17.

"Keluarkan mereka semua. Aku muak melihat semua ini!"

Bagaimana tidak marah, di saat genting seperti ini banyak penyihir yang mendekat untuk mencari tahu dan bergerombol di sekitar bangsal rawat intensif. Beberapa healer terbaik dikerahkan Harry untuk segera memberikan pertolongan secepatnya kepada Ginny. Sempat terjadi kericuhan ketika mereka terhalang oleh beberapa penyihir yang sengaja mencari kesempatan. Mereka melihat Ginny yang terluka dari balik pintu kaca. Salah seorang Auror sampai harus berteriak memperingatkan agar menjauh dan meninggalkan tempat.

Mau bagaimana lagi, apapun yang berkaitan dengan Potter adalah sebuah berita besar. Apalagi melihat tadi, sang nyonya bersimbah darah tidak sadarkan diri di saat mereka semua baru mengetahui kabar tentang kehamilan yang sungguh mengejutkan itu.

Tubuh Albus dimasukkan segera setelah sepuluh menit Ginny mendapat pertolongan. Kondisinya tidak sadar, Harry sontak panik ketika brankar yang membawa tubuh Albus didorong masuk.

"Ada apa dengan Albus?" Harry meraih tubuh Lily dari gendongan Ron. Mengecupi kepalanya sembari terus berbisik untuk tetap tenang. Walaupun nyatanya dirinya sendiri juga tidak sedang baik-baik saja.

"Dia pingsan sesaat kau pergi. Badannya gemetar hebat, Harry. Sepertinya dia syok." Ujar Ron.

Keluarganya diserang.

Harry hanya mendesah lemas hingga terduduk. Sungguh perjuangan keras untuknya tidak menangis di hadapan Lily. Yang hanya ada pelukan itu. Pelukan dari putri bungsunya yang kini hanya bersamanya. Bahkan saat ini kekhawatirannya kembali terusik. Ia memikirkan James yang masih berada jauh di Hogwarts.

"Keparat. Kenapa harus keluargaku? Kalau dia dendam denganku, kenapa harus menyerang mereka?"

Gumamam Harry yang hanya terucap di dalam hatinya mampu didengar oleh Lily sekarang. Sungguh menyedihkan bagi Lily melihat keadaan Ayahnya yang begitu gelisah. Merutuki nasib dirinya bahkan anak dan istrinya sendiri. Tangan Lily berusaha menangkup wajah pucat sang Ayah. Bibir mungilnya mengecup singkat bibir Harry. Menyalurkan rasa yang sama seolah ia begitu mengerti dengan beban itu.

"Daddy, kau takut?" tanya Lily masih memberikan usapan lembut di pipi yang menghangat dan basah.

"Daddy rasa kau sudah tahu jawabannya, Sayang."

Lantas air mata Harry tumpah. Terisak pelan sambil membawa Lily dalam pelukannya sekali lagi. "Tetap bersama Daddy, ya. Temani Daddy, nak."

Albus tertunduk lemas. Lama ia berdiri di bawah sebuah pohon yang rindang. Sulur-sulur akar yang menggantung menyadarkannya, dirinya sedang berada di bawah Dedalu Perkasa.

"Hogwarts?" Ia ingat tempat itu.

"Benar, Albus. Kau di sini."

Scorpius. Berseragam lengkap. Jubahnya bergerak terbawa angin. Mulutnya mengunyah sesuatu yang kenyal. Bisa Albus cium wanginya begitu manis. "Jangan makan yang manis-manis terus. Itu tidak sehat." Tegurnya.

"Aku sehat, kok. Kau pun begitu. Aku bawakan lima kotak coklat kodok yang ukuran jumbo untukmu. Aku baik, kan?"

Dengan gembira Scorpius membukakan satu buah kotak coklat kodoknya. Berniat menyerahkannya kepada Albus, rupa-rupanya coklat itu meloncat sendiri. Berlalu pergi mendekati sisi si Dedalu Perkasa.

"Hey, coklatnya lompat, Albus. Tolong tangkapkan!"

Permintaan Scorpius rasanya hanya sebuah permintaan tanpa dipenuhi. Albus tidak bergerak. Betapa sulit kakinya digerakkan. Ada dua untaian akar yang tiba-tiba keluar dan mengikat kedua kakinya.

"Bagaimana, sih? Ayo, Albus. Ambil. Aku sudah bersusah payah membelikannya untukmu." Pekik Scorpius.

"Tapi aku.. aku tidak bisa, Scorp. Kakiku. Kakiku terikat."

"Alasan!"

Ucapan Scorpius membuat Albus tercengang. Tidak pernah ia mendengar Scorpius akan menggunakan nada tinggi saat berbicara dengannya. "Kau memang tidak pernah bisa diandalkan, Albus. Yang ada selalu menyusahkan." Scorpius kecewa.

"Tidak. Aku tidak--"

Namun dengan mata kepalanya sendiri, Albus menyaksikan itu semua. Di salah satu sudut, kakaknya, James, sedang membawa timba berisi air dan satu lentera. Berjalan tertatih dengan wajah lebam. Badannya lemas. Namun berusaha keras berjalan hingga seorang profesor menghentikannya. James menyerahkan sebuah lembar perkamen yang ia tahu itu adalah daftar detensi.

"Lelah? Itulah akibatnya kalau kau membela adikmu yang tidak berguna." Pekik profesor itu tepat di muka James.

Dengan menangis, James menoleh ke arah Albus berdiri. Sorot matanya diselimuti dendam. Tanpa berbicara, James menolak panggilan Albus yang terus mengucapkan maaf padanya. Sebelum semuanya gelap, Albus menyaksikan sekelibat wujud makhluk kecil. Seorang bayi yang bersimbah darah melompat dari ujung menara Hogwarts.

Seperti tertarik keluar, Albus tersadar.

Badannya terkapar di atas sebuah ranjang dingin beralaskan kain putih bersih. "Semua salahku." Ucapnya kemudian.

"Kau sudah sadar, Al." Andromeda mendekat. Buku yang ia baca langsung diletakkannya lagi.

Tangan keriputnya mengusap dahi berkeringat Albus. Pelan dan nyaman. "Jika salah, harus diperbaiki." Tuturnya.

"Aku lihat sendiri. Mumny diserang. Darahnya banyak dan aku tidak bisa menolongnya."

"Menurut penyidik, ada jejak mantera yang kau buat di sana. Kau menyelamatkan ibumu, sayang."

Sebuah gelas berisi air putih ia ambil. Namun Albus menolak. Tidak ada rasa haus maupun letih saat ini. Hanya ada ketakutan dan segala bayang-bayang mimpi buruk yang tidak kunjung hilang. Tangan Albus meremas kain alasnya tidur. Tidak kuat. Hanya sedikit gerakan yang bisa ia lakukan. Kain tipis itu bahkan tidak sedikitpun kusut dibuatnya.

Matanya kembali terpejam. Albus menghela napasnya merasakan ketidakberdayaan dirinya.

"Kenapa lagi-lagi aku masih hidup, Nana?"

"Hey, Albus. Bagaimana mulutmu bisa berkata demikian, my boy?"

Albus menangis. "Semua ini tidak akan berakhir sebelum aku mati." Ujarnya. Albus membuka selimut di badannya. Menyaksikan kakinya yang pucat dan kurus. Sedikitpun tidak ada gerakan di sana.

"Bagaimana aku bisa bertahan lagi dengan keadaan seperti ini. Aku sudah lelah. Aku mohon, beri ramuan apapun agar aku bisa pergi dengan cepat. Nana Andy, aku mohon. Sudah tidak ada lagi yang bisa aku perjuangkan. Semuanya selesai."

Andromeda membawa Albus dalam dekapannya. Suara isakan itu semakin kencang. Andy tidak tahu harus berbuat apa untuk bocah lemah itu. Serasa dunia ini tidak adil. Ujian seberat itu harus Albus yang menerima. Sulit ia bayangkan betapa hancurnya hidup seorang anak yang harusnya penuh dengan mimpi akan masa depan. Itulah yang dialami Albus.

Keluarga yang terus mendapat teror. Tidak adanya teman, lingkungan yang aman, atau sekadar tempat untuk meluangkan waktu beristirahat dengan tenang. Albus tidak merasakan itu.

"Sepertinya kamu memang masih punya waktu, Al. Coba katakan, apa yang kamu inginkan sebelum pergi?"

Charlie, pamannya itu datang. Dengan senyuman mengembang, ia mendekat. Mengusap kepala Albus lantas kembali bertanya.

"Katakan, akan jauh lebih indah jika saat waktunya tiba kau telah menemukan apa itu kebahagiaan."

Ada beberapa hal yang masih menjadi harapannya selama ini. Mengembalikan masa kecilnya dan menyambut masa remaja yang tersisa beberapa waktu saja.

Di rungan lain, Harry, Lily dan beberapa anggota keluarga Weasley berkumpul di depam ruang pemeriksaan. Ada Ginny di dalam sana. Sebuah tindakan besar sedang dilakukan untuk mempertaruhkan nyaman seseorang.

Ya, tidak hanya seseorang. Janin di kandungan Ginny telah hancur. Begitu pula rahimnya. Dengan mengatasnamakan keselamatan nyawa, Ginny harus merelakan rahimnya diangkat jika tak ingin nyawanya melayang.

Hal itu pula yang juga dilakukan Harry. Ia tidak mau kehilangan istrinya.

"Kondisi Mrs. Potter sudah stabil." Ungkap seorang healer ketika keluar dari ruangan tempat tindakan Ginny.

Semua mendesah lega. Lily memeluk ayahnya senang.

"Aku bisa bertemu Mumny?" tanyanya.

"Maaf belum bisa. Untuk saat ini, biarkan Mrs. Potter istirahat untuk memulihkan fisiknya. Proses pembersihan rahimnya cukup berat. Kami masih harus memantau reaksi ramuannya. Saya harap keluarga bersabar hingga kurang lebih dua jam lagi. Saya harap dapat dimengerti."

Mereka mau tidak mau harus mengerti. Tidak hanya fisik, healer menjelaskan mereka harus memahami kondisi psikis Ginny paska pengangkatan rahimnya. Sejak kejadian itu, Ginny tidak sadarkan diri. Janinnya yang harus gugur hingga rahimnya yang tidak terselamatkan saja ia belum tahu.

"Bicara pelan-pelan. Semoga dengan hadirnya suami dan keluarga bisa menguatkam beliau." Pesan healer.

"Terima kasih. Setelah ini, akan saya beri pengertian." Balas Harry tabah.

"Kami turut berduka, Mr. Potter."

Dan healer dengan beberapa asistennya mengaturkan pamit. Mereka berjanji akan kembali memeriksa dalam satu jam mendatang.

Harry rupanya mendapat kabar terbaru dari salah satu tim penyidik. "Tersangka sudah sadar dan akan segera ditindak lanjut, Sir. Jika berkenan, kami antar ke tempat introgasi." Bisiknya.

"Berikan lokasinya. Sebentar lagi segera kesana. Aku masih harus melihat Albus." Tutur Harry.

"Berangkatlah, Harry." Charlie datang sambil mendorong Albus yang duduk di atas kursi roda.

Albus tersenyum lemah di tempatnya.

"Maafkan aku, Dad." Pintanya tepat saat Harry datang memeluknya.

"Kamu dengar, Albus. Semua sudah terjadi. Ini tanggung jawab Daddy. Tugasmu hanya.. tetap bertahan, untuk Daddy, Mummy, James, Lily, dan semua keluarga yang selalu sayang kepadamu, Al. Daddy mohon."

Seolah semua duka berkumpul di titik itu juga. Harry takut, benar-benar takut.

Ruangan yang gelap, lembab dengan fentilasi yang kurang. Seorang pesakitan duduk dengan tangan terikat dikelilingi tiang bergigi tajam. Tidak hanya itu, kilatan mantera penjaga tidak henti membentengi tubuh tinggi itu.

"Halo, Tuan. Kita bertemu lagi."

Harry mendapat sapaan hangat tepat saat ia masuk. Hanya mereka berdua. Beberapa Auror ditugaskan menjaga di bagian luar sebagai antisipasi.

"Apa yang sebenarnya kau inginkan, brengsek?"

"Astaga, tidak sopan sekali seorang Harry Potter datang dan menyapa tamunya yang sudah baik-baik dengan menyebutnya.. Brengsek. Itu tidak patut sekali." Ungkapnya dengan senyuman sentimentil.

Harry mendekat, "aku tidak akan bersikap demikian jika kau tidak mengusik keluargaku. Kalau kau mau menyerangku, serang saja aku. Jangan keluargaku."

"Ya, memang itu tujuanku. Aku tidak perlu susah-susah melukaimu. Cukup anakmu yang bodoh itu. Dan aku rasa aku juga sudah berhasil dengan istri dan calon anak bodomu yang lain."

"Keparat!!!" Pekik Harry murka.

"Silakan. Aku kasihan padamu, bertahun-tahun kau mengejarku tapi akhirnya baru kali ini berhasil. Selamat!"

Identitas sebenarnya telah terkuak. Danny Ahn, salah satu mantan pelahap maut yang didapati membuka bisnis ramuan ilegal. Menurut tim Auror yang menyelidikinya, Danny sempat ditangkap dan menghuni Azkaban selama lima tahun saat operasi besar-besaran pemberantasan ramuan ilegal berbahaya.

Harry sendiri yang menggalakkan penangkapan tersebut. Ia mengkhawatirkan jika beberapa ramuan berbahaya yang dijual ilegal akan memberikan akses untuk beberapa penyihir melakukan beberapa ritual sihir hitam yang dilarang.

Banyak yang akhirnya tertangkap. Salah satunya Danny Ahn.

"Aku tidak pernah mengusik keluargamu." Ujar Harry.

"Bohong!" pekik Danny seketika.

Danny tersenyum dengan mata sipitnya yang terpejam. "Kau menghancurkan mereka. Kau hancurkan putraku. Kau sudah bunuh putraku, Potter!" Danny marah.

Dua anak perempuan dan satu laki-laki, si bungsu. Danny dan istrinya, Shin-Ru, hidup serba kekurangan setelah jatuhnya rezim. Mereka harus sembunyi demi mempertahankan usaha bahan ramuan ilegal mereka.

"Hanya itu cara kami agar bisa makan. Kami terus berusaha, agar suatu saat derajat hidup kami bisa naik. Seperti hidupmu. Dan selalu aku impikan, suatu saat Damian bisa mengangkat kami lebih baik. Putra kebanggaanku. Meski aku tahu, untuk sekadar bernapas saja dia kesulitan."

Setelah Danny ditangkap untuk pertama kalinya, istrinyalah yang menjaga ketiga anak mereka seorang diri. Damian yang berusia lima tahun, mengalami ledakan tunggal di rumah mereka akibat kelalaian ibunya.

"Dia ingin belajar meracik ramuan seperti aku. Dia anak yang pintar. Tapi karena aku harus mendekam di Azkaban, aku tidak bisa menjaganya. Dia cacat. Kakinya melepuh, begitu juga lehernya hingga bernapas adalah suatu usaha yang keras untuknya. Dan kau tahu, Potter. Akibat hukuman yang kau jatuhkan untukku, aku tidak bisa melihatnya lagi. Aku bebas tepat di saat putraku tiada.

Jika kau menyebutku brengsek, lantas kau apa? Kau renggut masa depan putraku di saat kau bahagia dengan putramu. Bukan, bukan. Tapi keluargamu. Sementara aku, istriku meninggalkanku dan membawa kedua putriku."

Hingga waktu itu, sebuah rasa sakit yang tidak lagi tertahan saat melihat Albus kecil seorang diri. Berambut hitam lucu mendekatinya sambil tersenyum saat disapanya. Mirip Damian dengan wajah lebih Eropa dibanding putranya yang memiliki garis khas keturunan oriental.

Danny ingin membalas kesedihan putranya.

"Putramu ternyata kuat juga. Aku tidak habis pikir. Bahkan dia berani menyerangku. Kau tahu, Potter.. anakmu itu juga brengsek!"

Tawa Danny pecah menggema. Menertawakan Harry yang kini tidak bisa berkutik mendengar pengakuan Danny.

"Hahahaha.. Brengsek. Kau dan keluargmu memang brengsek, Potter!"

Para Auror segera masuk dan melemparkan mantera penenang kepada Danny lantas membawanya masuk ke sel isolasinya.

"Mari, Mr. Potter. Kami antarkan kembali. Anda ingin pulang atau ke rumah sakit?"

Lama Harry menjawab, ia menoleh dan menyebutkan ingin kembali ke rumah sakit.

Di sana Ginny telah sadar. Tinggal Ron, Charlie, dan Andromeda yang berjaga. Albus pun rupanya telah dipindahkan ke ruangan yang sama dengan Ginny.

"Aku mau mencari makanan. Kau sudah makan, Harry?" Tanya Charlie.

"Makanlah dulu, ajak Andy juga. Kasihan dari tadi ia di ruangan terus. Carilah udara segar."

Andromeda menurut dan menepuk pundak Harry lantas berjanji membawakan jus untuknya.

"Bagaimana bisa aku tidak menyadari suamiku sendiri. Sampai harus.. merelakan calon anaknya.. yang mungkin saja itu perempuan, seperti keinginanmu dulu." Lirih Ginny berkisah.

"Gin, kau sudah tahu?"

Ginny tersenyum meski air matanya tidak bisa membohongi. "Aku sudah tidak bisa menjadi istri yang sempurna lagi. Tidak bisa memberimu keturunan. Bahkan melayanimu pun sepertinya aku kesulitan. Bahkan mungkin juga kau tidak akan lagi bergairah bersamaku—"

"Cukup, Ginny."

Ginny sepertinya sudah tahu kondisinya, bahkan resiko yang nantinya akan terjadi padanya. Tentang kelangsungan hubungan mereka, Ginny tahu. Banyak kemungkinan akan terjadi seperti pendarahan atau psikoliginya akan terganggu.

"Bagaimapun juga, aku istrimu. Lalu tugasku sebagai istrimu kini sudah berbeda. Semua sudah tidak lagi sama. Maafkan aku."

Mereka berpeluk, menumpahkan kesedihan yang entah kapan alan berakhir. Ginny terisak saat Harry mengatakan ia tidak akan pernah berubah.

"Kau tetap istriku. Dan kita tidak akan berubah. Kita tidak akan lemah hanya karena ini. Kita tim yang kuat. Kita jaga hubungan ini sampai kapan pun. Aku janji."

Dan lagi-lagi di seberang sana. Tirai yang memisahkan antara Ginny dan Albus terlalu tipis. Telinga si anak tengah kembali mendengarnya. Mendengar kehancuran keluarganya yang perlahan dirasakn dengan pasti.

TBC


Hi. Keep healthy, ya!Dijaga juga keluarganya. Terima kasih. Tunggu kelanjutannya, ya. Kita ketemu di kolom komentar!Thanks,Anne xoxo