampai sang ibu terlihat muncul di dapur. Menghampiri Albus dan memeluknya khawatir.
"Oh, Albus. Kau sudah baik? Madam Vall bilang kalau tadi sesak napasmu kambuh? Bagaimana dadamu sekarang—"
"Tenang, Mum. Aku sudah baik. Madam Vall memberiku oksigen dan teh hangat untuk membuat segalanya.. menjadi lebih baik."
Seketika itu pula, James letakkan teh yang setengah ia nikmati ke atas meja. Menelan ludahnya kuat-kuat lantas berbalik cepat meninggalkan dapur. Albus melihatnya. Melihat James menjauh sambil mengusap bibir dan lidahnya dengan tisu gulungan di dekat pintu dapur. James berusaha membersihkan sisa-sisa sesapan teh yang baru saja ia minum dan membuang tisunya ke tempat sampah.
Hati Albus yang baru saja berbunga karena James mau membalas sapaannya tiba-tiba musnah. James masih sama. Memandangnya sebagai adik sekarat yang menjijikkan. Dalam hati, Albus hanya bisa berkata, "aku hanya sesak napas, James. Tidak akan menularimu."
Ia harus jujur. Perlakuan James membuatnya sakit hati.
Natal membuat semuanya bergembira. Saling melempar ucapan selamat natal terdengar silih berganti pada tetanggan kiri dan kanan. Sejak semalam, semua tekah bergembira untuk sekadar menjamu makanan yang disediakan. Tahun ini, malam natal dirayakan di rumah keluarga George. Keluarga dan sahabat berdatangan untuk berbincang dan makan bersama. Baru keesokan harinya, acara berlanjut sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Di the Burrow.
"Semua langsung tidur, ya. Besok pagi baru kita tukar kado sebelum ke the Burrow!"
Seru Harry sekaligus menjadi perintah kepada anak-anaknya. Sorak gembira dari Lily terdengar mendominasi. Anak perempuan itu begitu gembira. Sambil merentangkan tangannya, Lily berlari masuk ke toilet lantai atas lebih dulu dibanding James.
"Aku duluan!" Serunya pada James.
"Ah.. sial." Pekik James dikalahkan sang adik.
Ginny menarik pundak James dan mengarahkannya ke toilet lantai bawah. "Sikat gigimu masih ada di toilet bawah, bukan? Jadi, pergilah!" bisik Ginny dengan begitu lebut.
Sementara di depan perapian Harry masih berkutat dengan Albus. Putranya lemas terduduk di atas kursi rodanya. Sesekali Harry menyanggakan tangannya di sisi kepala Albus. "Langsung tidur, ya. Tidak usah sikat gigi." Tawar Harry namun Albus mengeleng dengan berat.
"Merlin, mungkin gara-gara Louis memberi pasta tadi ke Al."
Ada beberapa makanan yang sedang di hindari Albus. Salah satunya ia benar-benar dijaga untuk tidak mengkonsumsi bebagai makanan mengandung gluten. Jika terpaksa untuk memakannya, terkadang Ginny akan mencampurkan ramuan khusus dari St. Mungo. Dan beberapa saat yang lalu, pengawasan Ginny maupun Harry dan beberapa orang dewasa yang lain luput untuk menjaga Albus.
Harry mendesah lemas. Ia sadar dan merutuki dirinya sendiri tidak banyak mengawasi Albus. "Kumur-kumur saja dengan ramuan pembersih mulut." Sekali lagi Harry membisiki putranya yang semakin lemas. Kali ini tidak ada respon dari Albus.
Sebab tepat saat Albus akan dibopong, ia pingsan. Ginny mulai panik namun segera Harry menenangkan istrinya untuk segera menyiapkan ramuan untuk diminumkan Albus. Mereka bersamaan menuju lantai atas ke kamar Albus. Menyihir kursi rodanya untuk bergerak naik dengan sendirinya. James, dari balik pintu kamar mandi menyaksikan semuanya.
Perlakuan terbaik yang diberikan orangtuanya untuk Albus. Dengan kondisi seperti itu, maklum saja Albus mendapatkan ekstra penjagaan dan perhatian. Melihat Albus pingsan, entah mengapa sesuatu yang menyesakkan terasa di dadanya.
Albus selesai ditangani. Harry dan Ginny masih terjaga di sisi ranjang Albus. Mereka saling pandang sebelum kembali mengamati Albus yang kini tertidur.
"Terima kasih, sayang," kata Ginny ikut meremas jemari Harry.
Memberi sebuah penguatan, Harry memeluk Ginny sembari menyesap bau khas dari tubuh wanita kuat itu. "Untuk?" tanya Harry.
"Meski aku tahu kau sangat amat khawatir, kau tetap bersikap tenang dan terus menguatkan aku. Menguatkan keluarga ini. Aku tidak tahu bagaimana jadinya kami tanpa kamu, Harry."
"Astaga—"
Harry mengecup bibir Ginny beberapa kali. Mengusap pipinya dan kembali mengecupnya. Badan keduanya mulai menghangat.
"Bahkan," ucap Harry pelan, "kaulah sumber dari segala kekuatan di keluarga ini. Kau adalah sendi-sendinya. Tidak ada yang dapat berjalan dengan baik tanpa kau. Harus berapa kali aku katakan padamu.. kalau aku sangat beruntung mendapatkanmu, love. Akulah pria yang sangat beruntung memiliki pendamping sangat hebat seperti dirimu. Aku sangat mencintaimu, Gin. Sangat mencintaimu!"
"Oh, Harry—"
Mereka kembali saling mengecup. Semakin dalam. Menyalurkan rasa cinta mereka yang sering kali tertunda akibat banyaknya hal yang harus dihadapi. Bertahun-tahun mereka hanya saling berbagi keintiman untuk menjaga Albus. Tanpa mereka sadari, pupuk cinta itu lama tidak tersemaikan. Dan di malam natal ini.. berdua begitu indah.
Setelah mereka semua sarapan, kegiatan pagi di keluarga Potter adalah berkumpul di ruang keluarga. Mengelilingi kado-kado yang telah ditata di bawah pohon. Masing-masing dari James, Albus, dan Lily mendapat kado dari kedua orangtua mereka. Sedangkan Harry dan Ginny mendapatkan hal serupa. Mereka saling bertukar kado dan mendapatkan kado spesial dari anak-anak mereka.
Lily memberikan Ginny jepit rambut berbentuk kupu-kupu dan bolpoin untuk Harry. Sesuatu yang dapat dengan mudah dibelinya di toko sekolahnya. Sementara James memberikan sebuah kotak cukup besar untuk mereka.
"Jangan marah, karena hari ini hari spesial. Boleh kan, kita makan coklat, Mum?"
James rupanya membeli banyak coklat kodok untuk kado natalnya kepada Ibu dan Ayahnya. Ginny sempat mendelik karena peraturannya untuk tidak banyak mengkonsumsi permen nekat dilanggar oleh James.
Namun rupanya semua itu mendapat dukungan besar dari Harry dan juga Lily. "Aku sudah lama ingin makan permen bersama dengan bebas di rumah sendiri." pinta James dengan wajah memohon.
"OK," jawab Ginny singkat, "tapi—jangan terlalu banyak. Bungkus buang di tempatnya dan kalau bisa jangan makan di dekat Al. Kasihan kalau Al melihatmu makan coklat sedangkan dia tidak bisa memakannya. Kau harus jaga perasaan Al, James."
"What?"
James berdiri dari tempatnya duduk. Memekik tidak suka sambil melihat ke arah Albus. "Dia lagi?! Mum, ini rumah keluarga Potter. Bukan punya dia saja. Aku juga punya hak untuk melakukan sesuatu di rumah ini. Kenapa segala sesuatu menjadi harus mengalah untuk dia."
"JAMES, jaga bicaramu, nak!" hardik Harry.
"A—aku tidak apa, Dad. Sungguh!" Albus menahan tangan Harry untuk menahan emosinya. Ia tidak mau ada keributan akibat dirinya lagi.
James menatap sikap Albus yang dirasa berusaha membuatnya semakin menjadi yang bersalah. "Luar biasa. Kau memang hebat, Al. Selamat dari mantera Cruciatus yang bisa aja membunuhmu hingga semua orang menjadi peduli kepadamu." Pekik James tidak tahan. James muak.
Ginny ikut berdiri siap mengentikan James lebih murka. "Kembali ke tempatmu atau—"
"Atau apa, Mum? Masih mau membela dia dan tidak mempedulikan putramu yang lain? yang baru saja tenang kembali ke rumahnya sendiri!"
"Dia itu adikmu, James!" Tambah Ginny.
"Dan aku juga putramu, Mum!" Pekik James membuat mereka semua terdiam. Kali ini Harry yang berusaha menarik badan James untuk tidak lebih bertindak kepada Albus. Lily langsung mengambil posisi di dekat Albus menjaga kakaknya untuk tidak merasa disakiti untuk kesekian kalinya akibat ulah James.
"Kau ingin mendapat hukuman rupanya." Harry dengan cepat menarik pergelangan tangan James. Menyeretnya menuju ke depan perapian berniat untuk menjauhkan dari pandangan Albus. "Dad akan antar kau ke The Burrow mulai sekarang. Tenangkan pikiranmu. Kau baru boleh pulang malam nanti setelah acara bersama kami." Paksa Harry tanpa memberi kesempatan James untuk mandi, makan, atau sekadar mengganti piamanya.
"Aku sudah besar, Dad. Aku bisa pergi sendiri dengan kedua kakiku," nada bicara James penuh penekanan. Sejenak ia menatap ke arah Albus. Melihat Adiknya tertunduk lemas sambil dipeluk oleh Lily.
"Kau selalu menjadi penyebab semuanya, Albus. Kau membuatku hidupku berantakan, Albus Potter!"
Dan James pun menghilang ditelan asap Floo. Meninggalkan semuanya di sana. Meninggalkan Albus yang mulai mengucapkan kata maaf berulang kali.
Surat dari Ginny menerangkan semuanya kepada Molly dan Arthur. Dengan segala yang bisa mereka lakukan. James diminta Molly untuk mandi, memakan beberapa kue, hingga memberinya pakaian ganti. Atas perintah Harry, Ginny mengirimkan pakaian James untuk jadi pakaian gantinya selama di the Burrow.
"I'm sorry, aku tidak bermaksud untuk mengganggumu sebelum pesta nanti, Grandma." James menggenggam gelas susu hangatnya. Menunduk, memikirkan semua ulahnya yang memang sudah keterlaluan.
The Burrow masih sepi. Karena memang rencana pesta libur natal keluarga besar baru dimulai sore nanti. Jelas saja hanya ada dua renta itu di the Burrow. Salah satu bangku kosong menjadi tempat Arthur duduk. Tepat di sebrang James.
"Kau sudah besar, James. Kau sudah masuk Hogwarts dan itu artinya.. kau juga harus mulai bersikap lebih dewasa. Terutama untuk kondisi Albus."
Perkataan Arthur membuat James balas menatap. Matanya sudah berkaca-kaca menahan luapan emosi yang sebentar lagi akan pecah. "Dia sakit, Grandpa." Katanya dengan linangan air mata.
"Itu kau tahu." balas Arthur. Ia jujur bingung harus berkata apa pada cucu lelakinya itu.
"Aku seperti tidak melihat—Albus yang dulu. Yang bisa aku jahili, aku ajak bermain. Dia—aku merasa semua ini tidak adil. Kenapa harus Albus?"
Molly meletakkan spatulanya. Menghentikan adonan kuenya untuk diaduk. Telinganya lebih tertarik untuk mendengar percakapan kakek dan cucunya di ruang makan.
"Hidup ini terkadang memang tidak adil, nak." Arthur menjawab.
"Semua perhatian itu. Mum, Dad, Lily, kalian semua. Yeah, aku tahu aku tidak boleh bersikap iri seperti ini. Hanya saja, aku tidak ingin seperti ini. Semuanya."
James mengusap kasar air mata yang menggenang hebat. jika tadi ia melihat Albus begitu lemah, kali ini ia melihat dirinya sendiri jauh lebih lemah. "Aku tidak mau Albus sakit, Grandpa."
"Kita semua juga tidak mau Albus sakit."
"Aku tidak tahu harus bagaimana. Yang ada aku selalu merasa membencinya dengan kelemahannya itu. Aku benci," James memekik.
Hingga tanpa disdari perapian berdesing. Muncul Harry bersama Albus yang berada di atas kursi rodanya.
"AKU BENCI ALBUS!"
"James?" panggil Harry sontak membuat James terkejut.
Ada ayah dan adiknya datang. Dengan tangan meremas sebuah kertas berpita, Albus menolak Harry mendorongnya mendekati James. "Aku ingin ke rumah Scorpius. Aku mohon." Bisik Albus pelan. Ia menolak panggilan James yang memanggil namanya.
"Sekarang!" pinta Albus sekali lagi. menjatuhkan benda yang ia bawa di depan perapian sebelum menghilang kembali. Harry mengucapkan kata maaf kepada mertuanya untuk memaklumi semuanya.
Arthur mencegak James mengejar Albus. Semua telah menjadi salah paham sekarang. James hanya anak-anak yang bingung mengungkapkan perasaannya sendiri. Sebuah benda berpita menjadi objek yang menarik di mata Arthur. Ia tunjukkan pada James untuk ia ambil. Ia berkata jika benda itu sempat dibawa Albus.
Sebuah kerta yang terlipat. Ada hiasan pita merah dengan tulisan, 'untuk James" di bawahnya.
"James—" Arthur dan Molly mendekat. Berusaha ingin meraih pundak James.
"Dia ingin meminta maaf. Dia yang selama ini selalu ingin meminta maaf di saat aku terus membuatnya sakit." James meletakkan kertas berisi tulisan tangan Albus 'sorry' dengan bentuk tidak rapi.
James hanya bisa memeluk kakek dan neneknya. Berharap ketika nanti Albus ada di hadapannya, semua akan baik-baik saja.
TBC
#
James nggak bermaksud apa-apa.. dia hanya kesel dengan keadaan Albus yang imbasnya jadi apes ke dirinya dan keluarganya. Aduhh... akhirnya salah sangka juga kalau James ngaku sama perasaannya.
Gimana nih, ada apa dengan chapter selanjutnya? Tulis review kalian, ya! Anne kangen banget! Bakal Anne baca dan jawab di chapter selanjutnya... Pardon my typo! Ditunggu,ya, sampai jumpa! :)
Thanks,
Anne x
