Hi, everyone!
Anne balik lagi. Kali ini agak cepet, ya. Lagi semangat soalnya. Ehem.. Terima kasih ya yang sudah baca. Chapter sebelumnya yang sadar pasti mikir, wah mirip Harry Potter Cursed Child yang adegan Harry dan Albus berantem, yes.. Anne ambil dari bagian di Curse Child. menurutku memang itu adegan ikonik banget di cerita Cursed Child.
Sekali lagi terima kasih yang sudah review juga. Seneng banget ternyata ada yang suka cerita Anne ini. Jangan lupa review terus ya biar Anne makin semangat lanjut.
Chapter kali ini isinya soal awal-awal Albus berangkat ke Hogwarts. Ada masalah apa lagi? Yuk di baca!
Happy reading!
Dari the Burrow, Albus pergi bersama Neville, sang ayah baptis yang kini juga menjadi profesornya, serta Madam Pomfrey yang khusus diminta datang. Yang ternyata.. mendapat mandat khusus dari Harry agar memantau kesehatan Albus selama perjalanan ke Hogwarts.
"Daddy?" ungkap Albus terkejut.
Neville mengangguk. Sementara Madam Pomfrey sedang melakukan pemeriksaan mantera dengan tongkatnya pada tangan Albus. "Kami tidak bisa berbuat apa-apa kalau tidak ada persetujuan dari orangtuamu, Albus." Tutur Neville.
Tujuh hari yang diberikan adalah kesempatan berharga. Kalau memang itu yang terjadi, Albus akan menerimanya. "Tapi, Dad sama sekali tidak mengantarku berangkat. Aku pikir, Daddy... kecewa padaku." Sorot mata Albus terus memandang ke arah luar jendela.
"Beliau menyayangimu, Mr. Potter." Madam Pomfrey menambahi, "Beliau hanya terlalu kaku mengakuinya."
Mereka hanya terus berusaha meyakinkan Albus. Ini perjalanan pertamanya untuk pergi jauh dari rumah. Lepas dari segala macam perkara medis dan ramuan yang selama ini terus bersamanya. Oleh sebab itulah, suasana yang kondusif dan psikis Albus pelan-pelan akan dijaga.
"Aku mengenal Harry sejak kami masih kecil. Begitu juga dengan Ginny. Aku yakin mereka adalah orangtua yang baik. Mereka akan melakukan apa saja pada orang-orang yang membutuhkan bantuan. Apalagi untuk anaknya sendiri. Mereka akan melakukan apapun agar anak-anaknya bahagia. Agar kamu bahagia. Sekalipun harus menekan ego mereka."
Albus hanya harus membuktikan, jika pilihannya untuk tetap pergi ke Hogwarts memang yang paling tepat. Hanya seminggu, pikirnya. Albus pasti bisa. Meski harus ia turuti beberapa peraturan bahkan sebelum ia resmi masuk ke kastil. Saat berangkat, Albus harus didampingi oleh salah seorang Profesor dan salah satu ahli medis. Kompartemen yang ia tempati harus terpisah dari gerbong lain. Setiap satu jam, ia juga akan diperiksa kesehatannya.
"Aku ingin ke toilet." Tiba-tiba Albus bersuara.
Atas alasan keamanan, Albus akhirnya diantar oleh Neville menuju toilet kereta. Letaknya agak jauh sehingga memang sudah sangat tepat jika Neville ikut mengantar. Saat Albus selesai di dalam toilet, tidak sengaja seseorang tengah berdiri di depan pintu.
"Sorry," pekik Albus. Tongkatnya hampir sekali menekan kaki anak di hadapannya.
"Aku tak apa-apa. Maaf, ya. Aku mengejar Trolly Witch." Kata seorang gadis dengan jaket merahnya, "Kau melihatnya?" tanyanya lagi.
Bukannya menjawab, Albus hanya terpaku menatap wajah manis gadis itu. Rambutnya coklat sepundak dengan hidung dan mata kecil. "Kau lihat dia di mana?" tanya gadis itu lagi.
"Em," Albus tersentak, "aku tak tahu. Maaf."
Setelah mengucap terima kasih, gadis berjaket merah tadi pamit untuk pergi. Namun kontak mata Albus serasa enggan untuk lepas. Sampai suara Neville muncul.
"Albus. Ayo, kembali." panggilnya tanpa ada respon.
"Al—" Neville memanggil sekali lagi.
"Ya," jawab Albus. Mereka pun akhirnya kembali ke kompartemen.
Madam Pomfrey yang seorang diri mencecar pertanyaan kepada Albus karena tak kunjung kembali. "Baru jalan-jalan, ya? Bagaimana.. Hogwarts Express bagus, kan?" tanya Madam Pomfrey sambil tersenyum manis di wajah keriputnya.
"Benar," pikiran Albus kembali membayangkan apa yang ia lihat. Gadis itu. "Cantik sekali." Jawabnya.
Sejak pagi, Lily ikut bersama Percy dan Audrey menginap di rumah mereka. Molly masih belum pergi ke Hogwarts jadi kedua bocah perempuan itu masih bisa berlibur bersama sebelum kembali ke sekolah Muggle masing-masing. Tidak hanya mereka, Hugo pun ikut untuk beberapa hari menghabiskan liburan bersama para sepupunya.
"Sudah cukup, Harry. Semua sudah terjadi. Jangan bilang kau menyesal dengan keputusanmu."
"Kalau memang benar, bagaimana?"
Ginny melipat selimut yang sempat digunakan Harry tidur semalam. Suaminya itu tidak bisa tidur memikirkan nasib Albus yang akan berangkat ke Hogwarts.
"Ini keinginan Albus. Kau sudah menurutinya." Suara Ginny tegas. Terkadang ia sebal dengan sikap Harry yang mudah sekali meratapi sesuatu. Mudah sekali merasa bersalah hingga terus memikirkannya.
"Albus juga ingin mati. Apa aku harus mengabulkannya juga, Gin?"
Harry menjatuhkan dirinya ke atas sofa panjang di depan perapian. Badannya lemas. Kepalanya pusing kurang tidur. Seberat inikah cobaan keluarganya. Beban berat luar biasa dirasakan Harry. Sekali pun Ginny sampai terasa hari-harinya ikut menakutkan. Terus dibayang-bayangi kemungkinan terburuk yang bisa dibayangkan.
"Aku tidak tahu harus bagaimana, Harry. Aku bingung harus memikirkan yang mana."
"Kau jangan sampai stress. Ingat yang ada di kandunganmu."
Terlalu banyak masalah hingga mereka lupa masih ada yang perlu mereka perhatikan. "Kapan kita memberitahu yang lain?" tanya Harry. Belum ada yang tahu. Bahkan anak-anak mereka sendiri.
Mereka hanya duduk nyaman di sofa. Sampai hari sudah semakin sore, tapi mereka belum menyiapkan makan malam.
"Aku rasa, kita biarkan saja dulu. Cukup kita yang tahu. Aku masih belum nyaman untuk—aku hanya belum tenang." Ginny menunduk.
Harry membawa tubuh Ginny untuk ia peluk. Lagi-lagi harus ada yang berkorban untuk masalahnya. Ia tidak percaya, sampai pada anak dan istrinya pun mereka ikut bertaruh demi seorang Harry Potter.
"Aku gagal jadi seorang Ayah, Gin." Tangan Harry menyentuh permukaan perut Ginny yang tertutup blouse rajut dikenakannya.
"Aku sudah berani berkata kurang ajar pada putraku yang sedang sekarat. Bahkan anakku yang belum lahir pun sudah menerima sikap Ayahnya yang seperti monster."
Air mata Harry jatuh. "Maafkan aku, maafkan aku." ungkap Harry.
"Kita suami istri, Harry. Masalahmu juga jadi masalahku. Dan untuk menyelesaikannya, jangan pernah lupa mengajakku. Kita hadapi sama-sama. Aku percaya kamu kuat.. untuk keluarga ini."
Keheningan yang indah. Mereka hanya perlu untuk saling menguatkan. Seburuk apapun, Harry tetap kepala keluarga. Suami dan ayah dari anak-anak mereka. Jika pemimpin mereka saja runtuh, entah apa yang terjadi dengan yang lainnya.
"Bantu aku, Gin. Untuk menjaga kalian." Pintanya ditutup dengan sebuah kecupan singkat pada perut Ginny sebelum suara pekikan keras terdengar dari arah ruang tamu.
"Bloody hell!"
Buru-buru Harry bangkit dan terkejut. Hermione dan Ron tengah berdiri mematung dengan sebuah kantung belanja besar di tangan masing-masing.
Tidak ada topik yang mereka bahas sepanjang makan malam bersama di rumah Harry dan Ginny. Dua pasang suami istri itu masih saling diam dan takut memulai perbincangan. Puding yang dihidangkan sebagai makanan penutup masih utuh di piring Harry. Sementara Ginny baru termakan satu sendok, Hermione tersisa setengah, sementara Ron tandas untuk cup ke dua.
"Ehm—" Ron-lah yang pertama bersuara. Tidak ada yang melirik ke arahnya. Satu tendangan pelan Ron rasakan dari arah samping. Siapa lagi kalau bukan Hermione. Satu peringatan baru saja ia terima.
Ron mengawali dengan terbatuk. "Tidak ada yang salah sebenarnya. Memang, sih.. di saat banyak masalah, kita perlu sedikit bersenang-senang. Cari hiburan." Tutur Ron.
"Ron!" seru Hermione pelan tanpa melihat wajah suaminya.
Dalam hati Hermione berharap mulut Ron dapat dijaga. "Maksudku," Ron bergerak pelan mendengar pekikan pelan Hermione.
"Maksudku.. bercinta memang jadi salah satu hiburan paling menyenangkan bagi pasangan suami istri. Apalagi sampai kita bisa—"
"Ronald Weasley" kali ini Hermione tak tahan dengan mulut suaminya.
"Sorry." Ron diam. Ia melirik Harry yang sempat melempar pandangan datar ke arahnya.
Merasa tak enak, Hermione cepat-cepat menegakkan badannya lantas bertanya pada Ginny yang duduk di depannya. "Sudah berapa lama?" tanyanya lembut berusaha tidak menyinggung.
"Tujuh minggu." Jawab Ginny. Tangannya spontan menyentuh perutnya.
"Dan kalian ingin merahasiakannya? Kenapa?" Hermione mulai bingung.
"Semua demi keamanan, Hermione." Ungkap Harry. "Saat ini masih terlalu berbahaya."
Semua tingkah polah keluarga Potter sedang masalah besar. Salah sedikit akan membahayakan siapapun. Dan tentang kehamilan ini, Harry dan Ginny sepakat untuk merahasiakannya dari siapapun. Setidaknya sampai waktu yang tepat.
"Aku menghargai semua keputusan kalian. Hanya saja, aku rasa kami juga perlu tahu. setidaknya ada orang lain yang tahu agar bisa ikut menjaga." Pinta Hermione.
"Ini berat, Hermione. Sebelum dia tertangkap, siapapun dia, hidupku tidak akan pernah tenang." Harry menjelaskan, jika kondisinya kali ini terasa jauh lebih melelahkan daripada dirinya yang pernah menjadi musuh sepanjang masa dari seorang Voldemort.
Matanya memanas menahan lelehan air mata yang siap kapanpun menerobos. "Entah akan berlangsung sampai kapan. Mungkin sampai aku mati semua ini akan benar-benar berakhir."
"Harry, apa yang kau katakan?" Ginny marah.
"Tapi kenyataannya seperti itu. Berkali-kali aku mengantarkan anakku pada situasi yang membahayakannya... Aku belum siap, Gin, mengantar jasad anakku sendiri ke liang lahat."
Tanpa ada yang menggerakkannya, Harry meninggalkan meja makan menuju halaman depan rumahnya. Di belakangnya dengan gugup Ron ikut mengejar. "Biar aku saja, kau temani Ginny." Cegah Ron pada istrinya.
Tahun pertama adalah waktunya mencari teman. Hal itu tidak dipermasalahkan oleh Scorpius. Ia masih sendiri seperti saat di dalam kompartemen. Sampai ia turun untuk menuju danau pun ia tetap sendiri.
"Semua naik ke perahu. Cari perahu yang kosong. Jangan berebut." Teriak Hagrid mengomando para siswa baru Hogwarts.
Dari ujung dermaga, Neville, Madam Pomfrey, dan Albus masih berjalan pelan. Mengimbangi Albus yang bersihkeras berjalan dengan bantuan tongkat jalannya tanpa kursi roda. Kegelisahan cepat terlihat di wajah Neville saat melihat langit semakin gelap.
"Aku ingin naik perahu juga seperti anak-anak tahun pertama yang lain." Albus terengah.
"Tapi kita bisa ikut naik kereta. Apa kau takut dengan Thestral?"
"Aku masih tahun pertama, Madam. Naik kereta itu nanti kalau aku di tahun ke dua." Albus tersenyum memandang Madam Pomfrey, "kalau pun aku masih hidup tahun depan." Tambahnya pelan.
Neville panik, ia bertugas menyeleksi siswa baru tahun ini. ia tidak boleh terlambat masuk kastil. Kondisi Albus makin membuatnya kebingungan. Tidak akan sampai jika terus menuruti Albus menuju ke danau.
"Semoga masih ada perahu yang belum berangkat." Ucap Albus lirih.
Sesampainya di ujung dermaga, beberapa perahu sudah terisi penuh dan berlayar menuju kastil. Hanya tinggal beberapa. Semua perahu penuh, kecuali satu.
"Tinggal dua orang lagi untuk ikut bersama dia—"
Hagrid, menunjuk sebuah perahu kecil yang sudah terisi oleh seorang anak berambut pirang bercahaya. Sementara Hagrid juga telah duduk nyaman di sebuah perahu yang cukup untuk tubuhnya sendiri.
Albus tahu siapa dia.
"Pergilah bersama mereka, Madam. Aku akan bergegas mencari kereta paling cepat untuk masuk lebih dulu." Neville memberikan mandat agar Albus ditemani Madam Pomfrey. Hanya butuh dua orang saja. Sebenarnya cukup jika disi tiga orang asalkan anak-anak.
Pelan-pelan Madam Pomfrey dibantu Neville menuntun Albus ke atas perahu. Menyimpan tongkat berjalannya sementara anak berambut pirang itu masih tetap diam sembari menggenggam kayu pengait lampu penerang.
"Hai! Akhirnya kita ke Hogwrats bersama juga." bisik Albus sungguh bahagia.
Scorpius tak lagi sendiri. Hanya saja seseorang yang menenaminya adalah dia yang tidak ingin ia temui. "Kenapa harus Albus?" batin Scorpius tak tahu harus berbuat apa.
Meja Gryffindor sebagian pada posisi di ujung mimbar seleksi masih kosong. Cukup luas. Wajib setiap tahunnya setiap asrama memberi ruang untuk siswa baru yang terseleksi masuk ke masing-masing asrama.
Profesor Longbottom, begitu yang para siswa panggil untuk pria tinggi tampan itu. Ia bergegas membawa gulungan yang baru saja diambilnya dari dalam great hall. Berbicara sejenak dengan para profesor lain. Bahkan ia dengan khusus berbisik pada Profesor McGonagall. James Potter dari bangkunya terus diam. Tidak ingin melihat pintu besar di sisi kananya terbuka dan mempersilakan para murid baru itu datang.
Meski ia tahu sepupunya Rose berangkat tahun ini, itu bukan hal yang menakjubkan. Sebab adiknya sendiri tidak berangkat.
"Terus, bagaimana nasib Albus selanjutnya, James? Kalau dia benar-benar tidak bersekolah di Hogwarts?"
Fred Jr berbisik pelan ke sepupu terbaiknya. "Katanya Dad, Albus bisa hidup saja sudah bersyukur. Hogwarts jadi hal yang tidak penting sekarang, Fred." Tutur James.
Tidak lama kemudian, Profesor Longbottom bergegas keluar kembali. Sesaat ketika para siswa yang lain mulai kelaparan, pintu besar itu terbuka. Barisan siswa baru dengan jubah hitam tanpa corak warna asrama satu persatu memasuki Great Hall. Ada yang terkesima dengan interior di sana, atau tegang ketika melihat bangku tinggi dengan sebuah topi tua di atasnya.
Salah seorang siswa baru yang begitu bersemangat adalah Rose Granger-Weasley. Ia berada di barisan paling depan.
"Itu Rose." Sebut Louis di samping James.
Frank ikut mengarahkan pandangan James ke arah anak ayah baptisnya itu. Namun James menangkap sesuatu yang lebih menarik dibandingkan senyum merekah di wajah Rose. Seorang anak yang berjalan menggunakan tongkat. Kacamatanya tebal dengan jubah yang sedikit kebesaran. Terlihat sekali jubah itu dibeli dadakan tanpa tahu ukuran si pemakai.
"Albus." Panggil James lirih. Itu adiknya.
"Mungkin ayahmu berubah pikiran, Jamie. Hogwarts adalah hal yang dibutuhkan adikmu." Ujar Fred Jr ikut bahagia.
"Ya, Albus berhak mendapatkannya." Balas James. Semangatnya naik sempurna untuk menanti kemana adiknya akan masuk. Ia berharap Gryffindor asrama yang dipilihkan topi seleksi itu. James merasa ikut bertanggung jawab menjaga adiknya selama di Hogwarts.
Pundak Albus ditepuk pelan oleh Madam Pomfrey yang setia berdiri di belakangnya. Albus coba diberi tawaran untuk diambilkan sebuah bangku untuk duduk. Seleksi asrama membutuhkan cukup banyak waktu. Wanita tua itu takut jika tubuh Albus tidak kuat menahannya.
"Aku baik-baik saja, Madam." Albus sedikit berbohong. Tangan dan kakinya memang sudah mulai lemas.
Profesor Longbottom sejenak berbicara di depan para siswa baru. Memberikan informasi tentang proses seleksi nanti. "Nama yang akan dipanggil, dipersilakan untuk maju dan duduk di bangku ini." Perintah Profesor Longbottom.
Satu persatu maju dengan gugup. Rose ada di giliran siswa ke 23. Dengan penuh percaya diri ia maju dan duduk di atas kursi tinggi. Perlahan topi seleksi turun dan terpasang di kepalanya.
"Gryffindor!"
Seperti yang diharapkannya. "Demi Dumbledore, terima kasih!" sorak Rose girang. Albus ikut bertepuk tangan mengiringi sepupunya mengambil posisi duduk di bangku panjang Gryffindor.
Hingga siswa kesekian, Albus akhirnya dipanggil. Kakinya lemas. Cukup lama ia menahan rasa sakit itu. Tapi mau bagaimana lagi, itu baru awal. Albus yakin ia tak akan manja dengan kondisi fisiknya.
"Albus Potter." Panggil Profesor Longbottom.
Albus sempat mendapat pertolongan ketika akan naik. Tangannya digenggam erat oleh murid perempuan di depannya. "Hati-hati," sapanya. Gadis dalam kereta itu lagi. Dia juga tahun pertama.
Senyuman Albus teriring hingga ke momen paling menegangkan di awal tahun Hogwarts.
Semua lirih. Topi seleksi bernyanyi sejenak dan berbicara sendiri. Merasakan apa yang dapat ia pilih untuk tempat Albus berada. Hingga di akhir keputusan..
"Slytherin."
Gemuruh tepuk tangan siswa Slytherin bersemangat menyambut Albus yang dipapah duduk. Beberapa siswa tahun ke tiga dan empat memberinya tempat dan membantunya untuk duduk. Mereka bangga ada seorang Potter masuk ke asrama mereka. Setidaknya ini akan membangun image lebih baik.
"Terima kasih, tapi aku ingin duduk di sini," tunjuk Albus pada sisi Scorpius. "Agar lebih mudah kalau keluar kalau di ujung meja." imbuhynya.
"Baiklah, so.. Mr. Malfoy, boleh kau sedikit bergeser?" minta Madam Pomfrey.
Ia hanya duduk, beberapa saat kemudian ia akhirnya bergeser. Semua siswa tidak ada yang ingin duduk dengannya. Tapi berbeda dengan Albus.
"Kita tidak hanya satu sekolah, tapi satu asrama juga. Aku harap kita juga satu kamar yang sama." Dengan senyum lemah, baru kali ini Albus merasa bahagia. Keputusannya ke Hogwarts memang tidak salah. Ia bersama Scorpius.
Scorpius tetap diam. "Scorpius? Kau mendengarku, kan?" panggil Albus tanpa bosan.
"Semoga kita bisa—"
"Jangan berharap banyak, Potter." Suara Scorpius datar namun dalam. Albus terkejut bukan main. Mengapa Scorpiusnya bisa sedingin itu.
"Scorpius, kau—"
"Sebagian besar siswa yang berasal dari keluarga terpandang ada di Slytherin. Kau bisa mendapatkannya yang kau mau."
Beberapa siswa yang diseleksi turut mendapat asrama yang sama, Slytherin. Mereka duduk bergantian dengan rasa bahagia. Saat seorang siswa baru Slytherin datang, Scorpius memberi ruang tepat di antara dirinya dan Albus.
Albus kini memiliki jarak dengan Scorpius. Dan mungkin beberapa hari mendatang. Jarak itu bisa semakin jauh. Scorpius menghindarinya, sejak di hari pertama.
...
"Kalian tidak boleh seperti ini. Ini sama saja dengan kalian yang membuat situasi sekarang semakin parah."
Hermione menyodorkan segelas teh hangat pada Ginny. Semua piring dan peralatan makan malam mereka telah bersih. Makan malam mereka sudah cukup. Selera makan mereka hilang dengan suasana hati yang semakin tidak menentu.
"Harry menyiksa dirinya, Mione. Selalu merutuki kesalahannya. Bahkan akhir-akhir ini ia menjadi gila kerja. Lebih banyak pikiran dan tenaganya dihabiskan untuk melampiaskan emosinya. Bahkan hari ini dia sama sekali tidak ikut mengantar James bahkan Albus berangkat ke Hogwarts."
Sepengetahuan Hermione, Harry memang jauh lebih banyak menghabiskan waktu di Kementerian. Menyelidiki dengan usaha yang begitu gigih menemukan pelaku yang membuat Albus menderita. Beberapa kali Hermione menemui Harry untuk memintanya pulang beristirahat. Tapi tidak. Harry menolak.
Meski demikian, Harry masih memikirkan keluarganya dari jauh. Ia menyiapkan segala kebutuhan James dan Albus untuk ke Hogwarts. Jubah, buku, kuali, tongkat.. Harry yang mengurus semuanya. Tanpa Albus ketahui.
"Kau jauh mengenal Harry dari siapapun, Ginny."
"Ya," Ginny mengangguk, "dan itu yang membuatku takut."
Ginny mengayunkan tongkatnya untuk menutup tirai di jendela dapur. Sihirnya masih bisa dikendalikan. Kandungannya masih sangat muda, urusan sihir masih bisa ia kendalikan.
"Harry bisa dengan mudah bertindak diluar ekspektasi siapapun. Dia akan melakukan apapun bahkan nyawanya tak lagi ia hiraukan."
Ginny terisak. Badannya terguncang menahan tangis. Dengan segera Hermione memeluknya dengan begitu hangat.
Benar saja. Albus dan Scorpius masuk dalam satu kamar yang sama. Bersama Dylan, Austin dan Kenneth. Posisi ranjang mereka sudah terpisah ketika masuk. Scorpius ada di ujung dekat pintu, sementara Albus ada di tengah. Ada di antara mereka adalah ranjang Dylan dan Kenneth. Albus tidak bisa berbuat apa-apa. Semua sudah diaturkan.
Keesokan paginya Albus bangun terlambat. Ia semalaman tidak bisa tidur. Hanya memandang puinggung Scorpius yang berbaring miring memunggunginya. Tanpa sebab yang diketahui Albus, Scorpius berusaha menjauhinya.
Dan pagi ini, semua ranjang telah kosong. Tapi suara ramai terdengar di luar kamar. masih cukup pagi. Dalam pikiran Albus, ia mungkin tidak akan terlambat pagi ini untuk sarapan bersama.
"Morning." Sapa Dylan. Ia sudah rapi dengan seragam Slytherin barunya. "Cepatlah mandi, Albus. Sebentar lagi kita sarapan di Great Hall."
"Morning, terima kasih, Dylan." Jawab Albus senang ada yang menyapanya.
Dylan anak yang baik. Anak yang ceria dan suka humor. Dia juga yang paling cerewet di antara teman satu kamarnya yang lain. Albus sampai teringat dengan pamannya, Ron.
Hanya Dylan yang menyapanya, bukan Scorpius.
Hal yang paling Albus benci adalah tangga Hogwarts. Kastil itu terlalu besar. Ia mudah sekali lelah ketika harus naik turun tangga. Tidak seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Hogwarts memanglah seberat itu.
Dari pagi hingga siang hari Albus melewatinya dengan susah payah. Bruntung jika ia bertemu sepupu-sepupunya, James, atau Profesor yang akan membantunya pergi ke suatu tempat. Sisanya, jika tidak ada mereka, ia akan melakukannya sendirian.
"Kenapa seperti ini?" Albus meratapi dirinya. Baru saja ia menjalani hari di Hogwarts, semua terasa begitru berat. Albus menangis. Namun cepat ia urungkan. Ia tidak boleh selemah itu. ia akan membuktikan jika ia bisa bertahan. Satu minggu adalah waktu yang singkat. Jika ia bisa melaluinya, ayahnya pasti akan percaya jika ia anak yang kuat.
Albus melihat tumpukan buku di ranjangnya. Sebentar lagi ada kelas mantera. "Semangat, Albus." Ia mencoba menyemangati dirinya sendiri.
Bruk! Tanpa sengaja ketika Albus ingin berdiri, bukunya terjatuh dan masuk ke kolong ranjang. begitu juga tongkat sihirnya. Terlalu jauh Albus raih. Untuk menunduk Albus kesulitan. Kakinya berat sekali untuk ditekuk atau merangkak di lantai. Ia tidak bisa masuk kelas mantera tanpa tongkat dan buku-bukunya.
"Bagaimana ini?" Albus panik. Mantra apapun tidak bisa ia lakukan.
Sementra itu, di kelas manteranya. Profesor Flitwick sudah bersiap memulai pelajarannya. Ketika akan memulai, ia memperhatikan satu persatu murid barunya. Para profesor sebelumnya telah mendapat informasi, khususnya bagi profesor yang mengampu kelas tahun pertama. Mereka diminta memberikan kelonggaran untuk siswa bernama Albus Potter yang memiliki kebutuhan khusus.
"Saat di Great hall, aku melihat Mr. Potter di bangku Slytherin. Dan sepertinya juga masuk di kelas Transfigurasi. Di mana dia sekarang?"
Beberapa siswa langsung saling berbisik. Menoleh ke kanan dan kiri mencari teman mereka itu.
"Mungkin dia sedang dalam perjalanan. Jadi, kita tunggu dia. Pelajaran tidak akian dimulai sampai Mr. Potter datang."
Sorak sorai protes siswa yang lain saling terdengar. Lagi-lagi seperti ini. Mereka harus mengorbankan waktu mereka untuk menunggu Albus yang berjalan lama. Scorpius benci mendengar itu semua. Sontak, ia mengangkat tangannya meminta ijin untuk keluar.
Scorpius berlari ke kamarnya. Ia tidak menemukan Albus di sepanjang lorong bahkan toilet. Tinggal kamar.
"Hey," panggil Scorpius cukup kencang.
Albus terlonjak. Cepat-cepat menghapus air matanya dan membenarkan duduknya di atas ranjang. "Scorpius, kau datang membantuku—"
"Apa-apaan kau ini?" Scorpius marah.
"What?" Tanya Albus terkejut. Ia tak pernah melihat Scorpius sekesal itu. ia menunduk takut.
"Kenapa kau masih di sini? Kau lupa ada kelas mantera sekarang?"
Albus senang, rupanya Scorpius memang datang untuk dirinya. "Ya, aku tahu," jawab Albus pasrah. "Tapi aku tak bisa ke sana. Buku dan tongkatku jatuh ke kolong ranjang dan aku.. aku tak bisa mengambilnya."
Belum selesai Albus menjelaskan duduk perkaranya, Scorpius lebih dulu berjongkok dan merangkak masuk ke kolong ranjang Albus. Mengambil buku dan tongkatnya. Setelah dapat, Scorpius meletakkan kembali ke atas ranjang Albus sedikit kasar.
"Terima kasih sudah mau membantuku." Bahagia Albus mengatakannya.
"Scorp—" panggil Albus namun dibalas dengan tatapan tajam Scorpius.
"Profesor Flitwick tidak akan memulai pelajarannya tanpa kau. Jadi cepatlah! Jangan membuat anak-anak yang lain kecewa kelas dibatalkan hanya karena menunggumu."
Scorpius mendekatkan tongkat Albus lantas berbalik cepat hendak pergi lagi. Rasa bahagia Albus yang mendapat bantuan Scorpius seketika runtuh, kecewa. Scorpius datang hanya demi menyelamatkan pelajarannya dan siswa lain. Bukan tulus untuk menolongnya.
"Maafkan aku." ujar Albus. Scorpius menghentikan langkahnya tepat di depan pintu. "Aku tak berharap mendapatkan bantuan dari siapapun. Aku masih berusaha untuk mandiri. Tapi nyatanya memang sulit."
Suara bergetar Albus menghentak dada Scorpius. "Aku punya waktu satu minggu."
Apa lagi ini, batin Scorpius. Begitu sulitnya ia meninggalkan orang pertama yang menyebutnya sebagai teman. "Aku harus bisa menjalani hari-hariku dengan baik jika aku mau terus bersekolah di sini. Aku akan membuktikan jika aku bisa. Tapi jika tidak, satu minggu ini akan jadi satu minggu pertama dan terakhir untuk kita bisa bersama sebagai sahabat. Dan selanjutnya, aku akan pergi untuk menunggu waktu-waktu terakhirku rumah. Dan aku tidak mau itu terjadi."
Scorpius masih menunggu. Badannya kaku takut berbalik. Di kepalanya tergambar jelas betapa lemahnya seorang Albus Potter tanpa dirinya.
"Aku bahagia di sini, Scorpius. Aku bahagia bersamamu."
Kuat sekali kata-kata Albus hingga meruntuhkan pertahanan Scorpius. Ia menangis. Namun seketika ia mengingat kata-kata Harry Potter, ayah Albus sendiri padanya.
"tolong jauhi putraku dan lupakan dia."
Kata-kata itu terus terngiang di telinga Scorpius.
"Aku tidak tahu apa yang membuatmu seperti ini. Di mataku kau adalah sahabat terbaikku. Kau tak akan membuatku terluka. Tidak akan pernah. Bukan begitu, Scorpius?"
Scorpius tetap tidak bisa. Lebih tepatnya belum sanggup. "Maafkan aku." ucapnya singkat lantas berlalu pergi meninggalkan Albus seorang diri.
TBC
