Hi, everyone!

Anne balik lagi, nih! Buat melanjutkan Ephemeral yang lama nggak selai-selai. Nah, ini dia Anne anjutkan. Dan di chapter ini sepertinya spesial aja karena Anne harus ngatur emosi nulisnya. Langsung aja, ya, biar gak penasaran!

Happy reading


Empat cangkir dengan bau ramuan menyengat sore ini kembali Scorpius bersihkan. Dua kali lebih banyak dari tadi pagi. Ia hafal seberapa besar dosis ramuan itu untuk seseorang. Tapi bagi ibunya semua itu tidak ada apa-apanya. Sejauh ini dirinya hanya sekadar mematuhi perintah ayahnya. Beberapa kali Scorpius tidak diperbolehkan masuk ke kamar utama. Jika sudah saatnya sang ibu meminum ramuan, ia akan bergegas menuju dapur meracik beberapa bahan dan menuang berbagai cairan sesuai takaran. Jika sudah selesai, semua ramuan itu hanya perlu ia letakkan di atas sebuah meja kecil. Persis berada di sisi pintu kamar kedua orangtuanya.

Berulang dan terus beruang. Selesai dengan pekerjaannya, Scorpius sejenak mengistirahatkan dirinya di sebuah kursi di ruang keluarga. Sorot matanya masih belum lepas ke arah pintu kayu itu. Dua orang di dalam belum juga keluar. Hanya sempat ayahnya tadi keluar menyerahkan cangkir kotor. Mengucapkan terima kasih padanya lantas kembali masuk.

Scorpius tahu kondisi ibunya semakin tidak baik. Semua seolah berubah. Ayahnya cenderung tertutup dan murung sepanjang hari. Ia tidak lagi bekerja. Mondar mandir di rumah dan lebih lama menghabiskan hari di kamar. Mungkin jika dapur ikut ada di dalam kamar utama, ayahnya mungkin sama sekali tidak akan keluar. Scorpius hanya akan sendiri di rumah itu tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada mereka.

Berkat semua kejadian itulah Scorpius sesekali menuangkan keluh kesahnya pada secarik kertas. Menujukannya kepada Albus tapi selalu urung ia lakukan. Cukup ia simpan. Scorpius mungkin saja bisa mengirimnya, tapi dalam hati kecilnya ia ingin memberi kesempatan Albus memperbaiki hubungannya dengan sang kakak lebih dulu. Saat dirasa cukup untuk mengirimkan semua suratnya, Scorpius selalu saja tidak bisa. Separuh kehidupannya berakhir untuk mengurus keperluan sang ibu hingga melupakan seorang Albus.

"Bagaimana kabarmu, Albus? Semoga suatu saat kita akan bertemu lagi." Ungkapya setelah melipat surat ke delapannya untuk Albus.

"I'm sorry, Scorpius."

Ia terperanjat. Di ambang pintu kamarnya tengah berdiri Draco. Matanya sayu dengan lingkar hitam pekat menandakan ia berada di titik terlelahnya.

"Kenapa kau di sini, Dad? Mum—"

"Mum sedang tidur setelah meminum ramuanmu. Kau hebat, nak. Dad yakin kau akan jadi ahli ramuan saat di Hogwarts nanti."

Scorpius tertunduk malu atas pujian ayahnya. "Aku hanya meraciknya, Dad. Sampai membuatku hafal."

Draco melirik senang pada salah satu surat berlogo sekolah sihir terkemuka di atasnya. Tergeletak di meja Scorpius. Rasa bersalahnya kembali muncul. Saat ini telah masuk bulan Agustus. Putranya sama sekali belum memiliki semua barang-barang yang akan ia gunakan saat sekolah nanti.

"Nanti kalau Mum sudah mulai membaik, kita akan pergi membeli tongkat, kuali, buku-buku, jubah, sarung tanganmu, dan semuanya ke Diagon Alley."

Scorpius hanya bisa tersenyum. Ia menunjukkan beberapa tumpuk buku lama di atas kasurnya. Ada buku karya Bathilda Bagshot, Miranda Goshawk, Adalbert Waffling, Newt Scamander, dan beberapa buku lama yang wajib dimiliki siswa tahun pertama.

Draco tahu itu miliknya.

"Aku sudah dapat. Jubah juga sudah ada, sarung tangan? Aku rasa masih ada di lemari pakaian lamamu, Dad. Kuali, bukankah di ruang ramuan kita sudah ada banyak ukuran. Teleskop, burung hantu, tidak jadi masalah. Dan tongkat, ya, tahun lalu Mum janji akan memberikan tongkat lamanya untukku. Aku rasa tongkat itu akan cocok denganku, Dad—"

Maksud Scorpius hanya tidak mau merepotkan ayahnya. Itu saja.

"So, jangan dipermasalahkan, Dad." Tukasnya sembari tersenyum.

"Jangan—" Draco tak kuasa untuk tidak memeluk putranya. "Kau berhak mendapatkan yang lebih baik dari ini, Scorpius. Maafkan Dad." Begitu pelan suaranya mencoba menahan isakan yang semakin kuat ingin meledak.

Scorpius hanya ingin mengatakan jika ia tidak masalah dengan semua itu. Masih ada yang lebih penting untuk mereka pikirkan. Tahun pertamanya tidak akan ada artinya jika ibunya masih saja seperti itu. Belum lagi apakah nanti ia akan bersama Albus untuk masa-masa bersekolahnya di Hogwarts. Semuanya tidak akan pernah sama dengan angan-angannya.

"Sudah, sekarang kau segera ke ruang makan. Kita akan makan malam bersama. Urusan semua perlengkapan sekolahmu, kita beli besok."

Begitu yang Draco katakan sebelum bersiap meminta peri rumah mereka untuk menyiapkan makanan. Namun tiba-tiba Scorpius memanggil, "besok?" ulangnya.

"Ya," Draco menepuk tangannya sebagai wujud rasa bahagianya, "kita besok ke Diagon Alley. Kita beli semua perlengkapanmu. Semuanya. Baru." Sejenak ia menatap lekat wajah putranya.

"Mummy yang memintanya. Jadi kau harus mau."

Mendengar penuturan ayahnya Scorpius hanya bisa tertawa bahagia. Mengucapkan terima kasih dengan setetes air mata haru. Ia tahu, ia tidak pernah kesepian.


Baru tiga puluh menit Scorpius terlelap, mimpi tentang dirinya dan Albus berlarian di lorong-lorong Hogwarts dengan pilar yang tinggi seketika harus berakhir. Suara ayahnya memaksanya untuk kembali ke dunia nyata.

"Please, Scorpius. Bangun. Kita ke St. Mungo sekarang. Tidak ada waktu lagi."

Hanya itu yang bisa ia tangkap dari perintah ayahnya. Ia bergegas keluar setelah meraih mantel hangat yang tergantung di dinding. Berusaha mencari tahu tentang keributan di lantai bawah. Tepatnya di depan kamar utama tempat ayah dan ibunya beristirahat.

"Mum—"

Astoria terkapar lemas. Mengatur napasnya berulang kali sementara para peri rumah membantu membersihkan darah yang mengalir dari hidungnya.

Tidak ada lagi bayangan tentang Hogwarts atau tongkat dan buku baru. Ia hanya ingin segera sampai ke St. Mungo dan memastikan ibunya baik-baik saja.

"Hey," panggil Astoria ketika mereka siap ke perapian. "Besok beli jubah yang sedikit lebih besar, ya. Supaya bisa kamu pakai cukup lama. Badanmu cepat besar, sayang."

"Aku akan jaga Mum. Masalah itu jangan dipikirkan." Tutur Scorpius terus menenangkan sang ibu.

"Jangan begitu. Tidak setiap hari kau berangkat ke Hogwarts. Apalagi untuk yang pertama kali. Dan ya, sebuah awal yang menentukan. Mum sudah siapkan banyak permen untuk kau bawa nanti. Ingat, permen selalu membantumu berkenalan!" Astoria sedikit bernyanyi. Scorpius sampai tak tahu apakah ia pantas untuk tersenyum di saat seperti ini.

Tangannya telah penuh dengan sapu tangan berlumuran darah. Ia tahu malam ini bisa jadi malam paling menakutkan dalam hidupnya.

Tidak perlu waktu lama untuk sampai di St. Mungo. Sayangnya, akses untuk masuk terhalang oleh beberapa kerumunan penyihir yang sibuk dengan buku catatannya dan juga kamera. Kilatan cahaya terang ketika lensa-lensa mereka membidik begitu mengganggu kenyamanan para pasien di sana. Draco mengeluh betapa menyebalkan para penyihir itu.

"Sudah aku bilang kan, sayang. St. Mungo pasti ramai dengan pasien. Aku sudah cukup di rawat di rumah." Astoria memaksa Draco untuk tenang. Bahkan sesekali memintanya kembali pulang dan tidak jadi melakukan perawatan di sana.

"Aku rasa mereka bukan pasien, Astoria." Draco meminta bantuan para petugas medis untuk membantu membawa istrinya masuk.

Scorpius membenarkan ketika tidak sengaja ia melihat seorang Rita Skeeter ikut berdiri bersama para penyihir berkamera itu. Mereka jurnalis.

"Astaga beri jalan sebentar!" perintah seorang healer yang membantu mendorong ranjang brankar Astoria. Draco mengikuti segera meski harus sesekali tertubruk badan para jurnalis itu.

"Bukankah sudah dari sore tadi putranya di bawa kemari, bukan? Kenapa tidak ada keluarga yang keluar, ya?"

"Apa putranya sudah meninggal? Menurut salah satu Auror tadi, penyerangan penyihir misterius itu cukup brutal. Sampai dicekik."

Satu persatu perbincangan para jurnalis itu terdengar oleh Scorpius dan juga Draco. Mereka membicarakan tentang sebuah penyerangan penyihir misterius. Seorang anak yang mendapat lontaran mantera terlarang hingga tak sadarkan diri.

Scorpius hanya menerka-nerka siapa anak yang dimaksud. Hingga suara Rita Skeeter mengalihkan perhatiannya.

"Hey, ini sudah jadi kebiasaan keluarga Potter untuk lama memberi informasi. Kita sendiri yang harus sigap mencari informasi, tuan dan nyonya. Kalau bisa kita menyelinap saja ke pintu belakang."

Keriuhan sontak terjadi hingga beberapa petugas keamanan St. Mungo bergegas menghalau para jurnalis itu semakin mendekat. Beruntung Draco telah berhasil membawa Astoria masuk dan keluar dari kerumunan.

"Astaga, suka sekali Potter mencari keributan." Gerutu Draco.

Potter. Ya, Scorpius memang tidak salah dengar. Anak yang dimaksud begitu jelas jika Potter yang dimaksud adalah sahabatnya sendiri. Albus.

Scorpius benar-benar takut.


James memeluk adik bungsunya seolah berusaha menjadi tempat yang paling nyaman. Meski sebenarnya ia sendiri menginginkan seseorang yang mampu menenangkan hatinya. Di dalam sana, Albus seolah ada di ambang antara hidup dan mati. Pasalnya setelah tidak sadarkan diri selepas penyerangan itu, Albus sempat mengalami muntah darah yang memperparah kondisi tubuhnya.

"Kenapa selalu begini, James. Kenapa selalu Al yang menderita?"

James mengecup kepala Lily. Menyembunyikan rasa sakit yang begitu perih mengingat begitu banyak ujian yang dihadapi keluarganya. "Kau tahu, sejak tadi aku mendengar Dad terus menyalahkan dirinya dalam hati." Ungkapnya.

"Dad pikir semua ini salahnya?" tanya James.

"Para penyihir itu membenci Dad. Mereka berusaha menghancurkan kebahagiaan kita dengan.. menyakiti orang-orang yang disayangnya. Aku takut, James."

Mungkin baru sang kakak yang mendapatkan siksa. Siapa tahu jika suatu nanti di antara mereka ikut menjadi korban yang sama. Melihat Albus menderita sejak bertahun-tahun lalu cukup menyakitkan siapapun yang melihatnya. Sebagai saudara kandung, James dan Lily tidak mau menginginkan hal yang sama. Mereka hanya ingin Albus sehat. Sudah cukup untuk Albus hanya bisa berbaring dan menunggu uluran tangan dari orang lain.

Beberapa keluarga bergantian pulang. Hanya Harry dan Ginny tetap setia menunggu di ruang rawat Albus. Albus mengalami beberapa cedera di syarafnya. Kali ini Albus harus menyerah. Kakinya tidak lagi mampu untuk digerakkan. Tidak akan pernah sembuh. Fonis yang begitu tiba-tiba namun itulah adanya.

"Aku tidak akan pernah memafkan diriku sendiri jika sampai hal buruk menimpa Albus."

Dada Harry berulang kali nyeri tidak tertahan. Masa depan putranya hancur karena ulah penyihir misterius itu. Ia yakin jika Albus tidak pernah menjadi penyebab semuanya. Banyak penyihir yang membencinya, bukan Albus.

"Kau juga berpikir seperti itu, bukan?" tanya Harry. Saat yang tepat untuk sekadar mengungkapkan isi hati di antara sepasang suami istri.

"Masalah kita terlalu banyak, Harry. Cukup kau menyalahkan dirimu sendiri." Ginny meraih tangan Harry pelan. Dingin dan bergetar.

"Tapi ini semua karena aku. Seharusnya mereka melukaiku bukan Albus. Aku gagal menjaga kalian. Maafkan aku."

Berpeluk erat keduanya saling menyamankan diri. "Sudah banyak nyawa yang harus berkorban untuk si anak yang bertahan hidup. Lalu kali ini lagi, dan itu adalah putraku sendiri? Aku tak mau, Gin. Aku tak mau putraku sendiri menanggung akibatnya." Keluhnya.

"Bebanmu sangat besar, Harry. Di luar sana banyak orang yang telah kau selamatkan. Aku mohon bertahanlah demi kami. Jangan pernah membuat beban baru dalam hidupmu. Aku takut kau—"

Harry mengecup bibir Ginny meredakan rasa pilu itu menjadi nyaman. Bagi Harry, Ginnylah yang mampu meringankan bebannya. Meski cukup ia peluk, kenyamanan yang Harry cari ada di sana.

"Kita hanya perlu fokus merawat Albus. Aku akan lakukan yang terbaik. Semuanya untuk menjaga dia. Apapun itu akan aku lakukan. Aku tidak boleh lengah lagi." Harry mendekati ranjang Albus dengan sesekali mengusap pelan punggung tangan putranya. Ringkih, yang bisa Harry deskripsikan dari Albus. Ketika ia menyentuh tengan kurus itu, seolah Harry menyentuh tangan dari seseorang yang telah lanjut usia. Kulit Albus kering bahkan terasa tak sekencang kulit anak-anak pada umumnya. Dengan mudah jemari Harry mengurut lapisan kulit yang membungkus tulang di tangan Albus.

Benar memang. Kali ini prioritas itu ada pada Albus. Ginny amat sangat membenarkan itu. "Ya, kau benar. Albus membutuhkan kita." Meski kini kepalanya terasa pening. Jika harus mengingat yang seharusnya ia lakukan saat ini apakah benar hanya untuk Albus seorang. Sikap Ginny itu pun terasa oleh Harry. Ginny memilih pergi sebelum Harry sempat membahasnya. Seorang healer datang dengan beberapa tongkat sihir medis dan botol-botol ramuan menyerahkan sesuatu ada Ginny.

Secarik perkamen berisi daftar ramuan tambahan harus segera ditebus. Harry meminta agar dirinya saja yang pergi. Setidaknya Harry bisa memberi kesempatan Ginny menenangkan diri tanpa dirinya.


Draco sama sekali tidak bisa tenang. Riuh di St. Mungo membuat dirinya muak. Ketenangan pasien terganggu dengan banyaknya penyihir jurnalis yang semakin tidak terkendali. Bahkan seorang penyihir pria tampak diglandang keluar akibat menyusup. Akhirnya diketahui jika ia adalah seorang jurnalis dari salah satu majalah sihir.

"Dad—"

Draco menoleh, "apapun yang terjadi, Daddy yakin kamu pasti kuat. OK." Mengucapkan itu bagi Draco sebagai sebuah lelucon. Dalam hati kecilnya ia masih yakin, Astoria masih akan bisa bertahan malam ini. Ia hanya berusaha membuat Scorpius mampu menerima sekalipun akan datang kabar berita paling buruk dari ruangan itu.

"Aku juga yakin Daddy akan kuat. Mummy akan baik-baik saja." Meski Scorpis tahu itu sulit, biarkan ia memiliki harapan itu.

Mereka tetap memperjuangan harapan hidup Astoria kepada para penyembuh. Kilau cahaya dari tongkat-tongkat sihir yang samar terlihat dari luar sebagai bukti. Di dalam sana ada sebuah perjuangan. Seoran wanita yang Draco cintai.

"Di mana Scorpius?" tanya Astoria sesaat Draco menutup pintu dengan membawa senampan ramuan.

"Dia istirahat. Kau sendiri bukan yang memintanya?"

Cerita Astoria sebelum ia ditemukan Draco berlumuran darah dan tak sadarkan diri.

Astoria tersenyum lemah. "Benar. Ramuanku banyak, dia pasti kelelahan terus meraciknya. Besok dia harus ke Diagon Alley untuk membeli perlengkapannya, sayang. Antarkan, ya!"

Draco mengerutkan dahinya terkejut. Ia letakkan kembali air putih yang baru di sesap istrinya ke atas meja. "Scorpius bisa bersabar. Daphne baru bisa menjagamu lusa." Kata Draco.

"Hey, ini pertama kalinya Scorpius ke Hogwarts, sayang. Jadi harus dipersiapkan baik-baik."

Draco tidak setuju dengan keputusan Astoria untuk meninggalkannya saja esok untuk bisa menemani Scorpius. "Tapi—" Draco tidak tega.

"Kau tahu, dulu aku tak pernah berpikir akan memiliki keluarga sendiri. Keluarga yang aku bangun dengan seseorang. Memiliki suami dan anak yang luar biasa. Semua karena kutukan ini menghancurkan angan-angan tentang bagaimana masa depanku kelak."

Memori Draco kembali terulang ketika Astoria menolak lamarannya. Kutukan darah yang ia terima memupuskan segala keinginan untuk membina rumah tangga bersama Draco. Astoria takut tidak bisa membahagiakan Draco sebagai suami, memberi keturunan, atau menemaninya hingga tua. Draco tidak peduli. Ia hanya mencintai Astoria.

Senyuman Astoria tipis di bibir pucatnya. "We love you, Astoria." Bisik Draco.

"Aku juga mencintaimu, Draco. Mencintai kalian. Tapi aku tidak masalah jika nanti kau mencintai orang lain setelah aku pergi. Asal jangan pernah kamu membenci Scorpius. Jangan buat dia merasa kesepian." Ujar Astoria seolah berpesan.

"Itu tidak akan pernah terjadi. Aku akan pastikan itu, sayang. Di hidupku hanya ada kau dan putra kita Scorpius. Jadi tolong jangan paksa aku melupakanmu." Draco kecup dahi Astoria lama.

Anggukan kepala Astoria pelan. Atas nama nyawanya sendiri, Astoria bersaksi ia mencintai pria itu. Begitu pula Draco yang akan dengan senang hati mau menerima penderitaan istrinya asalkan tidak ada yang akan pergi. Meski itu pun tidak akan mungkin.

Sudah hampir lima belas menit cahaya mantera itu tidak lagi terlihat. Scorpius mendapat perintah agar tetap duduk saat Draco menemui seorang kepala Healer yang akhirnya keluar dari ruang Astoria.

Entah apa yang dibicarakan mereka, Scorpius hanya tahu ayahnya langsung masuk ke ruang ibunya tanpa berkata apapun.

"Scorpius."

Ia urung menyusul ketika seseorang datang memanggilnya. Harry Potter mendekat dengan sebuah kantung ramuan. Scorpius yang melihatnya hanya bisa diam dan menunduk sesekali.

"Itu—"

"Albus, ya. Ini ramuan untuk Albus. Semakin banyak dan.. kau sendiri tahu bagaimana kesimpulannya. Bukankah selama ini kamu juga merawat ibumu yang sakit?"

Bahasanya halus namun terasa tegas di telinga Scorpius. Sosok Harry Potter yang berbeda tengah berdiri di hadapannya. Penuh emosi dan rasa lelah yang menumpuk.

"Maafkan aku Mr. Potter. Aku belum bisa menjenguk Albus." Kata Scorpius.

"Tidak apa-apa. Karena memang kamu tidak perlu lagi susah-susah memikirkan Albus."

Scorpius terkejut. Ia tidak tahu apa maksud semua ini. Scorpius mendengar tentang penyerangan mematikan yang diterima Albus. Dan penjelasan Harry tadi semakin membuatna takut.

"Apakah Albus—"

"Putraku masih hidup. Dia membutuhkan penjagaan seratus persen. Aku akan menjauhkannya dari apapun yang dapat membahayakannya. Dari apapun." Harry terdiam sejenak. menarik napasnya dalam lantas berkata, "tolong jauhi putraku dan lupakan dia."

"Apa—"

"Sikapmu seperti anak kecil, Potter."

Draco yang berurai air mata datang lantas menari tubuh Scorpius menjauh. Ia semakin marah ketika mendapati Scorpius menunduk dengan mata berkaca-kaca.

"Kau juga seorang ayah, bukan? Kau akan melakukan apapun untuk kebaikan anakmu." Jawab Harry.

"Ya, tapi tidak dengan memisakannya dengan sahabatnya sendiri." Balasan Draco membuat mereka saling diam. Harry masih tidak menggubris meski ia sadar caranya cukup berlebihan. Apa boleh buat, semua itu demi kebaikan Albus.

"Kau memang mempunyai hati yang besar, Harry Potter. Sayangnya, kau tak pernah tahu makna sebenarnya sebuah kehilangan dan rasa kesepian itu sendiri."

Harry ditinggalkan seorang diri. Menyaksikan Draco menarik putranya menjauhinya. Menuju ke depan pintu sebuah ruangan yang di sana telah berdiri dua orang healer yang tertunduk. Oleh Draco, Scorpius di bawa dalam pelukannya setelah mendapat penjelasan dari salah satu healer. Di situlah Harry menyaksikan, mata Scorpius yang awalnya beraca-kaca kini tergantian dengan linangan air mata yang meruah. Meraung seperti seseorang yang baru saja kehilangan separuh hidupnya.

Scorpius berlari masuk. Meninggalkan Draco yang baru bisa menangis lepas.. seorang diri. Sejenak kemudian, ia menoleh ke arah Harry yang masih berdiri melihatnya. Istrinya telah tiada, seperti itu makna yang ingin ia sampaikan kepada rival abadinya. Bahwa di dunia ini, hal paling menyakitkan adalah kehilangan orang yang sangat ia cintai. Sekuat apapun pria itu, kematian selalu melemahkan. Bahkan terasa mengancuran.

Perasaan Harry tidak karuan ketika kembali ke kamar Albus. Ginny tertidur di sisi ranjang Albus. Sementara James dan Lily telah di antar pulang oleh Ron berdasarkan informasi healer. Di saat sendirinya itu, Harry terisak.

Dua orang yang kini ada di hadapannya membuatnya kuat meski di suatu kesempatan seperti saat ini membuatnya takut. Apakah sesakit itu jika Harry berada di posisi yang sama seperti Draco saat ini? Ia belum bisa sempurna untuk Ginny dan anak-anaknya.

Bagaimana jika ia harus kembali sendiri?

"Harry—" Ginny terbangun mendengar isakan Harry.

Ginny hanya bisa memeluk suaminya. Pria itu rapuh dengan tangisnya. Seorang pahlawan yang kini hanya bisa menangis atas cobaan yang ia terima begitu berat.

"Katakan," ucap Harry tiba-tiba. "Aku mohon katakan saja."

"Apa?" tanya Ginny berusaha bersikap biasa meski suara tangis Harry membuatnya terluka.

Ginny menarik napas dalam-dalam. Mencerna pikirannya sendiri apakah ini waktu yang tepat untuk mengatakannya.

"Aku suamimu. Dan keluarga ini adalah tanggung jawab kita berdua. Bukan hanya kamu sendiri." Harry mengusap pipi Ginny. Memohon dengan sangat jika istrinya mau mengungkapkan semuanya. Ginny meremas tangannya mendengar penuturan Harry tersebut. Harry masih terus menatapnya. Ia kembali bertanya dengan bersimpuh di depan Ginny.

"Gin," Harry memohon. Menatap istrinya dengan pandangan mengiba.

"Aku hamil."

"Ah," dengan sekali dua kali mengatur napasnya, Harry tersenyum. "Itu kabar gembira, sayang."

Ginny heran dengan ekspresi Harry yang tampak biasa saja. "Kau sudah tahu?" tanyanya.

Harry menggeleng cepat. "Tidak. Aku tidak tahu. Tapi sungguh.. tidak ada kabar paling bahagia dalam sebuah keluarga selain hadirnya anggota keluarga baru." Harry kembali memeluk istrinya di saat kembali tangis Ginny harus pecah karenanya. Sikap tenang Harry berhasil membuatnya nyaman. Setidaknya, meskipun beban baru akan mereka hadapi, masih ada penopang untuk saling menguatkan,

"Kita hadapi sama-sama, OK. Kita hadapi sama-sama."

TBC


Yups, chapter ini buat mengingat aja kalau tahun 2019 ini pas sama timeline Astoria (ibunya Scorpius atau istrinya Draco) meninggal. Jadi ini aku buat versi aku. Semoga suka. Dan sampai jumpa di chapter selanjutnya! Jangan lupa like dan reviewnya!

Thanks,

Anne xoxo