Hi, everyone!
Anne kembali. Tidak ada cuap-cuap, Anne langsungkan saja.
Happy reading!
Sesuatu yang tidak nyaman terasa mengganggu di perut Ginny. Kencang seperti kram. Rasanya hingga tembus ke bagian pinggangnya. Menjalar hingga ke ulu hati. Sejenak ia perhatikan pria yang kini tertidur di sisinya. Kehidupan mereka sedang ada pada masa-masa diuji. Terlalu banyak masalah hingga perkara untuk terlelap saja mereka sulit.
Apalagi untuk hari ini. Pikiran Ginny dan Harry kembali dibebani dengan kabar yang datang pagi tadi tentang kondisi Albus di sekolah. Harry bahkan tak bisa bekerja dan memutuskan pulang lebih cepat. Memilih menyendiri di ruang kerjanya hingga larut menunggu kantuk tiba. Meski nyatanya itu sulit.
Maka dari itulah Ginny berusaha untuk tidak mengganggu tidur Harry. Masih sama seperti malam-malam biasanya. Rasa sakit itu tetap ia rasakan seorang diri. Bukan waktunya untuk menambah beban, batin Ginny.
Enam hari sudah putranya berusaha keras di Hogwart dengan keterbatasannya. Sampai Professor McGonagall memberi kabar tentang perkembangan Albus. Banyak hal terjadi mulai Albus tidak mengikuti kelas, terluka tanpa tahu sebabnya, mendapat perlakuan tidak baik karena siswa lain merasa dirugikan atas Albus. Dan perkara lain yang membuat Harry sempat naik darah.
"Gin—"
Ginny menahan suara desahan napasnya yang memburu akibat rasa sakit itu. Harry terbangun. "Ada apa?" tanya Harry. Matanya terbuka. Tanpa kacamata membuatnya pusing. Apalagi kamar mereka sedang gelap.
"Tidak apa-apa, Harry. Hanya—" Ginny terdiam seketika saat pijatan pelan Harry ia rasakan di pinggulnya. Harry tahu tentang penderitaannya. Pijatan yang sama dengan yang sering Harry lakukan setiap ia mengeluh sakit ketika hamil dulu.
"Kita periksa. Besok aku antar ke St. Mungo." Harry memperbaiki posisi berbaringnya agar lebih leluasa memijat. "Aku beberapa kali melihatmu kesakitan, Gin. Aku takut terjadi apa-apa." Keluhnya.
"Jangan," Ginny tak mau, "akan jadi berita besar kalau penyihir-penyihir di luar sana melihat kita berdua masuk ke ward kandungan." Kata-kata Ginny langsung menyadarkan Harry.
Akhirnya Harry memikirkan itu. Mereka masih merahasiakannya pada publik. Hanya keluarga dan beberapa sahabat yang mengetahuinya. "Aku tak peduli." Kata Harry meski tangannya tak berhenti memijat. "Aku tak peduli semua orang akan tahu tentang kehamilanmu. Kita tidak akan menyembunyikan ini selamanya, Gin." Tambahnya.
"Tapi Albus—"
"Albus akan senang dengan berita ini jika ia tahu. Dan semoga kondisinya akan semakin baik."
Harry rengkuh tubuh Ginny. Membisikkan kata-kata penenang sebisanya. Mengecup dahi wanita itu beberapa kali. Mengusapnya menyalurkan rasa hangat. "Masih ada waktu. Kamu tenanglah. Aku akan terus memantau Albus untukmu. Untuk kita." Kata Harry begitu yakin.
Hasil tes Albus untuk kelas manteranya sangat buruk. Apalagi untuk praktik. Albus beberapa kali gagal dalam mencoba mantera-mantera sederhana yang diajarkan. Belum lagi untuk tes tertulis. Hancur dengan nilai sangat amat rendah.
"Mungkin kalau para profesor di sini tidak kenal Ayahmu, perkamenmu itu bisa jadi tidak ada angka yang tertulis sama sekali, Potter Squib."
Sekumpulan siswa Slytherin lain yang kebetulan lewat di samping Albus mengoloknya. "Ternyata kata adikku benar. Kau tak sehebat yang pernah dilakukan ayahmu. Menaikkan sapu saja tidak bisa apalagi merapal mantera. Itu masuk akal sekali." Oloknya.
"Kalau memang iya, ada masalah denganmu? Kita bahkan beda tahun." Kata Albus. Ia memilih menepi dan bersandar di dinding dengan tangan masih memegang erat tongkatnya. Albus takut jika mereka akan bersikap hal yang sama dengan anak-anak yang pernah mendorongnya. Luka di pipi kiri Albus akibat didorong murid lain yang mengoloknya baru saja kering setelah Scorpius diam-diam mengobatinya ketika tertidur. Rasa nyeri di wajahnya setelah menghantam pilar kastil dua hari yang lalu masih terasa.
Dan Albus tidak mau itu terulang lagi.
Tiga orang Slytherin itu maju. Mereka jauh lebih tinggi dibandingkan Albus. Ia benar-benar tidak bisa berkutik sekarang. "Berani juga rupanya." Suara Leon meninggi. Tanpa disadari Scorpius tengah berdiri di salah satu pilar untuk bersembunyi.
"Albus—" Scorpius takut namun tetap berusaha untuk menjaga jarak.
Yang ada di kepalanya sekarang Scorpius harus segera menyelamatkan Albus. Memberitahu profesor atau Prefek atau siapapun itu.
"Perkamen menjijikkan, eh—"
Perkamen yang dibawa Albus tiba-tiba saja melayang sebelum sempat dirampas oleh Leon. Perkamen itu terbang ke kiri dan ke kanan, mengikuti ayunan tongkat Scorpius. "Rasakan itu—" bisik Scorpius.
Merasa dilecehkan, Leon dan teman-temannya memilih menjauhi Albus setelah tangannya dengan mudah mendorong pundak adik kelasnya hingga terdorong ke tembok. Untung saja Albus tidak sampai jatuh meski pundaknya nyeri juga.
Scorpius bergegas pergi. Yang ia pikirkan saat ini adalah menemui James. Ia sudah tidak tahan dengan perlakuan Leon dan teman-temannya pada Albus. Sebagai kakak Albus, James perlu tahu itu.
Terseok-seok Albus memunguti beberapa lembar perkamen hasil tesnya. Tidak ada yang bisa dibanggakan. Dari dalam kamar ia mendengar Kenneth dan Austin berbincang bahagia karena hasil tesnya yang bagus. Sampai Austin muncul dan menyapa.
"Hi, Al. Kau tak ikut makan malam?" tanya Austin sembari menarik syalnya dari balik selimut.
Albus mengeleng pelan. "Aku mau istirahat saja. Aku masih ada makanan yang sempat diberikan Anthony." Albus mengangkat sekotak kue dan puding yang diberikan oleh Prefek Slytherin itu beberapa jam lalu.
"Baiklah, aku akan bawakan yang lain nanti. Kalau kau mau?"
"Tidak terima kasih."
Austin melambaikan tangannya pamit. Tinggallah Albus sendirian. Menikmati kesunyian kamarnya yang semakin lama begitu mengerikan. Menjadi orang yang selalu sendiri.
"Scorpius." Nama itu yang kembali Albus ucapkan. Sebuah botol berisi air minum penuh telah siap di meja sisi ranjang Albus. Ia tahu Scorpiuslah yang selama ini membantunya diam-diam.
"Selalu saja kamu. Mau jadi apa aku kalau tidak ada kau, Scorp—"
"Tentu saja. Kau bersyukur memiliki teman yang baik seperti Scorpius."
James Potter. Datang dengan sebuah gulungan koran terselip di saku celananya. Diam-diam ia datang dengan senyuman khasnya. Rambutnya acak-acakan. Bajunya kotor. Ada noda debu di pundak dan lengannya.
"James," Albus terkejut kakaknya datang ke kamarnya.
"Dia anak yang baik. Entah apa jadinya kalau selama ini dia tidak melaporkan semua ulah Leon dan antek-anteknya padaku."
Albus terhenyak dengan perkataan James. Lantas memilih berbaring dan menyamankan kepalanya yang kembali pusing.
"Aku tidak pernah tahu selama ini kau—maafkan aku, Albus."
James ikut masuk ke balik selimut Albus. Berbaring saling berhadapan seperti yang sering mereka lakukan saat kecil dulu. Tidur bersama setelah satu cerita habis dibacakan Ayah atau Ibu mereka.
"Kau tidak salah. Mungkin memang aku saja yang tidak bisa apa-apa." Kepala Albus ia tenggelamkan pada selimut yang terus ia remas. "Aku lemah, James." Isaknya.
"Mereka yang tidak tahu seberapa kuat dirimu, Albus." James peluk kepala Albus agar berlindung di dadanya. Sudah semestinya James ada untuk terus melindungi adiknya dari siapapun yang berani melukainya.
Mereka saling memeluk. James membiarkan Albus terisak di pelukannya. Biarkan Albus menunjukkan kelelahan dirinya. Dan James akan terus kuat untuknya.
"Mereka tidak tahu dirimu, Albus. Tidak tahu." bisik James.
Albus tenang meski kini ia merasakan jika akhirnya semua itu telah menumpuk jadi satu. keputusan besar akan segera ia putuskan sekarang. Sebuah pilihan terbaik yang akan menyelamatkan semuanya.
"Tolong beri tahu Mum dan Dad. Agar mereka menjemputku besok."
James terkejut. Albus menyerah.
"Kau masih ada waktu. Tinggal sehari saja, Albus."
Albus menggeleng yakin. "Aku tidak mau mengorbankan orang lain untuk diriku. Sudah cukup, James. Aku selesai." Albus menatap James yang mulai berkaca-kaca. Lagi-lagi Albus melihat orang lain ikut terluka karenanya.
"James—" panggil Albus. Ia menyentuh ujung bibir James yang membiru dan sedikit lebam. Bahkan ada goresan luka dengan darah mengering di dagunya.
"Kau terluka." Kata Albus khawatir.
James hanya bisa memeluk lagi sang adik. Menghindari kontak mata hijau itu semakin lekat melihat luka di wajahnya. "Terkadang kita harus ikut terluka untuk mengerti rasa sakit orang lain, Al." Ujar James sambil mencoba menyembunyikan luka lain di tangannya.
"Tidurlah, semua akan baik-baik saja."
"Ya, aku akan berusaha tidur dengan nyenyak pada malam terakhirku ada di Hogwarts. Semoga aku bisa mimpi indah." Albus tersenyum. Kacamatanya telah dilepas oleh James dan diletakkan di atas meja.
"Harus, kau harus bahagia, Al. Aku akan pastikan itu. Apalagi, sebentar lagi kita akan punya adik."
"Hah?" Albus terkejut saat sebuah koran yang dibawa James menunjukkan sebuah berita tentang kedua orangtua mereka, "adik baru? Setelah Lily? Mum dan Dad belum pernah cerita dengan kita, James."
"Itu dia." James menggulung kembali korannya dan bergegas tidur dengan nyaman. "Aku juga terkejut saat banyak temanku bertanya tentang yang ada di koran. Mangkanya, aku memilih tidur di sini saja daripada makan malam bersama. Aku yakin di sana pasti sedang membicarakan aku. Uh.. membicarakan keluarga kita."
Albus tertawa. "Kau bisa makan kue milikku. Masih banyak, kok."
"Syukurlah. Aku tidak kelaparan malam ini."
James meraih kue Albus dan memakannya sesuap demi sesuap. Albus melihatnya dengan senyuman merekah. James selalu bisa tersenyum untuk orang-orang di sekelilingnya. Ia bangga memiliki kakak seperti James. Albus pun bahagia dengan Lily sebagai adiknya yang juga amat sangat menyayanginya sejak dulu. Dan sebentar lagi akan ada anggota baru.
Yang entah mengapa Albus takut jika tidak sempat bertemu dengan adik barunya nanti.
"Kau bahagia, James?"
Pertanyaan tiba-tiba Albus menghentikan James mengunyah kuenya.
"Untuk?"
"Seorang Potter baru." Ujar Albus.
"Jelas. Keluarga kita akan semakin ramai karena bertambah satu orang lagi." Wajah James sumringah bertutur tentang bagaimana adik baru mereka nanti. Sementara Albus, berpikir tentang apakah adiknya nanti lahir sebagai ganti akan dirinya.
Pelan-pelan terdengar suara beberapa orang berbicara pelan. Scorpius berusaha mengumpulkan kesadarannya perlahan. Ada suara orang keluar masuk di kamarnya. Terus beriringan dengan percakapan yang entah apa.
"Nanti biar disiapkan kursi rodanya di depan." Kata Neville dengan begitu pelan.
"Di lorong utama saja tidak masalah. Aku bisa jalan dengan tongkatku." Balas Albus.
"Tapi, sayang. Kita bisa lewat jalur khusus. Kursi rodamu bisa dimasukkan kemari."
Ibu Albus terus meyakinkan jika semua urusan kepulangan itu telah siap. Bahkan pihak Hogwarts pun sudah memberikan akses tercepat dan aman untuk Albus.
"Aku yakin, Mum. Aku masih sanggup jalan."
Scorpius melihat Albus dipeluk hangat oleh Ibunya membuatnya iri. "Daddy yang minta. Mum mohon kali ini kau menurut, ya." Ginny memohon begitu memelas.
Albus setuju dan membiarkan Ibunya dan sang bibi Audrey membereskan barang-barangnya untuk dibawa keluar kamar. Satu persatu Audrey dibantu Neville memboyong tas ramuan, koper, dan beberapa perlengkapan Albus keluar.
Dari arah ranjang paling ujung, Scorpius menyaksikan semuanya dengan diam.
"Scorpius." Panggil Albus.
Ginny melihat Scorpius terbangun dan tampak ketakutan ketika disadari keberadaannya. Tidak ada masalah bagi Ginny dengan hubungan persahabatan Albus dan Scorpius. Bahkan berdasarkan cerita James dari suratnya, Scorpiuslah yang selama ini membantu Albus melewati hari-hari beratnya di Hogwarts.
"Mum bawa pakaianmu ini keluar, ya. Istirahatlah dulu sebelum kita pulang. Bersantailah. Kau pasti akan merindukan kamar ini." Ginny bangkit dari duduknya menuju pintu keluar. "Bukan begitu, Scorpius? Titip Albus sekali lagi, ya. Terima kasih." Ujar Ginny dengan senyuman hangat kepada Scorpius.
"Aku menyerah di hari terakhirku." Albus mengangkat kedua tangannya ke atas tanda pasrah sambil tersenyum.
"Ya. Itu sayang sekali." Balas Scorpius.
Bukannya membalas, Albus tersenyum. "Di luar mendung. Jaga kesehatan, ya." Katanya.
Albus menggenggam miniatur jendela sihirnya yang kini sedikit gelap. Hadiah natal dari Scorpius. Tidak pernah Albus membiarkan benda itu jauh darinya. Baginya itu adalah hadiah terbaik yang pernah ia dapatkan seumur hidupnya.
"Terima kasih, Scorp. Berkat kau, aku merasa hidupku masih ada gunanya." Albus tersenyum. "Setidaknya aku pernah ada untuk menjadi sahabat seorang Scorpius Malfoy."
Scorpius tidak bisa berkata apa-apa. Hingga saat ini Albus masih menganggapnya sebagai sahabat. Sesuatu yang sangat ia inginkan sejak kecil, seorang sahabat.
"Aku belum bisa sepenuhnya menjadi sahabat yang baik."
"Wow," Albus seolah terkejut dengan pernyataan Scorpius, "kau bilang belum bisa sepenuhnya menjadi sahabat yang baik? Aku jadi penasaran betapa beruntungnya aku kalau sekarang saja kau sudah membuatku sangat amat bahagia, Scorpius."
Albus tersenyum dengan linangan air mata yang entah bagaimana ia akan tahan. Scorpius memeluknya dengan pelukan hangat. Tujuh hari mereka bersama, baru kali ini Scorpius dapat melepas semua egonya untuk mengacuhkan Albus.
"Aku tahu dirimu, Scorpius. Kau sahabat yang baik. Terima kasih."
Setelah perpisahan kecil antara Albus dan Scorpius, Austin, Kenneth, dan Dylan pun turut menyampaikan rasa sedihnya akan berpisah dengan Albus. Selain Scorpius, Albus senang ketiga sahabatnya itu mau memandangnya layaknya seorang teman. Walaupun Albus tahu, mereka tidak sedikit selalu disusahkan atas kekurangan Albus.
Semua sudah siap. Sebuah kursi roda disiapkan di sisi ranjang Albus. Harry tampak masuk di antara kerumunan beberapa orang yang mengantar kepulangan Albus.
"Dad," panggil Albus. "Maafkan aku."
"Maafkan Daddy juga, nak."
Mereka saling berpeluk sebelum Harry pelan-pelan menggendong tubuh Albus untuk didudukkan di atas kursi roda.
Untuk Albus, Hogwarts telah usai. Ia melambaikan tangan ke arah keempat sahabat di kamarnya sebagai tanda perpisahan. Satu minggu yang berharga. Bahkan beberapa siswa Slytherin lain turut keluar dan melihat Albus yang diantar pulang.
Sampai pada saat Neville dan Profesor Slughorn mendekat, dengan James yang berdiri tegar di belakang mereka menatap bangga Albus. Harry seperti ditahan oleh dua profesor yang menjabat sebagai kepala Asrama Gryffindor dan Slytherin.
"Mungkin sebelumnya, Mr. Potter... bisa minta waktu sebentar?"
Harry terdiam saat profesor Slughorn menahannya. "Ya," jawab Harry. Beberapa siswa yang tampak di ruangan itu dibubarkan untuk segera menyantap sarapan mereka ke Great Hall.
"Kami meminta kesediaan waktu untuk anda sebagai orangtua dari siswa bernama James Potter untuk menghadap ke Kepala Sekolah."
Sebuah surat diserahkan Profesor Slughorn kepada Harry sebagai bukti. "James diketahui semalam melakukan aksi pemukulan kepada siswa Slytherin atas nama Leon Johansson dan dua sahabatnya di toilet laki-laki hingga mendapatkan perawatan." Jelas Neville.
James tersenyum bangga ke arah Albus yang kini menangis mengetahui alasan luka di wajah James semalam. Kakaknya benar-benar membuktikan kata-katanya. James telah berhasil membuat Leon dan teman-temannya mengerti rasa sakitnya.
TBC
#
Aku makin cinta dengan James... hahaha... Bagaimana dengan kalian?
Anne akan berusaha untuk sering-sering update di musim liburan ini. Doain aja, ya! Anne tunggu reviewnya! Sampai jumpa.
Thanks,
Anne x
