21.
Dalam pelukannya, Bruno terus menggerakkan kepalanya pelan. Seolah menenangkan Albus yang baru saja menerima ramuan rutinnya. Tidak ada perlawanan maupun teriakan. Albus yang kini benar-benar tidak mampu apa-apa. Hanya berbaring dan pasrah akan apapun.
Hari-harinya cukup duduk bersandar tenang di sofa, kursi roda, ataupun ranjang. Menerima tolong ketika ada yang mendekatinya. Salah satunya Lily. Dengan kemampuan legillimennya, Lily sedikit banyak berperan dalam menjadi perantara Albus jika ingin meminta sesuatu.
Kemampuan yang dimiliki Lily adalah tipe pembaca pikiran yang cukup unik. Tanpa dipelajari seperti mereka yang menguasainya dengan mantera. Lily masuk dalam kemampuan alami. Meski dirinya masih memerlukan perantara ketika ingin membaca pikiran seseorang. Ia tidak mampu secara berjarak. Lily akan menyentuh tubuh objeknya dan akan spontan mendengar apa yang ada dalam pikiran objek tersebut.
"Kau yakin?" tanya Lily saat datang untuk ke delapan kalinya sejak pagi.
"Aku tidak apa-apa. Lanjutkan saja berkemasmu." Ujar Albus dalam hati.
Esok Lily akan masuk di tahun pertamanya. James pun demikian akan kembali. Ginny dan Harry ikut berlalu lalang membantu keperluan Lily yang belum rampung.
Hanya dengan Brunolah ia kini tidak sendiri. Hampir satu tahun setelah tragedi ia sesak napas di kamar mandi, membuat kondisi tubuh Albus semakin lama semakin turun. Badannya kurus dan kulitnya memucat. Bahkan satu-persatu kemampuan fisiknya sempurna mati. Berkat perawatan yang luar biasa baiknya, nyawa Albus masih bisa tertolong. Ginny yang paling keras mengusahkan segala pengobatan yang bisa Albus terima. Mantera, ramuan, hingga terapi fisik Ginny pilihkan untuk Albus lakukan. Meski lelah, Albus sangat sulit untuk menolak. Karena setiap Ginny menangis di hadapannya, Albus tidak mampu berbuat lebih. Ia menuruti semua kemauan Ibunya.
Ginny melakukan itu semua sebab hati kecilnya terus mengatakan.. Ia tidak rela melihat putranya mati.
"Kalau lelah, kita masuk ke kamar, ya?"
Ginny membantu melipat selimut yang Albus pakai. Bruno cepat-cepat turun. Dari pangkuan Albus dan memilih duduk di bawah. Tepat di sisi tuannya.
Hanya gelengan kepala singkat Albus ungkapkan. Ginny berusaha melihat pergerakan bibir Albus.
"Aku masih mau lihat Lily." Itu yang dimengerti Ginny.
"Tapi sudah semakin sore, Al. Sebentar lagi kita mandi, ya. Mummy mau menata seragam Lily dulu."
Albus mengangguk lemas. Kembali memperhatikan kesibukan orangtua dan adiknya. Sementara James, muncul dari arah halaman belakang dengan membawa ponselnya.
James mengambil posisi duduk di sebelah Albus. Teriakan Ginny dan perintah Harry yang memintanya mengemasih koper hanya disambut helaan napas dan gerutuan kecil.
Sejenak kemudian, James menghadap Albus. Menaikkan kakinya lebih nyaman dengan sang adik.
Albus hanya membalas dengan tatapan penuh tanya.
"Berat sekali rasanya pergi September ini. Aku ingin di rumah saja, Al."
Albus menatapnya sedih. Ia tahu, kakaknya baru saj mendapat sapu terbang baru dari ayahnya. Ini adalah kesempatan James memakainya nanti saat jam pelajaran sapu terbang.
"Entahlah. Aku merasa ingin terus di sini. Malas berangkat."
James menyalakan layar ponselnya. Sudah semakin sore tapi satupun barangnya belum ia persiapkan. "Sebentar," James membuka menu kamera di ponselnya. Menyalakan kamera depan dan mengarahkan ke dirinya dan juga Albus.
"Bagus!" Pekik James. Sebuah potret dirinya dan sang adik.
James memperlihatkan ke arah Albus. Sembari tersenyum ia mengangguk tanda setuju. "Untuk kenang-kenangan." Gerakan mulut Albus susah payah. James memahaminya cukup lama meski akhirnya ia paham dan mengangguk. Walaupun dalam hati ia berharap, foto itu bukanlah kenangan terakhirnya dengan adik laki-lakinya.
Scorpius selesai mengemasi barang-barangnya. Ia temukan sebuah benda berbentuk jendela kastil yang menunjukkan cuaca di luar sana. Ia ingat, itu ia beli dua untuk hadiah natal Albus. Satu untuk Albus dan satu untuk dirinya.
Sempat menimbang beberapa saat, Scorpius tetap ingin membawa benda itu ikut serta ke asrama. Setidaknya itu ia bawa untuk mengingat Albus, sahabatnya.
Pintu kamar yang tidak tertutup sempurna memberikan kesempatan Draco melihat kesibukan putranya menjelang keberangkatan ke Hogwarts esok. "Scorp," Panggil Draco. Sebuah syal ia bawa untuk diberikan kepada Scorpius.
"Bawalah, sebentar lagi cuaca diprediksi mendung dan sering hujan. Pakailah."
"Terima kasih, Dad." Scorpius menerima dengan senang hati.
Semua barang telah dikemas dengan rapi. Pekerjaan Scorpius dalam mengurus keperluannya sekolah tidak perlu diragukan. Anak laki-laki itu bahkan tidak membutuhkan bantuan peri rumah. Ia bisa melakukannya sendiri.
Draco tahu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan untuk masalah itu. Kecuali satu hal. "Tidak akan jadi masalah, bukan.. kalau Albus tidak lagi kembali ke Hogwarts?" Tanya Draco.
Terkejut betul Scorpius dengan pertanyaan ayahnya. Hubungannya dengan Albus memang bukan lagi sebuah hal yang perlu ditutupi. Baik Draco maupun Harry sudah tahu, jika putra mereka bersahabat sangat baik. Dan saat Albus mengalami segala kesulitan, Scorpius sering terbuka kepada Draco. Bercerita segala keinginannya untuk terus membantu Albus.
"Albus adalah sahabatmu. Satu-satunya anak yang bisa membuatmu nyaman berada di luar manor ini. Kau tahu, Scorp? Daddy sangat bahagia ketika mendengarmu bercerita tentang harimu dengan wajah berseri. Sering sekali namanya kau sebut."
Sebuah usapan pelan Draco berikan ke arah pundak putranya. Menenangkan sekali Scorpius rasakan. Ayahnya akan selalu seperti itu jika perbincangan mereka masuk pada tahap serius.
"Daddy iri. Daddy tidak pernah merasakan energi positif yang besar menyelimutimu.. bahkan sebelum kau bertemu Albus. Daddy sempat takut, kau akan jadi anak tertutup dengan lingkungan sosial. Mummy pun takut, Scorpius. Tapi tidak sejak Albus bersamamu."
Scorpius menunduk. Merasakan betapa kehilangannya dia selepas Albus kembali hilang dari jangkauannya.
"Mummy pernah berkata, kalau ia akan lakukan apapun agar kamu bisa terus bersama Albus. Dia pun sayang dengannya. Mummymu merasa bahwa Albus seperti putranya sendiri. Karena kedekatan kalian, Mummy menganggap kalian sama."
Scorpius mendesah. Sesak sekali dadanya. Ia merutuki nasibnya. Mengapa harus dua orang baik itu pergi meninggalkannya begitu cepat.
"Tapi, Dad. Apakah menurutmu, Mummy pasti akan melakukan apapun agar aku bisa terus bersama Albus?" Tanya Scorpius. Genggamannya semakin erat pada miniatur jendela di tangannya.
"Tentu. Mummy sendiri yang mengatakan itu." Jawab Draco.
"Kau begitu," Scorpius menarik napas berusaha tidak terisak. "Apakah Mummy mau, meminta Albus kembali saat mereka bertemu di surga nanti?"
Scorpius memandang dalam ayahnya. Matanya merah. Menggenang air mata yang bisa saja detik itu akan tumbah. Tidak kuasa menahan luapan emosi yang entah mengapa begitu menyiksa Scorpius.
"Maukah Mummy memaksa Albus kembali kepadaku saat dia sampai di surga, Dad? Bisakah? Apa Mummy mau membantuku? Aku mau Mummy membantuku, Dad. Jangan ajak Albus! Aku mohon!"
Draco memeluk Scorpius erat. Mereka berpeluk begitu erat. Scorpius telah kehilangan senyumnya. Semuanya. Otak dan pikirannya seolah dihancurkan dengan kenyataan itu. Draco menemukan selembar koran terbitan pagi ini. Memuat sebuah berita tentang kondisi terbaru putra Harry Potter yang disebut oleh Rita Skeeter sebagai mayat hidup.
Si penebus dosa orangtuanya. Si malang yang terpilih.. Dan semua sebutan aneh yang pernah disematkan oleh media untuk Albus. Begitu pula dengan kali ini. Dalam surat kabat itu dijelaskan, jika kemampuan Albus hanya tersisa kurang dari 20% yang mana tidak memungkinkan untuk melanjutkan segala pendidikannya.
Hanya menunggu ajal. Begitu kurang ajarnya kalimat itu tertulis sebagai penutup beritanya. Siapapun yang mengenal, seperti Scorpius, akan ikut hancur membacanya.
Albus duduk lemas di depan televisi yang menyala. Selimut tebal menutupi tubuhnya yang semakin kurus. Bruno pun tidak mau lepas dari sisinya. Tayangan animasi tentang binatang laut di sana tidak satupun yang Albus paham. Meski matanya menatap layar, pikirannya sedang berfokus dengan cara ia mengatur napas. Tidak ada yang boleh tahu, kasihan Lily, batinnya.
Hari ini adalah hari keberangkatan Lily untuk tahun pertamanya. Anak itu sangat ingin pergi diantarkan oleh kedua orangtuanyan. Keinginan itu bukan baru diutarakan beberapa waktu lalu, melainkan sudah sejak bertahun-tahun. Ia ingin pergi dengan lambaian tangan keluarganya.
Dan Albus.. tidak mau merusak cita-cita Lily. Sama seperti dulu ia merusah hari keberangkatan James.
"Kita masuk kamar atau di sini saja." Teddy, menggenggam tangan Albus menunggu jawaban.
Dua remasan pelan yang artinya Albus memilih pilihan kedua Teddy.
"Baiklah, sekalian kita antar Lily dari sini." Ajak Teddy. Putra Remus itu rela ijin dari satuan Aurornya demi menjaga Albus selama Harry dan Ginny mengantar James dan Lily ke stasiun.
Sesak itu semakin nyata rasanya. Albus berusaha memejamkan matanya menenangkan emosinya. Ia tidak boleh seperti ini.
"Kau tidak apa, Al?" Tanya Teddy.
Dua remasan. Aku tidak apa-apa.
James membantu Harry memasukkan beberapa koper ke mobil. Lily dengan senyum lebarnya keluar masuk rumah menyaksikan barang-barangnya siap.
"Ted, kau dipanggil Daddy membantu di depan." Panggil Lily. James yang meminta Lily memanggilkan Teddy.
Segera Teddy meminta izin Albus untuk keluar. Ia meminta James yang baru masuk untuk menemani Albus sebentar sekaligus berpamitan.
"Aku akan pastikan semua anak yang suka menjahilimu dulu habis di tanganku. Kau tenang saja, Al. Setuju atau tidak?" James memberi pilihan.
Dua kali remasan.
"Tidak?" James terkejut dengan respon Albus, "kau tidak mau mereka menyesal dengan ulah mereka? Atau kau tidak mau aku kena detensi?"
Dua kali remasan. Albus tidak mau James dihukum karena membela dirinya.
"Aku bahkan rela dikeluarkan untuk menjaga nama baikmu, Al." Ungkap James.
James sekali lagi memeluk adiknya penuh sayang. "Kau baik-baik di rumah. Janji, ya, tunggu aku pulang. Kita akan main PS lagi nanti."
Kali ini tidak ada remasan di tangan James. Seolah Albus tidak ingin berjanji. James menunduk tidak mau menangis di hadapan Albus.
"Kau tahu, Albus, aku sangat mencintaimu."
Kali ini Albus merespon. Sebuah remasan sebanyak tiga kali. Aku juga mencintaimu, James.
Dari arah depan, Harry mengatakan jika semua barang telah beres. "Pamitan dulu, baru kita berangkat." Ajak Harry pada Lily. Dengan senang hati, Lily bergegas memeluk Andromeda lalu menuju sang kakak. James diam-diam menyeka air matanya saat meninggalkan Albus. Lily melihatnya.
Untuk Lily, dengan santainya ia menggenggam tangan kiri Albus. Menunggu sebuah percakapan rahasia yang sering mereka lakukan sebelumnya.
"Aku akan berangkat, Al."
"Aku senang mendengarnya."
Lily membenarkan selimut yang dipakai Albus sedikit naik. "Jaga dirimu, ya. Setelah aku berangkat, Mummy dan Daddy akan langsung pulang, kok." Ungkap Lily menenangkan sang kakak. Sebenarnya Lily tidak tega meminta semua orang harus mengantarnya. Tapi Albus yang memintanya untuk tetap pergi. Orangtua mereka harus ikut mengantarkan. Karena Albus tahu itu impian terbesar adiknya.
"Pergilah, aku tidak apa. Belajar yang baik, jangan cari masalah di Hogwarts."
"Tentu, aku bahkan akan memata-matai James agar tidak berbuat onar."
"Dan juga Scorpius. Aku titip dia, ya."
Lily terdiam, mengapa Albus malah menitipkan Scorpius padanya. "Ajak dia bermain. Dia sulit terbuka dengan orang lain. Tolong ajak Rose juga. Itu akan membuat Scorpius senang."
Tanpa bersuara, Lily tersenyum sebagai tanda setuju.
"Albus, lebih baik kau masuk kamar kalau sudah lelah. Tidur. Tunggu kami pulang. Mummy dan Daddy tidak akan lama, OK." Ginny yang tiba-tiba muncul memeluk kepala Albus berpamitan untuk pergi mengantarkan kedua saudaranya.
"Sampaikan salamku. Aku akan selalu merindukannya."
"Tentu."
Ginny yang terkejut sebab Lily tiba-tiba berbicara akhirnya sadar. "Astaga, kalian sedang saling mengobrol dalam pikiran? Mummy sampai lupa." Ujar Ginny. Lantas dengan ini dan itu, ia berpesan pada Andromeda dan Teddy agar terus mengawasi Albus. Mantera medis yang dipesankan Ginny terus diingatkan. Keduanya bahkan harus mengabarkan kondisi Albus kepadanya setiap 15 menit sekali.
Ya, semua itu Ginny lakukan demi Albus seorang. Albus dan Lily mendengar kerepotan Ibunya dengan jelas.
"Terima kasih telah menjadi adik yang baik, Lily." Albus menyunggingkan senyumannya.
"Aku mencintaimu, Al."
"Aku juga."
Belum Albus berbicara lagi, Harry sudah meminta Ginny dan Lily segera masuk mobil. Waktu semakin dekat. Mereka tidak ingin terlambat di hari pertama.
"Kalau sudah, langsung keluar, Lils. Kau jaga diri, Al. Kami akan segera pulang." Pesan Harry di tutup kecupan singkat di dahi Albus.
Lily melepas pelukannya saat diajak Ginny bersama keluar. Namun, tangan Albus menahannya.
"Tunggu sebentar, masih ada satu pesan lagi.. Tolong dengarkan."
Lily menahan diri untuk mendengar semua ungkapan batin Albus. Hingga semuanya selesai, perlahan Albus melepas genggaman tangannya dengan Lily. Namun rasanya begitu sakit, saat Lily melepasnya. Ia pergi, meninggalkan Albus dengan linangan air mata yang tidak lagi bisa ia tahan.
Albus memandang mereka dengan senyuman simpul. Meski tetes air matanya lolos tepat saat mobil keluarganya menjauh pergi.
Tidak ada yang bisa memprediksi. Harry dan Ginny tertahan di perjalanan. Beruntung Ron yang tidak ikut mengantarkan kedua anaknya karena baru saja pulang dari Manchester karena urusan bisnis bisa datang ke rumah Potter.
Teddy merasa tenang, sebab ada Ron yang menemaninya menjaga Albus. Ia sempat bingung melihat Albus mengeluh dadanya sakit, namun melarang Teddy mengatakannya kepada Ginny.
"Aku takut setiap melihat Albus, Uncle."
Ron menyeduh teh dan menyesapnya pelan. Ia baru mendapat kabar jika Ginny dan Harry harus pergi ke St. Mungo sejenak untuk mengambil ramuan yang khusus mereka pesan dari Macau untuk Albus.
"Ginny masih terus mengusakan segalanya untuk Albus."
"Ramuan itu Aunty Ginny yang memesan?"
Ron mengangguk, "tanpa sepengetahuan Harry. Menurutnya, tidak ada yang tahu kalau kita belum mencoba semua cara. Dia masih yakin Albus masih bisa bertahan."
"Dan buktinya, Albus masih bisa bertahan hingga sekarang," Teddy melihat sekilas ke arah kamar Albus. "Walaupun nyatanya, kondisi Albus seperti ini." Tutupnya.
Merek hanya bisa pasrah. Berusaha kuat demi menjaga Albus dari segala kemungkinan yang ada.
Tidak lama setelah itu, Harry dan Ginny datang. Mereka bergegas masuk dan meminta maaf pada Ron dan Teddy.
"Kami harus mengurus ramuan ini. Karena bahan import, jadi ada beberapa persyaratan." Ungkap Harry.
Sementara Ginny sudah bergegas masuk ke kamar Albus. Melihat keadaan putranya. Memeluknya sejenak lalu menghampiri ketika laki-laki di sana.
"Albus tidur. Tadi setelah dibantu Nana Andy meminum ramuannya. Al baru bisa beristirahat." Jelas Teddy.
"Sepanjang hari perasaanku tidak enak. Seperti ada yang pergi." Ujar Ginny. Andromeda memeluk Ginny. Mengajaknya ke ruang makan untuk mengisi perut malam.
"Tadi Hermione berpesan, kau bisa menginap di sini. Karena ia langsung berangkat ke Irlandia untuk rapat esok. Daripada rumah kalian kosong."
"Terima kasih, Harry. Aku juga berniat menginap di sini setelah melihat Albus. Aku sepeti enggan meninggalkannya."
Mereka pun memutuskan untuk segera makan malam dan beristirahat.
Pagi pun tiba. Ginny menggeliat ketika merasakan ada pergerakan dari tangan Albus yang sejak semalam ia genggam.
"Kau sudah bangun, sayang." Ginny memberi kode Harry yang sudah bangun dan menikmati kopi bersama Ron di luar. Sementara Teddy dan Andromeda sedang sibuk menyirami tanaman di belakang rumah.
Masih sangat pagi, jadi mereka masih sesikit mengantuk. Harry bergegas masuk menemui Albus.
"Kau tidur nyenyak sekali semalam. Bahkan saat Mummy peluk pun kau tidak bangun." Kata Ginny menceritakan ketakutannya semalam.
Tentang wajah tenang Albus yang tertidur semalam. Albus sendiri hanya memejamkan matanya sesekali sebagai cara menjawab. "Jangan membuat Mummy takut, Al." Ginny memeluk kepala Albus yang hangat. Ia pun membantu Albus sedikit duduk. Harry membuat badan Albus sedikit bersandar di atas bantal-bantal yang disusun tinggi.
"Hey, Al. Kau bangun. Selamat pagi." Sapa Ron muncul di depan pintu.
Suara napas Albus yang berat menjadi satu-satunya jawaban.
"Semalaman Uncle Ron menjagamu juga, Al." Kata Harry memberi tahu. Albus sedikit tersenyum melihat pamannya yang lucu itu ikut menemaninya.
"Tidak perlu berterima kasih, Al. Astaga percaya diri sekali aku." Lantas Ron terbahak. "Oh, ya. Karena kopiku sudah habis, aku boleh ya ijin membuat kopi lagi. Masih kurang, tadi enak, Harry. Kopi impor, ya?"
"Buatlah, masih banyak di dapur. Iya itu kopi Toraja dari Indonesia."
Ron mengacungkan tangannya bersemangat. "Dan kau anak muda, kau mau apa? Nanti Uncle siapkan. Mau apa? Kopi atau susu?" Ron memberi pilihan.
Tangan Harry di remas dua kali oleh Albus. "Albus meminta susu, Ron." Jawab Harry.
"Harry, Albus tidak bisa minum susu sembarangan." Ginny protes.
"Ah, aku tahu, kok. Susu khusus yang rendahh apa itu ya, pokoknya itu. Aku akan siapkan untuk Albus. Bukankah selama ini kau belum pernah meminum susu buatan Uncle, bukan? Aku selalu membuatnya sangat manis." Ron mengaruk kepalanya.
"Uncle janji, kali ini susunya akan sesuai dengan keinginanmu. Tunggu, ya. Kau harus mencobanya."
Ron mengusap pipi Albus sebelum ijin keluar.
"Ron tidak bisa dipegang kata-katanya kalau menyiapkan sesuatu." Kekhawatiran Ginny ditangkap oleh Harry. Bahkan juga Albus.
"Sudahlah, biarkan Ron mencoba. Kau jangan terlalu khawatir."
"Tapi, Harry..."
Sentuhan tangan Albus menghentikan Ginny. Albus tiba-tiba berusaha bergerak. Menyamankan tubuhnya untuk memilih bersandar di dada ayahnya. Sementara tangannya menggenggam tangan sang ibu.
Dingin sekali tangan di kulit Ginny.
"Albus."
Albus meremasnya. Lama. Lantas mengangguk. Ia sedikit menengadah, menyandarkan kepalanya di dada bidang Harry. Memejamkan mata sambil mengarahkan dahinya lebih tinggi. Harry membubuhi sebuah kecupan di sana. Matanya sedikit teebuka sekarang, walaupun pandangannya kosong. Wajahnya hampa seolah tidak berisi. Hanya suara tarikan napas itu saja yang terlihat nyata.
Albus lanyas tersenyum. Dengan usaha kerasnya. Seperti menyampaikan sebuah pesan.
"Semua akan baik-baik saja, Son. Kami akan baik-baik saja." Begitu bisik Harry seolah mengerti.
Putranya sedang menginginkan untuk dipeluk olehnya, sementara tangan kanannya masih setiap menggenggam jemari sang ibu. Ginny pun seolah tidak ingin melepasnya.
"Gin," panggil Harry. Albus ikut menurunkan kepalanya. Menghadap ke Ginny dengan segala upayanya.
"Tidak, Harry. Apa-apaan kau ini? Apa yang sudah kau katakan?" protesnya tidak suka dengan kata yang disampaikan Harry.
"Apa yang disampaikan Lily kemarin," Harry mengeratkan pelukannya ke tubuh Albus. "Mungkin inilah saatnya." Tutupnya.
Ginny menggeleng tidak mau. Tidak mau membenarkan semua yang sempat dipesankan oleh Lily sebelum anak itu naik ke kereta.
"Albus hanya ingin diikhlaskan pergi."
Lily menyampaikan pesan terkahir Albus sebelum ia berangkat. Albus menahannya sejenak untuk menitipkan pesan kepada kedua orangtuanya. Khususnya Ginny.
"Dia sudah lelah, Mum. Albus merasa cukup dengan semua usaha Mummy demi kesembuhannya. Tapi bagi Albus, itu sudah cukup. Dia hanya ingin tenang. Melihat kita bahagia, tanpa terus menyusahkan kita lagi. Membuat Daddy terus merasa bersalah, membuat Mummy terus diserang rasa lelah. Membuat James dan aku tersisihkan. Albus tidak mau itu. Ia sudah merasa cukup."
Lily menyentuh tangan Ginny sepeti yang sering dilakukan Albus. Menyampaikan persis dengan apa yang ia dengar dari relung hati Albus yang paling dalam.
"Lepaskan Albus, Mum. Tolong lepaskan."
Dan pesan itu kini dinanti. Albus menunggu Ginny menyampaikan apa yang selama ini ia ingin sampaikan. Namun tidak bisa. Albus terus menerima semua yang Ginny berikan padanya. Mantera yang menyakitkan ataupun ramuan yang menjijikan. Ia pasrah meski hatinya terus ingin menolak. Albus takut menbuat ibunya kecewa.
"Jangan biarkan Mummy memilih, Albus." Ginny memohon. Meremas tangan Albus dan mengecupnya dalam.
Siapapun orangtua tidak mau mengantarkan anaknya ke liang lahat. Bahkan jika boleh meminta, mereka ingin sebaliknya.
"Mummy mohon jangan seperti ini. Mummy masih punya ramuan untuk kamu coba. Mummy mohon, Al. Sekali lagi."
Albus bergeming. Napasnya semakin berat. Jika ia bisa berbicara, Albus pun juga ingin memohon. Memohon untuk melepaskannya..
"Ginny, sudah cukup. Kasihan Albus." Harry tidak kuasa menyaksikan bahwa ajal begitu sangat dekat sekarang.
Sekali lagi Albus menyentuh tangan Ginny. Bukan meremasnya. Melainkan melepasnya menjauh. Albus menghembuskan napasnya yang terakhir tepat saat Ginny mengatakan, "pergilah, Nak. Maafkan kami. Mummy mencintaimu."
Dari arah dapur, Ron menghentikan tangannya mengaduk susu yang siap minum. Buatannya sempurna. Dengan takaran yang pas dan suhu yang tepat. Namun sepertinya ia sudah terlambat. Tangis kencang Ginny menggema ke seantero kediaman keluarga Potter.
Dan susu buatannya kembali tidak bertuan. Sama seperti dulu. Ron menyesal, tidak ada satupun susu yang bisa ia sajikan untuk bisa keponakannya itu nikmati. Bahkan hingga diujung usianya.
"Maafkan Uncle, Albus." Ron terus terisak hingga terduduk di lantai dapur. Teddy dan Andromeda bergegas masuk. Melihat sendiri, bahwa Albus... Pergi dengan wajah tenang dalam pelukan ayah dan menggenggam erat tangan ibunya.
James berlari menuju ruang kepala sekolah. Meninggalkan Prof. Longbottom yang baru saja menyampaikan sebuah kabar pagi ini saat mereka menikmati santapan pagi pertama di tahun ajaran baru. Di sana, bibinya Hermione telah memeluk Lilu yang meraung hebat. Mengatakan jika semua berita itu bohong.
"James, kita pulang sekarang. Kalian sudah ditunggu." Pesan Hermione. Kebetulan posisinya rapat tidak jauh dengan Hogwarts. Saat Ron memberinya kabar, Hermione sempurna menunda rapat mereka dan memohon ijin untuk kembali ke London.
James meminta ijin untuk meminta seseorang lagi agar ikut bersama mereka. Seseorang yang kini menangis, meringkuk di atas ranjang yang dulu pernah ada yang spesial tidur di sana. Pemuda yang menjadi sahabatnya. Bahkan hingga kini.
Sosok James muncul saat Scorpius perlahan membuka matanya. "Ayo kita antar Albus, Scorpius." Ajak James disambut dengan yakin olehnya.
Banyak yang telah berkumpul. Albus yang tampan dengan setelan jas dan bersarung tangan putih. Tertidur nyaman dikelilingi bunga-bunga dalam sebuah peti hitam berkilau. Setelah semua ikhlas, ia ditutup. Sangat rapat. Tidak ada satupun udara yang bisa masuk. Mantera pengunci telah diberikan. Hilang sudah si kuat Albus dari pandangan mereka. Bersiap menuju sebuah lubang panjang nan dingin.
Bergerak turun diringi lemparan ratusan kelopak bunga kesekian kalinya. Banyak orang besar yang datang. Keluarga, sahabat jauh pun ada. Mereka menangis kehilangan. Sangat menyakitkan, bahkan untuk sosok muda yang kini terus terisak di tengah puluhan pelayat.
Di tangannya tergenggam replika jendela. Masih setia ia bawa hingga kini. Karena bagi Scorpius, Albus tidak akan pernah pergi. Scorpius tahu, bahwa ia harus bisa mengerti dan sadar, jika jasad yang kini ditimbun tanah adalah orangnya. Seseorang yang memberikannya semangat dan arti hidup sebenarnya.
Sayangnya, kini hanya pelukan sang ayah yang bisa sedikit membantunya untuk bernapas. Mengikhlaskan dia yang harus pergi. Draco Malfoy menyaksikannya. Memorinya berputar dan sampai pada kenangan ketika tubuh wanita yang sangat ia cinta sama diperlakukannya dengan sahabat putranya.
"Mereka akan bertemu. Albus akan banyak bercerita dengannya di surga. Benar begitu kan, Dad?"
"Benar, Scorpius. Kau benar sekali."
Draco memeluk tubuh putranya menguatkan sembari menyampaikan sebuah sorot mata yang ia tujukan kepada Harry. Ia turut berduka cita. Harry ikut membalasnya dengan sebuah anggukan dan ucapan terima kasih yang lirih.
Di sanalah, terbaring dengan damai. Albus Severus Potter, yang menutup lembaran hidupnya dengan meninggalkan mereka yang sangat menyayanginya.
FIN
4 tahun bukan waktu yang sebentar. Bagi yang sudah membacanya awal di fanfiction dot net, cerita ini aku publis pertama di tangal 5 bulan 5 tahun 2017. Melelahkan dan butuh perjuangan secara fisik dan mental. Terima kasih yang sudah sering banget nge DM buat ingatin aku lanjut cerita ini. Semoga kalian suka dengan endingnya, ya. Cerita ini akhirnya lunas...
Silakan tinggalkan komentar kalian dan semua uneg-uneg kalian tentang cerita ini. Lega selega leganya.
Sekali lagi terima kasih... Dan sampai jumpa di kisah-kisah selanjutnya.
Thanks a lot,
Anne xoxo
