18.

"Pegangan. Letakkan tanganmu di pundakku."

Ginny pasrah memberikan tubuhnya diangkat oleh suaminya. Digendong nyaman dengan menyedekapkan tubuh lemas itu begitu protektif. Harry menuju salah satu kursi roda yang disediakan oleh pihak St. Mungo. Sebuah mantera diberikan salah satu healer pada pundak, perut, dan lutut Ginny setibanya ia didudukkan di sana.

Mata coklatnya melihat ke arah Harry yang berdiri. "Sudah nyaman." Ucapnya.

Mantera tadi diberikan bukan tanpa alasan. Beberapa jam sebelumnya, Ginny mengeluh sakit pada perut bawahnya. Sekujur tubuhnya pun terasa linu. Ia bahkan sempat tidak sanggup berdiri untuk sekadar pergi ke kamar mandi.

Untung, Harry masih mengambil cuti demi menemani Ginny di hari kepulangannya dari rumah sakit. Urusan mandi hingga buang air kecil dan besar semuanya dibantu oleh Harry. Healer yang ikut memastikan agar Harry tetap menjaga area luka di tubuh istrinya. Khususnya pada perut tempat pemberian mantera pengangkatan rahimnya.

"Tadi adalah mantera proteksi terakhir. Meski nanti sekiranya badan Mrs. Potter sudah kembali bugar, saya tetap mengharapkan istirahat penuh. Jangan lakukan pekerjaan berat yang memusatkan otot perut. Selain ramuan, konsumsi juga makanan tinggi serat agar memperlancar pencernaan. Jangan mengangkat barang berat, menggendong juga."

Pasangan suami istri itu mengangguk tanda mengerti. Asisten healer yang ikut mengantar menyerahkan ramuan terakhir dalam sebuah kantung. "Dan satu lagi, ramuan penstabil hormon yang saya berikan kemungkinan mengeluarkan reaksinya tiga sampai empat jam kemudian. Nanti Mrs. Potter akan merasa.. maaf, kenaikan hasrat seksualnya. Di sini mohon anda bisa menahannya hingga reaksinya hilang. Mr. Potter bisa bantu meredamnya dengan cara apapun yang aman asal jangan melakukan hubungan yang bisa memberikan trauma di bagian genitalnya." Penjelasan healer panjang.

"Kira-kira berapa lama reaksinya berlangsung?" tanya Harry. Tangananya tak henti mengusap pundak Ginny di depannnya.

"Hanya sebentar. Satu jam saja kurang lebihnya. Mohon untuk sering menemani istri anda selama masa pemulihan ini, Sir. Tidak hanya fisik, kita juga fokus menyembuhkan psikisnya." Suara Healer sedikit diperhalus menghindari Ginny mendengarnya lebih jelas.

"Kita bertemu lagi dalam waktu satu minggu dari sekarang untuk cek kembali." Tutup sang healer.

Mereka pun berpamitan. Ginny ikut dibantu Angelina dan Victoire yang memiliki waktu liburan di Inggris cukup panjang. Saat ini ia menempuh pendidikan lanjutan di dunia fashion di Paris. Liburan pertamanya dimanfatkan kembali ke Inggris setelah mendengar kondisi bibinya.

"Aunt Ginny, ayo kita ke lantai bawah. Kita tunggu di area kepulangan saja, ya." Ajak Victoire.

"Tapi Albus bagaimana?" Tanya Ginny panik. Sudah hampir empat hari ia tidak mengetahui kabar putra tengahnya itu.

"Albus masih harus menunggu observasi terakhirnya, Gin. Kita turun dulu, Harry masih ada urusan masalah persidangannya." Angelina menengahi.

Harry lantas berlutut di depan Ginny. Mengusap punggung tangan istrinya yang kini bertumpu di atas paha. "Ikutlah pulang dengan Vic dan Angie. Aku langsung ke tempat persidangan. Maaf, ya. Tapi aku janji setelah ini langsung pulang. Istirahatlah di rumah." Ujarnnya.

"Ini ramuannya, Vic. Sesampainya di rumah, bantu Aunt Ginny meminumnya dan beristirahat. Semua dosis dan anjurannya ada dalam kantung ini."

Victoire mengangguk paham. Wajah cantiknya menunjukkan raut tersentuh melihat pamannya begitu hangat. "Baik, Uncle Harry. Serahan padaku." Jawab Victoire.

"Angie, aku serahkan keselamatan mereka padamu."

"Tenang saja. Tanganku masih kuat meninju orang hingga hidungnya patah."

Dan merekapun akhirnya berpisah. Harry meminta Auror yang mendampinginya untuk ikut menuju ke salah satu ruangan. "Tugaskan yang ada di Kementerian untuk menyiapkan jalur floo ramah penyihir. Kita akan mengajak seseorang yang sangat dibutuhkan dalam persidangan ini." Titah Harry langsung dilaksanakan.

Persidangan kasus teror oleh tersangka Danny Ahn dibuka. Kali ini sudah masuk ke persidangan ke dua, sebelum masuk ke sidang vonis dua minggu mendatang. Fokus dalam persidangan ini adalah mengumpulan bukti dan pernyataan saksi ahli.

Danny Ahn masuk ke ruang sidang dengan keadaan duduk di dalam sebuah sangkar bermantera mengelilinginya. Meski dapat duduk dan berdiri bebas, ia tidak bisa keluar dari sangkar yang kuat melindunginya. Jika memaksa, dipastikan ia akan terluka atau yang lebih parah, tewas seketika.

"Barang bukti berupa tongkat sihir, jubah, ramuan, properti dari toko dan kediaman tersangka telah diperiksa sepenuhnya. Beberapa titik lokasi penyerangan seperti hutan, area pertokoan roti Muggle, the Burrow, sepanjang pantai bangunan Shell Cottage, maupun rumah kediaman Potter telah diperiksa dengan seksama. Jejak tindakan, sidik jari, rekam mantera telah terkumpul lengkap yang mana mengarahkan pada pelaku tunggal atas nama Danny Ahn."

Salah seorang penyihir berjubah besar mengungkapkan semua hasil dan barang bukti yang diajukan.

"Baiklah," hakim ketua sidang mulai bersuara. Danny sedikit menegakkan duduknya. Sebentar lagi persidangannya hari ini akan berakhir. Semua telah ia pasrahkan. Ia tidak menampik apapun bukti yang diperlihatkan sepanjang persidangan. Bahkan ia mengakui dengan jelas dan membenarkan atas tindakannya selama ini.

"Sebelum menutup sidang kita hari ini, apakah masih ada tambahan dari jaksa penuntut?"

Sejenak ada kelengangan diantara mereka. Meski tidak peduli, ada rasa takut ketika suara pintu besar ruang sidang terbuka lebar.

"Tambahan satu kesaksian, Yang Mulia." Jelas salah satu jaksa.

Albus datang. Didorong dari kursi rodanya oleh sang ayah. Dada Danny seketik bergemuruh. Ia kembali berhadapan dengan korban kecilnya.

"Gunakan waktumu sebaik mungkin, nak." Bisik Harry. Membiarkan Albus menghadap Danny secara tatap muka langsung setelah mereka memberi hormat pada ketua sidang.

Bukannya marah atau kesal, kepada laki-laki yang telah membuat hidupnya tidak karuan.. senyuman hangat ia sunggingkan.

"Hai, Uncle. Uncle Danny, benar itu namamu? Salam kenal, akhirnya kita bertemu lagi." Albus menyapa dengan begitu ramah. Suaranya terasa berat, namun masih jelas terdengar.

Jeruji besi penuh mantera yang memisahkan Danny terasa begitu menghalangi. Albus berbisik kepada Harry agar diberikan sedikit keleluasaan pada si terdakwa.

"Tapi itu berbahaya, Albus. Dia bisa saja melukaimu dan kita semua di sini." Kata Harry.

"Aku yakin dia orang baik, Dad. Sebentar saja. Kalau dia benar kembali melukaiku, aku janji tidak akan melanjutkannya."

Setelah beberapa pertimbangan keselamatan, jeruji itu pun akhirnya dihilangkan. Dengan syarat tetap memberi mantera dan posisi keduanya yang harus dijaga jaraknya.

"Begini lebih jelas. Saya pun merasa ini sungguh luar biasa. Saya ingat dengan raut wajah itu. Wajah yang sama ketika kita pertama kali bertemu. Saya ingat betul, Uncle tersenyum menatap saya."

Semua penyihir di ruang sidang tertegun dengan penuturan Albus.

"Sama sekali tidak ada tanda Uncle akan menyerang. Senyuman itu indah. Bagaikan seorang ayah yang memanggil putranya. Begitu hangat hingga saya tenang mendekatimu. Jelas sekali, Uncle memanggilku.. Nak! Seperti Daddy memanggilku. Panggilan sayang."

Albus mengusap tangan Harry yang bertumpu di pundaknya. "Dan itu yang Uncle lakukan kepada saya. Seorang ayah kepada putranya. Itu tidak salah. Seorang Ayah bertugas untuk menjaga dan melindungi anak-anaknya. Itu yang Uncle lakukan kepada saya. Semua itu untuk putramu. Bukan begitu?"

Danny menunduk tidak kuat. Suara Albus begitu teduh terdengar. Lirih dan menyesakkan dada.

"Sebut saja pengorbanan ayah untuk anaknya, tapi yang Uncle lakukan itu," Albus menghela napas dalam sebelum melanjutkan, "saya tidak tahu.. Tapi, tahukan Uncle bahwa seorang anak memiliki pandangan tersendiri kepada ayah mereka? Lebih dari orangtua, ayah adalah orang yang sangat dihormati, disegani, disayang, dan jadi panutan bagi mereka. Dan.. Uncle adalah seorang ayah. Saya tidak bisa menilainya, karena yang berhak adalah putramu. Bagaimana ia melihat ayahnya sekarang. Setelah apa yang Uncle lakukan."

Albus meremas kedua tangannya.

"Terlepas dari semua yang telah terjadi, saya berharap ini bukan hanya sebagai satu penyesalan. Tapi pelajaran berharga, bahwa setiap orang memiliki hati yang tulus. Untuk menerima apapun keadaannya. Saya, Uncle, dan semua orang di dunia ini. Hanya saja kita perlu mengenalnya lebih jauh. Jika kita tidak mampu melihatnya sendiri, tanyalah orang lain. Dan bagi saya.. Uncle orang baik. Uncle tidak berbahaya. Semua itu ada di dalam hati Uncle. Saya sangat menyayangi Daddy. Saya bangga dengannya. Saya juga yakin putramu akan bangga mempunyi ayah yang.. sangat menyayanginya."

Albus membiarkan Danny terisak di tempatnya. "Terima kasih telah memberikan pembelajaran hidup yang begitu bermakna ini." Tutup Albus.

"Maafkan aku."

Danny terisak. Beberapa menit yang terjadi tadi bagaikan putranya yang berbicara. Albus datang sebagai seorang anak, yang mengutarakan perasaannya tentang sosok ayah di matanya. Albus memanglah korban, tapi pada akhirnya ia mengerti bahwa semua yang telah terjadi memanglah sebuah takdir yang harus diterima dengan satu kata.. ikhlas.

Ketua sidang memutuskan untuk mengakhiri semua prosesnya dan mengatur jadwal sidang keputusan akhir di dua pekan mendatang. Danny kembali diamankan dengan membawanya pergi dengan penjagaan ketat. Ia menyunggingkan senyuman kecil membalas Albus yang ternyata memberinya sebuah lambaian selamat tinggal.

Harry dan dua Auror berjalan beriring bersama Albus keluar dari ruangan. Anak beranak itu diminta menunggu barang sejenak untuk memastikan jalur kepulangan mereka aman. Semua pewarta sedang berkumpul di lobby Kementerian. Memenuhi bagian air mancur untuk menunggu kemunculan Harry dan Albus.

"Jangan dipikirkan." Harry berujar selepas mereka ditinggalkan hanya berdua. "Semuanya sudah aman. Sekarang kita fokus untuk kesehatanmu."

"Aku menyayangimu, Dad. Maafkan segala kesalahanku."

Harry hanya bisa menahan isakannya. Ia kecup berulang kali kepala Albus. Berbisik hal yang sama hingga tak terasa mereka siap untuk kembali.

Butuh waktu lima menit untuk Harry dan Albus sampai di perapian rumah mereka. Keduanya disambut hangat oleh keluarga besar yang telah membuat sebuah pesta kecil untuk Albus dan Ginny.

"Mummy di mana?" tanya Albus setelah lepas dari pelukan Charlie.

"Ibumu istirahat di kamar, Al. Sudah cukup lama menunggu tadi, badannya sedikit lemas. Jadi kami membawanya masuk." Jawab George.

Harry khawatir namun segera ditenangkan oleh Charlie, "tidak apa, ada Angie dan Hermione di sana. Masuklah." Bisiknya.

Ron rupanya baru muncul sambil memainkan kunci mobilnya selepas menjemput dari sekolah. Mengiringi Lily dan Hugo yang berteriak memanggil Albus. "Hey, pelankan suara kalian. Lepas dulu tasnya, cuci kaki dan tangan baru boleh mendekat." Titah Molly. Arthur dengan segala perhatiannya setelah mendengar istrinya mengamuk, segera mengajak dua cucunya itu menuju kamar mandi.

Badan Albus harus digendong Harry, sementara kursi rodanya diberikan mantera oleh Charlie agar bergerak sendiri menuju ke lantai dua. Tepat di depan kamar utama, Albus kembali di dudukan. Pintu kamar itu dibuka perlahan dan tampaklah Ginny sedang berbaring ditemani Angelina dan Hermione yang berdiri di sisi ranjang. Victoire pun masih ada di sana. Duduk di kursi kecil tempat Ginny biasa membenahi riasannya.

"Albus, putraku." Panggil Ginny.

Mereka hanya bisa berepegangan tangan sebab masih ada di posisi masing-masing. Ginny yang berbaring sementara Albus yang duduk di kursi rodanya.

"Tinggal menunggu vonis. Aku harap mereka memberikan keadilan untuk kalian. Kuatlah, Harry." Bisik Hermione. Ia tahu semua kabar dari persidangan beberapa menit lalu.

Kini mereka semua melihat Ginny dan Albus yang akhirnya dapat kembali. "Mummy sangat menyayangimu, Albus. Mummy tidak mau kehilangan kamu. Kamu janji jangan pernah tinggalkan Mummy." Pekik Ginny.

"Gin, tenang. Semuanya sudah selesai. Kita sudah kembali. Semuanya sudah aman." Bisik Harry.

Tiba-tiba di depan pintu terdengar suara Lily. Merangsak ia masuk dan memeluk kakaknya, lantas menciumi wajah ibunya. "Aku merindukan kalian." Ujarnya.

"Kau tidak merindukan Daddymu, Lils?" seru Hugo yang ikut masuk. Dirinya memilih berdiri di antara ibunya dan Victoire.

"Apa-apaan kau, Hugo? Tentu saja. Hanya saja, aku sudah setiap hari bersama Daddy saat Mum dan Albus dirawat."

"Lalu bagaimana denganku?"

Semua orang di kamar itu sontak tertuju pada arah pintu.

"Jahat sekali melupakan aku." Seru pemuda tinggi berambut hitam acak-acakan di sana.

James, dengan jaket hitam dan celana jinsnya melipat tangan di depan dada sambil memasang wajah datar. "Bloody hell, aku dilupakan." James memelas.

"Ya ampun, kemarilah, James. Bagaimana kau bisa pulang? Bukankah masih beberapa hari lagi?" tanya Ginny.

James mendapat kesempatan pulang lebih awal setelah mendapat rekomendasi dari Neville selaku kepala asrama Gryffindor. Dengan kondisi keluarganya yang butuh perhatian, James diijinkan oleh Profesor McGonagall untuk lebih dulu kembali ke London.

"Nanti akan aku tulis surat untuk sampaikan ucapan terima kasih ke Profesor McGonagall dan Neville." Kata Harry. Ginny menganguk setuju.

Angelina mengambil posisi di dekat Hermione sambil berujar menggoda. "Senangnya melihat keluarga yang hangat. Lihat, Gin. Anak-anakmu sudah berkumpul. Suamimu juga setia menemanimu. Mau cari apa lagi? Sekarang kau nikmati saja. Bahagia." Ujarny.

"Benar, jangan banyak pikiran lagi, Aunt Ginny." Imbuh Victoire.

"Terima kasih, ya. Doakan semoga aku cepat pulih." Kata Ginny.

"Harus, dong. Aku sudah rindu dengan cup cake buatan Aunt Ginny." Celoteh Hugo lalu bercerita makanan apa saja yang ia inginkan dari sang bibi. Tawa mereka pecah ketika Hermione dipojokkan karena Hugo menyebut kue buatan Hemione sebagai kue batu.

"Kalau kau maua gigimu patah, biar Mummy buatkan kue untukmu, James." Hugo sontak mendapat cubitan dari ibunya, Hermione.

Dan waktu pun berjalan dengan cepat. Ginny mulia bisa beraktifitas dengan nyaman. Mampu memasak dan melakukan semua aktifitas rumah dan pekerjaanya meski terbatas. Pagi ini, ia mebuat dua loyang brownies coklat. Satu untuk keluarganya dan satu lagi untuk keluarga Ron.

"Rosie pulang hari ini. Aku ingat dia pernah bilang kalau suka sekali brownies coklat buatanku. Dan kebetulan, masih ada sisa bahan. Aku buat saja." Jelas Ginny saat Harry dimintai tolong mengambilkan kotak kardus untuk tempat kuenya.

"Yang ini bebas gluten. Aku buat agar nanti kita bisa makan bersama. Albus boleh memakannya juga. Tenang saja."

James lebih dulu mendekat. Mengambil potongan kecil dan menyuapkan ke mulut Albus setelah lebih dulu memakannya. Rupanya tidak hanya memberi kue untuk Albus, James membisikkan sesuatu.

"Itu artinya sahabatmu juga kembali. Aku akan cari cara agar kalian bertemu. Kau sudah merindukan si pirang itu, bukan?"

Alis James terangkat-angkat menggoda. Benar sekali, Albus tiba-tiba mengingatnya. Scorpius.

"Bagaimana keadaaanya sekarang?" Hanya itu yang bisa ia ucapkan. Albus ingin segera menemuinya. Dan semoga James segera menemukan cara mempertemukannya dengan Scorpius. Segera.

TBC


Bagaimana ya selanjutnya, apa James berhasil mempertemukan Albus dan Scorpius? Di tunggu saja! Kita ketemu di kolom komentar. Ayo muncul yokkkk..

Thanks,

Anne xoxo