20.
Albus menahan tangan Ginny cepat-cepat. Takut ia melakukan kesalahan, Ginny segera bertanya dengan wajah panik.
"Sakit?"
Terakhir yang sempat terjadi adalah Albus tersedak makanannya akibat Ginny terlalu terburu-buru menarik manteranya dari hidung. Sementara Albus sendiri belum selesai untuk menelan semua makanannya.
"Jangan di sini," susah payah ia bicara. Sejak semalam, tenggorkannya nyeri jika digunakan berbicara. Mata dan wajahnya terasa perih dan panas. Mantera pengirim makanan yang diberikan melalui lubang hidung Albus terasa begitu tidak nyaman sekarang.
Maksud dari perkataan Albus adalah dengan orang-orang yang sedang menikmati sarapan mereka di sana. Harry, Lily, James, bahkan Ginny juga. Terasa tidak sopan dan menjijikkan saat mantera yang dimasukkan dari hidungnya perlahan ditarik.
"Tidak apa-apa, Al. Aku sudah kebal." Ujar James masih nikmat menghabiskan serealnya.
Meski demikian, Albus tidak enak hati. Adiknya apalagi. Lily adalah anak yang mudah merasa jijik akan sesuatu.
"Kalau begitu berbaliklah. Mummy tarik saat kau membelakangi meja makan."
Sampai Ginny akhirnya berhasil menyelesaikan manteranya. Albus pun kembali dan mengucapkan maaf ke ayah dan saudaranya.
"Nanti, aku sudah bisa kok makan sendiri." Albus memohon agar ia bisa makan dengan cara normal. "Aku masih bisa mengunyah. Atau mungkin bubur yang tadi akan aku makan."
Cara menggunakan mantera adalah jalan agar makanan cair Albus dapat diserap cepat tanpa harus melalui proses mengunyah. Albus mulai mengalami kendala dalam mengunyah dan menelan. Sehingga proses tersebut dirasa cukup efektif agar Albus tetap mendapat asupan makanan.
"Daddy mohon. Ini demi kebaikanmu." Harry beri kecupan singkat di kepala Albus selepas menyelesaikan sarapannya.
Pagi ini Harry masih harus bekerja. Hanya saja sejak kondisi Albus semakin menurun, Harry akan lebih cepat kembali ke rumah. Pekerjaan malamnya ia tiadakan. Segala rapat juga harus dikondisikan tidak terlalu lama ataupun sering.
"Andy, nanti kalau ada apa-apa, segera hubungi aku, ya. Seperti biasa. Kalau sampai siang Amy belum datang, segera hubungi pihak St. Mungo."
"Baik. Kau hati-hati." Jawab Andromeda mengantarkan Harry keluar.
Amy akhirnya datang setengah jam kemudian. Ada penanganan pasien darurat sehingga ia harus terlambat datang. Ginny mempersilakan Amy agar segera mengecek kondisi Albus. Sementara dirinya sudah tidak perlu karena penyembuhan Ginny sudah mencapai 100%.
"Mum, aku keluar sebentar, ya. Baterai jam dinding di kamarku habis. Ke minimarket sebentar."
James menjelaskan jika ia akan bawa sepeda miliknya. "Mummy butuh sesuatu yang mau dibeli?" tawarnya.
"Em, apa ya? Ah. Belikan sabun cuci tangan. Lihat di wastafel sana botolnya sudah kosong."
Sabun yang sering digunakan rupanya memang sudah habis. "Beli yang produk biasanya itu?" tanya James memperjelas.
"Iya, ini uangnya. Sisanya bisa kau belikan camilan. Tanya Lily juga, dia mau apa." Ginny sedikit berbisik. Takut Albus mendengarnya.
Uang yang Ginny berikan cukup banyak. James lega, setidaknya ada alasan untuk ia keluar. Ada yang harus dirinya temui di luar sana.
Sepeda yang ia miliki sejak empat tahun yang lalu masih terasa nyaman. James mengayuhnya menuju salah satu minimarket. Agar tidak dicurigai, James membeli barang-barang yang ia butuhkan.
"Yang ini enak, James?"
Terkejut, James melihat sosok pirang sudah berdiri di sisinya. "Bloody hell, aku kira kau hantu." Pekik James.
"Bukankah kita sudah sering melihat hantu di sekolah?" tanya Scorpius masih menyempatkan membolak-balik kantong besar keripik kentang.
Dalam hati James hanya merutuki keanehannya.
"Aku jarang masuk ke toko Muggle. Dulu kata Daddy, ada toko yang berisi banyak makanan dan minuman namanya minimarket. Tapi aku tidak bawa uang Muggle." Dan Scorpius hanya meringis tak berdosa.
"Ambil sesukamu. Aku bawa uang cukup banyak."
Mereka memilih belanja sejenak dan keluar setelah semua beres. "Terima kasih atas keripiknya, James. Aku jarang makan makanan Muggle seperti ini. Ini enak sekali." Ungkap Scorpius. Sebungkus keripik kentang ukuran besar ia peluk sambil keluar dari minimarket.
"Lalu, di mana dia?"
Dengan mulut penuh, Scorpius menunjuk salah satu resto keluarga bernuansa Asia.
"Ibunya Muggle. Makanan yang bernama Kimbab buatannya enak sekali." Cerita Scorpius. James tidak peduli apa yang kini terus dijelaskan oleh Scorpius. Misinya kali ini adalah bertemu dengan gadis itu.
"Banyak makan dan istirahat. Itu yang paling kau butuhkan sekarang, Mr. Potter. Kondisimu cukup rentan. Tekanan darahmu rendah sekali dan reaksi mantera yang aku berikan seperti memberi efek cukup tidak baik." Amy menyarakan agar Albus sering-sering berjemur. Cukup duduk di teras seperti saat ini. Tubuhnya butuh mendapat vitamin dari hangatnya matahari.
"Ah," Amy memeriksa sebuah tongkat kecil yang tiba-tiba bercahaya. "Sepertinya aku harus segera pergi. Ada pasien lagi yang butuh bantuanku. Jangan terlalu lelah, ya."
Albus mengangguk membebaskan. Amy pun berpamitan dengan Ginny dan menitipkan Albus yang masih harus berjemur sebentar lagi.
"Al, kau tak kepanasan?" Ginny datang sambil membawakan selimut.
"Tidak, Mum. Aku baik-baik saja."
Belum sempat Ginny menjawab, sosok James muncul dari arah gerbang depan. Tidak hanya James, ada Scorpius di belakangnya dan juga...
"Gadis itu." Gumam Albus. Seketika jantungnya bekerja dua kali lebih cepat.
Sepeda yang dituntun James segera ia tepikan. "Aku sudah dapatkan belanjamu, Mum. Dan," James menunjukkan dua orang di belakangnya.
"Aku tidak sengaja bertemu Malfoy di jalan. Linglung, seperti orang gila. Jadi aku belikan camilan di minimarket." James basa-basi.
"Oh, Scorpius. Apa kabar?" Ginny mengulurkan tangannya memberi salam.
"Baik, Mrs. Potter. Maaf tadi aku kebingungan. Em, a-aku jalan-jalan sendiri. Tapi lupa jalan. Yang aku ingat jalan ke rumah Albus. Untung bertemu James."
Sampai Ginny terpaku dengan gadis bermata sipit di hadapannya. "Lalu kau, siapa namamu?" Ginny tak pernah melihatnya.
"Jae-hwa Chae, Mrs. Potter. Kebetulan saya juga murid Hogwarts juga." Sapanya sopan.
"Kau penyihir? Oh, ternyata. Tahun ke berapa?"
Jae-hwa menyebut tahun pertama dari Ravenclaw. Penuh kehangatan Ginny menyambut mereka untuk masuk ke rumah. James menjelaskan jika ban sepeda Jae-hwa pecah. Tidak ada bengkel di sekitar sana. Sehingga James berinisiatif untuk mengajaknya ke rumah. Agar ia dapat dibantu dengan sihir oleh Ginny atau Andromeda.
"Bawa sepedanya ke belakang, James. Kalau di sini, takut dilihat Muggle."
James dan Scorpius yang sempat saling sapa dengan Albus memilih membawa sepeda itu ke sisi samping rumah. Sedangkan Jae-hwa ikut masuk dari pintu masuk.
"Ah, biar saya yang mendorong. Saya dengar anda baru saja pemulihan."
Jae-hwa mengambil alih kursi roda Albus dan membantu mendorongnya masuk.
"T-terima kasih." Ujar Albus salah tingkah.
"Tidak apa, kita dulu satu angkatan, bukan? Meski kau sudah tidak di Hogwarts, kita pernah satu sekolah."
Pundak Albus disentuh hangat. Luar biasa sesak ia saat ini. "Jadi, apa kalian pernah bertemu sebelumnya?" tanya Ginny. Tongkatnya ia ambil dan persiapkan untuk memperbaiki sepeda Jae-hwa. Namun, Andromeda cepat-cepat menahannya. Ginny masih belum boleh sering-sering menggunakan mantera. Energinya sudah cukup banyak keluar setiap membantu merawat Albus.
"Sepertinya pernah walau sebentar. Aku pernah melihat Albus saat di kereta. Kau mengingatku?"
Lagi-lagi Albus kesulitan menjawabnya. Jelas, sayang Albus tidak sanggup mengatakan itu. Ia hanya menggangguk, tapi segera ia menggeleng.
"Albus hanya sebentar dan tidak banyak yang bisa ia amati. Ia serba terbatas. Mohon dimengerti." Pinta Ginny memberi pengertian.
"Albus hebat. Bisa bertahan sampai saat ini. Aku suka dengan siapapun yang tidak pantang menyerah. Kalau ada yang menyebutnya kekurangan, bagiku Albus," Jae-hwa mendekatkan wajahnya dengan Albus.
"Albus spesial." Simpulnya.
Sungguh, entah mimpi apa semalam Albus akan kedatangan seseorang yang begitu ingin ia temui. Seseorang yang berhasil membuatnya panas dingin dan nyeri di ulu hati. Dialah orangnya. Gadis itu. Albus menunduk tidak kuat. Ia kesulutan berbicara sekarang. Lidahnya kelu bahkan untuk menyebutkan namanya sendiri. Sesuatu yang aneh baru saja terjadi. Seperti yang sempat Amy katakan tentang begitu banyak rasa.
Benarkah ini cinta? Hanya satu mantera Andromeda berhasil memperbaiki ban sepeda Jae-hwa.
"Terima kasih. Saya sungguh tidak enak sudah merepotkan."
"Tidak apa, untung saja kau bertemu dengan James dan Scorpius. Jadi bisa tertolong." Sahut Andromeda. Ginny ikut membenarkan.
Jae-hwa berpamitan untuk segera kembali. Ia takut orangtuanya mencarinya. "Sampai jumpa, Albus. Terima kasih atas bantuannya. Kau yang semangat, ya." Pesannya.
Di belakang Albus, Scorpius segera mengambil posisi.
"Lambaikan tanganmu, Albus. Dia masih memanggilmu." Bisik Scorpius.
Gugup dan masih belum tahu harus bagaimana, James lantas dengan sebal mengangkat tangan Albus. Menggerakkannya seperti yang seharusnya.
"Maaf, Al. Tanganku gatal melihatmu diam saja." James lantas berlalu masuk tanpa merasa berdosa. Berteriak mengatakan ia ingin ke kamar memasang baterai ke jamnya yang mati.
Albus dan Scorpius kembali masuk. Di arah ruang tengah, Ginny menata beberapa camilan di atas meja. "Makanlah. Aku siapkan jus jeruk juga untukmu." Katanya.
"Apakah ini macaroon?" tanya Scorpius pada beberapa keping kudapan warna warni di sana.
Ginny lantas mengangguk dan berkata, "anggap rumah sendiri."
"Terima kasih, Mrs. Potter."
Kini tinggal mereka berdua, Scorpius menyamankan dirinya di salah satu bangku yang ia seret mendekati Albus.
"Cantik, ya?"
Tiba-tiba saja sahabatnya itu bertanya. Hanya saja wajah Scorpius seperti sedang menggodanya. "Menurutmu?" lempar Albus.
"Kau tanya aku? Kalau menurutku, yang paling cantik di mataku hanya Rose seorang." Satu buah macaroon berwarna biru habis sekali lahap. "Dan Mummyku." Koreksinya.
"Sudah aku tebak." Albus mendesah pelan. Aroma macaroon yang dikunyah Scorpius begitu terasa nikmat. Beda lagi jika Albus benar memakannya nanti. Ia bisa mati tersedak di tempat.
Scorpius melihatnya sendiri. Albus suka tersenyum dengan malu-malu setiap menyangkut tentang gadis pujaannya. "Aku senang melihatmu berseri-seri seperti ini." Bisik Scorpius.
Ia mengaku ingat dengan mendiang ibunya. Astoria tidak pernah bersedih di hadapan anak dan suaminya. Bukan perkara sakit atau lemah, Astoria tetap memikirkan sisa hidupnya tidak boleh diisi dengan rintih dan tangis air mata.
"Itulah sebabnya, aku dan Daddy selalu berusaha memenuhi apapun yang Mummy mau. Apapun akan kami lakukan. Kami hanua ingin mempertahankan senyuman Mummy di wajahnya. Menunjukkan padanya jika ia tidak sendiri."
Tangan ringkih Albus perlahan digenggam. Scorpius menggerakkannya ke kanan dan kiri. "Aku pernah bermimpi, punya sahabat yang bisa aku ajak berlari sambil bergandengan tangan. Saat itu umurku baru 5 tahun. Aku lihat ada anak yang berlari bergandengan di lorong rumah sakit. Mereka kena marah. Bukannya takut, eh.. Mereka malah lari dan berteriak-teriak kegirangan. Aku iri. Bagaimana rasanya berteriak tertawa bersama dengan sahabat kita."
Albus tertunduk. Tangannya bergerak saja harus mendapat bantuan. Apalagi seperti yang diinginkan Scorpius.
"Maafkan aku, Scorpius." Albus memohon.
"Kenapa? Padahal kau sudah mengabulkan semuanya."
Dengan sekeping macaroon di tangannya, Scorpius membantu Albus berkeliling. Halaman rumah keluarga Potter yang cukup luas jadi tujuannya. Meski tidak kencang, Scorpius coba mendorong kursi roda Albus berkeliling.
"Kita bisa bergandengan. Kau bisa aku ajak berlari bersama." Scorpius menepuk pegangan kursi Albus. "Dan yang paling penting, hanya kamu yang bisa membuatku bahagia."
Albus tidak tahu harus berkata apa. Ia bingung. Ia merasa tidak melakukan apa-apa. "Tapi aku tidak pernah.. Scorpius. Aku tidak bisa apa-apa. Aku bukan sahabat yang baik. Aku menyusahkan keluargaku. Aku menyusahkan kamu. Aku.."
Mereka saling berpeluk. Mengungkapkan rasa sayang yang tidak pernah mereka ucapkan sebelumnya. "Kamu harus janji, akan jadi sahabatku sampai tua. Selamanya." Scorpius memohon.
"Aku," tidak kuasa Albus menjawabnya, "bagaimana kalau aku mengingkarinya?" tanyanya. Albus berharap Scorpius tahu apa maksudnya.
Tiba-tiba senyum Scorpius berubah jadi basah. Air matanya turun begitu saja. Membasahi senyuman yang belum kunjung menghilang. "Tolong, Albus. Karena hanya kamu sahabatku. Aku tidak tahu akan jadi apa nanti."
Kali ini Albus yang berusaha memeluknya. Disitulah tumpah tangis Scropius. "Aku takut, Albus. Aku takut. Sudah cukup Mummy yang pergi. Jangan kau juga! Aku mohon, Albus. Aku mohon!" rintihnya mengiba.
Memang hanya sebatas sahabat. Usia perkenalan mereka masih sangat awal. Scorpius mendapatkan kebahagiannya dengan Albus. Namun ia tahu, nasib akan berakhir seperti ibunya. Scorpius tidak mau menyaksikan tubuh orang yang ia kasih tertidur tenang tanpa nyawa.
Scorpius takut.
Menjelang sore, Scorpius berpamitan ingin pulang. Albus melambaikan tangannya mengucapkan selamat tinggal. Ia hanya menemani sampai di depan perapian sebab akan dibantu untuk mandi sore dengan ibunya. Melihat Scorpius dengan James yang saling berbincang. Membahas tentang satu nama yang Albus dengar sangat tidak asing.
"Terima kasih atas bantuanmu. Lain kali, tanya Jae-Hwa lagi. Apa dia mau bertemu dengan Albus. Kalau bisa beri dia sesuatu. Kalau dia tidak mau, biar aku yang bicara padanya. Nanti kita atur agar pertemuannya lebih alami."
"Aku tunggu komandomu, James. Idemu memang brilian."
Meski tidak jelas, Albus mengerti. Mengapa gadis itu bisa sampai ke rumahnya hari ini.
Makan malam siap. Semua orang berkumpul di ruang makan. Harry membantu membawakan sepiring ayam panggang yang baru selesai dimasak oleh Andromeda. Makanan untuk menyambut kedatangan Teddy. Bisa dikatakan, malam ini sungguh spesial. Anggota keluarga lengkap untuk menikmati santapan malam yang terbilang spesial. Kecuali seorang.
"Albus belum selesai?" tanya Andromeda.
Ia melihat ke arah kamar mandi dekat dapur. Sebelumnya Albus meminta ijin untuk buang air kecil. Karena malu, Albus biasa akan ditinggal sebentar sampai ia memberi tahu kalau sudah selesai.
"Tapi kok tumben lama sekali." Lanjut Andromeda. Lily yang baru turun dari lantai dua, berinisiatif mencari tahu.
Dua kali mengetuk pintu, tidak ada sahutan. "Al, aku masuk ya.. Astaga," pekikan Lily membuat semua di meja makan panik.
"Kau tidak apa, Al?" tanya Lily. Ia bantu Albus memakai celananya kembali. Meski sedikit malu, ia berusaha membantu agar Albus bisa sedikit nyaman.
"Al?" panggilan Lily tidak direspon.
Harry ikut muncul berusaha membantu Albus yang lemas. "Al, kau kenapa? Jawab aku." Lily memegang tangan Albus berusaha mencari jawaban.
"Badannya dingin. Kita pindah ke luar." Harry bopong tubuh Albus keluar. Membaringkannya di kamar Albus. Ginny berinisiatif langsung menghubungi healer agar cepat mendapatkan penanganan.
Lily mulai panik. Albus coba menyampaikan sesuatu dengan melalui pikirannya. "Albus tidak bisa berbicara, Dad. Tenggorokannya seperti tercekik. Napasnya sesak." Begitu yang bisa ia baca dari pikiran Albus.
Sebuah mantera Harry rapalkan. Ia pusatkan mantera itu ke area kepala dan leher Albus.
"Kau mulai nyaman, Al?" tanya Harry.
Mereka menunggu jawaban Lily sebagai mediator. "Katanya lumayan, tapi mulutnya masih kaku. Suaranya tidak bisa keluar." Sampainya.
Seorang healer datang. Segera memberi mantera pertolongan. Semua orang diminta untuk menjauh. Menjaga jarak agar tidak terkena efek negatif dari pantulan mantera pengobatan tersebut.
"Kondisi Albus sudah sangat sulit diprediksi. Menurut pemeriksaan healer Amy pagi ini, sudah ada penurunan respon dari tubuh Albus. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain," kata-kata healer senior dari St. Mungo itu terhenti, "membuat dia bahagia."
Merawat Albus di St. Mungo hanya akan membebani psikisnya. Sekarang, tujuan mereka adalah memberikan tempat ternyaman untuk Albus bisa menemani sisa waktunya kini.
TBC
Ini adalah chapter menuju akhir. Jadi chapter selanjutnya sudah jadi endingnya. Semoga masih ada yang bersedia baca, ya. Kalau lupa, bisa reread lagi...
Hehehehe...
Thank you ya... Dan sampai jumpa
Anne xoxo
