Hi, everyone!

Anne kembali lagi. Kondisi Anne sekarang sudah gk seperti dulu yang cepet banget buat update, ya. Setelah lulus kuliah, pagi siang sore malam Anne dibuat cari punndi-pundi untuk sesuap ayam KFC, jiyahhh. waktu nulis malam udah terganti sibuk ditempat ngajar bimbel. Pulang udah rada malam dan bakal dibuat ngurus persiapan ngajar besok harinnya. Nulis sekarang dijadiin anak tiiri, huhu.. mohon dimaklumi, ya! Ternyata jadi dewasa itu susah :)

Terima kasih ya buat yang sudah menanti cerita ini.. YuukiAsuna41 dan Teefu Choi misalnya yang di kolom review.. terima kasih, ya! Semua juga yang sudaha review tapi gk sempet Anne balas. Terima kasih sekali.

Kalau begitu, Anne langsungin aja, ya!

Happy reading!


Bukannya semakin membaik, keadaannya malah semakin buruk. Albus merasakan dirinya tidak mampu melakukan apa-apa lagi. Kakinya sempurna tidak bisa digerakkan. Tangan kirinya pun hampir sama. Belum lagi lehernya. Bagian di bawah kepalanya bagaikan terpasang kayu yang kuat. Terikat hingga punggung.

Di kanan dan kirinya, Albus mengamati ruangan itu sembari berbaring. Sedikit redup akan cahaya. Ia tidak tahu apakah itu termasuk dalam pengaruh kemampuan matanya juga. Semuanya hancur. Albus merasa hidupnya akan terus seperti itu. Setelah semua yang indah, berbalik ulang merusak semua kebahagiaannya.

"Kita hadapi sama-sama, OK. Kita hadapi sama-sama."

Suara itu terdengar oleh Albus. Suara Ayahnya.. sedang menangis. Suara isakan terdengar di telinganya. Beberapa kali Albus mencoba menggerakkan tubuhnya namun nihil. Usahanya hanya membuahkan gerakan kecil pada tangan kanannya. Bergerak sedikit demi menarik selimut di sekitar perutnya.

"Huh—"

Albus menyerah. Hanya melakukan itu saja sudah berhasil membuatnya lelah.

"Sayang," suara Ginny memanggil sang suami. Ia melihat putranya sadar. "Albus." Tunjukknya.

Cepat-cepat Harry menghapus air matanya sebelum menyerbu ranjang Albus. Di situ mereka menyaksikan, Albus hanya bisa diam. Meredam isakannya supaya tidak tumpah di hadapan kedua orangtuanya. Sungguh tega Albus menambah tangis keduanya kembali.

"Jangan ditahan, Son!" Bisik Harry di sisi kanan Albus.

"Semua orang berhak menangis." tambah Ginny. "Dan menangis bukan tandanya kita lemah. Tapi kita masih punya hati. Punya perasaan." Lanjutnya.

Mata Albus terpejam. Perlahan ia rasakan tangannya disentuh. Ayahnya orang yang kuat, namun apa yang kini ia lihat adalah seorang pria yang sedang menangis. Tidak sedikit pun ia berpikir seseorang yang hebat seperti Harry Potter dapat merasakan hal yang sama seperti dirinya.

"Kenapa aku masih hidup?"

Pertanyaan Albus menghentak hati kedua orangtuanya. "Albus—kamu bicara apa, sayang?"

"Mereka ingin aku mati, Mum. Tapi kenapa aku masih ada di sini. Menjadi orang tidak berguna di antara kalian. Bahkan semakin tidak berguna."

Albus akhirnya mengutarakan segala perasaannya. Albus lelah, hidupnya tidak bisa lagi dijadikan sebuah pengharapan. Tubuh itu Albus yang rasakan. Ia yang menikmati segala rasa sakitnya sendiri. Tidak ada yang tahu kalau dirinya kini telah ada di batas ketidakmampuan. Sakit, tidak bisa apa-apa.

"Maafkan, Daddy."

"No, ini hanya aku. Bukan siapa-siapa. Just me, myself, and I." Bahkan bayangan terburuk Albus ikut menunjukkan sosok Scorpius. Sahabatnya itu bahkan tidak terlihat lagi sejak perpisahan mereka beberapa bulan lalu. Benarkah Scopius ikut tidak ingin menemuinya lagi, ia tidak tahu. Albus hanya merindukannya. Setidaknya ia ingin memiliki seseorang yang menyayanginya sebelum waktunya habis.

Malam itu, Albus tidak ingin mengatakan apapun. Hanya terdiam menunggu rasa kantuk kembali menyerang. Sembari berharap, ia tidak akan kembali esok hari. Kepergiannya pasti akan membebaskan keresahan siapapun yang selalu mengkhawatirkannya.


Tidak menunggu waktu lama untuk Astoria dimakamkan. Sudah cukup bagi mereka membiarkan jasad itu ada di sana. Astoria sendiri yang pernah meminta, agar ketika ia tiada segeralah untuk tubuhnya di timbun oleh tanah.

Scorpius masih sama seperti dua hari yang lalu. Meski rumahnya kini cukup ramai dengan beberapa keluarga dibandingkan biasanya. Ibunya tetap telah tiada. Botol-botol di hadapannya kini masih terisi beberapa cairan ramuan. Bahkan beberapa botol dan kantung bahan-bahan kering masih utuh. Tapi bagaimana lagi, tidak ada yang akan memakan ramuan itu lagi.

Kalau kata sang Ayah, Ibunya telah mendapat pilihan yang terbaik.

"Di sana Mummy tidak sakit lagi, bukan?" Scorpius menarik napas dalam-dalam. Dadanya mulai sesak lagi. "Aku merindukanmu, Mum."

Tiba-tiba pintu ruang ramuan keluarga Malfoy terdengar diketuk pelan. Seorang wanita muncul dari baliknya. Daphne, kakak Astoria mendapati Scorpius ada di dalam sana. Ia mendesah lega lantas memanggil seseorang di ruang tengah.

"Lihat, dia anak yang baik. Tidak mungkin dia kabur, Draco." ungkapnya.

Kali ini Draco muncul dan masuk menemui putra semata wayangnya itu. Sementara Daphne masih berdiri di mulut pintu. "Aku rasa belum begitu sore untuk pergi." Kata Daphne tiba-tiba.

"Apanya, Auntie?" tanya Scorpius.

"Bersiap-siaplah. Kita akan pergi sekarang." Pinta Draco dengan kedua tangan menangkup tangan kanan Scorpius.

Scorpius hanya menatap ayahnya kebingungan. Sampai pria dewasa itu mengatakan, "kita beli perlengkapan sekolahmu sekarang. Meski terlambat, kita masih bisa membelinya sekarang. Sebelum kau benar-benar berangkat." Ujarnya.

"Tapi—"

"Pergilah, Scorpius. Ini juga perintah Mummymu, bukan?" balas Daphne. Sebuah perkamen coklat ia sodorkan ke hadapan Scorpius. Itu adalah lampiran daftar barang yang diperlukan untuk anak-anak tahun pertama.


Beberapa barang akhirnya dimiliki Scorpius. Tinggal burung hantu yang begitu ingin ia miliki. Draco menyesal tidak mengajak Scorpius untuk membeli burung hantu lebih dulu sebelum membeli kuali. Pasalnya, semakin sore, toko hewan-hewan peliharaan begitu padat dengan para pembeli.

Scorpius menyadari kegelisahan Ayahnya. Mungkin ia takut jika banyak penyihir di sana menyadari kehadiran mereka. Kabar kematian Astoria sudah ikut menjadi kabar publik. Belum lagi dengan berbagai gosip tentang Scopius itu. Sungguh akan jadi tempat paling tidak tepat untuk keduanya kunjungi.

Luar biasa usaha Draco menean egonya demi Scorpius. Apapun yang terjadi, Scorpiuslah satu-satunya keluarga yang ia miliki sekarang.

"Ah, Dad—aku rasa tak masalah membawa Ariel—" Scorpius berusaha membesarkan hati ayahnya.

"Kita masuk, Scorp. Ayo!"

Dengan segala cara Draco memberanikan diri masuk dengan mengandeng tangan Scorpius. Dan benar saja, beberapa penyihir tampak melihat mereka dengan tajam dan saling berbisik pelan.

"Itu Malfoy, bukan? Istrinya baru saja meninggal, kan?"

"Anaknya sudah mau berangkat ke Hogwarts? Merlin, dia akan berada di tahun yang sama dengan putra kita, sayang."

"Masih berani dia mengajak anaknya ke tengah-tengah keramaian. Ups, apa mungkin karena bocah itu bukan anaknya."

Dan semua omongan tidak mengenakkan terdengar di telinga Scorpius. Merasakan jika putranya semakin tersingirkan, Draco menarik tubuh Scorpius dalam dekapannya menuju bagian penjualan burung hantu.

Semua jenis burung hantu yang ditampilkan oleh pemiliki toko dipenuhi oleh para penyihir yang ingin membeli. Semua burung hantu yang bagus. Sedikitpun Scorpius tidak bisa mendekat ketika ia ingin melihat sesekor burung hantu berbulu coklat muda.

Saat ini Draco sedang bertemu dengan salah satu pemilik yang juga rekan bisnisnya. Mereka saling berbincang sampai melupakan Scorpius yang ingin memilih burung hantunya. Di sana tidak ada tempat, semua penuh dengan penyihir yang mengelilingi beberapa burung hantu terbaik. Kecuali satu. Seekor burung hantu berbulu abu-abu muda. Hampir mendekati putih dengan corak khas berwarna kehitamannya.

"Hai," sapa Scorpius pada burung hantu itu, "tidak ada yang mendekatimu, ya."

Lantas Scorpius memperhatikan keterangan identitas burung hantu tersebut.

CACAT PADA KAKI. Begitu tulisan yang dapat Scorpius baca. Salah satu kaki burung itu tampaknya lebih pendek sehingga ketika berdiri, salah satu kakinya seperti berjinjit.

"Menyedihkan, bukan? Dijauhi siapapun karena kamu berbeda. Padahal sebenarnya kita masih mampu melakukan yang mereka lakukan. Aku tahu rasanya. Jadi, kau mau ikut bersamaku?"

Scorpius telah memutuskan akan membawa burung hantu itu. Ia akan memberi tahu Ayahnya atas pilihannya itu. Namun tiba-tiba sebuah kaleng makanan burung menggelinding keluar menuju pintu belakang. Scorpius mengejar kaleng itu hingga di balik tembok dan dengan cepat tubuhnya seperti sedang ditarik.

"Siapa kau?" teriak Scorpius tepat setelah tubuhnya menghantam tembok.

James Sirius Potter muncul setelah menyibak sesuatu yang menutupi tubuhnya hingga tak terlihat siapapun. "Ini aku." ujarnya.

Scorpius tahu dia siapa. Seorang Potter dan ia harus segera pergi. "Maaf, aku harus—"

"Aku mohon jangan. Aku ingin bicara denganmu sebentar saja." Pinta James.

"Tapi—" Scorpius tidak yakin. James sangat membencinya.

"Atau aku buka sangkar burung itu dan membuatnya terlepas. Supaya kau tak jadi memilikinya bahkan bisa jadi di salahkan. Bagaimana?" Tantang James dengan tongkat siap ia acungan.

Scorpius tetap tidak mau berurusan dengan Potter yang lain apalagi James. "Bukannya kau yang akan mendapat hukuman karena melakukan sihir di luar sekolah. Kau bisa dikeluarkan. Jadi, lepaskan aku!" protes Scorpius masih mendapat intimidasi dari James.

"Aku tak peduli," James menundu. Ia sadar perbuatannya salah. "Asalkan aku bisa membuat adikku bahagia."

Scorpius berhenti. Ia kembali berbalik menatap James. "Aku hanya sendiri. Aku pergi dari toko pamanku setelah melihatmu keluar dari toko Madam Malkin. Aku mengikutimu sampai akhirnya kau masuk kemari." Tutur James menjelaskan jika tidak perlu Scorpius takuti sebab ia hanya datang seorang diri.

"I'm sorry. Aku sadar, kau memang orang baik, Scorpius. Kau satu-satunya orang yang diinginkan Albus ada di sisinya. Tolong jangan lupakan dia."

Scorpius tidak percaya. Penjelasan James seolah sedang mempermainkannya. Baru beberapa hari lalu ia diminta menjauhi Albus. Tapi kini seseorang memohon atas Albus lagi.

"Aku tidak bisa."

"Berminggu-minggu kau tidak ada kabar. Albus semakin lemah. Tidak ada harapan lagi selain kami harus tetap menjaganya."

"Itu sudah cukup, bukan?" jelas Scorpius. Kali ini ia melihat James. "Kalian memang harus menjaganya."

"Tapi dia membutuhkan kamu, Scorpius."

James melipat jubah tembus pandangnya sebelum mendekati Scorpius. Badannya yang tinggi membuat Scorpius sedikit terlihat menyedihkan. Dengan muka tertunduk dan ketakutan di depan James.

Scorpius menggeleng menolak segala penuturan James. "Dia akan dalam bahaya jika bersamaku." Suara Scorpius bergetar. Ia bingung harus berbuat apa.

"Berhari-hari ia terus meminta untuk pergi ke Hogwarts setelah tahu ia mendapatkan suratnya. Ia bilang, kalian pernah berjanji akan ke Hogwarts bersama. Kami semua tidak tega dengan kondisinya seperti itu. Tapi kau tahu, beberapa hari itu juga Albus terus melatih tangannya. Ia juga belajar lebih giat membaca dan menulis."

Mata James memerah, "Albus seperti memiliki semangat hidupnya kembali." begitu bahagia James mengatakannya. Dirinyalah yang setiap hari ikut menemani Albus berlatih menulis dan membaca. Hingga ia tahu semangat apa yang dimiliki oleh adiknya tersebut.

"Aku tahu Daddy melarangmu untuk mendekati Albus. Jika memang Albus nanti dibolehkan pergi ke Hogwarts, aku mohon padamu... bantu dia."

Sebuah permintaan yang sulit. Untuk diterima ataupun ditolak. Scorpius menyayangi Albus dan ia ingin melakukan apapun untuk orang pertama yang mau menjadi sahabatnya itu. Banyak hal yang menahannya. Begitu sulit dengan rasa ingin yang besar. Scorpius berbalik, berharap kali ini James tidak menahannya. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Tidak tahu.


Terapi ke tiga hari ini selesai. Albus menyunggingkan senyuman keberhasilannya pada ibu dan adiknya. Lily bertepuk tangan saking girangnya ketika langkah terakhir Albus menyentuh batas jalur berjalan yang diberikan oleh healernya.

"Kau berhasil, Al. Aku yakin sebentar lagi kau akan bisa berjalan dengan baik. Jauh lebih baik dari sebelumnya." Seru Lily.

"Ya, waktunya sebentar lagi. Aku harus bisa berjalan saat 1 September nanti."

Ginny menatap putranya terkejut. Keinginan itu masih begitu kuat dipegang Albus. "Sayang, kita sudah membicarakan masalah ini, bukan?" Ginny mengingatkan jika urusan keberangkatan Albus ke Hogwarts kemungkinan besar akan dibatalkan.

"Kalau semua progres kesehatanku tidak ada perubahan yang cukup. Mum, aku yakin, aku sudah menjalani semuanya berhari-hari dengan hasil yang baik. Bahkan aku sudah pulang ke rumah. Bukan begitu, Madam?"

Ada pengharapan yang dalam ketika Albus meminta jawaban dari Healer Jackson.

"Hogwarts adalah tempat yang besar, Mr. Potter. Meski semua hasil menunjukkan kemajuan, tapi saya tidak yakin—"

"Aku bisa. Aku mohon berikan surat pernyataan bahwa aku diperbolehkan pergi." Dengan memegang tangan Lily, Albus meraih jemari Ginny kembali memohon, "tolong yakinkan Daddy, Mum." Albus terus mengiba. Di matanya ia memohon, Ibunya tahu yang terbaik. Tentang sesuatu yang ia inginkan.

Pintu terbuka pelan dan muncullah Harry. "Tidak akan pernah." Ucapnya tegas. Harry muncul dari arah pintu masuk bersama James di sampingnya. Mereka baru saja kembali dari Diagon Alley membeli kebutuhan sekolah James. Semua orang tercengang dengan kehadiran tiba-tiba Harry.

Harry terus menatap putra keduanya tanpa peduli istrinya terus memanggil. Sementara James, kembali berkata lirih agar Ayahnya tidak membuat Albus semakin tertekan. Begitu juga Ginny, ia memohon agar masalah ini dapat kembali dibicarakan baik-baik.

"Tolong beri kami ruang." Pinta Harry. Namun tidak ada yang mencoba bergerak dari tempat masing-masing. "Please!" ulangnya.

Satu persatu akhirnya keluar. Ginny menyempatkan berbisik pelan di telinga Harry, "tahan emosimu." Sekiranya itu yang bisa Ginny sampaikan. Perubahan raut wajah suaminya sudah hapal di luar kepala. Ginny tidak mau berkata apa-apa lagi. Ia hanya berharap Harry bisa menjaga sikapnya di hadapan Albus. Apapun alasannya.

Tinggal mereka berdua. Dua orang Potter beda generasi. Harry seolah melihat dirinya di diri Albus. Dulu ia juga terlihat begitu lemah. Tapi setidaknya ia mampu berdiri dengan dua kakinya sendiri, bernapas dengan mudah, atau pergi ke Hogwarts tanpa ada seorangpun yang melarangnya.

"Masa kecilku menderita. Tidur di bawah tangga hingga usiaku 11 tahun. Dicemooh semua anak Muggle di tempatku bersekolah sebelum Hogwarts. Didorong, dipukul hingga kacamataku rusak. Saat itu semua tempat terasa menakutkan. Tidak ada yang peduli padaku akan hal itu. Sampai Hagrid datang dan memberi tahuku kalau aku seorang penyihir. Paman dan bibiku mati-matian melarangku pergi ke Hogwarts dan kau tahu... Hogwarts tidak seperti yang mereka kira, Albus."

Albus berusaha meraih kursi di tepi tembok meski telinganya terus mendengar Ayahnya berkisah.

"Sama dengan yang aku alami," Balas Albus dengan suara yang begitu pelan.

"Itu berbeda. Mereka melarangku pergi karena rasa bencinya kepadaku yang seorang penyihir."

"Tapi kau tetap pergi, Dad. Akupun harus begitu."

Harry mengerang berusaha menahan emosinya. "Kenapa kau tak paham juga, huh?" kata Harry.

"Tak paham? Kisah tentang anak yatim piatu yang hidup menderita dengan keluarga Bibinya lantas berubah menjadi pahlawan sihir paling disegani dan bla bla bla. Kau mau aku harus bagaimana, Dad? Seperti penyihir lain yang harus membungkuk jika bertemu denganmu dan menuruti semua keinginanmu." Albus menarik napas dalam-dalam.

Ia benci mengatakannya.

"Aku tak sebodoh yang kau kira, Dad." Albus menambahi.

Harry benar-benar kehilangan kesabarannya. "Kalau begitu kau bisa berpikir, Albus Severus. Kau beruntung mendapat kehidupan yang layak, kebutuhanmu terpenuhi meski keadaanmu kau menyebutnya memuakkan. Banyak orang yang sayang kepadamu, Albus. Peduli untuk melindungimu, keselamatanmu. Mungkin jika saat itu Ayah dan Ibuku ada, pergi ke Hogwarts bukan hal yang sulit. Tapi nyatanya, Bibi dan Pamanku membenciku. Aku tahu Hogwarts melebihi siapapun. Dan itulah kenapa kau harus tetap di sini... Kau beruntung masih memiliki Ayah yang mau melindungimu, sedangkan aku tidak!"

"Dan kau menganggap itu sebuah keberuntungan untukku? Tidak, Dad!"

Harry terhenyak. Putranya begitu lantang menyuarakan protesnya. "Kau berharap aku mati?" tanya Harry dengan suara tinggi.

"Bukan! Aku hanya berharap kau bukanlah Ayahku."

Ada hening di antara mereka. Sebelum Harry merasakan ngilu di dadanya lantas menjawab, "ada kalanya aku juga berharap kau bukanlah putraku." Harry sadar. Itu keterlaluan.

Semua terjadi begitu cepat bahkan sebelum Harry menginginkan ia berkata demikian. "Maaf—bukan begitu—" Harry merasa menjadi seorang Ayah yang buruk. Sangat amat buruk. Ayah macam apa yang tega mengatakan di depan anaknya sendiri bahwa ia tak menginginkannya.

Jika kembali ke masa beberapa tahun yang lalu, Harry ingat pada suatu pagi ia sontak dibuat lemas dan menangis di lantai kamarnya. Dengan menggunakan seragam Auror lengkapnya, seorang Harry Potter yang gagah tiba-tiba menangis tersedu mengetahui bahwa ia akan mendapat anak kedua.

Kebahagian Harry seolah menyebar hingga ke ujung dunia.

Namun sekarang... bagaikan hujan petir, kini ia mengatakan hal yang sebaliknya. Dengan emosi yang entah tertumpuk sejak kapan. "Kau mengatakannya, Dad." Respon Albus.

"Aku yang harus minta maaf telah mengganggu hidupmu. Kau benar, aku harus tetap di sini. Menunggu sampai ajalku tiba."

Albus hanya ingin keluar. Ia tidak menginginkan terapi selanjutnya. Sudah cukup. Hidupnya memang sudah lama berkhir, hanya dirinya saja yang memang tidak mau mengakuinya. "Bahkan Ayahku sendiri mengatakan itu. Semuanya memang sudah benar." Batin Albus teriris. Sudah saatnya ia memang harus menyerah.

Beberapa orang rupanya sudah berkumpul di ruang terapi Albus. Teddy rupanya datang bersama Victoir. Begitu juga Madam Jackson masih ada di sana bersama mereka. Ginny lebih dulu mendekati Albus tepat setelah pintu terbuka.

"Sweetheart," dengan mata kepalanya sendiri, Albus yang penuh semangat kini berubah dengan drastis. Matanya sembab basah dengan air mata. Tangannya yang menggenggam tongkat berjalannya bergetar seperti mencari keseimbangan. Napasnya tersengal. Sulit sekali merespon ketika Ginny bertanya, "semua baik-baik saja?" Ginny lantas berpaling melihat ke arah ruangan sebelumnya. Suaminya belum tampak keluar.

"Aku hanya ingin istirahat—aku mohon jangan pegang aku, Lily."

Albus melarang Lily mendekat untuk menuntunnya. Ia tidak mau Adiknya dengan mudah membaca pikirannya saat ini. Lily beringsut mundur. Niatnya sudah terbaca oleh Albus.

"Ayo, Al. Aku antar kau ke ruang tunggu." Victoir berinisiatif memapah Albus. James pun ikut menemaninya diikuti Lily yang turut diminta Ginny pergi bersama kakaknya.

Teddy mengamati begitu dalam punggung ringkih anak ayah baptisnya itu. "Terjadi sesuatu di dalam." ujar Teddy.

Ginny tahu itu. Sayangnya ia tidak paham perkara apa. Harry memasang mantera peredam suara di dalam. Sedikitpun mereka semua tidak mengetahui perbincangan apa antara Harry dan Albus.

Brak! Pintu terbuka dengan Harry membawa sebuah perkamen yang diketahui adalah surat pernyataan Hogwarts yang dikirim bersama surat penerimaan Albus. Surat tersebut berisi pernyataan izin dari pihak orangtua bagi calon siswa Hogwarts berkebutuhan khusus. Harus ditandatangani langsung dengan melampirkan beberapa pernyataan resmi dari pihak penguat. Jika kasus seperti Albus, dapat melampirkan pernyataan izin serupa yang dikeluarkan rumah sakit yang mengetahui rekam medis siswa berkaitan.

"Harry, ada apa sebenarnya?" tanya Ginny panik. Tangannya segera menentuh dada kiri Harry. Berdetak begitu cepat. Ginn takut masalah jantung Harry bisa kambuh seperti dulu.

Teddy mengamati perkamen di tangan Harry, masih belum tertera tanda tangan siapapun. "Kau akan mengizinkannya pergi, Harry? Kau yakin?" pertegas Teddy.

"Sebelumnya aku ingin bertanya," Harry menarik napasnya dalam, menenangkan suaranya yang terdengar bergetar, "konsekuensi terbesar apa yang akan terjadi jika aku tandatangani ini?"

Beberaapa hari hubungan Harry dan Albus tidak kunjung membaik. Mereka saling diam enggan melempar kata-kata. Ginny marah besar saat tahu tentang perkara Harry menyebut Albus dengan kata-kata yang tak sepantasnya. Atas dasar beban mental yang diterima Albus, Ginny menyarankan agar Harry menjaga jarak dengan putranya. Sebisa mungkin, jangan sampai mereka dihadapkan dalam situasi bersamaan.

Albus terpaksa dirawat di the Burrow. Udara dan suasana di sana bisa membantu pemulihan fisik dan psikisnya lebih cepat. Ini semua demi Albus.

"Keputusanmu sudah bulat, Harry?"

Neville dijamu sederhana di the Burrow. Bersama istrinya, Hannah, keduanya datang setelah mendapatkan surat dari Ginny. Berdasarkan isi surat itupun Neville membawa beberapa hal yang sekiranya perlu ia jelaskan. Khususnya kepada Harry dan Ginny sebagai orangtua Albus.

"Ada beberapa kondisi calon siswa yang menjadi perhatian Hogwarts. Bisa dibilang mereka adalah siswa-siswa yang memiliki kebutuhan khusus dengan dirinya. Beberapa tingkatan itu membuat Hogwarts harus memberikan syarat tertentu bagi mereka agar dapat bersekolah seperti layaknya siswa pada umumnya."

Sebuah map berisi beberapa lembar bertuliskan Hogwarts diserahakan ke hadapan Harry. di situ Harry membaca jika Hogwarts masih bersedia menerima calon siswa yang memiliki masalah dengan kondisi jasmani maupun rohani. Tentunya dengan syarat khusus.

"Melihat kondisi Albus saat ini, ada masalah dengan kesehatan dan beberapa—maaf, kekurangan di kemampuan fisiknya. Hogwarts masih memberikan kesempatan untuk Albus masuk di tahun ajaran baru. Hanya saja, Albus harus membuktikan dapat bertahan dengan kondisinya selama masa yang sudah ditentukan. Di antaranya meliputi hadir dalam pelajaran dengan baik dan disiplin, serta.. tidak menganggu siswa yang lain."

"Jadi, Albus akan diberi waktu tertentu untuk masa uji coba? Begitu istilahnya?" tanya Hermione yang langsung mendapat beberapa sorot tajam dari keluarga besar Weasley.

"Satu minggu. Jika Albus bisa menjalaninya dengan baik, tujuh tahun bisa ia tempuh. Tapi jika tidak, aku berharap kalian mau menerima Albus keluar dari asramanya."

Tangan Harry disentuh hangat oleh Ginny. Betapa suasana terasa kaku. Harry tidak bisa melakukan apa-apa. "Aku tak tahu, Neville." Harry mendorong perkamen aplikasi calon siswa baru Albus ke tengah meja.

"Keputusan ada di tanganmu, sayang." Bisik Ginny.

"Kita menginginkan yang terbaik untuk Albus. Aku hanya takut. Berada bersama kita saja Albus dengan mudah diserang. Bagaimana ketika dia benar-benar lepas dari kita? Hogwarts tempat yang besar, dan—maaf, Neville, bukannya aku tak percaya dengan para profesor dan keamanannya. Hogwarts menjadi salah satu tempat teraman bagiku. Aku hanya.. sorry."

Semua paham apa niat terbaik Harry sebagai orangtua. "Aku hanya ingin putraku selamat."


Kamar tamu di the Burrow menjadi tempat tidur Albus. Letaknya ada di lantai bawa. Khusus dibuat untuk kamar ekstra ketika ada kumpul keluarga. Sehingga suara apapun yang datang dari ruang tamu atau dapur bisa terdengar dengan jelas dari kamar itu.

Saking penasarannya dengan riuh benda saling bertumbukkan, Albus berniat keluar kamar lebih cepat. Masih cukup pagi tapi the Burrow seolah ramai dengan aktifitas.

"Ah, morning, my handsome lovely grandson."

Arthur Weasley yang pertama dilihat Albus. "Grandpa? Sedang apa?" tanyanya.

"Mengemasi barang-barangmu tentu saja. Penyihir yang mengirim kopermu baru datang subuh tadi. Padahal kata Ibumu, mereka sudah diberi uang lebih agar menyelesaikannya lebih cepat. Banyak alasan saja mereka tadi."

Arthur lantas berlalu pergi ke area meja ruang keluarga. Beberapa potong pakaian, jubah, buku-buku juga terjajar rapi di sepanjang meja. Lalu Albus bertemu Molly, neneknya. Wanita tua itu sibuk memasukkan beberapa kue hangat ke sebuah kotak makanan.

"Kalian mau pergi?" Albus bingung. "Bukannya, Mum bilang aku akan pulang ke rumah saat pertengahan bulan. Kalau kalian pergi, aku akan sendirian di sini dan—"

"Kau banyak bicara, anak muda!"

Charlie, muncul dari arah dapur sambil memakan sepotong kue bolu. "Hai!"

"Uncle Charlie? Kau kembali?" Albus bahagia bukan main. Ia masih ingat pamannya meski tidak begitu banyak kenangan itu.

Mereka pun saling berpeluk. "Aku sedang liburan, sekaligus ingin melihatmu. Aneh bukan, di saat anak-anak hari ini pergi sekolah, aku mendapat liburan." Charlie lantas tertawa terbahak.

Anak-anak pergi sekolah. Sekarang tanggal 1 September. Benar juga. Albus kembali teringat akan hari ini. Ada rasa menyesal kenapa ia tidak tidur saja sampai sore. "Tidak aneh, kok. Grandpa dan Grandma juga mau liburan. Lihat barang-barang mereka." Tunjuk Albus pada beberapa barang di hadapannya.

"Bukannya tadi aku dengar kau membereskan barang-barang Al, Mum? Daddy yang ambil, kan?" ungkap Charlie menunjuk sebuah piama milik Albus di atas meja.

"Memang. Hari ini semua anak pergi sekolah, sayang. Bukan begitu, Albus?" tanya Molly menunjuk sebuah kotak panjang di sudut meja kecil.

Tongkat sihir baru. Masih terbungkus kertas tipis di dalam kotak kardus yang tebal.

"Semua sudah lengkap, bukan. Tinggal kau sekarang mandi, sarapan, dan bersiap menunggu Uncle—uh, Profesor Neville lebih tepatnya untuk menjemputmu."

Albus masih tidak mengerti dengan semua hal di pagi buta ini. Tongkat sihir dan semua perlengkapan itu. Dia akan pergi ke Hogwarts, sekarang.

Molly memeluk cucu laki-lakinya itu dengan erat sambil meneteskan air mata. "Semua akan baik-baik saja, sayang. Kau pasti bisa." Ujarnya.

TBC


Chapter selanjutnya kita akan mampir ke Hogwatrs buat lihat bagaiman nih Albus dan Scorprius bakal bersama satu atap kastil di saat hubungan mereka sedang nggak baik-baik saja. Tunggu chapter selanjutnya, ya!

Jangan lupa review!

Thanks,

Anne xoxo