Hai, semua!

Masih ada yang menunggu kisah ini?

Thanks banget, ya, yang sudah tulis review. Anne seneng banget masih ada yang setia sama cerita-cerita Anne..

Lanjut, yuk!

Happy reading!


Sekeliling mereka terasa begitu dingin. Tembok yang menjulang, tanaman hijau yang dipangkas kaku, dan batu-batuan sepanjang tapak menuju ke arah pintu. Harry rasa rumah di hadapannya ini tidak seseram pendahulunya. Di mana ketika penyekapan itu tahun lalu.

"Are you—"

"Ya." Albus yakin.

Harry tak enak. Mereka datang ke rumah keluarga Malfoy tanpa memberitahu terlebih dahulu. Kejadian di the Burrow yang membuat Albus kecewa memaksa mereka berakhir di sini. Gemetar tangan Albus ia sembunyikan di sela jaket hangatnya. Natal pertama yang bisa ia nikmati di kala sehat tidak berjalan seindah yang dibayangkan. Dan mungkin, jika ia ada di rumah Scorpius hatinya akan lebih tenang.

"Baiklah, semoga mereka ada di rumah. Kau tidak boleh terlalu lama di luar, Al." Kata Harry sambil melilitkan syal hangat di sekeliling leher Albus. Rasanya lebih basah karena tempelan keping-keping salju yang turun.

Tiga kali Harry mengetuk pintu itu. Sedikit ragu jika Draco mau menerima putranya untuk berkunjung. Malfoy masih terlalu asing untuk bisa bersanding akrab dengan Potter.

Cukup lama mereka menunggu sampai akhirnya pintu perlahan terbuka. Draco muncul dengan baju hangat berwarna gelap. Tampak setelan rapi sebagaimana ia kenakan ketika berada di luar rumah. Pria itu menjelma menjadi lebih bersahabat meski raut wajahnya tidak sebaik itu.

"Kalian—mau apa kalian kemari?" tanya Draco lebih lama menatap Harry tajam.

"Maaf. Kami ingin—"

"Aku ingin bertemu dengan Scorpius, Sir. Aku ingin merayakan natal bersama." Terbata Albus berujar. Menunjukkan sebuah kotak kecil yang ia keluarkan dari saku jaketnya.

Draco hanya melihatnya tajam. Memicingkan matanya sejenak pada benda yang dibawa Albus lantas beralih melihat kondisi di balik punggungnya.

"Tidak bisa. Kami tidak merayakan natal."

"Malf—Draco, kami datang baik-baik." Harry mulai menunjukkan sikap terbaiknya. "Albus hanya ingin bertemu dengan sahabatnya."

"Tapi memang tidak bisa, Potter. Kami—"

Seorang wanita berambut kecoklatan keluar. Dengan kantung mata cukup gelap dan bibir mengering, ia tersenyum melihat Albus dan Harry berada di depan rumahnya.

"Hai, ayo masuk. Di luar dingin sekali. Scorpius akan senang jika tahu ada temannya yang datang," Astoria Malfoy, sang nyonya rumah berusaha menyingkirkan Draco dari pintu untuk memberi jalan agar kursi roda Albus dapat masuk.

Harry ikut mengangkat kursi roda putranya menaiki anak tangga kecil untuk masuk bersama. Namun segera Draco menahan Astoria agar tidak ikut mengangkat. Gantinya, Dracolah yang membantu Albus.

"Aku bilang kau di kamar saja. Tunggu aku kembali. Di luar dingin." Terdengar berbisik Draco pada sang istri.

Astoria hanya mengangkat kedua pundaknya. Tidak bisa dipungkiri jika apa yang dikatakan suaminya benar. Memang di luar dingin. Dirinya merasakan itu. Sebagai tuan rumah, Astoria ikut merasa tidak baik dengan tamunya. Membiarkan Harry dan Albus berlama-lama di luar sampai kedinginan. Itu jahat sekali.

Pintu semakin dibuka lebar agar Harry bisa membawa Albus masuk. Dengan senang hati Astoria lantas memutar badan suaminya untuk masuk dan memanggilkan putra mereka.

"Aku pikir aku tidak bisa berlama-lama. Nanti Albus akan aku jemput—"

Suara teriakan Scorpius terdengar begitu bahagia menyambut sahabatnya datang.

"Tidak masalah, Mr. Potter. Albus bisa diantarkan pulang oleh Draco. Biarkan mereka bermain. Sudah lama sekali Scorpius tidak sebahagia ini."

Harry melihat sendiri. Jika tidak hanya Scorpius, putranya pun begitu bahagia bersama sahabatnya. Satu-satunya sahabat yang dimiliki Albus. Dari atas kursi rodanya Albus menggangguk. Memberi isyarat jika ia akan baik-baik saja. Ya, Harry berharap jika memang itu benar.


Sepanjang koridor kediaman Malfoy, yang dapat Albus rasakan hanya sunyi. Rumah itu besar. Jauh lebih besar dari rumahnya. Benda-benda antik yang tertata rapi hingga banyak buku dan koran-koran sihir tergeletak di sudut manapun. Scorpius pernah bercerita jika membaca adalah kegemarannya. Buku adalah hiburannya.

"Kau suka buku apa, Albus?" suara Astoria mengejutkan Albus. Buku tentang politik dan tata pemerintahan sihir yang ditemukannya hampir saja terjatuh.

Ia menunjuk ke arah dapur di mana Scorpius sedang menyiapkan makanan untuknya.

"A-aku tidak bisa membaca."

Keduanya sempat terdiam. Albus menunduk malu. Ia sudah sangat cukup umur untuk bisa membaca. Tapi dengan sebab yang jelas ia alami itu membuatnya mungkin jika susunan huruf apapun tak bermakna bagi Albus.

Astoria menerima buku yang ditemukan Albus. Ia tersenyum mengingat mengapa buku itu ada di rumah itu. "Aku pernah ingin bekerja di Kementerian Sihir. Sejak dari Hogwarts dulu cita-citaku tidak pernah jauh-jauh lepas dari niatan masuk Kementerian." Ungkapnya.

"Mulai dari pegawai kafetaria di Kementerian, bagian penjagaan, pegawai di level 3, pemimpin departemen, sampai Menteri Sihir."

Albus tersenyum bangga dengan cita-cita ibu Scorpius. Berbanding terbalik dengan dirinya yang seolah tak berguna untuk sekadar hidup. Memikirkan apakah besok ia masih bisa bernapas sudah lebih dari cukup. Apalagi memikirkan masalah cita-cita.

Hanya mereka berdua di sudut perapian rumah keluarga Malfoy. Astoria menepi ke sisi jendela. Menikmati taman belakang rumahnya dari berbagai sisi. Satu petak bidang tanah dengan gundukan meninggi. Tertancap pula kayu di atasnya. Bakal bunga baru akan segera tumbuh.

"Tapi jalan hidup manusia tidak ada yang tahu. Bagaimana ia akan berakhir."

Albus menatap Astoria dengan takzim. Tutur katanya begitu santun. Berada di dekatnya membuat Albus merasa nyaman bagai ditemani Ginny, ibu kandungnya sendiri.

"Lantas, mengapa Anda tidak melanjutkan cita-cita itu? Mempelajarinya saja apakah sudah cukup?" kata Albus kembali melihat buku berisi hal-hal politik dunia sihir itu.

"Tentu saja tidak. Tidak selamanya harapan bisa terwujud tanpa tindakan."

"Usaha Anda sekarang bagaimana?"

Astoria mendudukan diri di sebuah otoman di dekat perapian. Menghadap Albus dengan sorot mata yang tidak bisa ditebak. "Usahaku adalah menjadi lebih sehat dan bahagia bersama keluargaku." Tutur Astoria.

"Karena Anda sakit?" Sejenak kemudian Albus sadar jika ucapannya mulai lancang. "Maaf, tapi aku ingat pernah melihat Anda di St. Mungo. Scorpius juga pernah berkata jika Anda beberapa kali dirawat. Sama sepertiku."

Percikan bara api di perapian sedikit demi sedikit menyala. Tongkat sihir yang digunakan Astoria bekerja dengan baik menyalakan tungku perapian. Udara hangat segera menyebar ke sekeliling mereka. Seketika Albus merasakan kenyamanan itu.

"Kau merasa hangat, Albus?"

Albus mengangguk. Tubuhnya tidak semenggigil tadi.

"Inilah kenyamanan. Sesuatu—yang sangat kita butuhkan. Untuk kita. Bukan sesuatu yang kita inginkan." Astoria membiarkan Albus mencerna kata-katanya. Sampai akhirnya ia tunjukkan sebuah kotak berisi berbagai macam botol ramuan.

Wajah Astoria tidak lagi sepenuhnya tentang kebahagiaan. Albus merasakan aura kepiluan di diri ibu sahabatnya itu. Apalagi dengan kepemilikan berbagai macam ramuan. Bahkan satu-dua diantaranya juga Albus miliki. Bahkan ia konsumsi setiap hari.

"Ini bukan lagi tentang Kementerian atau cita-cita, Albus. Aku hanya ingin membuat hidupku lebih berharga dengan apa yang aku butuhkan sekarang. Bukan ambisi. Hanya sebuah kenyamanan.. untuk Draco dan Scorpius."

Dua orang sekarat dengan perbincangan tentang kehidupan. Albus tidak tahu jika ia akan bertemu dengan seseorang yang memiliki nasib sama dengan dirinya.

"Apakah rasanya sakit.. saat kita mati, Mrs. Malfoy?"

Albus menunduk. Memikirkan apakah pertanyaannya tepat.

"Aku tak tahu, Albus. Beberapa hari ini aku juga sedang memikirkannya."

"Lalu," mata Albus membulat. "Jawaban apa yang Anda dapatkan?"

"Tidak ada."

"Tidak ada?"

"Karena—"Astoria bangkit dari duduknya. Menghampiri Albus, "karena tidak gunanya kita membayangkan tentang rasa sakitnya sebuah kematian. Tapi kita harus memikirkan mereka yang akan kita tinggalkan."

Entah dengan mantera apa Astoria sampai bisa menyentuh hati Albus begitu dahsyat. Air matanya memaksa menyeruak tak tahu diri. Jemari lembut wanita di hadapannya bergerak perlahan mengusap air mata itu jauh-jauh. Memeluknya dengan penuh cinta.

"Aku sedang berusaha untuk bahagia. Membuat suami dan anakku bahagia juga bersamaku. Sesulit apapun mereka akan menerima kenyataan pahit tentang diri kita. Tugas kita hanya satu, membuka hati dan menjadi kuat bagi siapapun itu. Siapapun. Agar tak ada penyesalan nantinya."

Albus salah. Sikapnya selama ini masih begitu lemah. Berpangku tangan dan mengandalkan siapapun untuk terus menopangnya. Ia harus bangkit. Ia harus sehat. Karena keluarganya hanya menginginkan itu.

"Semua orang akan mati. Hanya saja kita sedikit lebih dekat dibandingkan dengan yang lain." Ia peluk Albus dengan hangat. "Kedengarannya mengerikan, tapi.. it's OK." Tutup Astoria.


Sepanjang acara makan malam natal, James hanya bisa terduduk diam. Tak banyak yang ia makan. Tersenyum pun sekadarnya. Bahkan setelah acara usai, ia memilih duduk di kursi ayun halaman belakang the Burrow.

"Dia hanya tidak bisa mengontrol emosinya. Mencampur adukkan antara rasa sedih dan putus asa. James hanya anak-anak. Saat hatinya sedih, yang bisa ia lakukan hanya marah. Meluapkan dengan cara yang salah."

Arthur mengungkapkan semuanya di hadapan Harry dan Ginny. Tentang James setelah kepergian Albus di tengah luapan emosi James yang menciptakan sebuah kesalahpahaman.

"Tapi sikap James sudah keterlaluan, Dad." Protes Ginny.

"Iya, karena dia masih labil. Dia berusaha memendam semuanya sendirian tanpa tahu sebatas apa ia mampu bertahan, Ginny. Dan ini tugas kalian.. sebagai orangtuanya."

Harry mengusap kepala putrinya yang kini tertidur nyaman berbantal pahanya. Sambil sesekali memperhatikan James di balik jendela. Beberapa kali Harry melihat James mengusap matanya.

"James terlalu kaku sementara Al ada dalam tingkat sensitif yang begitu tinggi." Ungkap Harry.

"Kalian orangtua mereka. Didiklah dengan cara tepat. Ajak mereka untuk mau terbuka dengan masalah yang mereka pendam masing-masing." Tambah Molly.

Wanita tua itu yang menjelaskan semua permasalahan James ketika sempat diluapkan kepadanya dan Arthur. Molly hanya ingin anak dan menantunya tahu jika sikap James berubah semakin tidak terkendali kepada adiknya sendiri karena masalah yang dipendamnya.

Molly menggenggam tangan Ginny berusaha menguatkan. Tatapannya lurus sembari berkata, "jangan pernah lengah untuk terus memberi kasih sayang kalian kepada mereka. James, Albus dan Lily memiliki orangtua yang hebat. Itulah kalian."

Hari semakin malam. Sudah saatnya mereka pulang. Harry pun teringat jika harus menjemput Albus di rumah kediaman Malfoy. Namun, karena Lily sudah tertidur, mereka memutuskan untuk pulang terlebih dahulu.

Di rumah keluarga Potter, rupanya telah ada Teddy. Ia menyambut kedatangan keluarga Ayah baptisnya dengan senyuman hangat.

"Selamat natal, semua! Maaf aku tak bisa bergabung di the Burrow. Nana Andy begitu bahagia di rumah masa kecilnya. Maaf juga kalau aku langsung masuk. Saat tadi aku sampai, di depan aku bertemu dengan—"

"Selamat natal, Teddy." Potong James.

Anak laki-laki itu menyeruak ke sisi Teddy lantas memilih berjalan menuju tangga utama. Ia menyapa Teddy sekenanya dan berlalu menuju kamar pribadinya di lantai dua.

Teddy memeluk Ginny lebih awal lantas berganti memeluk sekenanya dengan Harry yang menggendong Lily. Tangannya sempat jahil memainkan anak rambut Lily.

"Tak masalah, kami mengerti. Andy di mana? Sudah istirahat, Ted?" tanya Ginny.

Teddy mengangguk. "Saat sampai Nana mengeluh kelelahan. Kami sempat berniat pulang saja karena kalian belum pulang. Tapi lalu kebetulan aku bertemu Al dan.. Mr. Malfoy di depan rumah. Ya aku sempat bingung kenapa mereka bisa bersama tapi akhirnya aku membantu Al masuk. Melihat keadaan Nana Andy juga tidak memunginkan kami pulang alhasil kami—"

"Jadi—"potong Ginny membuat Teddy tersentak, "Al sudah kembali?"

"Ya, dia minta dibantu ke atas. Tapi.. dia ingin ke kamar James."

"Kamar James?" tanya Ginny dan Harry bersamaan.

Selanjutnya Teddy ditinggalkan seorang diri setelah Harry meminta Ginny mengecek kamar James sementara ia sendiri akan mengantarkan Lily ke kamarnya terlebih dulu.

Ya, Albus ada di dalam kamar James. Bersusah payah membenarkan ranjang, beberapa barang, dan mainan James yang berhamburan kacau di sana. Sebuah lembar foto lama tertangkap mata Albus dari sekian banyak foto yang tempel di salah satu sudut kamar James. Fotonya dan sang kakak ketika masih balita. Tidur bersamaan di sebuah tempat tidur bayi.

"Astaga—"

Pintu terbuka. James berdiri terpaku melihat kamarnya rapi. Ia ingat bagaimana kacaunya kamar itu sebelum ia tinggalkan ke the Burrow. Belum lagi, ada Albus yang membuatnya benar-benar terkejut.

"Aku—aku hanya ingin—membereskan saja. Aku tak mengambil barang-barangmu. Aku—hanya.. ingin menemuimu. Mengucapkan selamat natal. Itu saja."

James masih tetap diam. langkahnya pelan masuk ke dalam kamarnya. Bersih. Pasti Albus bersusah payah membersihkan semuanya dengan duduk di atas kursi rodanya. James tidak bisa lepas menatap Albus. Sementara adiknya hanya bisa menunduk. Bibirnya bergetar. Melihatnya James merasa iba. Sebegitu takutkah Albus dengan dirinya.

"Sorry—aku minta maaf." Suara Albus bergetar hebat. "What things completely ruined your life? Adalah aku."

James tidak berkutik. Ia membiarkan Albus untuk mau mengungkapkan semua perasaannya. Dihadapannya.

"A-aku hanya tidak ingin menjadi beban. Aku berusaha. Tapi aku tahu, jika itu mustahil. Aku terus jadi beban kalian. Beban untukmu, James. Maka dari itu, aku hanya ingin meminta maaf. Sebelum semuanya terlambat, aku hanya ingin minta maaf. Sebentar lagi, tidak akan lama.. aku tidak akan menjadi benalu untukmu dan keluarga ini. Dan saat itu tiba aku pastikan tidak akan menganggumu lagi."

"Kau bicara apa, hah?"

Albus benar-benar ingin mati sekarang.

James memutar kursi roda Albus agar berhadapan dengannya secara langsung. Di luar, Ginny menahan dirinya untuk tidak ikut campur. Setelah mendengar Harry datang, mereka memilih membiarkan keduanya saling bicara.

"Kau jahat!" ungkap James.

"Sorry—"

"Kau jahat. Kau mengatakan sesuatu yang harusnya tidak layak kau ucapkan."

Albus terhenyak. "Kenapa? Benar, kan? Karena harusnya kata-kata itu aku yang ucapkan untukmu. Kau membalik semuanya seolah kau yang salah. Padahal sebenarnya aku. Aku, Al. Aku egois. Aku—aku yang harusnya minta maaf. Aku yang harusnya minta maaf telah menjadi pengganggu dalam hidupmu. Aku membuatmu terpuruk dengan hal tidak penting yang aku perbuat. Harusnya aku yang menjaga kamu. Aku kakakmu. Tugasku adalah membuatmu nyaman bukan membuat hidupmu ketakutan."

Keduanya tidak bisa menahan diri lagi. James membawa tubuh kurus Albus dalam pelukannya. Menangis sekuat yang ia bisa. Memohon ampun hingga tubuhnya turun kelantai. Kamar itu penuh dengan emosi. Bahkan dua sosok yang sedang mengawasi mereka pun turut merasakan betapa pedihnya hati kedua anak laki-laki itu.

"Mereka baik-baik saja, Ginny. Mereka baik-baik saja." bisik Harry memeluk istrinya begitu kuat.

Kini tinggal Albus yang masih enggan untuk keluar dari kamar James. Samar-samar ia teringat dulu sering menhabiskan waktu bermain di kamar itu.

"Kamar ini nyaman." ungkap Albus tiba-tiba. Membuat topik pembicaraan baru dengan sedikit kaku.

"Ya, apalagi setelah kau bersihkan. Terima kasih." Ujar James.

"Anggap saja itu kado natalku. Lebih baik bukan dari sekadar kartu ucapan?"

James tersenyum. Albus bisa berkelakar dengan caranya. "Ya, dan sebagai balasannya.. kau bisa tidur di sini. Seperti di foto itu."

Albus berbinar menerima tawaran itu. Pelan-pelan James mengangkat tubuh Albus untuk berbaring di sisi ranjangnya. Selimutnya ia sibak agar Albus bisa lebih nyaman ketika berbaring.

"Kalau jadi, besok kita akan jalan-jalan ke Shell Cottage. Uncle Bill mengundang seluruh keluarga Weasley untuk pesta di sana. Awalnya aku tak mau ikut tapi—"

"Tapi?" tanya Albus sambil menggenggam erat pinggiran selimur James.

"Kalau kau ikut, aku juga akan ikut."

James mencabut kacamata Albus dan meletakkannya di meja sisinya. Kemudian mencari kenyamanannya sendiri berbaring di sisi Albus.

"Aku suka Shell Cottage."

TBC


#

Berasa pengen meluk James sama Albus, deh. Ahh... Btw, di chapter mendatang, bakal ada kejadian yang tidak terduga. Semoga masih ada yang bersedia menanti. Secepatnya.

Thanks, like always!

Anne x