Hi, everyone!
Ephemeral sudah tamat di Wattpad. Jadi, sekarang giliran di sini akan Anne tuntaskan, ya.
Happy reading!
Sosok Harry tidak terlihat di rumah keluarga Potter hingga sore. Albus dan Ginny ditemani Ron pulang lebih dahulu. Sementara Harry mencoba mengurus perihal ulah James yang memukul siswa lain hingga babak belur. Albus lebih dulu dipulangkan agar bisa beristirahat dengan cepat.
Saat itu Albus sedang setengah berbaring nyaman di sofa dengan selimut menutup separuh tubuhnya. Bruno, anjing kecilnya ikut bergelung nyaman di atas pangkuan Albus. Akhirnya mereka bertemu lagi.
Di sisinya ada Lily dan Hugo yang semangat membaca beberapa buku pelajaran Hogwarts milik Albus. Sambil sesekali menyimak cerita Albus tentang pengalamannya bersekolah. Sementara Ginny sibuk menyiapkan makan malam di dapur. Ia menyerahkan urusan anak-anak pada Ron. Ya, setidaknya sampai Harry datang.
"Minumlah, mumpung masih hangat." Ron menyuguhkan secangkir susu hangat buatannya. Lantas berlalu menuju perapian menata bara apinya.
"Em.. terima kasih, Uncle." Jawab Albus.
Melihat sang Ayah memberikan minuman untuk sepupunya, Hugo mendekat ke sisi lain Albus untuk membisikkan sesuatu.
"Kau yakin dengan susu buatan Dad, Al?" tanya Hugo dengan berbisik.
Albus memandang Hugo yang khawatir. "Yakin bagaimana?" Albus kembali bertanya.
"Em.. tentang rasanya. Kau pernah minum sesuatu buatan Daddy? Sejauh yang aku tahu, untuk urusan minuman, Daddy hanya jago menghidangkan jus botolan. Karena sudah manis dan tinggal tuang saja. Dia payah, bahkan untuk membuat kopi dari serbuk instan saja rasanya tidak enak."
Lily menutup mulutnya dengan buku agar tak terdengar suara tawanya. "Tapi susu juga tinggal tuang saja, Hugo." Protes Lily ketika dipikir pernyataan Hugo sedikit tidak masuk akal.
"Susu itu tidak manis, Lils. Dad sudah terbiasa kalau minum susu pasti akan menambahkan gula. Banyak sekali gula."
"Itu dia. Terakhir susu yang dibuat Daddymu memang... sangat manis, Hugo." Albus berusaha menjelaskan sepelan mungkin.
Hugo mengangguk paham. Tanpa bertele-tele, ia ambil gelas susu Albus dan menyesapnya sedikit. "Benar apa yang aku tebak." Ujarnya. Hugo pun menyerahkan susu itu pada Lily.
Lily menenguknya sekali. "Oh, wow," ia letakkan kembali gelas itu ke maja. "Aku sarankan jangan meminumnya, Al. Darahmu bisa bermasalah." Lily mewanti-wanti. Hugo ikut terbahak hingga Ron menoleh.
Akhirnya ia merasa juga sedang dibicarakan.
"Hey, susu ini untuk Albus! Kenapa kalian berdua seperti baru saja meminumnya?"
Hugo gelagapan. Tidak mau disalahkan seorang diri, Hugo menunjuk Lily ikut menjadi tersangka. "Lily juga minum, Dad." Protes Hugo.
"Kami hanya ingin menyelamatkan Albus, Uncle Ron. Sekaligus menyelamatkanmu... dari Mummy."
Hugo dan Lily berlari menuju dapur demi meminta perlindungan kepada Ginny. Lily berkoar tentang susu buatan Ron yang kemanisan. Akan jadi kebiasaan jika tidak ditegur secara langsung. Ron tidak bisa menyamakan dirinya dengan kondisi Albus saat ini.
"Kalau pun Albus sehat, aku juga melarangmu memberi sesuatu yang terlalu manis, Ron."
Ginny mematikan kompornya. Sepanci kecil krim jagung ia angkat dan diletakkan di coffe table seberang kabinet dapurnya. Ron mendengus tak suka. Baginya, Ginny keterlaluan menerapkan peraturan diet gula bagi seluruh anggota keluarganya. Dari awal menjaga kondisi kesehatan Harry yang memang memiliki gangguan jantung dan masalah awal dengan kadar gula darahnya.
"Kalau di sini Albus bisa kau awasi. Terus.. waktu dia di Hogwarts bagaimana? Kau tahu bagaimana makanan-makanan di sana kan, Gin?"
Ron mencoba mencari jawaban penasarannya pada Albus. "Hogwarts tempat yang besar. Banyak makanan yang super enak." Ron terdiam sejenak membayangkan rasa nikmat kue Hogwarts di mulutnya. Menggoda sekali. "Kau sudah merasakannya, bukan?" tanya Ron.
"Aku hanya memakan beberapa saja, Uncle. Para profesor memantrai meja Slytherin agar aku hanya bisa mengambil makanan yang.. aman aku makan."
Dua anak di dapur yang ikut mendengarkan penjelasan Albus hanya bisa diam. Ternyata baru mereka tahu jika di Hogwarts pun Albus masih harus dispesialkan. Meski demikian, mereka selalu tertarik dengan hal-hal berbau Hogwarts.
"Aku lebih sering dapat makanan langsung yang aku makan di kamar." Albus ingat.
Sepanjang ia berada di Hogwarts, berada di Great Hall hanya beberapa kali ia kunjungi. Untuk waktu pagi misalnya. Makan malam lebih sering ia jalani seorang diri di kamarnya. Atau berdua dengan Scorpius yang sering beralasan sakit perut sehingga ada kesempatan istirahat di kamar. Hingga pada akhirnya Albus tahu niat Scorpius itu demi dapat menemani Albus yang kesepian setiap malam.
"Makanan?" pertegas Ron.
Albus mengangguk. "Makanan yang sedikit hambar dan itu-itu saja—"
"Harry yang meminta semua itu pada pihak Hogwarts." Ginny mengaku. Ron mendengus seolah berkata, sudah kuduga. Albus juga tersadar. Semua yang ia dapatkan di Hogwarts adalah hasil perintah dari ayahnya. Sekarang ia mulai tahu. Beberapa siswa Hogwarts selalu menyebutnya mendompleng nama besar sang Ayah memang benar adanya.
Semua perkara kondisi Albus hingga permasalahan makanan sudah Harry sampaikan kepada pihak Hogwarts. Jauh sebelum Albus benar-benar berangkat waktu itu. Harry meminta kebijakan khusus dari pihak sekolah. Hal ini sangat penting agar dapat menjaga sesuai ketentuan boleh dan tidaknya Albus lakukan selama di asrama.
"Bloody hell, agak keterlaluan, sih. Tapi mau bagaimana lagi."
Pipi kanan Albus ditepuk pelan dua kali. Ron mengerti Harry akan melakukan semua itu demi keselamatan putranya.
"Oh, ya." Ron melihat ke arah perapian dan pintu depan bergantian. "Harry belum kembali?" tanyanya.
Masih di dapur Ginny hanya menggeleng. Lily dan Hugo diminta bermain di ruang tamu dan membiarkan Albus istirahat tanpa ada gangguan. Namun tidak lama kemudian, suara perapian berdesing cukup keras. Harry datang.
"Bagaimana hasil ulah anak baptisku, Harry?" sambut Ron dengan mulut penuh biskuit.
Ginny mematikan kompornya setelah dirasa sup buatannya sudah matang. Nanti saja untuk menghidangkan. Suaminya sudah datang dan ia berhak tahu apa yang telah terjadi. Informasi terakhir yang Ginny tahu telah mengejutkan semua pihak. Apalagi jika bukan James yang menciptakan masalah baru.
Dengan segelas air, Ginny datang mendekat menyerahkannya kepada Harry.
"James membuat hidung anak itu patah. Dan memelintir tangan kirinya hingga—" Harry menghentikan ceritanya untuk memandang Albus. "Yang penting semua sudah selesai." Lanjutnya. Tak kuasa rasanya ia menjelaskan ulah James di hadapan Albus.
Harry menjelaskan, pihak orangtua korban sempat ikut datang. Mereka dikumpulkan untuk menerima penjelasan pihak sekolah tentang masalah yang dialami anak-anak mereka. Hukuman telah diberikan untuk menebus semua kesalahan anak-anak itu. Harry pun ikut memberikan kompensasi berupa uang untuk korban James sebagai permintaan maaf. Harry tidak mau memperbesar masalah. Sehingga berapapun ia akan keluarkan tanpa perlu banyak berpikir.
"Kenapa dia bisa memukul anak-anak itu sampai—apa? Hidungnya patah? James memang bandel tapi tidak aku sangka dia sampai memukul.. kalau tidak ada yang memancing emosinya."
Mendengar penjelasan Ron, Albus tiba-tiba bersuara, "tolong jangan marahi James. Aku mohon!" Pinta Albus. Semua yang terjadi sudah diketahui Albus tanpa perlu ada penjelasan lagi.
"Kau tahu apa yang terjadi pada James, Al?" tanya Lily. Hugo ikut gugup menanti penjelasan dari Albus secara langsung.
Albus mengangguk yakin. "Semua karena aku." Jawabnya. "James memukul mereka karena ingin membela aku. Jadi, aku mohon Dad, Mum, jangan hukum James. Hukum saja aku. Aku yang salah. Aku minta maaf." Albus menangis. Semua masalah di keluarganya selalu saja berhubungan dengan dirinya.
Rasanya Albus sudah lelah. Masalah itu tidak akan pernah berakhir sebelum ia pergi.
"Aku mohon—"
"Hey," Harry berlutut di depan Albus. Menggenggam tangan ringkih putranya dengan hati-hati. "Semua yang terjadi pasti ada alasannya. James melakukan itu juga karena ada alasan. Meski itu semua demi dirimu, James tetap bersalah."
Ron, Lily, dan Hugo hanya bisa terpaku mengetahui semuanya. James terbukti salah atas pemukulan siswa di Hogwarts. Beberapa perkara yang telah dilakukan James demi membela Albus berakhir dengan hukuman tugas dan bebas kelas selama dua hari. James tidak diperbolehkan keluar asrama dan mengikuti pelajaran hingga hukumannya berakhir.
Harry kecup dahi Albus berharap putranya dapat memahaminya. "Maaf juga aku terlambat pulang. Aku baru dari Kementerian. Dan—" Harry jabat tangan Ron saat kakak iparnya berpamitan ingin pulang.
"Terima kasih atas bantuanmu hari ini, Ron. Aku sudah tidak kemana-mana lagi hari ini. Ah, Gin.. kantung yang aku bawa tadi ada beberapa roti dari kafetaria Kementerian. Aku tadi beli roti kelapa kesukaan Hugo."
Ada satu kantung berukuran sedang berisi empat buah roti hangat ditunjukkan Ginny. Harry minta agar dibawa Hugo pulang untuk dimakan.
"Terima kasih, Uncle Harry." Hugo bahagia. Ia dibantu Ginny memakai jaketnya sebelum kembali ke rumahnya.
Harry tersenyum. Sebelum Ron masuk perapian, ia kembali meyakinkan jika tidak ada lagi yang bisa ia bantu. "Sudah ada perkembangan dengan pelaku penyerangan Albus, Harry?" Ron berbisik.
"Timku sudah mengantungi namanya. Keberadaannya diketahui beberapa kali terlihat di rumah ini dan Hogwarts."
Harry meminta Ron agar tidak memberitahu itu kepada Ginny terlebih dahulu. Ia memohon untuk bisa menjaga keluarganya ketika ia tidak ada di dekat keluarganya. "Keselamatan anak dan istriku pertaruhannya, Ron. Aku tidak mau kembali lengah." Cerita Harry ditutup dengan pelukan.
"Kapan pun kau membutuhkan, aku siap, Harry."
"Thanks."
Hugo siap. Kedua Weasley itu pun masuk ke perapian satu persatu. "Jaga dirimu, Ginny. Jangan banyak pikiran. Tidak lucu kalau badanmu kurus tapi perutmu saja yang buncit. Kesuburan Mum menurun juga padamu." Tuturnya sembari tertawa.
Ginny hanya bisa memaki tanpa suara.
Ron dan Hugo pun menghilang. Beberapa masakan untuk makan malam sudah matang. Roti dan makanan ringan yang dibawa Harry juga cukup banyak. Bahan-bahan makanan untuk Albus yang baru saja dibeli Harry satu persatu dimasukkan ke lemari pendingin oleh Ginny. Sampai sup dan masakannya yang lain lupa ia hidangkan.
"Belum aku angkat. Tapi sudah matang, kok. Kamu mandi dulu, nanti kita makan sama-sama."
"Baiklah. Kau juga istirahat. Temani Albus dan Lily. Biar aku bantu siapkan setelah mandi."
Harry tidak sengaja menyentuh tangan Ginny. Benar kata Ron. Ginny semakin kurus. Ada rasa bersalah ia tidak memperhatikan keadaan istrinya di saat-saat seperti ini. Meski pemeriksaan kehamilan Ginny beberapa hari lalu dikatakan sehat, kondisi kehamilan di usia 30an cukup rawan. Apalagi dengan satu hal itu, tidak ada yang tahu tentang kondisi psikisnya.
"Mungkin aku akan sering-sering beli makanan. Kamu bisa bilang mau makan apa saja, nanti aku belikan. Ron benar, Gin. Makan yang banyak, ya."
Kecupan singkat diberikannya tepat di bibir Ginny. Hangat dan nyaman.
Dari arah ruang keluarga, Lily dan Albus senang melihat kedekatan kedua orangtua mereka. "Daddy dan Mummy romantis sekali ya, Al. Seperti pacaran terus." Ujar Lily. Bruno beralih naik ke pangkuan Lily.
"Mereka saling mencintai, Lils." Jawab Albus dengan wajah tersipu akibat melihat ciuman ayah dan ibunya.
"Nah, bagaimana denganmu? Di Hogwarts apa ada gadis yang cantik? Jangan mau kalah dengan James, Al. Di tahun pertamanya James mengaku didekati tiga gadis cantik, loh."
Gadis cantik, ya. Albus tidak menjawabnya. Melainkan berusaha menyembunyikan senyumannya saja.
Scorpius menjalani hari-harinya dengan kesendirian. Setiap kelas yang ia ikuti terasa hampa tanpa ia lihat Albus yang selalu kesusahan memperhatikan pemaparan para profesor. Tidak ada lagi semua itu di setiap kelasnya. Tidak ada lagi yang bisa diam-diam ia bantu sepanjang pagi dan tengah malam. Meski hidupnya kembali normal, Scorpius rindu bersusah payah membagi waktunya untuk menjadi pelindung sahabatnya, Albus Potter.
Kelas terakhir berakhir siang. Scorpius akan menghabiskan waktunya dengan membaca di perpustakaan saja hari ini. Tapi sesuatu membuatnya tertarik. Dua pucuk surat datang dibawa oleh masing-masing burung hantu yang berbeda.
Satu datang dari ayahnya dan satu lagi dari seseorang yang ia kenal.
"Albus." Scorpius kenal dengan model tulisan itu. Terlalu bahagia dengan kedatangan surat-surat dari Albus yang datang setiap hari hingga melupakan jika Ayahnya juga mengiriminya surat.
Albus terus mengirimi Scorpius surat satu hari setelah ia kembali. Dalam surat-suratnya ia bercerita jika keadaannya baik-baik saja. Lily sering membantunya. Albus pun bercerita berbagai hal yang terjadi sepulangnya ia kembali ke rumah. Lebih banyak beristirahat, bermain dengan Lily, mengurus Bruno, atau membaca buku.
"Aku rindu Hogwarts, dan... merindukanmu, Scorpius." Tulis Albus di akhir suratnya.
Meski baru beberapa hari setelah Albus pulang surat itu baru saja dikirim, Scorpius tetap bahagia. Albus masih mengingatnya sebagai sahabat. Harapannya dengan surat-surat yang nanti akan Albus kirimkan dapat memberinya informasi tentang kabar sahabatnya itu.
"Apa dia yakin hanya merindukan Hogwarts dan diriku? Apa dia sudah lupa dengan Jae Hwa?" Sambil menulis balasan suratnya, Scorpius berusaha menahan tawanya.
Tepatnnya saat surat ke dua. Albus bercerita tentang sosok gadis berwajah oriental yang sempat ia temui di Hogwarts Express. Dan Scorpius tahu itu.
Tongkat sihirnya sudah tidak lagi bisa ia gunakan. Albus membolak-balikkan kayu dengan tekstur sedikit elastisnya seperti kala di Hogwarts. Gerakannya memang kaku. Bahkan mantera-mantera sedikit rumit belum bisa ia kuasai. Albus tidak seberbakat teman-temannya. Namun setidaknya ia bisa menggunakan mantera walaupun hanya satu dua saja. Ia penyihir, tapi sihirnya harus dibatasi.
Saat ia tidak sengaja mengayunkan tongkatnya ke arah jendela, sebuah kilatan cahaya kecil menyorot tajam hingga membuat pusing kepala Albus.
"Dad?" batin Albus ketika ia melihat siluet Ayahnya berapparate di halaman rumah.
Bergegas ia ambil kacamata yang terlipat di sisi ranjang. Tidak sempat. Albus hanya melihat sekelibat cahaya bergerak lalu menghilang di depan rumahnya. Albus mulai berpikir. Hari sudah cukup malam. Seingatnya, sang ayah tidak akan kembali lagi ke Kementerian untuk hari ini. Terakhir ia melihatnya sedang mengurus beberapa surat di ruang tamu.
"Lagi pula, Dad biasa akan pamit dulu kalau mau pergi. Tapi, kenapa aku tak dengar suaranya, ya? Sempat pergi ke mana?"
Tidak lama saat Albus kembali melepas kacamatanya. Seseorang dengan raut wajah yang sangat ia kenal tiba-tiba melintas di depan pintu kamarnya. Kamarnya di lantai bawah membuatnya tahu. Arahnya akan menuju ke dapur.
"Itu Daddy. Cepat sekali Dad kembali." Albus bingung. Perasaannya kini tak menentu. Lebih baik ia bangun dan melihatnya sendiri.
Rasa penasaran Albus memuncak ketika ingatannya kembali saat penyerangan di the Burrow beberapa waktu lalu. Pria asing berjubah hitam datang tanpa ada angin. Ada tanda bahaya ketika perasaan itu muncul lagi. Sejurus kemudian Albus bergegas bangkit. Tongkatnya ia selipkan di balik piama yang ia pakai. Tidak ada salahnya keluar kamar untuk mencari tahu dan berjaga-jaga.
Sementara itu di dapur, Ginny memilah beberapa makanan di dalam lemari es yang lama tidak ia keluarkan. Ada sekantung kacang merah, mangkuk kecil dengan stok kaldu ayam juga sudah tidak layak untuk dikonsumsi lagi, dan sirup fermentasi madu yang telah rusak tak layak konsumsi.
"Ginny," panggil seseorang tepat saat Ginny terihat melewati depan kamar Albus. "Sepertinya kau sibuk?" lanjutnya.
"Harry? Seingatku kau baru saja ijin keluar. Sudah selesai?" tanya Ginny hanya sekilas menoleh. Ia lebih fokus pada makanan-makanan di hadapannya.
Namun sosok Harry yang datang tidak ada respon lagi. "Ah iya, sayang. Lihat.Ada bahan makanan yang busuk di dapur. Lama juga tidak aku cek. Jadi, harus dibuang. Ada masalah, Harry? Kau ingin membicarakan sesuatu?"
Albus menempati kamar tamu di lantai bawah. Demi kenyamanannya, posisi di lantai bawah akan memudahkannya untuk ke mana saja. Posisinya yang hampir berdekatan dengan dapur sering kali mengetahui aktifitas ibu atau ayahnya memasak. Dan seperti saat ini, ia mendengar percakapan Ibu dan Ayahnya. Hanya saja memang ada yang berbeda dengan sang ayah.
"Harry, kau pucat sekali."
Lagi-lagi Harry tak merespon. Merasa ada yang tidak beres, Ginny meletakkan mangkuk saladnya lantas bergegas siap memeluk Harry.
"Kau sakit?" tanyanya.
Albus, baru berhasil mencapai mulut pintu kamarnya setelah melihat Harry muncul dari arah pintu depan. Ia melepas mantelnya sambil berkata, "kau belum tidur, Al? Baru saja ada hal mendadak jadi—"
Tapi dengan waktu yang sama, ada sosok Harry yang kini sedang memeluk Ginny di dapur.
"Dad," panggil Albus. Harry di dekat tiang gantungan seketika terpaku menjawab panggilan Albus. Sementara kini, di dapur terjadi suatu hal yang tidak ingin kembali Albus lihat.
"Agh—" Ginny memekik ketika tangan pria yang serupa Harry menembus depan perutnya.
Ginny mengerang kesakitan dalam pelukan pria itu. Panik menyaksikan ibunya disiksa, Albus spontan mengeluarkan tongkatnya dan merapal mantera.
"Diffindo!"
Mantera Albus mengenai punggung pria yang begitu mirip ayahnya. Albus takut, ada darah yang keluar dari punggung pria itu. Albus seolah baru saja melukai ayahnya sendiri. Tapi kenyataannya, bukannya menyadarkan Albus melainkan pria itu bersiap membalasnya dengan rapalan mantera lain untuk melukainya. Tongkatnya mengarah ke kepala Albus.
Sigap, Harry datang dan lebih dulu memberikan mantera pelemah sihir pada pria asing itu. Suara berdebum kencang hingga memecahkan jendela dapur.
"Siapa, kau?" suaranya penuh amarah. "Apa yang kau lakukan pada keluargaku?" Harry memeluk Albus menenangkan putranya yang terus gemetar.
Pria yang menyerupai dirinya tersebut hanya bisa terkapar. Tertutup oleh jubah hitamnya di sisi meja makan.
Harry menambahkan mantera pengikat saat Lily muncul dari arah tangga.
"Ada apa? Daddy!" Lily menangis. Harry berteriak agar putrinya mendekat ke arah Albus. Memintanya masuk ke kamar dan menguncinya.
"Jangan keluar sebelum ada Uncle Ron atau Auror datang. Mengerti!"
Lebih dulu ia harus mengamankan pria itu agar tidak berusaha kembali melukai. Harry pun mengirim potranusnya untuk meminta bantuan kepada para Auror dan juga Ron. Harry tidak tahu harus bagaimana lagi.
Kini perhatiannya tertuju pada tubuh lemah tak jauh dari dirinya. Harry takut. "Gin. Ginny—" panggil Harry pada tubuh istrinya yang terkapar di lantai dapur. Ginny tidak sadarkan diri dengan darah membasahi area perut dan bawah tubuhnya.
"Mr. Potter!" lima orang Auror menyerbu masuk. Dua dari mereka mengemankan pria misterius itu. Dua lagi mengamankan Albus dan Lily di dalam kamar. Sementara Ben, salah satu Auror kepercayaan Harry mendekat melihat keadaan pimpinannya.
Ginny tidak sadarkan diri. "Dia melukai istriku. Amankan pria ini, dan periksa keadaan Al dan Lily. Menyusullah setelah ini bersama mereka." Pinta Harry.
Tiba-tiba kemudian Ron datang bersama Hermione dan tim medis St. Mungo.
"Mereka datang setelah kami menerima pesanmu untuk menghubungi St. Mungo, dan.. Astaga. Ada apa ini?" Pekik Hermione. Ia ikut memeriksa Ginny. Ron memeluk kedua keponakannya sambil menyaksikan tubuh adik kesayangannya terkapar bersimbah darah.
"Aku sudah tidak tahan. Mereka harus mati karena berani melukai keluargaku."
Harry berusaha ditahan oleh Ben. Tubuh Ginny segera mendapat penyelamatan dari tim rumah sakit. Hermione melepas tubuh Ginny dengan tubuh bergetar. Ia membiarkan Harry ikut mendampingi. Sementara dirinya dan Ron memilih menjaga Lily dan Albus.
"Darahnya banyak sekali, Mione." Bisik Ron.
"Aku melihatnya, perut Ginny.. Seperti dirobek."
Hanya ada bayangan ketakutan dan kemungkinan terburuk yang kini menghantui mereka.
TBC
